Happy Reading*****"Mbak, ada bundamu," panggil Rini pada putrinya.Risma sudah berada di antara para orang tua disusul sang suami dan adiknya. Mereka sudah menyelesaikan sarapannya. "Mbak nginep di sini kok nggak bilang-bilang. Ayahmu sampai nengok ke rumah subuh tadi. Dikira kalian di rumah. Eh, nggak tahunya malah di sini. Gimana keadaanmu, Mbak?" tanya Rofikoh setelah sang menantu menyalaminya."Alhamdulillah, Bun. Mbak baik.""Baik apanya. Mood-mu buruk sekali. Hari ini, Yang. Mas jadi sasaran terus dari semalam," adu Riswan. "Emang Mas yang salah. Kenapa nggak mau di salahin, aneh. Gara-gara Mas, aku belum sarapan."Seketika Rini teringat makanan yang diinginkan putrinya dari semalam. Dia pun menepuk kening karena kelalaiannya. "Ini ada makanan," kata dua perempuan yang sangat disayangi Risma."Lho, kok," kata Risma. "Ini pecel rawon pesenanmu dari semalam. Ayah sudah membelikannya lewat online," terang Rini. Risma sudah akan mengambil bungkusan itu, tetapi suara Rofikoh m
Happy Reading*****Fadil semakin bingung apalagi melihat wajah pucat putranya. "Mas, tolong jelaskan. Ada masalah apa sebenarnya.""Mas juga nggak tahu, Yah." Riswan menatap Fadil, lalu berganti pada mertuanya. "Apa maksud Ayah sebenarnya?""Jika bukan Intan yang menceritakan semua. Selamanya, Ayah nggak akan tahu mengapa sejak dulu kalian belum dikarunia momongan. Lalu, sekarang ayahmu selalu menyalahkan Mbak Risma." Lutfi benar-benar geram. Akumulasi dari kekesalannya sejak sebulan lalu, diluapkan saat ini juga. "Apa yang Intan ceritakan, Yah. Mas Riswan dan aku nggak pernah menyembunyikan apa pun. Semua masalah kami sudah terselesaikan saat tabayun keluarga waktu itu." Risma sudah berdiri di antara keluarga dan suaminya. Di dalam kamar setelah selesai sarapan, Riska segera pamit untuk berangkat sekolah. Sebelum mendengar keributan dan perdebatan semakin besar dari para orang dewasa. Mendengar suara keras ayahnya saja sudah membuat jantungnya berlompatan. "Kamu masih mau menutu
Happy Reading*****Ketiga perempuan yang berada di ruang tamu itu mengembuskan napas lega. Kesalahpahaman dua sahabat itu sudah bisa diatasi. Namun, tidak dengan Fadil. Dia masih ada pikiran yang menggajal dalam hatinya. Entahlah, sebuah ketakutan yang tiba-tiba datang ketika memikirkan kista dalam rahim menantunya yang belum hilang dan keadaannya masih tetap sama. Walaupun sudah diobati, tetapi kista itu belum mengecil. Namun, Fadil sudah berjanji tadi. Akan selalu menjaga Risma dan tidak menyakitinya lagi. "Ya, sudah. Kita pamit pulang sekarang," ucap Fadil pada sahabatnya. "Tolong maafkan semua salahku, Lut."Lutfi diam saja, tetapi tetap menyalami Fadil meski, hanya setengah hati. Merangkul sahabatnya itu walau masih sedikit kesal. Sepeninggal keluarga Riswan, tak ada pembicaraan lanjutan tentang masalah yang sempat diperdebatkan tadi. Risma bahkan mengajak suaminya untuk segera pulang. Rasanya, masih tak percaya jika Intan sampai mengungkapkan masalah pernikahannya pada Lutfi
Happy Reading*****Riswan menganga melihat keadaan resto yang disulap persis seperti klub-klub malam. Suara khas musik DJ dengan alunan irama rancak mengundang setiap tamu yang hadir untuk berjoget. Riswan menggelengkan kepala, sepertinya dia telah salah memilih partner kerja. Indadari tak seperti Fatiya, walau penampilannya tertutup sama seperti yang dikenakan saudaranya. Pantas setiap kali menghubungi Riswan, nada suara dan juga obrolannya terkesan sangat manja dan menggoda.Celingak-celinguk Riswan mencari keberadaan perempuan itu. Jika tahu seperti ini konsep acara pembukaan resto, maka dia tak akan menghadirinya. Seorang perempuan yang tengah dikelilingi para lelaki dengan setelan tunik dan celana kulot terlihat. Dari siluetnya, dipastikan bahwa perempuan itu adalah Indadari. Riswan mendekatinya dan mengucap salam. "Hai! Kapan datang, Mas?" tanya Indadari tanpa menjawab salam yang diucapkan Riswan. "Baru saja. Bisa kita ngobrol di tempat lain?" Suara Riswan berpacu dengan k
Happy Reading*****Indadari menyerahkan nampan berisi makanan pada Riswan. Lalu, berjalan pergi meninggalkan lelaki itu dengan senyuman yang tak dapat diartikan. Riswan mengambil nampan makanan itu. Memang benar ucapan Indadari. Sedari tadi perutnya belum terisi apa pun. Niat hati segara datang langsung pada pembukaan resto dan menikmati hidangan di sana buyar, semua akibat konsep yang ditampilkan oleh Indadari. Hotel tempat Riswan menginap tidaklah terlalu besar. Ada kursi tunggu di depan kamarnya yang berada di pojok kiri lantai itu. Riswan memanfaatkannya untuk makan. Malas jika harus membuka kamar yang sudah dikosongkannya tadi.Sepiring nasi dengan sayur sop dan juga sepotong ayam goreng ditambah perkedel kentang terlihat. Riswan menelan ludahnya, sungguh menggugah selera pikir lelaki itu. Tanpa memiliki kecurigaan apa pun, dia langsung melahap makanan tersebut dan menghabiskan tanpa sisa sama sekali. Meneguk jeruk hangat sebagai minumannya. Selang beberapa menit kemudian, Ri
happy Reading*****"Lho, Mbak," teriak Hamdiyah panik. Pasalnya Risma terjatuh ke lantai. "Ya Allah gimana ini."Pikiran perempuan sepuh itu mulai kalut. Dia membuka pintu dan meminta tolong pada tetangga dengan berteriak. Salah satu tetangga yang tinggal tepat di sebelah rumah Risma yang sepertinya baru pulang, berlari menghampiri Hamdiyah. "Ada apa, Bu?" tanya si lelaki dan juga istrinya bersamaan."Tolong, Pak. Mbak Risma pingsan.""Astagfirullah," kaget keduanya. Meraka masuk dan menggotong Risma. Ditidurkan perempuan itu pada sofa di ruang tengah. "Pak Riswan ke mana, Bu?""Beliau lagi keluar kota, Pak. Tadi, Mbak Risma dapat telpon kalau beliau mengalami kecelakaan," terang Hamdiyah. "Astagfirullah," kata istri si tetangga. "Sudah menghubungi keluarga yang lain?""Sudah, Bu. Mereka sudah perjalanan ke mari." Hamdiyah mengoleskan minyak kayu putih pada telapak kaki Risma. Lalu, mendekatkan pada hidung. "Semoga mereka cepat sampai. Saya khawatir sekali dengan keadaan Bu Risma
Happy Reading*****Risma akan duduk, tetapi Lutfi mencegahnya. Lelaki itu membulatkan mata ketika si sulung bersikeras untuk bangun. "Besok kita jenguk Mas Riswan jika kesahatanmu sudah jauh lebih baik," nasihat Lutfi. "Sebentar lagi Mbak dipindahkan ke ruang inap. Pikirkan kandunganmu, Mbak. Di sana sudah ada Ayah Fadil dan bundamu. Percayalah, Mas Riswan pasti baik-baik saja."Risma meneteskan air mata, perkataan ayahnya memang benar. Dia harus menjaga kondisi janinnya. Sesuatu yang harus dilindungi melebihi nyawanya sendiri. Ketika seorang perawat masuk dan mengatakan bahwa Risma akan dipindahkan di ruang inap paviliun. Lutfi dan Rini mengangguk. Sementara Hamdiyah masih setia menunggu mereka di luar. "Bu, bisa minta tolong ambilkan HP-ku," pinta Risma pada Hamdiyah setelah satu jam lebih dia belum bisa menutupkan mata. "Mau apa, Mbak? Ayah Fadil barusan chat mereka belum sampai di rumah sakit tempat Mas Riswan dirawat." Lutfi berusaha mencegah putrinya agar tak mengkhawatirka
Happy Reading*****Setelah menutup panggilan pada mertuanya Risma berpikir keras. Apa maksud dari kata lalai yang dikatakan pada Fadil dan siapa orang yang mengatakannya? Mungkinkah dia polisi atau siapa? Bukankah setiap kecelakaan lalu lintas pasti ada campur tangan polisi. Semakin lama dia berpikir tentang hal itu, semakin kepala berdenyut. "Aahh. Kenapa bisa seperti ini?""Mbak, kenapa?" tanya Hamdiyah kaget dengan teriakan Risma. "Saya lagi bingung, Bu?""Bingung kenapa, Mbak?" tanya suara bas di ambang pintu. "Ayah?""Iya. Kenapa bingung, Mbak?" ulang Lutfi. Di belakangnya ada Rini yang menenteng tas plastik."Barusan Mbak telpon Ayah Fadil dan nggak sengaja mendengar seseorang berbincang dengan beliau. Orang itu ngomong kalau Mas Riswan abai saat berkendara. Apa mungkin Mas Riswan mabuk saat itu, Yah? Atau abai yang dimaksud adalah hal lain?" tanya Risma penuh selidik. "Apa pernah Mas Riswan mabuk-mabukan selama ini?" tanya balim Lutfi. Melihat reaksi putrinya yang menggele
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw