Happy Reading*****Risma akan duduk, tetapi Lutfi mencegahnya. Lelaki itu membulatkan mata ketika si sulung bersikeras untuk bangun. "Besok kita jenguk Mas Riswan jika kesahatanmu sudah jauh lebih baik," nasihat Lutfi. "Sebentar lagi Mbak dipindahkan ke ruang inap. Pikirkan kandunganmu, Mbak. Di sana sudah ada Ayah Fadil dan bundamu. Percayalah, Mas Riswan pasti baik-baik saja."Risma meneteskan air mata, perkataan ayahnya memang benar. Dia harus menjaga kondisi janinnya. Sesuatu yang harus dilindungi melebihi nyawanya sendiri. Ketika seorang perawat masuk dan mengatakan bahwa Risma akan dipindahkan di ruang inap paviliun. Lutfi dan Rini mengangguk. Sementara Hamdiyah masih setia menunggu mereka di luar. "Bu, bisa minta tolong ambilkan HP-ku," pinta Risma pada Hamdiyah setelah satu jam lebih dia belum bisa menutupkan mata. "Mau apa, Mbak? Ayah Fadil barusan chat mereka belum sampai di rumah sakit tempat Mas Riswan dirawat." Lutfi berusaha mencegah putrinya agar tak mengkhawatirka
Happy Reading*****Setelah menutup panggilan pada mertuanya Risma berpikir keras. Apa maksud dari kata lalai yang dikatakan pada Fadil dan siapa orang yang mengatakannya? Mungkinkah dia polisi atau siapa? Bukankah setiap kecelakaan lalu lintas pasti ada campur tangan polisi. Semakin lama dia berpikir tentang hal itu, semakin kepala berdenyut. "Aahh. Kenapa bisa seperti ini?""Mbak, kenapa?" tanya Hamdiyah kaget dengan teriakan Risma. "Saya lagi bingung, Bu?""Bingung kenapa, Mbak?" tanya suara bas di ambang pintu. "Ayah?""Iya. Kenapa bingung, Mbak?" ulang Lutfi. Di belakangnya ada Rini yang menenteng tas plastik."Barusan Mbak telpon Ayah Fadil dan nggak sengaja mendengar seseorang berbincang dengan beliau. Orang itu ngomong kalau Mas Riswan abai saat berkendara. Apa mungkin Mas Riswan mabuk saat itu, Yah? Atau abai yang dimaksud adalah hal lain?" tanya Risma penuh selidik. "Apa pernah Mas Riswan mabuk-mabukan selama ini?" tanya balim Lutfi. Melihat reaksi putrinya yang menggele
Happy Reading*****"Ini siapa?" tanya Indadari dengan suara bergetar ketakutan. "Orang tua lelaki yang akan kamu celakai. Ingat, ya! Kalau sampai ada apa-apa sama Riswan. Maka, nama kamu juga akan terseret," kata Fadil tegas. Makin menciutkan nyali Indadari. "Maksud Anda apa? Saya bisa melaporkan Anda pada pihak berwajib dengan aduan teror dan pengancaman." Walaupun berkata demikian keras, tetapi hatinya sungguh ketakutan. Di seberang sana, suara decakan Fadil terdengar. "Silahkan kalau berani. Besok, ketika Riswan siuman dan bisa memberi pernyataan. Saya akan menyuruhnya membuat pernyataan bahwa kamulah yang telah memcampurkan obat pada Riswan. Kasus kecelakan Riswan sedang diselediki polisi. Kamu harus bertanggung jawab atas semua ini."Setelah mengatakannya, Fadil menutup telepon. Indadari melotot tak percaya. Kekonyolan yang dibuatnya tadi malam akan berakibat panjang. "Oh, Tuhan. Ternyata Mas Riswan mengalami kecelakaan semalam. Bagaimana ini? Jika sampai omongan bapak tadi
Happy Reading*****"Hai, Ris," sapa Davian, "gimana keadaanmu? Aku dengar dari Zikri kamu baru keluar dari rumah sakit? Sorry, ya, nggak bisa jenguk." "Nggak papa, Dav. Seperti yang kamu lihat aku baik-baik saja." Risma melirik perempuan di sebelahnya. Entah mengapa, ada begitu banyak pertanyaan untuknya. Terutama mengenai suaminya, Risma juga ingin sekali mengetahui bagaimana acara pembukaan resto saat itu. Terus terang, kedua orang tuanya tak menyinggung sama sekali atau menceritakan kronologis tentang kecelakaan itu. Lirikan Risma pada perempuan di sebalah sahabatnya terlihat juga oleh Davian. "Sampai lupa mau ngenalin calon istriku," kata Davian, "kenalkan Ris, dia Indadari. Seorang perempuan yang akan mengenapkan separuhku. Insya Allah kami akan bertunangan minggu depan. Jangan lupa datang, ya," pintanya. Risma sedikit terkejut, tetapi segera bisa menguasai diri ketika melihat reaksi biasa saja dari Indadari. Perempuan di sebelah Davian itu tidak tersenyum ataupun mengatakan
Happy Reading*****Indadari membuang muka. Entah mengapa pertanyaan Lutfi terasa menakutkan baginya. Dia memang tidak pernah bercerita pada Davian tentang hal satu itu. Oleh karena memiliki rasa ketertarikan pada Riswan. Cinta, rasanya tidak. Indadari, hanya ingin menggoda saja. Jika suami Risma membalasnya bukankah itu suatu bonus.Namun, alih-alih membalas godaan Indadari. Lelaki itu malah akan menjerumuskan dan memutus sepihak kontrak kerja sama mereka. Hati Indadari mulai resah. "Benarkah, Beb?" tanya Davian pada Indadari. "Berarti kamu sudah kenal sama Risma? Kok, tadi sok nggak kenal." Nada suara lelaki itu mulai naik sedikit. Heran juga apa yang menyebabkan kekasihnya menyembunyikan hal itu. Lutfi berdeham keras. Melirik pada putrinya dengan mengedikkan bahu. Mereka berdua seperti sedang berkata dalam hati masing-masing. Mengapa dan mengapa, Davian baru tahu setelah Lutfi berkata tadi. Indadari terlihat salah tingkah, bola mata bergerak tak tentu, duduknya juga berpindah po
Happy Reading*****Berkali-kali melakukan panggilan pada putrinya. Berkali-kali pulalah panggilan itu diabaikan oleh Risma. Lutfi mulai bingung, pada akhirnya dia memutuskan menelepon besannya dan memberitahukan bahwa kemungkinan Risma menyusul mereka ke Situbondo. Bukan tak tahu kekhawatiran yang terjadi pada ayahnya, Risma sengaja membiarkan. Nanti, saat dirinya telah sampai di rumah sakit dan bertemu dengan suaminya. Barulah Risma akan memberitahukan semua. Hampir pukul empat pagi Risma baru sampai di rumah sakit tempat suaminya dirawat. Dia turun dari taksi online yang ditumpanginya dengan memegang perut. Sedikit kaku karena terlalu lama duduk. Pinggangnya juga terasa sangat sakit sekali. "Maaf, Bu. Jam besuk belum waktunya. Bisa kembali nanti jam delapan nanti," kata Satpam yang berjaga. "Tapi, Pak. Saya jauh-jauh ke sini mau jenguk suami. Kalau saya harus balik, rasanya nggak mungkin apalagi harus menunggu sampai jam besuk," jawab Risma, "aduh. Kenapa perutku sakit sekali."
Happy Reading*****Fadil, hanya bisa menggelengkan kepala mendengar perkataan istrinya. "Jadi, Dik Risma sudah di sini?" tanya Riswan. Dia segera menaikkan tombol ranjang agar bisa berbaring dengan keadaan setengah duduk. Setelah itu dia mencoba berdiri. "Mas harus melihat keadaannya.""Tunggu!" peringat Fadil, "Mas nggak boleh turun dari ranjang. Keadaanmu masih sangat lemah. Mbak Risma nggak papa, keadaannya baik-baik saja. Cuma sedikit kelelahan karena perjalanan panjang yang dilakukannya semalam. Nanti, setelah agak mendingan. Ayah janji akan membawanya menemuimu." Terpaksa lelaki itu berbohong demi kebaikan. "Jadi, di mana dia sekarang, Yah?" selidik Riswan. "Di rawat di ruang sebelahmu. Selisih satu kamar saja dari sini. Setelah sarapan dan minum vitamin, dia tertidur, makanya Ayah tinggal lihat keadaanmu, Mas." Fadil duduk dan mengambil makanan yang sudah disiapkan oleh istrinya. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Selama berada di rumah sakit, dia sudah berpesan pada p
Happy Reading*****"Kenapa baru menjenguk sekarang?" tanya Riswan pada perempuan yang kini berdiri dengan wajah menunduk. Wajahnya tak terlihat semringah dan glowing seperti biasa. Cenderung pucat dan kusam. "Maafkan saya, Mas. Sungguh, semua yang terjadi karena ulah keisengan saja. Saya bener-bener menyesal." Wajah perempuan itu makin menunduk, tanda penyesalan begitu dalam. "Iseng? Maksudmu apa?" tanya Risma bingung. Seperti potongan puzzle yang tak lengkap, dia merasa ada sesuatu yang terjadi dan disembunyikan. Entahlah, perasaan Risma tiba-tiba gelisah. "Tenanglah, Mbak. Nggak ada apa-apa. Cuma masalah pekerjaan saja," sahut Rofikoh. Mencoba mengalihkan pikiran negatif menantunya. "Kok seperti nggak mungkin kalau cuma tentang kerjaan. Kemarin, saat kami bertemu. Ayah juga sempat mengatakan sesuatu, seolah dia sudah melakukan suatu kejahatan. Sekarang, kalian juga mengatakan hal yang menimbulkan pertanyaan. Gimana aku nggak khawatir."Fadil mengedipkan mata pada Riswan dan Rof
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw