Untuk beberapa hari, aku tidak bisa keluar dari kamar yang kutempati ini. Meski tidak kekurangan apa pun, karena segala kebutuhanku sudah terpenuhi termasuk pakaian. Pun seorang dokter datang memeriksa kondisi luka jahitan bekas operasi di perutku.Kamar dengan nuansa putih ini terlihat mewah jika dibandingkan dengan kamar utama rumah Mas Arga yang bukan apa-apanya. Sebenarnya diriku heran, pria itu menculik namun tidak mencelakakanku sama sekali. Dia hanya mengurungku di kamar ini. Sebenarnya apa maksud pria tersebut dan rencananya?Siang ini, lelaki dingin itu mengizinkanku untuk keluar kamar. Dia menyuruh seorang wanita setengah paruh baya memanggilku dengan diikuti para bodyguard. Bi Ninung, nama wanita tersebut. Aku tahu saat kami berkenalan. Katanya tuan mereka memanggilku untuk menemuinya di ruang kerja. Entah apa yang direncanakan lelaki dingin itu. Aku tidak bisa melawan hanya mengikuti segala perintahnya.Ketika sampai di ruangan kerja, dapat kulihat pria tersebut sedang dud
Sudah berhari-hari Arum diculik seseorang. Bahkan, aku sudah melaporkan kejadian ini ke kantor polisi. Aku dan Bi Surmi menjadi saksi kasus penculikan ini. Kukatakan juga kepada pihak berwajib kalau sebelumnya telah mencurigai seseorang. Polisi langsung memeriksa semua tempat yang sekiranya bisa mendapatkan barang bukti. Berharap akan memecahkan kasus ini dan Arum bisa segera ditemukan. Setidaknya ada jejak penculik yang tertinggal. Termasuk kamera CCTV yang ada di Rumah Sakit ini.Dapat kami lihat ada seseorang yang membawa Arum menggunakan kursi roda. Terdapat seorang wanita yang berpakaian suster dan pria yang mengenakan jas snelli khas dokter, mendorong kursi roda yang diduduki Arum di koridor. Tepat setelah keluar dari kamar rawat yang ditempati Arum.Kebetulan di kamar pasien ini tidak dilengkapi kamera CCTV karena alasan privasi. Apalagi sebelumnya tidak pernah ada kasus penculikan seperti ini. Membuat pihak Rumah Sakit membantu menjadi saksi sebagai rasa tanggung jawab mereka
Aku pun sudah berhenti jadi dokter di Rumah Sakit. Mama dan Papa membeli sebuah klinik untuk kukelola. Jadwal praktikku pun tidak sepadat dulu. Aku hanya mengambil waktu beberapa jam sebelum giliran dengan dokter baru yang ikut di bekerja bersamaku. Itu semua kulakukan selain untuk mengelola sendiri restoran yang kurintis. Pun agar lebih leluasa untuk mencari keberadaan Arum.Siang ini di restoran milikku, suara panggilan di ponsel terdengar memekakkan telinga. Terdapat nama Ibnu yang ada di layar gawaiku tersebut. Mungkinkah dia ada informasi terbaru mengenai Arum?Kuangkat telepon darinya dan memberi salam lalu mencecarnya dengan pertanyaan.“Gimana, NU? Ada kabar terbaru tentang Arum?” tanyaku tidak sabar.“Gue punya sesuatu yang pasti buat Lo enggak percaya. Gue punya bukti kalau pelaku penabrakan Arum dulu itu Andra,” ucapnya dengan menggebu.Aku tidak terkejut, mungkin saja memang bersekongkol dengan Erika. Darahku mendidih kala mendengarnya. Pria itu sudah membuat putraku meni
Aku melangkah dengan pelan, mengetuk pintu serta mengucapkan salam. Dada ini membuncah melihat Arum baik-baik saja. Inginku bawa dia ke dalam pelukan. Hanya untuk mengatakan kalau diri ini teramat merindukannya. Namun, itu mustahil sekarang. Arum bukan siapa-siapaku lagi. Selain perceraian sah dalam agama, kini dia bukan istriku secara negara. Masa Iddahnya berakhir saat mantan istriku itu terpaksa melahirkan tiga bulan yang lalu.Saat mengucapkan salam, dapat kulihat Arum menoleh dan kembali membalikkan wajahnya ke arah lain. Sepertinya dia sudah enggan melihat wajahku walau hanya sedikit pun. “Silakan masuk, Nak Arga. Perkenalkan ini Pak Gumilar. Beliau ini kakek kandung Arum. Ternyata selama ini dia masih memiliki keluarga,” ucap Bu Rina memperkenalkan pria paruh baya yang duduk di sebelah kanan mantan istriku itu. Aku terkejut sekaligus bahagia, ternyata Arum tidak yatim piatu. Dia memiliki keluarga juga. Apalagi dapat kulihat kakek ini seperti bukan orang sembarangan. Apa seben
“Ah, tidak apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja. Oh iya, saya permisi keluar dulu. Ada sesuatu yang harus saya ambil di mobil,” pamitku dengan dalih ketinggalan suatu barang. Namun, itu hanya alasanku agar bisa keluar dari ruangan ini. Kakek Arum dan Bu Rina mengangguk mengiyakan. Tidak menunggu lama aku keluar dengan langkah gontai.Aku berjalan meninggalkan ruang tamu di Yayasan ini. Namun, secara tidak sengaja kulihat Arum sedang tertawa dengan anak-anak panti ini. Di belakangnya ada pria yang dikatakan sebagai suami barunya duduk sambil memperhatikan dengan tatapan yang entah. Seketika dadaku bergemuruh, tangan ini mengepal menahan gejolak cemburu yang semakin menyiksa. Berbeda saat melihat Satria dengan Arum, meski tetap merasakan cemburu, namun aku masih yakin bisa mendapatkan kembali hatinya. Akan tetapi, seolah harapan itu musnah mengetahui kenyataan yang sangat menyakitkan ini.Namun, dalam pikiranku masih bertanya-tanya, bagaimana bisa Arum bertemu dengan pria itu? Bukankah se
Aku mengerjap beberapa kali, memandang sekeliling ruangan yang didominasi warna putih. Aroma obat tercium oleh hidung ini. Aku tahu ini Rumah Sakit. Namun, apa yang telah terjadi? Kenapa aku sampai dirawat di sini? Diri ini mengingat-ingat apa yang telah terjadi padaku sebelumnya. Ah, iya. Aku ingat telah menabrak gerobak soto dan menyerempet pedagangnya. Seketika mataku membulat mengingat kejadian tersebut, merasa khawatir dengan orang yang sudah menjadi korban tabrak olehku. “Alhamdullilah kamu sudah sadar, Sayang,” pekik Mama sambil memeluk membuatku meringis menahan sakit di sekujur tubuh. Mendengarku kesakitan Mama melepaskan dekapannya. “Maafkan Mama. Mama enggak sengaja. Gara-gara seneng lihat kamu sadar, Mama lepas kontrol,” jelasnya sembari tersenyum lega. “Aku baik-baik saja, Ma.” Aku mencoba menenangkan tidak ingin wanita yang kusayangi tersebut khawatir. Aku mencoba bangun, namun tidak bisa. Apa yang terjadi dengan tubuhku? “Mau ke mana, Ga?” tanya Mama ingin membant
Papa mengangguk mengikuti apa yang kuinginkan. Kemudian, beliau berpamitan, katanya akan ke rumah mereka untuk menyampaikan secara langsung keinginanku. Di satu sisi aku tidak tenang telah mencelakai orang meski tidak sengaja, di sisi lain pula terus saja memikirkan Arum. Sampai saat ini aku belum rela kalau dia menjadi milik orang lain. Papa dan Mama belum tahu mengenai kabar terbaru mantan istriku itu. Apa sebaiknya aku menceritakan kepada mereka? Kira-kira bagaimana reaksi Mama dan Papa jika tahu Arum sudah menikah kembali? Tiba-tiba, rasa sesak kembali bergelayut di dalam hati ini. Bagaimana bisa aku menjalani hidupku tanpa Arum? Bolehkah aku egois masih ingin memilikinya meski dia telah menjadi milik orang lain? Seseorang mengetuk pintu ruangan ini, lalu Mama membuka dengan terperangah. Memangnya siapa yang datang ke sini sehingga Mama seperti setengah terkejut? Terdengar suara wanita yang memberi salam, dari suaranya kenapa aku merasa itu Arum? Benarkah dia datang kemari men
Mama pamit keluar sebentar dengan alasan ingin membeli sesuatu. Namun, aku tahu, itu hanya alasannya saja. Beliau mengerti kami perlu menjaga privasi. Akan tetapi, yang kutak habis pikir. Pria angkuh, suami Arum itu sama sekali tidak ingin beranjak dari tempatnya duduk. Dia bergeming sejak tadi dengan posisi yang sama sambil menggeser-geserkan layar ponsel di tangannya. Entah kesibukan apa yang dilakukannya. Bahkan, kacamata hitam yang dia pakai sama sekali tidak pernah lepas. Dasar pria aneh dan sombong. Apalagi sikapnya yang menurutku terlalu dingin sama sekali tidak kusuka. Mungkinkah Arum bisa jatuh cinta pada orang seperti dia? Tidak mungkin! Aku tahu Arum memang wanita yang baik, tidak pernah banyak menuntut. Namun, sebagai seorang wanita pastinya menyukai pria yang perhatian dan hangat. Bagaimana mungkin Arum tahan memiliki suami seperti dia. “Mas sebelumnya aku minta maaf mungkin kata-kataku akan menyakiti hati Mas Arga. Tapi, aku harus mengatakan ini untuk yang terakhir ka