Happy Reading*****"Bunda ngapain coba berdiri di depan kamar Mas Riswan," tanya Fadil ketika dia akan melangkah ke kamar. Letak kamar mereka yang berada di lantai dua dan harus melewati depan ruangan berpintu yang sedang digunakan Riswan, membuat lelaki paruh baya itu heran dengan sikap sang istri. Rofikoh seperti sedang menguping, tetapi ekspresi wajahnya sungguh menggemaskan bagi Fadil. "Ayah denger suara itu, nggak?" tanya Rofikoh dengan kepala agak condong ke pintu kamar putranya. Memberi kode sang suami untuk mendengarkan suara-suara aneh dari dalam. "Ck. Ngapain Bunda dengarin suara-suara khas seperti itu. Kayak nggak pernah ngerasain saja. Ayo ke kamar, nanti kita buat sendiri suara yang sama seperti mereka bahkan lebih dahsyat lagi," bisik Fadil. Tangannya sudah menyeret pelan tangan Rofikoh agar segera mengikuti. Sepertinya, lelaki itu lupa dengan umur mendengar suara putra dan menantunya. Baru tersadar setelah beberapa langkah, perempuan itu mendelik sebal pada sang sua
Happy Reading*****"Apa perlu Ayah rekam suara kenikamatan kalian," goda Fadil setelah sempat mendelik pada sang putra yang tak mempercayai perkataannya tadi. "Sudahlah lupakan. Ayo cepet jalannya. Bunda sama Mbak Risma pasti sudah nunggu buat makan malam," ajak Fadil. Selain istrinya yang menunggu, perutnya juga sudah memanggil-manggil minta diisi. Riswan masih berpikir dan mencoba mengingat-ingat kejadian dan kegiatannya tadi bersama istrinya. Mengingat desahan-desahan Risma tadi malah membuat lelaki itu ingin segera sampai rumah dan mengulang lagi kegiatan panas mereka. "Ayo, Yah. Mas juga sudah lapar banget," ajak Riswan. Lapar ingin segera menerkam sang istri maksudnya. Lelaki itu tersenyum sendiri mengingat semua pikirannya.Rofikoh membuka pintu dengan senyuman ketika sang suami menyodorkan tangan. "Kenapa lama sekali?""Masak lama, Bun?" Fadil mencium kening sang istri.Sama seperti yang dilakukan ayahnya, Riswan pun juga melakukannya. Mencium kening Risma setelah perempuan
Happy Reading*****"Kenapa selalu apes, sih?" bisik Riswan pada istrinya. Dia melirik lelaki yang berdiri di ambang pintu kamar. Bukan ayah atau bundanya, tetapi Ayah mertuanya yang berdeham tadi. Wajah serius tampak sekali menghiasi lelaki yang sudah menjaga Risma selama ini, sebelum menikah dengan Riswan. "Kalian mau mesra-mesraan terus apa gimana? Kalau masih lama berangkatnya, Ayah mau pulang saja. Toko nggak ada yang jaga. Kasihan ibumu sendirian." Suara itu terdengar menakutkan bagi Riswan. Tanpa mendengarkan perkataan menantunya, Lutfi berbalik arah dan akan melangkah pergi. Namun, suara Risma menghentikan."Bentar lagi kami berangkat, Yah. Beres-beres barang bawaan sudah selesai. Maaf sudah buat Ayah menunggu," kata Risma penuh permohonan. "Ya, sudah. Ayah tunggu di ruang tamu." Lutfi melirik menantunya. Ada senyum yang sengaja tak dia tampakkan. Segala sesuatu telah siap, pasangan itu berpamitan pada keluarganya. Walau Risma tak pergi jauh, tapi rasa sedih perpisahan den
Happy Reading*****"Nggak mau lari-lari. Capek, ih," balas Risma dengan teriakan juga. "Ayo, dong. Jangan malas gitu, Yang." Riswan berlari mundur sambil terus menatap sang istri. "Nggak mau denger jawaban pertanyaanmu tadi?"Mengerucutkan bibir, Risma akhirnya berdiri juga dan mulai berlari mengejar suaminya menyusuri pantai. Pasir berwarna putih yang diterpa kilau senja membuat tampilannya semakin memukau. Risma mengucap kagum atas ciptaan Allah. "Jangan kenceng-kenceng, Mas. Aku nggak kuat lari." Suara Risma berpacu dengan deburan ombak yang mengenai pasir di kakinya. "Ish." Riswan memperlambat larinya. "Pantesan Zikri manggil kamu, Ndut. Ternyata istriku memang gendut dan nggak kuat lari," ejeknya. "Aku nggak gendut," kata Risma marah disetai hentakan kaki yang cukup keras. "Jangan ngatain sembarangan, dong.""Kalau gitu, ayo kejar."Seperti anak remaja yang sedang di mabuk cinta. Pasangan suami istri itu kejar-kejaran di tepi pantai dengan latar belakang senja. Sebagian nela
Happy Reading*****Riswan duduk termenung di salah satu sofa ruang tengah tempat menonton televisi. Setelah salat magrib dilanjutkan isya, dia mengetuk pintu kamar istrinya, tetapi tidak dibukakan. Lelaki itu pasrah Jika malam ini, dia harus tidur di sofa. Ponsel yang memang tergeletak di meja diraihnya. Cepat, Riswan mengetikkan chat pada si istri. Mulai lelah merayu dengan kata-kata. [Yang, laper. Makan, yuk. Kita makan malam romantis di kafe. Oke?] tulisnya pada sang istri.[Makan saja sendiri, aku nggak lapar. Lagian makan malam itu bisa buat gendut.]Melihat balasan istrinya, Riswan menepuk kening. Harus dengan cara apalagi, dia mencairkan kemarahan sang Risma. Akhirnya, dia melangkah kembali ke kamar. Mencoba sekali lagi mencairkan kemarahan istrinya. "Yang, bukain, dong. Mas, mau ganti baju, lho. Masak tidur peke kemeja. Kan, gerah," pinta Riswan lirih. "Pake itu ajalah. Nggak usah manja," kata Risma keras dari dalam. "Yang, kok gitu. Kita ke sini niatnya mau bulan madu.
Happy Reading*****Suara deburan ombak serta azan yang berkumandang mengusik tidur Risma. Meraba-raba sisi disebelahnya, tak juga ditemukan keberadaan sang suami. Risma membuka mata dan mengedarkan pandangan. Riswan masih belum ditemukan, tetapi suara gemericik air dari kamar mandi menandakan bahwa sang suami tengah berada di dalam. "Mas, kamu di dalam?" kata Risma disertai ketukan pada pintu. "Iya. Bentar lagi selesai, kok.""Ya, sudah. Agak cepet dikit."Tubuh Risma yang hanya ditutupi oleh selimut membuat Riswan tersenyum ketika baru membuka pintu kamar mandi. "Kenapa masih belum pakai baju? Masih pengen lagi?" goda si lelaki."Apaan sih, Mas." Risma berdiri dan segera masuk ke kamar mandi. Namun, alangkah terkejutnya perempuan itu ketika salah satu ujung selimut yang menyapu lantai sengaja diinjak oleh Riswan. Kain tebal itupun terlepas dan menampilkan tubuh polos Risma tanpa selembar benang pun yang menutupi. Riswan membekap mulut, menahan tawa karena muka cemberut sang ist
Happy Reading*****"Boleh, nanti pasti saya kasih," kata Riswan. Berusaha membuang rasa curiga di antara orang sekitar yang menatap aneh Indadari. Mungkin, mereka beranggapan bahwa Indadari terlalu berani dengan meminta langsung nomor ponselnya di depan banyak orang. Padahal wajar saja, keduanya sedang menjalin hubungan bisnis. Memiliki nomor ponsel masing-masing tak masalah. Selesai menjelaskan segala macam tentang usahanya dan juga pembagian laba serta apa-apa yang menjadi kewajiban Indadari, Riswan mengakhiri perkataannya. "Kalau kamu sudah setuju dan mengerti dengan kerja sama yang akan kita lakukan. Selesai makan siang nanti, saya bisa langsung meninjau lokasi yang akan digunakan untuk warung." Riswan menambahkan. Namun, perempuan yang diajaknya bicara malah bengong. Entah sedang memikirkan apa. Sampai Fatiya harus mencolek lengan sepupunya itu untuk mengembalikan kesadarannya. "Eh, iya. Apa?" tanya Indadari kebingungan."Riswan tanya. Apa kita bisa langsung lihat lokasimu?
Happy Reading*****"Terserah saja, dah," balas Fatiya, "mau pulang atau nginep di sini saja? Aku mau pulang sudah sore, kerjaan kita juga sudah selesai.""Pulang, dong. Aku juga mau lanjut pacaran sama istriku mumpung malam minggu. Nikmati kencan halal. Enak kali, ya, Yang?" Mencolek dagu istrinya, gemas."Malu-maluin aja, Mas. Udah lama nikah masak masih mau pacaran," balas Risma. "Ya, kan kita belum pernah pacaran, Yang."Panggilan dari Rusli memutus perdebatan mereka. "Suamimu sudah nggak sabar tuh," kata Riswan. *****Sesampainya di rumah sewaan, Riswan mulai menyusun rencana kencan mereka. Diam-diam lelaki itu sudah memesan tempat makan malam romantis melalui telepon di kafe seberang jalan yang tak jauh dari rumah mereka. "Sudah siap, Yang?" tanya Riswan setelah cukup lama menunggu sang istri yang katanya berdandan."Bentar dong, Mas. Nggak sabaran banget. Kencan pertama kan harus terlihat sempurna. Biar pacarnya makin sayang," teriak Risma dari dalam kamar. Riswan cuma ter
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw