Anak kembar Angga dan Mahra baru berusia 3 hari. Tapi, ragam kado sudah sampai di kediaman orang tuanya. Pada hari ketujuh mereka akan mengadakan akikah. Semakin sibuk pula para kerabatnya. Terutama Jamal dan Akmal. Menyusun scedul acara. Mencetak undangn, merencanakan semua makan minum yang akan di sajikan. Bahkan kedua laki-laki itu mencari hewan untuk akikah berdua. Pontang-panting mereka ke Aceh Jaya mencari kambing yang bagus untuk akikah keponakannya.“Ingat ya, kambingnya harus jantan yang sehat, gemuk, nggak boleh cacat!” berulang kali mamak mereka mengingatkan keduanya.“Ah, Mamak. Padahal kita sudah dua kali beli kambing akikah!” gelak Akmal. Dua-duanya sudah punya anak dua tentu mereka sudah sangat berpengalaman.“Jangan pula seperti akikah anakmu dulu Angoh. Sampai bolak balik kesana karena cacat!” Bu Mei mengingatkan kejadian konyol itu.“Iya Mak! Angoh sudah punya anak satu lagi kan. Waktu akikah si adek nggak salah kan!” Akmal tersungut-sungut agar ibunya tidak mengulan
Kedua bayi kembar yang masih merah tidur nyenyak di atas tempat tidurnya. Diamati kedua malaikat kecilnya. Hampiir tidak bisa dibedakan. Wajahnya merah. Hidungnya mancung. Pipinya lembut, bak sutra. Lama dia tatap. “Terima kasih Nak, sudah hadir dalam hidup Bunda!” gumam Mahra. “Terima kasih sudah membuktikan pada dunia kalau Bunda tidak mandul!” tambahnya lagi. Tidak terasa bulir bening menuruni pipinya yang putih.Kedua bayi kembarnya hanya bangun ketika mereka ingin pup dan haus. Dunia perbayian sedamai itu. Mahra mengelus jari-jarinya yang masih sangat mungil. Lalu dia abadikan di ponselnya.“Mahra! Sini minum jamu ini dulu!” ujar neneknya yang susah payah menaiki tangga.“Apa ini nek?” Mahra memperhatikan gelas kecil ditangannya dengan seksama.“Air kunyi, untuk memulihkan perutmu!” ujar sang nenek. Dia melirik sana sini. Dia lihat botol air mineral cukup besar di dekat tempat tidur. Segera dia ambil. “Selama empat puluh empat hari jangan minum banyak-banyak! Makanan juga harus d
Angga tersenyum puas menatap gedung nan meugah di depan matanya. Rumah impiannya, jauh sebelum menikah dengan Mahra. Dia ingin punya rumah bercorak gaya eropa. Di sisi kiri kanan punya halaman yang luas. Lalu akan ditanami sejenis tanaman holtikultura dan obat-obatan. Sehingga anak-anaknya akan kegirangan ketika tanamannya berbuah. Lalu di sisi kiri juga dia ingin membangun kolam renang. Di salah satu ruangan di sisi rumah tersebut juga akan di bangun pustaka mini. Dia tersenyum, karena sebentar lagi dia akan mengajak Mahra dan baby twisnnya pindah. Sedikit lagi, akan rampung. Tukang sedang mengecet pagar yang mengelilingi setinggi satu meter perkarangan rumahnya. Bagian depan dekat jalan raya, sengaja di buat lebih rendah. Agar tidak terkesan sombong.“Urusan prabot biar Mahra aja nanti yang pilih!” ujarnya seorang diri.Seorang pengajar Yayasan Mata Hati menghampirinya. “Sudah siap, Pak ya!” sapanya membuat Angga menoleh ke belakang.“Alhamdulillah Ustaz!” Dia tersenyum ramah pada
“Ridwan, Hindun, Rohmah, Nor dan Ramlah ikut saya ke Aceh!” ujar Pak Muhar setelah memanggil semua pelayannya.Semua terdiam.“Apa kalian bersedia?” tanya Pak Muhar lagi.“Siap, Pak!” sahut mereka yang disebut. Siapa yang mau kehilangan kesempatan terbang sejauh itu. Dan siapa yang mau berhenti dari kerja dengan laki-laki kaya raya itu. Gaji mereka lebih besar dari pegawai negeri.“Dan Surti tetap menjadi kepala pelayan di sini. Joko tetap menjadi kepala satpam. Saya titip rumah ini pada kalian ya!” pinta Pak Muhar. “Saya harus tinggal sama Angga. Saya tidak bisa jauh dari anak dan cucu saya!” jelasnya.Semua mendengar dengan kidmat.“Sebentar lagi akan datang adik saya yang akan tinggal di sini bersama keluarganya. Layani mereka sama seperti melayani saya!” tambah Pak Muhar. Para pelayan tahu siapa yang dimaksud. Adik kandung Pak Muhar yang tinggal di dekat perusahaan. Dia kepala gudang di perusahaan mereka. Laki-laki beranak satu itu pembawaan tegas dan cuek. Dia sering berkunjung k
Sudah dua kali ke rumah Pak Muhar. Hasilnya cuma berantem sama pelayan. Hidupnya seapes itu sekarang, pikirnya. Jauh-jauh ke Bandung hanya demi menjebak mantan mertuanya gagal total. Lira akhirnya ke rumah Jeni. Dengan perasaan dongkol.“Tumben cepat kali ke sini belum akhir bulan?” tanya Jeni sembari membawa secangkir the manis untuk sahabatnya.“Mau ketemu ayah mertua tapi…” Suara Lira terhenti.“Ayah mertua? Beb. Dia bukan mertuamu lagi!” Jeni mengingatkan kawannya. “Demi apa kamu pengen banget ketemu dia!” “Cuma dia yang gue punya! Tapi, sekarang dia udah pindah ke Aceh karena perempuan sialan itu!” Lira menatap Jeni dengan nanar.Jeni geleng-geleng kepala. “Wajar dong, orang dia menantu, lagipun aku baca di berita kalau Angga sekarang sudah punya anak kembar! So kamu harusnya bisa mempoisisikan diri beb!”“Tapi, gue nggak terima Ayah bahkan nggak ngabarin gue kalau pindah!” Lira sudah hampir menangis.“Gue suka versi lho yang kemarin deh, Beb. Loh bisa memantaskan diri.” Jeni
Setelah melihat kedua cucunya tenang. Bu Mei pergi dari kamar mereka. “Mamak masak dulu!” ujarnya segera pergi. Setelah percaya kalau anaknya baru saja mie belepot.“Mak masak lebih. Ayah dan pelayan sudah di Kuala Namu!” pinta Mahra.“Oh , sudah di Kuala Namu? Kok telat kali bilang Mamak nggak belanja tadi!” Bu Mei tercekat.“Nggak apa Mak! Mereka bertujuh sama ayah! Nggak usah repot-repot. Mungkin mereka langsung ke rumah yang di sana!” sahut Angga. Tujuannya agar para pelayan itu bisa istirahat dengan tenang. Karena di rumah mertuanya tidak akan cukup kamar.“Mereka makan apa kalau rumah di sana? Nggak apa. Mamak masak nanti Angga bawa ke sana pakek rantang!” Bu Mei segera pergi.Padahal Angga sedang mau jawab. Mereka bisa beli saja. Tapi, mertuanya selalu bersemangat kalau ada tamu. Entah dia nggak pernah capek. Angga mendekati istrinya, di pangkuannya masih ada Alifa.“Gimana enak nggak mie belepotnya, sayang?” canda Angga.“Apasih, Mas. Garing banget tahu candaannya!” Mahra men
Lira baru saja mendarat di Banda Sultan Iskandar Muda bersama putri kecilnya, Rea. Dia izin cuti dari kantor empat hari.“Pak izin cuti ya empat hari, boleh?!”pintanya pada peringgi perusahaan tempat dia bekerja.“Lamat amat cutinya?” Laki-laki itu menghentikan pulpennya.“Ada acara keluarga, Pak di Medan!” tambah Lira.“Baiklah! Tidak boleh lebih dari empat hari!” lelaki itu kembali melanjutkan pekerjaannya.Lira segera bergegas untuk menuntaskan misinya. Tidak lupa membawa anak haramnya Rea. Bahkan kini anak balita itu sudah berumur dua tahun. Lira tidak melakukan tes DNA untuk mencari tahu siapa ayahnya. Karena kini harapannya menjadikan Rea alat untuk memuluskan niatnya.Begitu tiba di Banda dia bingung mau kemana. Karena tidak tahu alamat Angga dan Muhar. Akhirnya dia menghubungi mantan mertuanya langusng. Karena kalau hubungi Saleha yang ada nggak dikasih tahu.“Ayah, Lira di Banda mau jumpa Ayah!” seakan dia sudah begitu diharapkan kedatangannya oleh Pak Muhar.“Dimana kamu Na
Setelah turun dari mobil, Angga langsung membantu ayahnya turun lalu kembali naik kursi roda. Teras rumahnya sengaja di buat menurun tidak bertangga. Agar mudah mendorong ayahnya dengan kursi roda. Mereka baru saja meninjau pembangunan perusahaannya yang kini sudah rampung. Tinggal merencanakan grand openingnya. Setelah emoat jam bepergian. Angga berharap kedatangannya di sambut hangat oleh istri dan si kembarnya.Begitu memasuki ruang tamu dia menemukan mantan istri dan anak istrinya. Matanya langsung melotot raut wajahnya masam. Lira begitu menyadari Angga dan Pak Muhar dia cepat-cepat berdiri.“Hei kalian sudah pulang!” Lira mendekat. “Ayo sayang salim sama Eyang dan Papa Angga!”“Untuk pemberitahuan. Jangan ajarkan anakmu memanggilku Papa!” tegas Angga dengan mata menjulur amarah.“Em maaf Mas. Aku hanya….”“Dan siapa yang mengundangmu ke rumah ini?” potong Angga dengan cepat.Pak Muhar pun sangat kesal. Karena dia tahu Angga akan marah kalau Lira ke rumah.“Mas, semalam Rea menan