Tengah malam aku terbangun mendengar suara tangisan Humaira. Di sampingku, Bang Farid tertidur pulas dalam kemul. Dingin udara pegunungan, serasa tembus sampai ke tulang. Aku keluar kamar, menemukan Emak sudah menimang Humaira."Kenapa, Kak?" Aku membantu Kak Kasih meluruskan duduknya. Atas permintaan Emak, sampai selesai nifas nanti Kak Kasih harus tinggal di rumah Emak dulu."Masuk angin mungkin, Rin. Dari tadi tidurnya gelisah.""Coba sini, Mak."Aku buka bedongan Humaira. Memijat perutnya perlahan, lanjut ke punggungnya. Belum semenit, dia kentut bukan main kerasnya. Aku sampai terlonjak demi suara 'bum' yang dihasilkan si bayi merah itu.Sedikit minyak telon aku balurkan di punggung, keliling pusat dan telapak kaki. Baru membedongnya lagi agak erat, dengan kain panjang batik. Humaira mulai tertidur dalam pangkuanku."Makanya Emak bilang, kasih minyak telon tiap beberapa jam. Namanya udara dingin, ya begitu. Kalian dulu juga begitu kok," omel Emak."Jangan dong, Mak. Minyak telon
~••°••~Bang Farid berangkat lebih awal dari biasanya. Beberapa dokumen harus diselesaikan sebelum aku kembali kuliah. Salah satunya mengubah status pada KTP dan menerbitkan Kartu Keluarga. Semua itu penting, agar ketika nanti kami serumah di Padang, tidak digebukin warga. Hehehe."Rindu ikut, Mak." Aku buru langkah Emak yang sudah sampai di tepi jalan."Kakakmu sendirian di rumah," tolak Emak."Kan enggak lama, Mak. Sekalian mau beli bahan masakan nanti 'kan."Emak geleng-geleng. Akhirnya diperbolehkan ikut. Sambil menyusuri jalan menuju rumah Ema, banyak kejanggalan yang aku kemukakan pada Emak. Tetap saja pendirian Emak begitu kukuh, melarangku untuk buruk sangka.Sebelum sampai ke rumah Ema, beberapa kali berpapasan dengan warga. Ketika Emak bilang mau ke rumah Ema, mereka langsung memberikan tanggapan berbeda-beda. Membuktikan, bahwa Uni Ema ngomong sana-sini. Bukan di tempat Bu Eli dan Tek Dar saja berarti.Rumah semi permanen ber-cat biru itu beberapa langkah lagi kami capai. U
~••°••~Permasalahan kerja dengan Uni Ema ternyata tidak sesederhana itu. Sebuah berita yang menggelinding dalam masyarakat, seperti bola salju yang makin lama akan semakin besar. Membersihkan nama juga bukan perkara mudah dan cepat seperti wacana Uni Ema.Kak Kasih jelas terpengaruh dengan desas-desus tidak mengenakkan tersebut. Dampak yang paling nyata kepada produksi ASI yang tidak maksimal. Dia stress, sering menangis tiba-tiba. Apalagi kalau Humaira lagi rewel. Meskipun ada Emak yang siaga 24 jam di sampingnya, tak berpengaruh bagi psikologis Kak Kasih."Kasih sepertinya kena sindai babek, Rindu. Harus dibuatkan obatnya ke orang pintar." Makwo Ida yang sedang bertandang, memberikan komentar."Apa itu, Makwo?""Sindai babek itu seperti yang kamu lihat pada Kasih. Kadang menangis tanpa sebab. Kadang tiba-tiba benci kepada anaknya. Perasaannya kacau balau, tidak menentu.""Cara mengobatinya bagaimana, Makwo?""Ya dibuatkan sama orang pintar. Daun-daun tertentu, urat-urat pohon terte
~••°••~Sambil lewat, Bang Farid singgah di salah satu toko perabotan. Membeli kasur spring bed dan karpet permadani. Tidak lupa sapu, kain pel, dan wiper pembersih kaca. Saat memuat barang-barang ke mobil pick up milik toko, ponsel Bang Farid berdering. Temannya sudah sampai di rumah, sejak beberapa saat yang lalu.Aku benar-benar hanya membawa pakaian ke Padang. Semua kebutuhan dan perabot rumah harus dibeli lagi. Kalau piring, sendok, dan semacamnya masih bisa dibawa dari kos. Lemari, ember, dan sebagainya ... tampaknya memang harus dibeli semua."Kita langsung ke rumah, nggak jadi mampir dulu ke rumah Mas Rudi." Bang Farid mulai melajukan mobil, disusul mobil toko di belakang."Mas Rudi marah nggak, tuh?""Biarin dia sama anak bininya ke rumah kita. Namanya juga waktu mepet.""Eh 'kan harus ke kos dulu, ambil-ambil barang," tukasku."Iya, ya. Kita ke rumah dulu, deh. Nggak jauh juga dari kos, kok. Nggak enak teman-teman Abang kelamaan nunggu."Jika begitu kiranya, maka aku menurut
"Insya Allah saya dibesarkan dengan didikan dan nilai agama yang baik, Bu. Justru untuk menghindari dosa, makanya saya menikah saja. Orang bebas berpendapat, biar saya, suami saya, orang-orang terdekat saya, serta Allah saja yang tahu bagaimana sebenarnya."Merah padam wajah ibu kos. Selama di sini, bahkan sekali pun tidak pernah aku maupun Fuji berbuat ulah. Kalau penghuni kamar lain, maaf saja ... entah itu telat bayar sewa, entah itu sampah yang berserakan, jorok, entah itu membawa laki-laki ke kamar. Ada saja kasusnya. Paling terbaru kasus anak kos yang aku dengar dari Fuji, ada yang klepto dan suka menguntit penghuni kamar lain."Ibu hanya bercanda, Rindu. Jangan dimasukin ke hati, dong.""Bercanda tidak begitu bahasanya, Bu. Sebagai perempuan saya tersinggung dengan candaan Ibu.""Sudah, Rindu," cegah Bang Farid."Ibu minta maaf kalau begitu.""Sama-sama minta maaf ya, Bu. Barangkali selama tinggal di sini ada hal yang kurang berkenan di hati Ibu, mohon direlakan maaf untuk saya
~••°••~Aku ketinggalan banyak hal, tentu saja. Dua bangku yang selalu tercium wangi dari jarak jauh, kini kosong. Hening. Entahlah, kenapa terasa janggal tanpa kehadiran Michelle dan Rosemary. Mereka berdua heboh, menebarkan suasana ceria dalam kelas ini.Profesor Maiyulita menutup perkuliahan. Tidak ada kuis dadakan seperti dulu. Beliau juga terlihat santai, tidak killer dan bikin deg-degan. Teori tidak lagi sepadat dulu. Makin ke sini, lebih banyak simulasi dan pemecahan masalah secara individu maupun kelompok.Lalu, salah seorang staf rektorat entah dari mana datangnya melongok ke pintu kelas. Kami seharusnya belajar dengan Dr. Ernandus, dalam materi Gastrointestinal Lanjut. Gastrointestinal merupakan mata kuliah yang mempelajari tentang organ pencernaan meliputi lambung dan usus pada tubuh manusia. Di mata kuliah ini, kamu akan belajar sistem pencernaan yang ada di tubuh manusia. Bapak tersebut menyampaikan bahwa Dr. Ernandus tidak mengajar, kelas silakan bubar. Perkuliahan akan
Ketika aku benar-benar tersadar dari trauma kecelakaan, selain Emak ... yang aku pikirkan adalah Fuji. Bagaimana dia sendirian di kamar? Meski telah sekian tahun menjadi anak kos, belum serta merta menjadikan dia bisa mandiri. Siapa yang akan menepuk-nepuk punggungnya sampai tertidur? Siapa yang akan menyinyirinya untuk makan tepat waktu? Siapa yang akan gigih menyuruhnya salat? Siapa yang akan menarik-narik kakinya agar bangun Subuh? Ah, sungguh pelik.Raisya, gadis tinggi semampai itu harus kusebut sebagai penyelamat. Dia datang menggantikan posisiku. Harusnya kuucapkan beribu terima kasih kepadanya. Kekhawatiran yang mendera, akhirnya perlahan sirna dan berganti dengan kelegaan.Semenjak semester awal, yang aku ketahui tentang Raisya adalah dia sosok yang periang. Gadis itu pintar mencairkan suasana agar ceria. Ada saja guyonan yang dia lakukan, sehingga orang-orang menyukai pribadinya. Raisya tidak pernah pilih-pilih dalam berteman.Begitu pula dengan background Raisya. Setangkap
~••°••~"Kita boleh baik, Bang. Boleh banget. Tetapi, lihat dulu dong baiknya ke siapa? Setelah semuanya yang Abang ketahui, kok ya bisa-bisanya langsung percaya? Belum cukup yang terjadi sebelum-sebelumnya dijadikan pelajaran?"Pagi ini, aku benar-benar kesal dengan Bang Farid. Tidak pernah sekali pun aku menghalangi langkahnya. Apa pun yang dia lakukan, selalu ada dukungan dariku. Sekali ini, dia gegabah. Ditambah mudah kasihan dengan orang. Nggak bisa kena cerita sendu langsung luluh. Yang orang itu pun pintar menjual penderitaan. Plus, urat malu yang udah putus.Entah bagaimana mulanya, Uda Revan bisa dapat akun Facebook Bang Farid. Melalui pesan di messenger dia memohon-mohon agar dikirimkan sejumlah uang untuk makan di kantin lapas. Menjual penderitaan bersama ibunya—Etek Yarni—dia merayu Bang Farid sampai luluh. Dasarnya suamiku tak bisa dibujuk oleh kesedihan, sekian ratus ribu telah ditransfer ke rekening tujuan. Katanya milik ibu kantin di sana. Dia melakukan transaksi tanpa
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,