“Maksud Anda?” tanyaku masih mencoba melepaskan ikatan tangan di belakang tubuh.“Aku hanya butuh tanda tanganmu kalau tidak kauharus menggantinya dengan nyawa.”Ucapan pria itu membuatku terkejut, sebenarnya apa yang membuatku harus berurusan dengan laki-laki kejam ini. Apa yang dikatakannya tadi? Tanda tangan? Memangnya siapa aku dan untuk apa tanda tanganku sehingga orang ini sampai menculik diriku?“Tanda tangan? Untuk apa itu semua? Saya bukan siapa-siapa, dan juga tidak kenal pada Anda sedikit pun,” bentakku mulai kesal.“Kasihan! Kau ternyata tidak tahu apa pun selama ini. Syukurlah kakek tua itu tidak bisa menemukanmu sebelum saya,” kekehnya yang kudengar bukanlah hal yang menyenangkan. Justru yang terlihat malah mengerikan. Tersirat kemarahan di matanya. Entahlah itu apa?“Maksud Anda apa? Saya sama sekali tidak mengerti?” Dahiku mengernyit mencoba mengartikan apa yang pria ini katakan.“Saya mau kamu mengalihkan segala harta milikmu menjadi atas namaku.” “Harta apa yang And
POV ArumPria itu semakin mendekat dan aku terus meronta mencoba menggerakkan badan agar bisa bebas dari ikatan ini. Sambil memundurkan kursi karena pria di hadapanku terus saja mendekat dengan senyumnya yang membuatku seketika ketakutan. Orang ini memang sudah gil*, bisa-bisanya memanfaatkan ketidakberdayaan seorang wanita yang sedang disekap. “Anda mau apa? Jangan mendekat. Jika tidak ... kau akan menyesal,” ancamku yang malah membuat pria itu tertawa terbahak-bahak. “Memangnya apa yang berani kamu lakukan, heh? Kau tidak bisa apa pun dengan keadaan terikat seperti ini. Jadi, terima saja apa yang akan kulakukan. Tidak ada seorang pun yang bisa menyelamatkanmu dari sini.”Pria tersebut semakin menghampiri dan mencoba menciumiku, namun kutampar wajahnya dengan tangan ini yang memang tidak terikat, hingga membuatnya memegang pipi yang sudah memerah karena ulahku. Dia mengepalkan tangan sambil menatapku penuh dengan kilat kemarahan. Lalu, memegang lengan ini serta mengikatnya kembal
Pertanyaan itu terus saja bergulir di benakku. Memangnya dendam apa yang harus membawaku terseret dalam masalahnya? Apa ini ada hubungannya dengan Ayah? Namun, apa itu?Seketika teringat dengan Bu Rina dan yang lainnya. Mungkin saja saat ini sedang khawatir padaku. Apalagi baru beberapa hari aku kehilangan putra pertama. Diri ini tidak menyangka kalau Erika akan melakukan hal nekat seperti itu. Bahkan, aku sudah rela melepaskan Mas Arga untuk menjadi satu-satunya miliknya. Tapi, kenapa dia tega? Apa karena Mas Arga selalu memberikanku perhatian sehingga membuatnya cemburu sehingga dapat membutakan mata hatinya. Apa hanya karena itu alasannya?Inginku merutuki nasib yang tidak pernah berpihak, namun apa dengan seperti itu akan membuat segalanya lebih baik? Tiba-tiba saja terlintas ceramah ustazah Aisyah istri dari penceramah di sekitar tempat tinggalku dulu. Dia yang selalu mengingatkanku agar lebih mendekatkan diri lagi kepada-Nya. Allah memberikan ujian itu untuk menguji keimanan ki
POV Arum “Tidak, saya tidak mau menjadi istri Anda. Saya mohon, bebaskan saya,” ucapku mengiba. Namun, pria tersebut dengan congkaknya malah berdiri sambil memandangiku sinis. “Memangnya siapa yang ingin memiliki istri sepertimu, heh? Kau bukan jenis wanita yang menjadi seleraku,” sinisnya membuatku melongo. “Bukankah tadi ...?” “Apa? Saya hanya berkata sembarang. Lagi pula, wanita sepertimu apa menariknya? Cantik tidak, menarik tidak apalagi seksi,” sindirnya. Membuatku memalingkan muka. Bisa-bisanya pria ini menghinaku. Memangnya siapa yang ingin dipandang cantik, menarik apalagi seksi. Aku bukan wanita murahan seperti itu. “Tidak heran Anda memandang wanita hanya dari fisiknya. Ternyata selera Anda wanita murahan , yang hanya bisa mengumbar lekuk tubuh,” balasku kesal. Pria itu melotot memandang tajam padaku. Entahlah, kenapa aku mulai berani untuk menentang pria tersebut. Padahal, sebelumnya aku selalu gemetar meski hanya memandang mata dia yang tajam. Tanganku berkeringat di
Untuk beberapa hari, aku tidak bisa keluar dari kamar yang kutempati ini. Meski tidak kekurangan apa pun, karena segala kebutuhanku sudah terpenuhi termasuk pakaian. Pun seorang dokter datang memeriksa kondisi luka jahitan bekas operasi di perutku.Kamar dengan nuansa putih ini terlihat mewah jika dibandingkan dengan kamar utama rumah Mas Arga yang bukan apa-apanya. Sebenarnya diriku heran, pria itu menculik namun tidak mencelakakanku sama sekali. Dia hanya mengurungku di kamar ini. Sebenarnya apa maksud pria tersebut dan rencananya?Siang ini, lelaki dingin itu mengizinkanku untuk keluar kamar. Dia menyuruh seorang wanita setengah paruh baya memanggilku dengan diikuti para bodyguard. Bi Ninung, nama wanita tersebut. Aku tahu saat kami berkenalan. Katanya tuan mereka memanggilku untuk menemuinya di ruang kerja. Entah apa yang direncanakan lelaki dingin itu. Aku tidak bisa melawan hanya mengikuti segala perintahnya.Ketika sampai di ruangan kerja, dapat kulihat pria tersebut sedang dud
Sudah berhari-hari Arum diculik seseorang. Bahkan, aku sudah melaporkan kejadian ini ke kantor polisi. Aku dan Bi Surmi menjadi saksi kasus penculikan ini. Kukatakan juga kepada pihak berwajib kalau sebelumnya telah mencurigai seseorang. Polisi langsung memeriksa semua tempat yang sekiranya bisa mendapatkan barang bukti. Berharap akan memecahkan kasus ini dan Arum bisa segera ditemukan. Setidaknya ada jejak penculik yang tertinggal. Termasuk kamera CCTV yang ada di Rumah Sakit ini.Dapat kami lihat ada seseorang yang membawa Arum menggunakan kursi roda. Terdapat seorang wanita yang berpakaian suster dan pria yang mengenakan jas snelli khas dokter, mendorong kursi roda yang diduduki Arum di koridor. Tepat setelah keluar dari kamar rawat yang ditempati Arum.Kebetulan di kamar pasien ini tidak dilengkapi kamera CCTV karena alasan privasi. Apalagi sebelumnya tidak pernah ada kasus penculikan seperti ini. Membuat pihak Rumah Sakit membantu menjadi saksi sebagai rasa tanggung jawab mereka
Aku pun sudah berhenti jadi dokter di Rumah Sakit. Mama dan Papa membeli sebuah klinik untuk kukelola. Jadwal praktikku pun tidak sepadat dulu. Aku hanya mengambil waktu beberapa jam sebelum giliran dengan dokter baru yang ikut di bekerja bersamaku. Itu semua kulakukan selain untuk mengelola sendiri restoran yang kurintis. Pun agar lebih leluasa untuk mencari keberadaan Arum.Siang ini di restoran milikku, suara panggilan di ponsel terdengar memekakkan telinga. Terdapat nama Ibnu yang ada di layar gawaiku tersebut. Mungkinkah dia ada informasi terbaru mengenai Arum?Kuangkat telepon darinya dan memberi salam lalu mencecarnya dengan pertanyaan.“Gimana, NU? Ada kabar terbaru tentang Arum?” tanyaku tidak sabar.“Gue punya sesuatu yang pasti buat Lo enggak percaya. Gue punya bukti kalau pelaku penabrakan Arum dulu itu Andra,” ucapnya dengan menggebu.Aku tidak terkejut, mungkin saja memang bersekongkol dengan Erika. Darahku mendidih kala mendengarnya. Pria itu sudah membuat putraku meni
Aku melangkah dengan pelan, mengetuk pintu serta mengucapkan salam. Dada ini membuncah melihat Arum baik-baik saja. Inginku bawa dia ke dalam pelukan. Hanya untuk mengatakan kalau diri ini teramat merindukannya. Namun, itu mustahil sekarang. Arum bukan siapa-siapaku lagi. Selain perceraian sah dalam agama, kini dia bukan istriku secara negara. Masa Iddahnya berakhir saat mantan istriku itu terpaksa melahirkan tiga bulan yang lalu.Saat mengucapkan salam, dapat kulihat Arum menoleh dan kembali membalikkan wajahnya ke arah lain. Sepertinya dia sudah enggan melihat wajahku walau hanya sedikit pun. “Silakan masuk, Nak Arga. Perkenalkan ini Pak Gumilar. Beliau ini kakek kandung Arum. Ternyata selama ini dia masih memiliki keluarga,” ucap Bu Rina memperkenalkan pria paruh baya yang duduk di sebelah kanan mantan istriku itu. Aku terkejut sekaligus bahagia, ternyata Arum tidak yatim piatu. Dia memiliki keluarga juga. Apalagi dapat kulihat kakek ini seperti bukan orang sembarangan. Apa seben
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal