Happy Reading*****Sepeninggal Davian, Riswan masih terdiam. Berpikir keras mengapa istrinya bisa dengan mudah memaafkan semua kesalahan Indadari. Dia sendiri saja, sampai saat ini masih sangat jengkel dengan perbuatan perempuan itu. "Yang, kamu beneran sudah maafin Indadari. Dia jahat sama kamu, lho," kata Riswan saat mereka berbaring di kamar. Risma sudah menidurkan Fattah dalam boks bayinya. Tinggal mereka berdua di ranjang itu. Risma memiringkan tubuhnya, menghadap sang suami. "Jika Allah saja Maha Pemaaf, mengapa kita sebagai hamba-Nya nggak bisa melakukan itu. Aku yakin Indadari sudah menyesali segala perbuatannya. Mas nggak lihat perubahan fisiknya saat ini?"Riswan menggeleng pelan. "Memang kenapa sama Indadari, Yang?""Dia terlihat jauh lebih kurus. Raut wajahnya menggambarkan bagaimana suasana hatinya yang rapuh, banyak beban pikiran. Satu hal lagi, dia terlihat sangat frustasi. Semoga saja dengan kata maaf dariku kemarin menjadi sebab berkurangnya sedikit beban yang dim
Happy Reading*****Risma mengedikkan kedua bahunya, dia mengambil Fattah yang berada dalam pangkuan sang suami. Lalu, berkata, "Biasa aja keles. Kalian ini lebay banget. Mungkin Davian sudah menganggap Indadari sebagai salah satu sahabatnya kayak kita-kita ini.""Gila saja, Davian. Apa nggak tahu sakitnya datang ke acara kayak gini bagi seorang mantan," seloroh Zikri. Tak berapa lama acara di mulai dengan pembukaan salam dari MC. Sosok Davian belum muncul juga. Calon tunangan lelaki itu sudah siap di meja paling depan. Diapit kedua orang tuanya. Risma menengok kanan kiri, mencari sosok sahabatnya. Namun, tak juga ditemukan. Beberapa menit kemudian, calon tunangan Davian terlihat berdiri dan meninggalkan kedua orang tuanya. Entah mengapa, hati Risma seperti merasakan sesuatu yang tak beres tengah terjadi. Dia mengikuti langkah perempuan yang akan menjadi calon istri sahabatnya, setelah berpamitan pada sang suami. Perempuan dengan kebaya brokat modern itu berjalan ke arah toilet. N
Happy Reading*****Ayah Sari mendelik ketika melihat Davian berlutut di depan perempuan yang duduk di sebelah Risma. Semua mata tertuju pada kedua orang berbeda jenis itu. Risma sendiri bahkan tak menyangka jika sahabatnya akan mengambil keputusan besar memilih Indadari. Masih berlutut dengan mengambil sebuah kotak dalam saku celananya. Davian berkata kembali, "Indadari, maukah kau menikah denganku? Melanjutkan kisah kita. Merangkai kembali apa yang pernah kita impikan." Lelaki itu tak menggubris perkataan Ayah Sari. Dia tetap berlutut serta memajukan kotak cincin pada Indadari. Terkejut dengan permintaan sang mantan, Indadari melirik Risma. Menyapukan pandangan pada semua tamu yang hadir. "Mas, apa kamu nggak salah? Ini pertunanganmu dengan perempuan itu?" Indadari menunjuk ke arah Sari. "Nggak salah. Aku telah memantapkan hati untuk membina rumah tangga bersamamu. Menyempurnakan separuhku," kata Davian mantap. "Jangan mempermainkan sebuah kesepakatan, Dav!" Lelaki paruh baya
Happy Reading*****Pulang dari acara pertunangan Davian. Riswan makin dibuat kepo mengapa ponsel Risma dipegang sahabatnya dan kalimat terima kasih yang terlontar. Sementara Risma sudah tertidur pulas di mobil bersama Fattah dalam gendongannya."Ish, bikin nggak tenang kalau kayak gini. Mati penasaran lama-lama. Yang bangun dong," panggil Riswan. Dia sudah sampai di depan pagar rumahnya. Risma melenguh, bola matanya bergerak, tetapi belum terbuka. Setelah suaminya menggoyangkan lengannya kembali, barulah di membuka mata. "Sudah sampai, Mas?""Sudah. Turun, nggih. Kasihan Fattah. Kalian kayak yang lelah banget. Selama perjalanan tidur terus.""Karena Capek, Mas." Risma membuka pintu mobil dan turun. Segera membuka pintu gerbang agar suaminya masuk. Hari-hari Risma dan Riswan semakin membahagiakan saja. Walau terkadang lelaki itu masih mengalami mual dan keinginan-keinginan nyelenah yang harus segera dituruti. Namun, semua masih dalam batas normal. Kandungan Risma sudah menginjak t
Happy Reading*****Kurang dari setengah jam, Harun sampai di pelataran klinik. Membantu ibunya menggendong Fattah, lelaki itu ikut panik karena si kecil tak mau berhenti menangis."Sus, tolong periksa ponakan saya," kata Harun. Di depan loket pendaftaran."Mari, Pak." Suster itu menggiring Harun ke sebuah ruangan, lalu dia meninggalkannya untuk memanggil dokter. Tergopoh Hamdiyah mengikuti Harun yang sudah lebih dulu masuk ke ruangan pemeriksaan. "Gimana, Mas?" tanya Hamdiyah pada si sulung. "Masih dipanggilkan dokter. Semoga Fattah nggak kenapa-kenapa. Mas, inget waktu adik panasnya tinggi terus kejang-kejang, Bu. Semoga Fattah nggak akan mengalami seperti yang terjadi pada ayahnya." Harun mengusap peluh yang membanjiri wajahnya. Kentara sekali jika lelaki itu panik dan takut. "Jangan sampai, Mas. Ibu takut juga. Kenapa kamu malah inget kejadian itu?""Masalahnya persis dengan keadaan Fattah saat ini, Bu. Rewel terus panasnya tinggi.""Berdoa saja. Semoga nggak kejadian seperti
Happy Reading*****Menyerahkan kunci rumah pada sang pemilik asli, Riswan tersenyum dan berdoa dalam hati. Semoga keputusannya tak salah. Harun benar-benar berubah menjadi pribadi yang lebih baik. "Terima kasih, Mas. Sudah percaya pada Harun. Ibu yakin sekarang dia sudah menyadari semua kesalahannya. Selama tinggal bersama di Surabaya kemarin, dia cukup membuktikan bahwa sudah berubah. Setiap perkataannya nggak pernah dengan nada tinggi, kalimatnya juga tertata dengan sopan. Kehilangan dan dikhianati oleh istrinya sudah membuka mata dan hati untuk kembali pada jalan kebenaran," terang Hamdiyah disertai uraian air mata. "Semoga dia istikamah di jalan ini, Bu. Nggak kembali pada kebiasaan dan perangainya yang dulu," tambah Risma. "Amin," jawab Riswan, "Mas, taruh dia di toko saja, ya, Yang. Di sana kan nggak ada cowok. Setiap kali ada delivery atau angkat-angkat barang berat pasti anak-anak mengeluh dan hal itu menyebabkan terganggunya pekerjaan mereka.""Terserah Mas saja. Aku ngik
Happy Reading*****Dalam perjalanan menuju rumah sakit bersalin. Riswan makin bingung saja. Pasalnya, Fattah juga ikut menangis. Sepertinya si kecil juga ikut panik pas tahu mamanya kesakitan. Fokus Riswan terpecah, antara menenangkan Fattah, menyetir dan memberikan semangat pada sang istri. Di pangkuannya, Fattah masih terus menangis. Sementara panggilannya pada Rofikoh belum juga dijawab. "Apa sebaiknya Mas telpon Ibu saja, ya, Yang?"Di sebelahnya, Risma memejamkan mata dengan tubuh bersandar pada kursi. Tangan kanannya mengelus perut dan sesekali mendesis kesakitan. "Telpon saja. Mas, pasti kerepotan juga kalau seperti ini. Fattah makin rewel." Suaranya sungguh lemah. "Iya. Kamu tenang dulu, Nak. Ayah bingung kalau kamu nangis terus. Lihat mamamu! Fattah nggak kasihan?" Riswan menekan kontak mertuanya. Dering pertama saja, sudah langsung terangkat. Setelah menceritakan perihal Risma, lelaki itu kembali fokus pada kemudi dan juga istrinya. "Sstt, aduh," rengek Risma. "Ya Allah
Happy Reading*****Sekitar dua jam kemudian, Risma sudah membuka mata. Sudah dipindah juga ke ruang perawatan. Di sampingnya terbaring ada boks bayi. Seorang bayi munggil menggemaskan berjenis kelamin laki-laki, tengah tertidur dengan antengnya. Cup...Satu kecupan mendarat pada kening perempuan itu dari sang suami."Kamu hebat, Sayang," ucap Riswan, "terima kasih sudah memberiku kebahagiaan ini. Terima kasih atas perjuanganmu melahirkan putra kita. Pokoknya, kata terima kasih saja nggak akan pernah cukup untuk mengungkapkan seberapa banyak rasa itu untukmu.""Apaan, sih, Mas. Aku nggak melakukan hal sehebat itu sampai begitu banyak kata terima kasih yang Mas ucapkan. Apa yang aku lakukan sudah selayaknya yang perempuan lain lakukan. Bukankah sudah kodrat seorang perempuan. Menikah, melahirkan dan merawat anak-anak." Risma tersenyum setelah berkata. Sungguh dia sangat terharu dengan perkataan suaminya. Terbayang kejadian tiga tahun lalu, saat dirinya masih baru menjadi istri Riswan
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw