Happy Reading*****"Ngapain, Yang?" tanya Riswan menatap aneh pada istrinya. Risma tersenyum kaku, kedapatan menguping obrolan mertuanya. "Mau pamit sama Bunda, tapi kayaknya beliau lagi ngobrol serius," jawab Risma. "Harusnya panggil saja. Bunda nggak bakalan keberatan,kok." Riswan mencoba mengetuk pintu. "Nda, kami mau berangkat," katanya. "Iya, Mas. Bentar," sahutnya daru dalam kamar. Pintu terbuka, menampilkan wajah sedih Rofikoh. Sementara di belakangnya, Fadil duduk di tepi kasur dengan menunduk. Masih terlihat jelas oleh Riswan sisa-sisa kekesalan mereka. "Doakan kista Dik Risma mengecil," pinta Riswan dan dilanjut dengan Risma yang menyalami tangan mertuanya. Risma melirik pada ayah mertuanya yang nyaris tanpa reaksi seperti biasanya ketika mereka berpamitan. Aneh saja, lelaki yang biasanya selalu peduli kini berubah cuek terhadapnya. "Amin. Kalian hati-hati, ya." Rofikoh berpaling dan menyeka sedikit air mata yang mulai turun. Berusaha menyembunyikan kesedihannya dari
Happy Reading*****Risma dan Riswan saling pandang. "Ada apa sampai Bunda berkata demikian keras?" tanya Risma. "Nggak tahu, Yang. Ayo masuk dan tanyakan sama mereka."Risma segera mencekal pergelangan tangan suaminya dan menggelengkan kepala. "Sebaiknya kita jangan masuk dulu, Mas. Bunda sama Ayah sedang bertengkar kayaknya. Biarkan beliau meredakan emosi terlebih dahulu.""Tapi, Yang. Mas pengen tahu kenapa mereka sampai bertengkar. Selama Mas tinggal bersama mereka nggak pernah lho seperti ini." Mau tak mau Riswan menghentikan langkahnya. Diam mematung dan menatap sang istri. Risma menarik tangan suaminya. "Duduk di sini dulu," ajaknya, "aku tetep nggak mau Mas nanyain masalah pertengkaran mereka. Ingat, kita akan tetap dianggap seorang anak kecil bagi mereka yang nggak boleh mencampuri urusan orang tua. Lebih baik kita diam dulu, jika kemarahan mereka sudah mereda. Mas ngobrol sama Bunda, minta penjelasan apa yang sebenarnya terjadi. Menurutku sih itu lebih ngena. Kita jadi ta
Happy Reading*****"Bisanya nyusahin saja," kata Fadil dan langsung melenggang pergi. Menutup pintu dengan keras seperti orang sedang menahan amarah. Air mata Risma tak terasa meleleh. 'Kenapa dengan Ayah? Mengapa dia bisa berkata sekasar itu? Apa salahku sebenarnya? Mengapa tak langsung berkata saja jika memang aku ada salah?' Segala macam pertanyaan itu menari-nari di atas kepala Risma. Di luar kamar, Rofikoh mulai panik. Panggilan pada dokter Irma belum juga terangkat. Beberapa kali mencoba, tetapi selalu gagal. Rofikoh memutuskan untuk menelepon putranya. Riswan harus tahu keadaan istrinya saat ini. Dering ketiga, panggilan perempuan itu sudah terangkat. Tak perlu berlama-lama, setelah mengucap salam, Rofikoh segera mengatakan makusdnya. "Ya, Nda? Kenapa nadanya panik gitu? Apa ada masalah?" kata Riswan di seberang sana. "Mas, kamu sudah sampai warung belum?" Suara perempuan itu terdengar bergetar. Sedikit mengusap peluh yang mulai turun membanjiri wajah. "Baru di halaman,
Happy Reading*****Riswan dan Rofikoh menjerit ketika melihat tubuh Risma terjatuh ke lantai. "Mas, bawa Mbak Risma ke rumah sakit. Bunda nggak mau terjadi apa-apa," kata Rofikoh memerintah putranya. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama Mbak Risma, Bunda nggak bakalan maafin Ayah. Teganya kamu, Yah." Matanya melotot ke arah Fadil. Lelaki paruh baya itu cuek saja. Dia malah berjalan ke kamarnya tak peduli pada istri dan anaknya yang sedang khawatir dengan keadaan menantunya. Riswan yang melihat kelakuan orang tua lelakinya, hanya bisa menggelengkan kepala.Namun, dalam hati dia juga bertanya-tanya apa gerangan yang membuat Fadil begitu cepat berubah.*****Tergopoh, Riswan memanggil para perawat ketika mobilnya sampai di depan ICU. Sementara Risma masih bersama Rofikoh di dalam mobil. Perempuan itu masih tak sadarkan diri walau mertuanya terus memanggil dan membaui dengan aroma minyak kayu putih di dekat hidungnya. Sebentar saja, tim medis sudah beradi di depan pintu mobil Riswan den
Happy Reading*****"Assalamualaikum," salam seseorang berbaju rapi dengan kemeja warna cokelat muda. "Waalaikumussalam," jawab Fadil. Se ketika wajah lelaki itu semringah. "Kenalkan, dia istriku," katanya sementara pada Riswan dan Risma dia diam saja. Merasa kehadirannya tak dianggap oleh ayahnya, Riswan merangkul istrinya masuk. Sementara Rofikoh mau tak mau menyalami lelaki yang tak tahu siapa dan memiliki hubungan apa dengan suaminya. "Kemasi barang-barang kita, Yang," pinta Riswan ketika mereka sudah berada dalam kamar."Mas beneran mau balik lagi ke rumah kita? Gimana sama Bunda?""Bunda pasti ngerti. Mas, nggak mau kamu terus berpikir yang enggak-enggak gara-gara ulah Ayah," kata Riswan, "kamu nggak lihat tadi? Beliau sama sekali nggak mau mengenalkan kita sama orang itu. Apa maksudnya coba? Adanya kita dianggap nggak ada sama Ayah. Heran, Mas. Kenapa beliau bisa berubah secepat itu?" Tangan lelaki itu masih saja sibuk memasukkan pakaiannya dalam koper. "Mas, jangan suuzon.
Happy Reading*****"Jadi, maksud Mbak. Mas Riswan itu sudah menikah?" tanya Dania tak percaya. "Pa, apa-apaan ini? Kenapa kamu akan menjodohkan Restu dengan pria yang sudah menikah?" Dania menepuk kening. Hilang sudah harapannya untuk menikahkan Restu dengan seorang pengusaha seperti yang diceritakan suaminya. Sama seperti mamanya, Restu juga tampak terkejut. Namun, dia bisa apa. Jika tak menuruti keinginan papanya, maka hidupnya akan semakin dalam kesulitan. "Tenanglah, Ma," bujuk Fauzi."Gimana bisa tenang. Kita akan menyerahkan putri kita pada lelaki yang sudah beristri. Gimana pandangan masyarakat nanti? Ya Allah, pasti kita di cap keluarga nggak bener. Nggak bisa didik anak." Suara Dania bergetar seperti akan menangis. "Bun, kenapa kamu merusak semuanya?" kata Fadil. "Merusak bagaimana?""Ayah itu sudah hilang akal atau gimana, sih? Mbak Risma itu sudah akan mewujudkan semua harapan kita."Dua keluarga itu saling berdebat dengan pasangan masing-masing. Tanpa diketahui bahwa
Happy Reading*****Untuk sesaat Rofikoh terdiam. Namun detik berikutnya, dia tersadar. Melihat marah pada suaminya yang membawa tasnya ke kamar. "Mau Ayah apa, sih?" teriak Rofikoh keras. "Tunggu di sana! Kita sama-sama jemput anak-anak." Diam, tak ada jawaban lagi. Namun, hati perempuan itu masih ada sedikit kecewa pada suaminya. Gara-gara dialah Riswan meninggalkan rumahnya. Padahal susah payah Rofikoh sudah menyembunyikan ketidak sukaan Fadil pada Risma. Hanya karena kurang sabar, perempuan itu harus berpisah lagi dengan putranya. Sambil menunggu Fadil keluar kamar, Rofikoh berjalan ke arah dapur. "Mbok, kami mau ke rumah Mas Riswan. Tolong jaga rumah, kayaknya nggak usah masak buat makan malam. Mungkin kita akan makan di luar," titah Rofikoh pada sang asisten rumah tangga. "Saya sudah siapin, lho, Bu.""Nggak papa, taruh aja di kulkas. Saya nggak tahu berapa lama perginya. Pasti akan sangat sulit meyakinkan Mas Riswan untuk kembali lagi ke rumah ini." Seperti menahan beban
Happy Reading*****"Kamu?" tanya Fadil disertai delikan. "Kurang ajar sekali kata-katamu, Mas. Kenapa kamu berubah durhaka?""Mas nggak durhaka, Yah. Apa yang Mas sampaikan tadi memang kenyataan.""Sudahlah," teriak Rofikoh tak mau kedua lelakinya berdebat lagi. Dia tidak mau Riswan semakin kasar dan tidak menjaga perkataannya pada sang Ayah hingga nanti di cap sebagai anak durhaka."Sabar, Mas. Nggak boleh ngomong kayak gitu sama Ayah. Adanya Mas di dunia ini lantaran Ayah juga, kan?" bisik Risma disertai usapan lembut pada lengan Riswan. "Mas cuma nggak mau kalau kamu sampai disakiti lagi oleh Ayah," balas Riswan. Dia kemudian menatap kedua orang tuanya. "Jika memang Ayah masih sayang sama Mas. Maka, biarkan Mas menemani Risma sampai dia melahirkan nanti. Untuk Bunda, njenengan masih bisa nengok kami di sini, kok. Walau kami sudah nggak tinggal di rumah sana."Keputusan Riswan rasanya tidak akan bisa dibelokkan lagi. Dia tetap kukuh pada pemikirannya. Entahlah, mungkin sifat yang
Happy Reading*****Pagi-pagi sekali, selesai salat subuh, Risma sudah disibukkan dengan antusias anak-anaknya agar dia dan Riswan bersiap-siap. Selesai sarapan Fattah dan Hirawan mengantar orang tuanya ke bandara."Pokoknya Papa sama Mama kudu seneng-seneng di sana. Nggak usah mikirin apa pun. Mas sama adik yang akan mengurus semua pekerjaan Papa selama liburan. Manfaatkan waktu seminggu buat berduaan dan happy-happy," kata Fattah meyakinkan kedua orang tuanya. "Bener kata Mas Fattah. Setelah liburan satu minggu, baru mikir lagi tentang rencana pernikahan," Hirawan menambahkan perkataan saudaranya. Kedua pasangan itu cuma tersenyum menanggapi semua perkataan putra-putranya. Tak bermaksud menjawab ataupun membantah apa yang meraka katakan. Sampai masuk bandara dan para pengantar tidak bisa masuk lagi. Sebelum berpisah dengan kedua orang tuanya, Hirawan membisikkan sesuatu pada Risma. "Ma, jangan lupa pesen Adik semalam. Pulang-pulang harus ada kabar baik bahwa Awan bakalan punya adi
Happy Reading*****Mengendari kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata. Wajah Fadil membayangi pikiran Riswan. Tak sampai sepuluh menit, mereka sudah berada di depan gerbang. Suara klakson dibunyikan agar keluarganya tahu bahwa dia sudah tiba saat ini. Namun, suasana rumah sangat sepi dan sunyi, hanya ada mobil Fattah.Risma turun dengan kaki gemetaran, takut sesuatu yang buruk terjadi. Apalagi melihat mobil si bungsu tidak terparkir di halaman. Lampu ruang tamu sudah padam. Mungkinkah mereka sedang pergi dengan mengendarai mobil Hirawan. Risma menoleh pada suaminya. "Pa, rumah sepi. Apa yang terjadi pada Ayah?" "Masuk, saja." Tanpa mengetuk, Riswan memutar knop pintu, dengan mudah dia membukanya karena memang tidak terkunci. "Happy anniversary, Mama, Papa," teriak Fattah, Hirawan, dan menantu mereka. Riswan dan Risma saling pandang. Keduanya maju dan memukul lengan anak-anak mereka. Tak luput juga Rosma dan Senja yang memegang kue bertuliskan selamat ulang tahun pernikahan.
Happy Reading*****Pulang dari rumah keluarga besannya, Riswan membelokkan kendaraan ke arah lain. Sang istri rupanya belum menyadari hingga sampai di persimpangan yang cukup jauh dari rumah mereka. "Lho, Pa, kita mau ke mana?" tanya Risma sedikit heran saat suaminya berbelok ke sebuah restoran tempat anak-anak remaja nongkrong. Restoran modern yang sedang viral di sosial media. "Papa lapar, Ma. Boleh, dong, mampir sebentar dan ngicipi makanan yang lagi viral saat ini. Turun, yuk," ajak Riswan. Lelaki itu sengaja membantu sang istri untuk membukakan sabuk pengaman yang dikenakan. "Kok lapar lagi, Pa? Kan, tadi sudah makan di rumah Mbak Iklima," tanya Risma heran. "Ya, gimana. Emang masih lapar. Ah, Mama kayak nggak tahu napsu makan Papa akhir-akhir ini." Riswan turun terlebih dahulu, lalu membukakan pintu untuk istrinya. Hati Risma kembali menghangat. Sudah puluhan tahun berlalu, tetapi sikap suaminya masih saja seperti ini. Janji di awal penikahan untuk tetap setia dan mencinta
Happy Reading*****Hilmi mengikuti mobil Dara dengan motornya. Hari ini, jadwalnya memang kosong. Kuliahnya tinggal menunggu sidang skripsi dan kerjaannya lagi libur, jadi ada banyak waktu untuk mengunjungi calon mertuanya. Hilmi sedikit tegang saat berkendara. Pikirannya berputar apa yang akan dikatakan oleh orang tua sambung Dara. Mungkinkah akan menolak lamaran atau bahkan lamarannya akan diterima. Namun, opsi pertama lebih dipilih oleh lelaki itu. Pasalnya, sejak lamarannya saat itu tak sekalipun Dara menghubungi. Hirawan dan Rosma yang sering ditanya pun tak pernah memberikan jawaban yang memuaskan. Bukan sekali ini, Hilmi bertemu Dara di tempat kajian. Sering bertemu, tetapi sikap perempuan itu selalu cuek dan terkesan menjauh. Lima belas menit kemudian, Dara menghentikan kendaraannya. Membuka pintu pagar serta memberi kode agara Hilmi mengikutinya masuk. Dia juga meminta Hilmi duduk menunggu di ruang tamu. "Assalamualaikum. Yah," panggil Dara pada orang tuanya."Waalaikum
Happy Reading*****"Kak, tenang dulu," kata Farel. Dia menatap Hilmi. "Sekarang katakan pada Om. Mengapa kamu sampai kepikiran buat melamar Dara. Bukankah kamu tahu keadaan putri Om akhir-akhir ini? Nggak ada yang baik dalam dirinya. Apa kamu nggak akan menyesal nantinya, Hil?"Hirawan, Rosma dan juga Iklima masih diam. Mereka juga ingin tahu apa alasan Hilmi sampai ingi melamar Dara. Padahal jelas-jelas dia tahu bahwa gadis itu tidak suci lagi. "Bismillah," ucap Hilmi, "saya, hanya ingin membina rumah tangga yang sesuai dengan tuntunan syariat, Om. Nggak ada niat lain kecuali ingin mencari keridaan Allah dalam rumah tangga yang akan dibina. Tentang masa lalu Dara, saya tahu betul dan keluarga nggak keberatam untuk menerima kehadiran Dara sebagai calon istri. Bukankah semua orang pasti punya masa lalu. Entah itu buruk ataupun baik. Manusia juga nggak ada yang sempurna. Memang tempatnya salah dan lupa. Hilmi yakin Dara sudah menyadari semua kesalahannya dan bukankah sekarang dia suda
Happy Reading*****"Kok, Mas malah senyum. Ada yang lucu, ish," tanya Rosma mulai sedikit marah, "Adik bingung, situ malah senyum. Nggak jelas banget."Hirawan mendekatkan wajah pada istrinya. Lalu, mencolek gadu dan berkata. "Adik nggak ngeh sama kode yang dilempar Ayah? Kayaknya Mas Hilmi sudah ngasih tahu Ayah tentang niatnya. Kalau nggak, mana mungkin Ayah berkata gitu."Perempuan itu memainkan bola matanya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Kayaknya, Mas bener, deh. Kalau Mas Hilmi belum ngasih tahu. Mana mungkin Ayah langsung paham saat Adik bilang tentang dia. Ih, masku pinter banget." Satu kecupan mampir di pipi Hirawan membuat lelaki itu membalasnya dengan ciuman di bibir sang istri. "Kalau nggak pinter mana mau Dokter Farel menerima lamaranku ini," kata Hirawan mulai jumawa. "Mulai dah sombongnya.""Bukan sombong, tapi emang kenyataan.""Ayo cepet sarapannya. Nanti telat ke kampus." "Siap, Bos," kata Hirawan disertai hormat. Keduanya tertawa. Pagi yang sungguh menyena
Happy Reading*****"Kok, bisa nyusul ke sini, Pa?" tanya Hirawan pada Riswan, tetapi matanya malah menatap Rosma. "Bisalah. Apa sih yang nggak bisa dilakuin buat mantu kesayangan Papa," sahut Risma setengah menggoda putranya. Bukan berarti dia tidak bersedih dengan kematian bayi Dara, tetapi lebih kepada memberikan sedikit hiburan pada dua lelaki yang wajahnya terlihat sedih dan sangat lelah. "Hmm, ternyata anak ayah udah kangen sama suaminya. Baru juga nggak ketemu sehari kemarin," tambah Farel. Dia memeluk sahabatnya itu dan menyalami Risma serta Fattah. "Bukan gitu, Yah. Adik kepikiran sama Kak Dara, makanya minta Papa sama Mama buat nganter ke sini," jelas Rosma merasa tak enak hati. Tak ingin semua orang salah paham dengan kehadirannya sekarang. "Beliau semua bercanda, Yang. Nggak perlu diambil serius gitu," kata Hirawan. Segera menarik sang istri dalam pelukan dan menciumi wajah serta keningnya. "Banyak orang, woy," teriak Fattah tak terima jika pasangan muda itu berbuat d
Happy Reading*****Hirawan segera membangunkan ayahnya."Ada apa, Mas?""Kak Dara lari, Yah.""Astagfirullah. Lari ke mana?" Farel berdiri dan langsung mencari putrinya. "Ke arah mana dia tadi pergi?""Kanan, Yah." Hirawan mulai panik. Pergerakan Dara sungguh cepat. Mereka berdua berpisah di persimpangan lorong. Hirawan sudah hampir mencapai pintu keluar khusus tamu pengunjung. Keadaan larut malam dan sepi membuatnya mudah mengenali sosok Dara yang hampir mencapai gerbang. "Kakak," panggil Hirawan, Dara menoleh. Namun, perempuan itu malah sengaja mempercepat langkah. Tak mau terjadi apa-apa dengan kakak iparnya, Hirawan berlari dan menarik pergelangan tangan Dara. Si perempuan mendelik sebal. "Lepas, Wan. Kakak mau nyari orang yang sudah nabrak tadi. Kakak bakalan tuntut dia karena sudah membunuh anakku," teriak Dara di tengah sepinya malam. "Kak, jangan seperti ini. Kasusnya sudah ditangani pihak berwenang. Kakak nggak boleh main hakim sendiri," peringat Hirawan. Dia masih meme
Happy Reading*****Risma mendelik mendengar cerita Iklima. Sedikit berteriak ketika memanggil Hirawan. Suami Rosma itu pun setengah berlari mendekati mamanya. "Ada apa, Ma?""Cepatan ambil perlengkapanmu dan segera temani ayahmu, Dik," kata Risma panik. Tanpa bertanya, Hirawan berbalik arah dan segera mengambil perlengkapannya di kamar. "Ada apa sebenarnya, Ma?" tanya Riswan pada sahabatnya, Iklima. "Dara, Wan. Sekali lagi, aku teledor menjaga anak itu," kata Farel menjawab pertanyaan besannya karena sang istri masih sesenggukan. Riswan mengembuskan napas panjang. Dia merangkul sahabatnya. "Tenangkan Dirimu, Rel. Kamu akan menempuh perjalanan panjang."Beberapa menit kemudian, Hirawan muncul di depan kedua orang tua dan mertuanya. "Ayo, Yah. Kita berangkat sekarang."Tanpa bertanya ada masalah apa, sang menantu mengajak mertuanya pergi. Riswan dan Risma menganggukkan kepala, tanda mereka setuju. Demikiam juga Rofikoh dan Fadil yang baru saja bergabung. Setelah bersalaman, Hiraw