Happy Reading*****Sebelum ingatan Harun kembali, dia mendengar suara percakapan. Seseorang yang sangat dikenal, dia adalah Hamdiyah. Entah siapa yang menghubungi ibunya, Harun harus mengucap terima kasih pada orang itu. Harun menggerakkan bola matanya sebelum membuka secara sempurna. Sudut inderanya mengalirkan air yang tak terbendung. Betapa baik hati wanita yang telah melahirkannya itu. Begitu banyak kesakitan dan kekecewaan telah ditorehkan pada Hamdiyah, nyatanya dia tetap peduli pada Harun. "Ibu?" kata Harun pelan. "Jangan bergerak dulu, Mas. Ibu panggilkan dokter untuk memeriksa." Hamdiyah keluar, tanpa mendengarkan panggilan putranya. Beberapa menit setelah itu, Hamdiyah kembali masuk. Bersama perawat dan juga dokter yang empat hari ini selalu mengecek perkembangan kesehatan Harun. "Gimana keadaan putra saya, Dok?" tanya Hamdiyah. "Alhamdulillah. Dia sudah melewati masa kritis dan terbangun dari koma. Semoga segera membaik, tapi harus sabar, ya, Bu. Walau luka luar suda
Happy Reading*****"Selamat, ya, Yang." Riswan menciumi Risma walau banyak orang tua tengah berdiri mengelilingi tempat tidurnya.Si perempuan menatap cengo pada suaminya. "Selamat untuk apa, sih, Mas? Aku nggak ngerti."Bukannya menjawab, Riswan malah mundur dan memberikan kesempatan pada bunda dan juga ibu mertuanya untuk memberikan ucapan selamat. Risma makin dibuat bingung dengan tingkah keluarganya yang tak satu pun mau menjelaskan. "Au, ah. Kenapa pada nyebelin. Nanya selamat buat apa, tapi malah diem semua.""Jadi, Mbak belum tahu hasil tes urinenya tadi?" tanya Rini. "Gimana bisa tahu. Belum juga muncul, udah suruh tiduran aja sama Mbak Iklima. Bu dokter lama-lama ketularan nyebelin, sama kayak suaminya." Risma mencebik. Membuat semua orang yang ada di kamar itu tertawa. "Ya, udah. Nih, hasil tesnya." Iklima menjulurkan tangan kanan yang memegang benda lonjong. Seketika bibir Risma menganga tak percaya. "Mbak ini beneran?"Si dokter mengangguk. "Seneng nggak?" tanyanya.
Happy Reading*****"Ish, kenapa Dokter malah ketawa?""Gimana, ya. Secara logika emang sulit untuk diterima nalar, tapi memang banyak kejadian seperti yang dialami Riswan. Istrinya sedang hamil, suaminya yang mual-mual. Secara medis mungkin nggak ada kaitan sama sekali," terang Farel. "Begitukah, Dok?"Di seberang sana, Farel menganggukkan kepala walau lawan bicaranya tak melihat hal itu. "Sepertinya begitu. Kehamilan pertamamu waktu itu, kamu sensitif sama bau-bauan, kan? Sementara, Riswan nggak."Risma merenung, seperti mengingat sesuatu. Lalu, dia tersenyum setelah beberapa detik kemudian, setelah mengingat semua kejadian itu. "Kayaknya kejadian ini permintaan Mas Riswan sendiri, deh, Dok. Pas itu sempat meminta, jika boleh siksaan ketika hamil biar dia yang merasakan jangan aku," kekehnya ketika ingat sang suami pernah berkata demikian. Tawa keras semakin menusuk indera pendengaran Risma. Farel terdengar bahagia ketika istri Riswan menceritakan hal itu. "Benarkah? Jadi, dia sen
Happy Reading*****"Ditanya malah pada senyum." Riswan tak melanjutkan pertanyaannya yang belum dijawab. Dia malah mempercepat sarapan hingga semua racikan gado-gado yang berada di piringnya tandas tak bersisa. Setelah itu menatap pasangan Dokter di depannya bergantian. "Kalian bohongin aku. Ini bukan gado-gado hasil masakan Iklima." Dia melirik sahabatnya. "Kamu beli di sebelah gedung DPR, ya, Rel?""Eh, asal aja nuduh," kata Farel, tetapi dia juga menyunggingkan senyuman. Lalu, berkata tanpa rasa bersalah sama sekali. "Kok, bener, sih?""Elah. Kamu lupa kalau aku sering banget makan gado-gado di sana?" Riswan menaik-turunkan alisnya. "Dah, hafal banget gimana rasanya. Apalagi aroma daun jeruk dan serai yang nggak mungkin dimiliki oleh penjual gado-gado lainnya.""Kayaknya Ayah lupa. Harusnya jangan beli di sana," sela Iklima. Riswan terbahak. "Dah, nggak masalah. Aku tahu Iklima nggak bakalan bisa masak gado-gado seenak ini. Terpenting perutku sudah kenyang. Rasa pengennya juga d
Happy Reading*****"Siapa mereka, Yang?" tanya seorang lelaki yang menghampiri perempuan yang tak lain adalah Yustina. Penampilannya kini sangatlah jauh berbeda. Hampir setahun tidak bertemu dengan perempuan itu, banyak yang sudah berubah. Yustina lebih kalem dengan pakaian tertutup sama seperti Risma. "Mereka sahabat karibku, Mas. Kenalkan, dia Risma dan di depannya Riswan. Mereka ini suami istri dan yang sedang tiduran itu anaknya, tapi aku belum tahu siapa namanya. Pas Risma hamil aku sudah masuk pesantren," jelas Yustina. Binar kebahagiaan terpancar. Menangkupkan kedua tangan pada Risma, lelaki di sebelah Yustina menyapa dengan senyuman. Pada Riswan dia menjulurkan tangannya. "Aku suami Yustina, Sandi," ucap si lelaki menyebutkan nama. Pandangan Riswan yang semula marah pada sang istri karena mengajak Yustina bergabung dengannya, mulai berubah. Kali ini, Riswan yakin Yustina sudah berubah. Dari tutur kata serta tampilan fisik kentara sekali. Mungkin, kejadian beberapa waktu
Happy Reading*****"Eh, Mbak Risma," kata si Ibu tetangga yang julid tadi. "Nggak ada masalah, sih. Cuma agak gimana, gitu. Kenapa nggak adopsi anak sepupu atau saudara yang lain. Kan jelas nasab dan juga watak keluarganya. Kalau anak dari orang lain, rasanya akan berbeda. Apa nggak malu atau takut kalau terjadi sesuatu nantinya."Mulut si tetangga mulai terasa pedas seperti seblak level 15 saja. Pelan, tetapi sarat cemoohan dan penghinaan. Risma makin membulatkan mata. Jelas-jelas dia meremehkan Bu Hamdiyah dan keluarganya saat ini. "Ibu itu kayaknya kurang ngaji. Kenapa mesti menghina dan meremehkan orang lain. Satu hal lagi. Pernah dengar ceramah ustaz-ustaz yang mengatakan kita harus menyantuni anak-anak yatim?" tanya Risma serius. Rofikoh mencolek lengan sang menantu dan menggelengkan kepalanya agar tak melanjutkan kata-kata pedasnya. "Ya, pernah, Mbak. Terus, apa hubungannya dengan pertanyaan saya tadi?" katanya bingung. Namun, Risma tak menggubris kode yang dilempar oleh s
Happy Reading*****"Risma?" ucap perempuan itu terkejut."Iya aku," jawab Risma. Dia menatap iba pada perempuan di depannya. Tidak disangka, hampir lima bulan tidak bertemu. Keadaannya sungguh sangat menyedihkan. "Ngapain kamu di sini?""Aku ... aku," katanya gugup, "Ris, tolong maafkan aku. Sungguh aku menyesal dengan semua yang terjadi. Sumpah, aku nyesel banget. Apalagi setelah kejadian itu, aku kehilangan Davian. Usaha yang baru aku rintis juga nggak jalan. Kalau waktu bisa diputar aku nggak akan pernah main-main dengan kehidupanku."Risma masih diam, dia mengamati Indadari dari atas sampai ke bawah. Sungguh berbanding terbalik dengan keadaan perempuan itu beberapa bulan lalu. Tubuhnya jauh lebih kurus. Kantung mata terlihat jelas. Bahkan mata dan hidungnya masih merah karena menangis. "Aku sudah memaafkanmu. Untuk apa aku menyimpan dendam. Toh, anakku nggak bakalan bisa hidup lagi. Tenang saja, In. Aku nggak bakalan bayang-bayangin hidupmu dengan segala kesalahan yang sudah kam
Happy Reading*****Sepeninggal Davian, Riswan masih terdiam. Berpikir keras mengapa istrinya bisa dengan mudah memaafkan semua kesalahan Indadari. Dia sendiri saja, sampai saat ini masih sangat jengkel dengan perbuatan perempuan itu. "Yang, kamu beneran sudah maafin Indadari. Dia jahat sama kamu, lho," kata Riswan saat mereka berbaring di kamar. Risma sudah menidurkan Fattah dalam boks bayinya. Tinggal mereka berdua di ranjang itu. Risma memiringkan tubuhnya, menghadap sang suami. "Jika Allah saja Maha Pemaaf, mengapa kita sebagai hamba-Nya nggak bisa melakukan itu. Aku yakin Indadari sudah menyesali segala perbuatannya. Mas nggak lihat perubahan fisiknya saat ini?"Riswan menggeleng pelan. "Memang kenapa sama Indadari, Yang?""Dia terlihat jauh lebih kurus. Raut wajahnya menggambarkan bagaimana suasana hatinya yang rapuh, banyak beban pikiran. Satu hal lagi, dia terlihat sangat frustasi. Semoga saja dengan kata maaf dariku kemarin menjadi sebab berkurangnya sedikit beban yang dim
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw