~••°••~17 Januari 2015Tersebutlah ia gedung Kubuang Tigo Baleh. Terletak di pinggir hamparan sawah Solok. Tepat di perbatasan antara Kota dan Kabupaten Solok, kota beras, kota serambi Madinah.Gedung ini merupakan salah satu gedung serbaguna terbesar yang ada di kota Solok. Biasanya disewa untuk gelaran wisuda, resepsi pernikahan, pagelaran, dan banyak kegiatan lainnya. Lokasi yang strategis, menjadi nilai plus untuknya. Maka, di sini jualah akhirnya helat besar itu akan digelar.Pukul 4 dini hari, MUA yang dipilihkan oleh keluarga Bang Farid sudah sampai di rumah. Emak memandikan aku, dengan air hangat yang dimasaknya beberapa waktu sebelumnya. Kata Emak, entah kapan lagi bisa memandikan anak bungsunya setelah ini.Aku merasakan sekali Emak bersedih juga bahagia. Selama beliau memandikan, penuh cinta diusap seluruh tubuhku. Rasa malu kutinggalkan, ya ... seperti kata Emak, kapan lagi dimandikan oleh Emak setelah ini.Lanjut berhias sambil disuapi makan oleh Kak Kasih. Dari rumah in
~••°••~Lewat tengah malam, Bang Farid baru pulang. Mendengar suara ramai di luar, aku bangun dan berwudhu. Lalu, melangitkan do'a-do'a dalam Tahajud dua rakaat.Aku mengecek ponsel sebentar, sudah pukul tiga lewat. Masih ada waktu untuk istirahat sebelum subuh masuk. Tiba-tiba kepikiran Bang Farid belum istirahat sejak siang. Pagi nanti harus melanjutkan rangkaian acara Manjalang Mintua atau istilah lainnya Pai Tunduak.Manjalang Mintuo atau dikenal juga dengan Pai Tunduak merupakan salah satu prosesi adat di Minangkabau, yang dilakukan setelah akad dan resepsi pernikahan selesai dilaksanakan. Keluarga mempelai perempuan pergi bersilaturahmi ke rumah mempelai lelaki. Biasanya yang pergi adalah keluarga besar yang terdekat. Di rumah mempelai lelaki juga disambut oleh keluarga besarnya. Tujuan prosesi ini adalah untuk menjalin hubungan silaturahmi dan kedua belah keluarga saling kenal satu sama lain.Manjalang Mintuo ada hampir di seluruh wilayah Minangkabau, tetapi mungkin dengan pena
~••°••~"Jadi balik hari ini?"Bang Farid baru selesai mandi, di hari ke-3 setelah resepsi besar-besaran masih ada tamu yang datang. Di rumah ini hanya aku dan Bang Farid. Ibu dan yang lain di rumah Bang Farid biasanya. Emak juga sudah kembali ke Madila.Kota Solok berawan dan sejuk, membuat malas untuk keluar rumah. Pun karena masih ada yang datang, teman-teman Bang Farid yang tidak sempat hadir di hari resepsi ... terpaksa bolak-balik menjamu seadanya. Tidak ada perkakas memasak di sini. Setiap ada tamu, terpaksa memesan teh dan kopi di kedai sebelah."Mau balik, tapi teman-teman Abang masih ada yang datang.""Kayaknya sih udah enggak," katanya merebahkan diri di sebelahku."Mau hujan begini, gimana mau ke kampung?""Pakai mobil dong, Sayang. Nanti Abang jemput dulu ke rumah. Kamu beres-beres aja dulu. Lapar enggak?"Aku mengangguk, "Dikit sih, Bang. Tadi 'kan udah makan lontong di sebelah. Rumah siapa sih? Kosong melompong begini. Satu-satunya perabot cuma ada kasur ini, loh.""Rum
~••°••~Malam itu, bertambah satu lagi anggota keluarga kami. Putri nan cantik jelita, impian Emak hadir di tengah-tengah kebahagiaan. Sehat, selamat, sempurna. Ibu dan bayinya berhasil berjuang bersama.Bagaimana mungkin kita—manusia biasa—ini bisa menyangkal ketetapan dari Allah Yang Maha Kuasa. Satu jam sebelum Kak Kasih memasuki ruang operasi, masih berstatus laki-laki janin dalam perutnya. Ternyata, ketika sudah keluar ... perempuan malah kiranya."Wah, Bu Kasih. Pemain bola lagi nih. Nggak apa-apa, anak laki-laki itu akan jadi tameng kuat untuk bundanya kelak."Demikian kata dokter yang menangani Kak Kasih. Tidak mungkin aku salah dengar. Sejelas-jelasnya diperlihatkan kepada kami bentuk kelamin si bayi. Allahu Akbar, ternyata yang lahir anak perempuan. Masya Allah.Setelah observasi satu jam, Kak Kasih dipindahkan ke ruangan opname. Bayinya masih observasi lanjutan di ruangan khusus. Ada air ketuban yang terminum sedikit, ketika proses pembedahan sempat ditunda karena Kak Kasih
~••°••~Aku pulang ke rumah di Madila, mengurus Aldo dan Rafif sampai Kak Kasih diperbolehkan pulang. Tidak enak rasanya merepotkan Febi untuk menjaga kedua anak itu. Tentu keduanya juga tidak nyaman terlalu lama di rumah orang.Dari rumah sakit, langsung ke rumah Febi menjemput anak-anak Kak Kasih. Mereka asyik bermain pasir dalam pengawasan Febi. Melihat kami datang, Rafif berseru girang."Maaf jadi merepotkan kamu, Feb.""Loh, Rindu ... mereka 'kan anak-anakku juga. Nggak repot sama sekali. Mereka anteng, nurut, nggak banyak polahnya.""Terima kasih banyak ya, Feb." Aku memberikan senyuman terbaik untuknya."Gimana kabar Kak Kasih? Anaknya lelaki apa perempuan?" Febi terdengar penasaran."Alhamdulillah, perempuan. Kondisinya baik, terpaksa diambil tindakan sesar, Feb. Banyak faktor sehingga harus dioperasi. Terpenting keduanya sehat selamat."Aku mengempaskan napas, melegakan dada sedikit. Sejak kemarin, dipaksa berpikir agak keras oleh keadaan. Adrenalin naik turun, terbawa eufori
~••°••~Baru saja aku berbelok ke halaman, Rafif berlari menyongsong. Matanya basah, hidungnya merah, ingus ke mana-mana. Sepertinya dia habis menangis lama."Ateu lama!" rungutnya mencubit pahaku."Astaghfirullah, sakit, Nak." Aku meringis, mengusap-usap bekas cubitannya. Aku gandeng tangan kecil yang jahil tersebut. Lalu menggiring sekaligus Aldo masuk rumah, karena hampir Magrib."Rafif nangis tadi, Teu!" adu Aldo bersemangat."Kenapa sampai nangis, Ateu tadi 'kan pamit baik-baik. Beli jajanan ke kedai Koh Agung. Apa Ateu bilang tadi? Yang nangis-nangis enggak dikasih jajanan, 'kan."Aku celingak-celinguk sekeliling, mencari keberadaan Bang Farid. Sendalnya ada di depan, orangnya entah ke mana. Pintu kamar juga terbuka lebar, tidak ada di sana. Di dapur juga tidak terlihat tanda-tanda adanya orang."Om mana?" tanyaku pada Aldo."Di belakang rumah," jawabnya polos."Hah, ngapain?""Ambil layangan."Dahiku mengernyit, ambil layangan apa yang dimaksud Aldo. Aku berjalan ke dapur, memb
Sebelum aku melanjutkan kisah perjalanan untuk mencapai gelar dokter, barangkali perlu untuk kugambarkan kampung Madila itu seperti apa. Tidak terlalu penting memang, tapi selalu ada kesan di hati. Di sini darah tertumpah, kaki berpijak di tanahnya untuk pertama kali dalam hidupku.Jangan berekspektasi tinggi tentang Madila. Hanya sebuah desa kecil di kaki gunung Talang. Dia termasuk dalam wilayah Kabupaten Solok. Dibilang daerah pinggiran, tidak juga. Masih ada yang lebih pinggir dari Madila. Di sini pegunungan, udaranya sejuk dan bersih. PR berat untuk Madila kedepannya adalah jaringan telepon seluler dan internet.Sebagian berpendapat kalau lemahnya tangkapan jaringan di Madila akibat pepohonan tinggi yang banyak tersebar. Selain itu, posisi Madila meskipun di atas ketinggian tetapi seperti ceruk yang tersembunyi dalam pangkuan jajaran bukit Gunung Talang. Warga rata-rata memiliki ponsel, satu rumah setidaknya punya satu unit. Untuk bisa digunakan, harus mencari titik-titik tertent
Tengah malam aku terbangun mendengar suara tangisan Humaira. Di sampingku, Bang Farid tertidur pulas dalam kemul. Dingin udara pegunungan, serasa tembus sampai ke tulang. Aku keluar kamar, menemukan Emak sudah menimang Humaira."Kenapa, Kak?" Aku membantu Kak Kasih meluruskan duduknya. Atas permintaan Emak, sampai selesai nifas nanti Kak Kasih harus tinggal di rumah Emak dulu."Masuk angin mungkin, Rin. Dari tadi tidurnya gelisah.""Coba sini, Mak."Aku buka bedongan Humaira. Memijat perutnya perlahan, lanjut ke punggungnya. Belum semenit, dia kentut bukan main kerasnya. Aku sampai terlonjak demi suara 'bum' yang dihasilkan si bayi merah itu.Sedikit minyak telon aku balurkan di punggung, keliling pusat dan telapak kaki. Baru membedongnya lagi agak erat, dengan kain panjang batik. Humaira mulai tertidur dalam pangkuanku."Makanya Emak bilang, kasih minyak telon tiap beberapa jam. Namanya udara dingin, ya begitu. Kalian dulu juga begitu kok," omel Emak."Jangan dong, Mak. Minyak telon
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,