“Makasih, ya, Rum. Kamu mau bantu aku. Kamu memang sahabat terbaikku,” ucap Shofie dengan riang.“Justru aku yang mau ucapin makasih sama kamu, Shof. Kamu udah ngasih aku kerjaan. Maaf, kalau aku terus merepotkanmu selama ini.”“Jangan minta maaf begitu kalau kamu masih nganggap aku teman. Kita ini sahabat, kan? Teman akan membantu di saat sedang kesusahan.”Ah, temanku yang satu ini memang orang paling baik yang pernah kukenal.Mendengar kata-kata Shofie membuat mata ini berkaca-kaca. Aku merasa begitu terharu dengan segala kebaikan yang Shofie berikan. Entah mengapa, aku merasa akhir-akhir ini semakin cepat emosional dan terbawa suasana. Sebenarnya ada apa dengan diriku ini?“Kamu udah bisa kerja mulai hari ini, Rum. Tiap hari aku akan ke sini buat cek laporan dari kamu, sambil makan malam bareng. Kalau di rumah aku suka kesepian,” ujar Shofie. Aku mengangguk dan mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan di lantai atas.Ruangan kerja dengan segala pernak-pernik tempo dulu masih ter
Sudah waktunya aku menjemput Erika ke Jakarta, setelah sebelumnya kuberi tahu dia serta menyuruhnya untuk bersiap-siap karena aku takkan lama di Bandung.Aku hanya akan datang menjemput, pada hari itu juga kami harus langsung kembali ke Jakarta, sebab aku cuma memiliki satu hari untuk libur. Sebelum kusiapkan jadwal untuk bulan madu kami ke Bali sesuai keinginan Erika.“Sayang, Mas sebentar lagi sampai. Kamu siap-siap lagi jangan sampai ada barang-barangmu yang ketinggalan,” ucapku di telepon ketika aku mampir dulu ke SPBU untuk mengisi bahan bakar mobilku.“Iya, Mas. Sudah, kok. Aku tunggu, ya, Mas.” Terdengar dari sana Erika sangat antusias, mungkinkah istriku itu sudah tak sabar untuk kubawa pindah. Salahku dari awal tak membawa, serta menyuruhnya tinggal di Jakarta. Aku tak perlu repot-repot untuk bolak-balik pulang pergi Jakarta-Bandung dan sebaliknya. Semua itu sungguh merepotkan, persis seperti sekarang ini..Setelah sampai di rumah Erika, aku disambut oleh istri cantikku itu
Karena kelelahan, tak sadar aku bangun kesiangan sampai-sampai lupa waktu untuk salat subuh. Kuraba kasur di sebelahku, ternyata Erika masih tidur di tempat yang sama denganku. Mungkin dia juga kelelahan setelah pergulatan kami semalam. Kusibak rambut yang menutupi pundak mulusnya lalu kukecupi dari belakang.“Sayang, bangun, sudah siang.” Membuat istri mudaku itu menggeliat. Dengan berat dia membuka matanya dengan perlahan.“Aku masih ngantuk, Mas. Badanku capek dan pegal-pegal,” racaunya dengan suara serak khas bangun tidur.Kulirik jam di atas nakas, sudah pukul enam pagi. Masih ada waktu panjang untukku siap-siap ke Rumah Sakit.“Mas mau kenalin kamu ke Bi Surmi dan Mang Mansur. Mereka asisten dan sopir Mas di rumah ini. Kalau enggak kenalan, entar mereka kaget saat lihat kamu,” bujukku kembali. Kupeluk dia dari belakang. “Lagian, Mas ingin merasakan masakan buatan istri Mas yang cantik ini, bisa, kan?” Erika berbalik badan menghadap kepadaku lalu mengangguk sambil tersenyum man
Dua hari Erika tak mau bicara padaku. Dia begitu marah sejak aku tak sengaja membandingkannya dengan Arum. Istri mudaku itu memang susah dibujuk kalau sudah merajuk. Jika sudah begini, kepalaku pusing karena memikirkannya. Saat pulang bekerja, kusempatkan untuk mampir ke toko bunga dan perhiasan. Aku bermaksud untuk memberikan kejutan kepada Erika. Berharap amarahnya akan reda dengan sikap manis yang kuberikan. “Satu buket bunga mawar merah, ya, Mbak,” pesanku pada pemilik toko bunga yang kukunjungi. Setelah sebelumnya membawa pesanan kalung dari toko khusus. “Baik, Mas. Ditunggu sebentar,” jawabnya. Beberapa menit kemudian pemilik toko tersebut memberikan bunga pesananku. Di dalam perjalanan, kupandangi benda yang kubeli tersebut sambil tersenyum membayangkan reaksi Erika nanti. “Dia pasti senang mendapatkan kejutan ini dariku dan berakhir menghabiskan waktu seperti biasa,” ujarku antusias. Setelah sampai di rumah. Erika menyambutku dengan wajah cueknya. “Asalamualaikum, Sayang
“Sabar, dong, Ga. Gue kan lagi jelasin. Gue udah selidiki semuanya dan sengaja pergi ke sana. Ternyata benar, istri Lo, Arum betul tinggal di sana. Gue udah menemukannya,” terang Ibnu membuatku terlonjak saking bahagianya. “Serius, Nu?” “Ya ialah, masa gue bercanda. Entar gue kirim alamatnya setelah ini. ,” jelasnya membuatku bernapas lega. “Makasih atas bantuannya, ya, Nu,” ucapku dengan tulus. Kalau bukan karena bantuan temanku itu Arum tak mungkin kutemukan sekarang. Tak lama setelah panggilan telepon mati, Ibnu mengirimkan alamat Arum di solo melalui pesan. Dengan tak sabar kucek tiket kereta api menuju ke sana hari ini. Ternyata keberangkatan pukul sembilan kurang lima belas menit nanti malam. Kebetulan masih ada tiket dengan kelas eksekutif yang masih kosong. Dapat! Aku mengelus dadaku sambil bersyukur dalam hati. Beruntung sekali aku bisa mendapatkan kemudahan ini. Tak harus menunggu lama untuk segera bertemu dengan Arum. Tiba-tiba rasa rindu ini semakin membuncah. Saking
“Sayang, kamu kenapa? Ini suamimu sudah datang.” Kupeluk tubuh Arum sambil menepuk-nepuk pipinya. Namun, tak ada reaksi apa pun dari istriku itu. Meskipun aku dokter, tak mungkin mengurusnya sendiri tanpa alat. Takut terjadi apa-apa terhadapnya, segera kupesan taksi online untuk membawa kami ke Rumah Sakit terdekat di kota ini. Para tetangga yang mendengar suaraku memanggil Arum, membuat mereka satu-persatu berdatangan untuk melihat kami. Kupindahkan tubuh istriku ke atas sofa di ruang tamu ini. “Maaf, Anda siapa, ya? Kenapa bisa datang ke rumah ini? Apa hubungan Anda dengan Arum?” tanya seorang ibu-ibu yang datang menghampiriku. Dia memandang penuh selidik. “Oh iya, perkenalkan saya Arga, suami dari Arum.” Semua orang mangut-mangut dan saling berpandangan satu sama lain. “Oh begitu, soalnya setahu saya Arum memang hanya tinggal sendiri sejak dia pindah kemari. Saya tidak tahu kalau Mas-nya ini suaminya.” “Tidak apa-apa, Bu.” Aku tersenyum, tak mungkin kukatakan pada semua orang
Menurut dokter kandungan yang memeriksa kondisi kehamilan Arum, beliau mengatakan istriku itu sudah mengandung sekitar delapan Minggu. Berarti, kehamilan ini terjadi sebulan sebelum dia pergi. Kenapa aku tak menyadari ini semua. Sebagai seorang dokter, seharusnya aku tahu, perubahan fisik dari Arum istriku. Atau mungkin aku saja yang tak peka karena terlalu sibuk memikirkan Erika istri mudaku itu. Saat itu aku hanya fokus pada kesenangan diri sendiri. Apalagi kami berdua masih menjadi pengantin baru yang tengah hangat-hangatnya. Aku memang egois sudah abai kepada Arum di saat kondisi psikis dia sedang tak stabil karena hamil. Apalagi hatinya telah kusakiti dengan pengkhianatan. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya istriku itu sadar. “Alhamdulillah, kamu sudah bangun, Sayang.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya, membuat dia menoleh dan membulatkan mata dengan lebar. Lalu, dengan cepat Arum melepaskan tautan tangan kami. Dia membuang muka seolah jijik melihat wajahku. “S
Dengan berat hati kutinggalkan Arum lalu mengangkat telepon dari Erika. Suara istri mudaku itu berteriak memekakkan telinga saat kuangkat. Bahkan, belum kuucapkan salam dia sudah nyerocos terlebih dahulu. “Mas, kenapa baru diangkat sih telepon dariku. Mas keterlaluan kenapa ponsel Mas Arga enggak diaktifkan seharian? Aku sampai berkali-kali hubungi tapi enggak bisa,” omel Erika di seberang sana. “Iya, Sayang. Maafkan Mas. Ponsel Mas mati dari pagi habis baterai. Ini baru hidup lagi. Jangan marah-marah terus, Sayang. Ada masalah apa kok sampai nelepon?” “Mas ini kenapa, sih? Aku kan kangen. Memangnya Mas Arga enggak. Aku masih marah, lho Mas ditinggalin gitu aja sama Mas,” ucapnya manja dapat kubayangkan seperti apa muka Erika saat menelepon begini. “Maaf, ya. Mas kan sedang ada keperluan di sini. Kamu sabar untuk beberapa hari. Nanti kita ketemu lagi.” Semoga saja Erika bisa mengerti kalau aku tak bisa pulang cepat. “Mas, aku minta uang dong. Mau belanja, nih. Uangku yang Mas kasi
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal