Happy Reading*****"Kamu beneran Risma, kan?" tanya seorang lelaki berpenampilan rapi dengan kemeja ketat membentuk lekukan tubuhnya yang sedikit kekar. Risma menatap lelaki itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Merasa tak mengenal siapa lelaki di depannya, dia berkata, "Kamu siapa?" Soso lelaki itu tersenyum. "Kamu lupa? Aku temen sekolahmu dulu. Masak nggak ingat sama rumah ini?"Menggaruk kepala di balik jilbabnya, Risma mengangguk. "Aku lupa siapa kamu dan seingetku aku nggak punya temen seperti dirimu. Maaf, ya. Bukannya sombong atau melupakan temen lama, tapi aku emang nggak inget siapa dirimu."Di depannya, lelaki itu tertawa keras. Beruntung adik Risma sudah berkumpul dengan teman-temannya. Jadi, tidak bisa menguping pembicaraan mereka. Jika sampai Riska mendengar, pasti ejekan dan olokan terlontar pada Risma. Perempuan itu memang sangat lemah dalam hal ingatan. "Masuk dulu, yuk. Aku jelaskan siapa aku sebenarnya. Ngomong-ngomong kenapa kamu sampai ke sini." Lelaki deng
Happy Reading*****"Beneran kalian nggak saling tertarik satu sama lain? Kok, aku nggak percaya, sih?" tanya Davian masih dengan senyum menghiasi wajahnya. Risma mengangguk. "Beneranlah. Kalau kami ada rasa satu sama lain nggak mungkin dia melamar perempuan. Harusnya melamar aku, dong." Perempuan itu menggembungkan pipinya. Sesekali, Davian mencuri pandang ke arah Risma. "Kalau gitu aku punya kesempatan buat deketin kamu, dong. Secara aku sudah ganteng kayak gini. Nggak jelek dan cupu kayak dulu pas kamu nggak mau temenan sama aku." Lelaki itu memainkan kedua alisnya. "Elah, masih inget aja tentang itu. Kamu tetap nggak bisa deketin aku, Dav. Sorry," balas Risma. "Lah, kenapa emanganya?""Kamu telat. Aku udah nikah kali." Risma mengerlingkan mata. "Yah, patah hati lagi, dong." Davian pun tertawa. "Kita agendakan reunian, yuk. Ajak Zikri juga.""Ayok kapan?" jawab Risma penuh semangat. "Akhir pekan gimana?" tawar Davian, "aku free kalau weekend. Maklum masih jomblo. Nanti ke re
Happy Reading*****Setelah mengeluh dan mengomel sendiri. Risma mengetikkan chat pada suaminya. Memberi peringatan, mengingatkan janji lelaki itu yang diucapkannya beberapa jam lalu pada ayah dan ibunya.[Mas, ngasih tahu Yustina kalau mau ke Situbondo? Nggak usah kebanyakan gaya kalau masih pengen jadi menantu Ayah. Aku bisa bongkar semua masalah rumah tangga kita yang sebenarnya. Sekali lagi berbuat salah dan nyerempet ke hal-hal kayak kemarin, jangan harap aku bisa memaafkanmu, Mas.] Tulis Risma pada suaminya, ada emotikon marah di dalamnya. Kekesalan hati perempuan itu sudah pada puncak yang tidak bisa dikendalikan lagi. Enteng sekali, Yustina berkata sedang dalam perjalanan menemui suaminya. Apa pula maksudnya? Ingin memanasi hati Risma. Terlihat murahan sekali perempuan seperti itu. Sudah tahu Riswan cuma menganggapnya teman, tetapi masih saja mengejar cinta sang lelaki. Sedikit lama, Risma baru mendapat balasan dari suaminya. Senyum itu langsung terbit. [Mas, cuma ngasih ta
Happy Reading*****Riswan masih terdiam dan mencoba mengembalikan kesadarannya. Dari mana Yustina tahu tempatnya menginap, sedang dia sama sekali tidak pernah mengatakan atau bercerita. "Sial, apa mungkin dia tanya sama Fatiya?"Cepat Riswan menuliskan chat pada Fatiya. Walaupun masih dini hari, dia tak peduli lagi. Chat yang dikirimkan dengan cepat mendapat balasan. Ibu dua anak itu mengiyakan pertanyaan Riswan. [Tanggung jawab. Temui sahabat sontoloyomu itu. Aku nggak mau ada fitnah dan orang yang melaporkan masalah ini pada istriku. Ah, Fatiya. Kenapa kamu mesti ngasih tahu tempatku nginep?] Riswan kembali mengirimkan chat balasan. Sedetik saja, Fatiya terlihat melakukan panggilan. "Aku, nggak tega lihat suaranya kayak orang mau nangis. Mohon-mohon suapaya aku ngasih tahu alamat penginapanmu. Lagian, ya. Kalian itu kenapa, sih. Sudah tahu punya keluarga masing-masing, kok, masih aja berhubungan. Kamu nggak kasihan sama istrimu?" Harusnya Riswan yang marah pada partner kerjanya.
Happy Reading*****"Tega kamu, Wan? Aku jauh-jauh datang ke sini pengen makan malam sama kamu. Bukan inginku meminta ini, tapi bayiku." Dia menyentuh perut buncitnya. Suara Yustina dibuat semanja dan sesedih mungkin. Matanya mulai merebak dengan kaca-kaca membias. Riswan memejamkan mata dan menggeleng pelan. "Aku bukan jahat atau tega, Yus. Tolong ngertiin posisiku saat ini. Kita ini cuma sahabat, sama seperti aku dan Fatiya, Iklima atau yang lainnya. Ada saatnya kita wajib saling membantu, tapi nggak boleh menyakiti hati pasangan. Aku, kamu dan Fatiya kan sudah punya keluarga masing-masing walau posisimu saat ini sudah sendiri. Tetep prioritas utama menjaga hati perasaan pasangan kita. Kamu sudah menyulut api dalam hubunganku dengan Risma. Aku nggak tahu apa yang kamu katakan padanya ketika akan berangkat ke sini. Yang jelas semua itu memicu pertengkaran dan memperuncing masalah yang ada."Yustina menyela, "Kenapa aku yang kamu salahkan? Lagian dia kenapa ngadu, sih. Gitu aja cembu
Happy Reading*****"Ayah," sapa Riswan, "maaf, Yah. Mas kelamaan nitipin Dik Risma." Suami Risma itu segera menyalami mertuanya. "Lama di rumah ini nggak masalah, Mas. Asal dia bahagia." Lutfi menepuk punggung menantunya. "Jangan sekali-kali menyakiti hati Risma lagi," nasihatnya. Berulang kali, Lutfi sudah mengatakan hal itu dan tak akan pernah bosan mengingatkan menantunya. Dia mengajak Riswan duduk di ruang tengah sambil menunggu kue yang dibuat Risma. Mulai berbincang mengenai pembangunan cabang baru warung sate milik Riswan. Lelaki paruh baya itu terus saja mengajak menantunya ngobrol padahal Riswan sudah berkali-kali melirik ke arah dapur. Berharap sang mertua mengerti bahwa dia tengah menahan rindu pada istrinya. "Nah, kuenya sudah jadi kayaknya. Mbak, sini," panggil Lutfi setelah melihat putrinya keluar dari kamar. "Bentar, Yah. Mbak, mau menghias kuenya. Setelah itu baru duduk dan cicipi bersama. Sekalian biar tahu rasa lapis Surabaya buatanku." Risma menyunggingkan sen
Happy Reading*****"Lho... lho. Kenapa malah nangis? Apa Mas salah?" Riswan mengurai pelukannya. Mengusap air mata yang mulai turun di pipi sang istri. Risma masih sesenggukan beberapa saat. Dia benar-benar sedih karena tidak bisa memenuhi keinginan suaminya. Menatap pada mawar berbentuk hati di atas sprei yang sudah berserakan, Risma makin mengeraskan tangisan. Perempuan itu sudah mengecewakan hati suaminya. "Kenapa, apa kamu belum siap?" tanya Riswan kembali. "Bukan begitu, Mas. Aku ...." Risma berkata dengan terbata-bata di antara isak tangis yang masih keras. "Hei. Mas, nggak masalah kalau kamu belum siap. Kapan-kapan kita bisa memulainya lagi. Setidaknya, Mas, bener-bener mengharapkannya." Riswan menghapus jejak air mata yang terus mengaliri pipi sang istri. "Ya, sudah kamu istirahat saja dulu. Mas, mau ke musala sudah azan magrib." Risma mencekal pergelangan sang suami yang akan melangkah pergi. "Mas, empat sampai lima hari ke depan, aku belum bisa melakukannya."Bola mata
Happy Reading*****Sampai di salah satu restoran cepat saji yang terdapat di dalam mal. Riswan dan Risma memutuskan makan malam di sana dan alangkah terkejutnya pasangan itu ketika melihat Iklima dan Farel duduk berduan.Dara duduk dipangkuan Farel dengan sangat bahagia. Terdengar jelas celotehan bocah berusia hampir dua tahun itu. Di depan si lelaki, tampak Iklima tengah memakan makanannya dan sesekali menyuapi si dokter. Riswan melirik istrinya. "Kita samperin mereka, Yang.""Jangan, Mas. Malah ganggu nanti. Aku tahu banget. Dokter Farel itu dah suka Mbak Iklima sejak dulu.""Itu sudah bukan rahasia lagi, Yang. Sejak jaman cinta monyet dulu, Farel sudah menyatakan cintanya," jelas Riswan. Lelaki itu segera menyapa dua sahabatnya. "Hmm. Sudah berani kencan berdua, tapi nggak mau ngasih tahu," godanya. "Halo, cantik. Tante kangen banget," kata Risma pada Dara dan langsung mengambil bocah itu dari pangkuan Farel. Lalu, duduk di sebelah kanan Iklima. "Kencan nggak ngajak-ngajak," bis
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw