Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Juli, 2011~•°•~"Rindu, Ibu minta maaf tidak bisa memberimu izin membawa ijazah ini pulang. Silakan kamu sidik jari dan catat nilainya, ya. Supaya bisa diperlihatkan pada ibunda di rumah."Aku mengulum senyum mendengar penjelasan Ibu Marni, Kepala Bagian Kurikulum. Di atas meja tepat di hadapanku, terhampar ijazah sebagai tanda selesainya pendidikan di sekolah ini. SMAN 01 Gunung Sandi.Harmoni Rindu Umayyah, tertulis dengan huruf besar dan sedikit timbul. Sebelum menempelkan sidik tiga jari di dekat pas foto, aku raba sedikit kertasnya. Ada harapan yang mengalir melalui pori-pori kulitku rasanya."Sabar ya, Nak. Pasti akan ada jalan untuk membawanya pulang." Bu Marni terdengar menguatkan.Aku menatap sebentar ke arah Bu Marni. Manik-manik kaca terbentuk di sana. Bukan tanpa alasan ijazahku sampai tertahan. Tunggakan uang sekolah, tidak bisa ditolerir lagi."Masih untung ananda diizinkan ikut ujian. Namanya sekolah memang butuh biaya, tidak ada yang gratis." Kalimat itu kuterima saat
~••°••~Sepanjang perjalanan menuju rumah, air mataku menghujan deras. Kak Kasih juga sama. Tangannya semakin erat menggenggam tanganku."Semoga kamu menjadi jalan menaikkan derajat keluarga kita, Rin. Kamu satu-satunya harapan, kalau aku sudah tamat jalan itu."Di depan rumah, Emak sedang membersihkan bawang merah juga seperti Kak Kasih. Semenjak bapak tiada, Emak harus bekerja lebih keras. Tidak jarang sampai tengah malam, aku dan Emak masih memotong akar bawang. Kejar target agar bisa ambil upah agak banyak."Mak!" seru Kak Kasih, menyeretku. "Emak!""Astaghfirullah ... Kasih, kenapa? Ada apa ini?" Emak terperanjat melihat kami datang dalam keadaan menangis."Rindu, kenapa, Nak? Apa yang terjadi?"Aku ambruk memeluk lutut Emak. Segala sesak yang tertahan tumpah di sana. Kak Kasih juga sesenggukan melihatku sudah bersimpuh di kaki Emak."Rindu dapat undangan, Mak. Kuliah kedokteran. Seperti cita-cita bapak," ucap Kak Kasih di sela tangisnya."Jangan bercanda, Sih. Bangun, Nak." Emak
~••°••~Malam ini, kami berkumpul semua. Aku, Emak, Kak Kasih dan suaminya, Aldo dan Rafif—anak Kak Kasih. Suka cita lebur, menyantap goreng ayam balado ditambah nasi hangat. Tidak lupa sayur pucuk daun singkong.Masakan Emak tidak pernah mengecewakan. Selalu menjadi masakan terenak dalam versi apa pun itu. Apalagi menikmatinya dengan hati gembira begini.Secercah kenangan masa lalu, melintas dalam kepala. Ingatan tentang Bapak berpendar di sana. Berduyun-duyun menjadi genangan air mata yang siap terserak.Dahulu, jika Emak masak ayam begini, bapak selalu berpesan agar disisakan hatinya untuk beliau. Lauknya tidak begitu disukai. Bapak lebih memilih ceker, ujung sayap, leher, kepala, dan hatinya."Rin?" tegur Emak. Sepertinya beliau menyadari aku yang mendadak sedih.Tidak kujawab, karena jika satu kata lepas keluar, air mataku juga akan berhamburan bersamanya. Sebaris senyum aku berikan pada Emak. Kak Kasih juga menatap lama ke arahku."Bawang punya Pak RT banyak busuknya, Mak. Agak
~••°••~"Dari mana, Rindu? Kakak dari tadi di sini, pintu nggak dikunci. Emak nggak ada, kamu nggak ada!"Kak Kasih bersama dua anaknya sudah menunggu di depan rumah. Saking buru-buru menyusul Emak, aku sampai lupa mengunci pintu. Padahal rasanya tadi sudah kukunci sebelum berlari pergi."Habis bantu Emak, Kak. Ngantar bawang ke rumah Pak Rinto."Di waktu bersamaan, seorang anak buah Pak Rinto datang menjemput bawang. Dua karung bawang dimuat ke atas gerobak motor. Kak Kasih membantu mengangkat satu karung yang besar."Kok tumben Emak yang antar? Bukannya sebelum ini selalu dijemput?""Emak ada kepentingan lain dengan Pak Rinto, Kak." Mengatakan ini rasanya pedih di hati. Gara-gara aku, Emak harus berhutang sama orang.Kak Kasih hanya mengangguk. Aku paham dia nggak bertanya banyak. Dia pasti menebak-nebak kepentingan Emak yang aku maksud.Anak-anak Kak Kasih merengek ingin makan dengan ayam goreng lagi. Aku membantu mengambilkan nasi. Kak Kasih bagian memipilkan lauknya.Tidak lama,
~••°••~Pukul sembilan kurang beberapa menit, aku sampai di sekolah. Menaiki ojek pangkalan dari rumah, dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sebelum melangkah masuk memasuki gerbang, mataku menatap lekat pada tulisan besar yang melengkung di atas gapura."Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Gunung Sandi." Di bawah tulisan itu tertulis lagi "Tut Wuri Handayani." Ada desir di dada ini. Tanpa terasa sudah tiga tahun lamanya aku menimba ilmu di sini.Tujuan pertamaku adalah bagian tata usaha. Di loket pembayaran yang merupakan hasil sulap sebuah pintu ruangan tersebut dikerumuni banyak siswa. Mereka pastilah punya hajat yang sama denganku."Rindu!" seru seorang teman dekatku. Dari kelas satu, kami sudah akrab. Ranti, adalah teman pertamaku ketika memasuki sekolah ini. Lalu, keisengan jiwa anak remaja membuat label 2R sebagai tanda best friend forever."Sudah selesai punyamu?" Aku menyuguhkan senyum terbaik untuknya."Belum, itu lihat antriannya panjang. Mana Bu Erna ngomel-ngomel nggak jelas da
~••°••~Hampir 10 menit aku berjalan, bergegas tanpa menoleh lagi ke belakang. Harusnya aku ikuti apa kata Kak Kasih. Tetapi, men-tidak-kan permintaan Emak juga tak sanggup. Kak Kasih itu benar, Etek memang tidak pernah menyukai kami."Rindu?"Kalau di kota, orang menyebutnya Pak RT. Namun, di sini kami menyebutnya Pak Jorong. Sebut saja nama beliau Muslim. Rumahnya dekat dengan rumahku. Oh ya, rumahku dan rumah Etek Yarni beda jorong. Kurang lebih 8-10 menit perjalanan naik motor."Pak Mus." Aku sedikit menunduk, menyembunyikan mata yang basah."Dari mana, kenapa sendiri?""Iya, Pak Mus. Dari rumah Etek, mau kembali ke rumah.""Oh begitu, ada yang mengantar? Atau sedang menunggu jemputan?"Aku menggeleng, masih menumpukan tatapan ke ujung sepatu."Kalau begitu, naiklah. Kebetulan saya mau pulang juga."Tanpa berpikir lama, segera aku membonceng sepeda motor Pak Mus. Setidaknya, aku tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di belakang Pak Mus, kuhela napas sedalam mungkin, mele
Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.
Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te
♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua
Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan
Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk
Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr
Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah
Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat
♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,