Awalnya, saat masuk ke rumah ini mengikuti Arum. Dapat kulihat istri pertamaku itu terlihat tak setuju kalau aku menginap di rumah ini. Akan tetapi, dia tak menolak saat kubilang akan menjaganya karena khawatir pingsan lagi nanti. Setidaknya, sebagai dokter suaminya ini bisa mengurusnya serta tahu apa yang dia butuhkan. Apalagi, dengan tegas kubilang akan memastikan kesehatannya dan bayi kami yang masih dalam kandungan. Arum tidak mengatakan apa pun, tak menolak atau pun mengizinkan. Dia terus saja diam seribu bahasa. Kuhampiri Arum yang sedang termenung di dekat jendela yang mengarah keluar. Memandang rintik hujan yang membasahi kampung Laweyan ini. Wajahnya terlihat sendu, tetapi saat kudekati raut mukanya berubah menjadi tegas. Seolah dia menyembunyikan lukanya dengan sempurna di hadapanku. “Sayang, Mas, mohon. Kembalilah ke Jakarta lagi. Bi Surmi dan Mang Mansur tadi ada menelepon. Mereka ingin ketemu. Apalagi, yang paling penting sekarang kesehatanmu. Dokter kan sudah bilang ka
POV Arum “Sayang, ada orang yang cari kamu di depan,” ucap Mas Arga menghampiriku saat sedang merebahkan badan di kasur. “Siapa, Mas?” Suamiku menggeleng. Gegas aku keluar dari kamar untuk melihat siapa yang datang ke rumah. Aku tersenyum kala kulihat Shofie datang menjengukku. “Rum, maafin aku kemarin enggak jenguk kamu di Rumah Sakit. Maklum aku ada kerjaan di luar kota. Jadi, aku pulang ke rumah udah malam. Tapi, aku lega kamu enggak kenapa-kenapa,” jelas temanku itu sambil merangkul serta memeluk. “Iya, enggak apa-apa, Shof. Aku ngerti, kok. Lagi pula aku baik-baik saja. Kamu enggak perlu khawatir, Shof.” Shofie duduk di kursi yang sama denganku, setelah itu kupersilahkan pria yang datang bersamanya untuk duduk di kursi tunggal sebelah kiri temanku. “Rum, pria itu suamimu?” tanya temanku itu sambil berbisik. “Iya,” jawabku tak panjang lebar. Saat ini Shofie hanya membulatkan matanya, mungkin terkejut kenapa Mas Arga bisa menemukanku di sini. “Eh, iya. Kamu masih ingat, kan,
Aku begitu bingung harus bagaimana lagi. Untunglah Shofie membuat suasana di antara kami mencair. Temanku yang satu ini memang pandai bertutur kata. Dia memintaku untuk beristirahat terlebih dahulu. Jangan memikirkan tugasku di tokonya. Kata Shofie, dia sudah meminta saudaranya untuk menghandle pekerjaan ini. Aku merasa tak enak, karena sebagai orang yang dia percaya, dengan seenaknya meninggalkan kewajiban yang temanku itu berikan. Namun, berulang kali Shofie memintaku jangan memikirkan hal tidak penting dahulu. Dia menyuruh untuk menjaga kehamilanku agar tetap sehat. Akan tetapi, aku tak bisa berdiam diri di rumah terus menerus. Aku tak tahu pernikahanku dengan Mas Arga akan bertahan sampai kapan. Jujur, saat ini aku merasa tak ada harapan untuk mempertahankan hubungan kami. Tak lama Shofie dan Bang Satria pamit untuk pulang dengan alasan ada pekerjaan. Mereka memang sedang ada kerja sama. Aku tak tahu Bang Satria memiliki pekerjaan seperti apa. Yang jelas yang kudengar dari obro
“Rum, mama ngerti apa yang kamu rasakan saat ini. Maafkan Arga, ya. Berikan kesempatan untuk putra kami untuk memperbaiki rumah tangga kalian. Menebus kesalahannya selama ini. Kasihan cucu Mama kalau dia lahir tanpa sosok ayah.”Aku terkejut dengan apa yang Mama ucapkan. Tidak bisa kupungkiri, hati ini merasa senang mendengarnya. Apalagi, melihat beliau berubah lebih menyayangi Arum setelah istriku itu dikabarkan hamil. Ini memberikan angin segar ke dalam rumah tangga kami.Tidak ada jawaban apa pun dari Arum. Dia hanya diam membisu di tempat. “Ma, jangan paksa Arum. Mama tahu, kan? Apa kesalahan putra kita saat ini.” Ucapan Papa membuat Arum yang sedari tadi menunduk sambil Memilin ujung hijab miliknya kembali mendongak. Memandang dengan raut wajah penuh pertanyaan.Apa sebenarnya yang ada di dalam hati istriku? Namun, Mama terus saja mencoba membujuk Arum, meski tak ada jawaban apa pun darinya. Sampai, ucapan istriku membuat semua orang tercengang.“Aku sangat terharu Mama sekarang
Hingga semalaman, kuputuskan untuk mempertahankan Arum dan melepaskan Erika. Meski ada rasa tak rela meninggalkan istri mudaku itu. Dia masih wanita yang kucintai selain Arum.Pagi harinya saat sarapan, kucoba untuk berbicara pada Arum. Mengatakan keputusanku kali ini.“Sayang, ada hal yang mau Mas katakan,” Arum mendongak memandangku. Tatapan kami terkunci. Meski tanpa bicara dia tetap mendengarkan.“Mas sudah memikirkan segalanya. Dan memilih mempertahankan rumah tangga kita. Mas mau kita seperti dulu lagi,” ucapku mantap. Saat memandang wajah Arum, dia tersenyum samar. Akan tetapi, bukan senyuman yang biasa. Seolah dia tak percaya dengan ucapanku.“Mas yakin? Mas pikir semuanya akan kembali seperti semula?” Pertanyaan Arum seolah meremehkan tanpa rasa percaya.“Itu yang Mas harapkan.” Membuatnya menghela napas kasar, seolah merasa berat saat dia akan menjawabnya.“Baik, akan kuberikan kesempatan kalau memang itu sudah keputusan Mas Arga. Ini yang terakhir kalinya, bila Mas melangga
POV Arum.Aku merenung di sudut kamar, memikirkan keputusan yang kuberikan kepada Mas Arga. Apa yang kulakukan sudah tepat dengan memberinya kesempatan kedua? Lantas, benarkah suamiku itu akan rela melepaskan istri mudanya hanya untuk kembali bersamaku?Kupandangi langit malam ini yang terlihat gelap, tidak ada sinar rembulan ataupun bintang yang gemerlapan seperti biasanya. Hanya kegelapan yang dapat tertangkap oleh netra. Suara angin berembus menggoyangkan dedaunan di luar sana. Rintik hujan membasahi malam kota Solo ini.Semalaman ini aku tak bisa tidur dengan nyenyak, menunggu janji Mas Arga yang akan memberi kabar jika sudah sampai di Jakarta. Namun, sudah hampir tengah malam, suamiku sama sekali belum menghubungi. Mungkinkah dia sedang bersama dengan istri mudanya itu? Melepaskan rindu seperti sebelumnya? Untunglah, Arum yang sekarang bukan yang dulu lagi. Diri ini sudah siap untuk menghadapi kemungkinan terburuk dari Mas Arga.Tiba-tiba perasaan ragu bergelayut semakin berat d
Ah! Mengapa hati ini selalu dipenuhi rasa curiga kepada Mas Arga? Semoga saja kali ini dia takkan pernah menyia-nyiakan kesempatan dariku lagi.Tidak! Sekarang suamiku tidak pernah pulang larut atau terlambat kalau bukan karena ada panggilan darurat. Pun, tak pernah kulihat bermain ponsel seperti yang selalu dilakukannya dulu. Dia ada di rumah menemaniku seperti biasa. Bahkan, untuk menyiapkan segala keperluanku, dia yang atur termasuk makanan. Memiliki suami seorang dokter memang begini rasanya. Selalu sangat protektif dalam memilih apa saja yang akan kukomsumsi.Hubungan dengan mertua pun semakin hari kian membaik. Mama menerimaku, apalagi setelah mengetahui jika aku akan memberikan mereka cucu laki-laki. Ya, aku dan Mas Arga memang sudah mengetahui jenis kelamin janin yang kukandung. Beberapa hari yang lalu kami memeriksakan kondisi kehamilanku di Rumah Sakit. Saat ini aku merasakan hidup yang begitu sempurna.Malam Minggu, akan diadakan pengajian untuk syukuran tujuh bulan keh
“Mas ... nakal,” ucap seorang wanita di seberang sana. Apa ini? Kenapa ada suara wanita? Sedang di mana Mas Arga sekarang? Ah mungkin saja itu suara pasiennya atau siapa. Tadi, kan, suamiku bicara kalau ada pasien darurat.Terdengar suara wanita tertawa cekikikan selanjutnya suara pria yang kukenali. Dadaku mulai sesak. Hati ini semakin gelisah tak menentu. Berulang kali aku mencoba menormalkan detak jantung yang sudah mulai tidak berirama.Tidak! Mungkin aku salah dengar. Itu bukan dia. Suara pria itu bukan suamiku.“Mas Arga ....” wanita itu terdengar memekik tidak tahu karena apa. “Erika jangan menghindar, Sayang.” Apa? Erika? Mas Arga? Apa-apaan ini? Apa maksud semua yang kudengar? Selanjutnya terdengar suara des*han. Dadaku bergemuruh menahan sesak di dada. Bagai ada palu yang menghancurkan kaca di hati ini seketika. Tak sadar ponsel yang kupegang terjatuh. Aku hanya mematung tak percaya dengan yang terjadi barusan.Permainan apa ini? Peran apa yang sudah Mas Arga mainkan? Tega
Arum“Papi!!”Seketika wajah Zara berbinar, gadis kecil itu pun berlari ke arah Mas Arga yang berdiri di depan pintu. Perlahan tanganku menutup mulut, berharap Zara kembali melakukan kesalahan seperti dulu di pemakaman.Tapi ternyata prediksiku salah kali ini, gadis itu tidak berhenti apalagi berbalik. Zara jatuh ke dalam pelukan Mas Arga. Pria itu pun mengangkat tubuh anakku ke dalam pelukannya. Sementara sebelah tangannya menggenggam sesuatu, aku yakin itu hadiah. Aku merekam kejadian ini dengan banyak pertanyaan. Keduanya tidak terlihat canggung dalam berinteraksi. Bahkan saat Mas Arga berjalan mendekatiku dengan menggendong anakku, mulutku masih terbuka. Entah apa yang harus kuucapkan.“Sekarang Papi Arga sudah datang dan aku mau tiup lilinnya.” Zara meminta turun dari pangkuan Mas Arga lalu gadis kecil itu pun mendekati kue ulang tahunnya. Mas Arga pun ikut mendekat, sesekali ia mengarahkan pandangannya padaku. Tatapannya terasa teduh sekaligus terlihat aneh di mataku.Tanpa perm
ArumSekarang bibirku terbuka lebar saat pria itu berkata sambil berjongkok lalu merentangkan tangannya.“Stop Zara! Itu bukan .... “ Kalimatku kembali terhenti ketika melihat pria itu menempelkan telunjuk di bibirnya.Membiarkan anak itu berjalan tergesa-gesa mendekati pria yang tak lain adalah Mas Arga.Aku menahan napas ketika beberapa langkah lagi anak itu sampai di hadapan Mas Arga. Sementara pria yang masih berjongkok dengan merentangkan tangannya itu tersenyum sambil menatap ke arah Zara.Mataku kembali membola ketika Zara menghentikan langkahnya kala jarak mereka sudah sangat dekat. Gadis kecilku itu kemudian berbalik dan berlari menuju ke arahku. Lalu pelukannya mendarat di tubuh bagian bawahku.“Bukan Papi,” bisiknya dengan suara bergetar, hampir tidak terdengar. Aku pun berjongkok lalu memeluk tubuh kecilnya.“Iya, Sayang. Papi ‘kan sudah tidur di dalam sana.” Kuusap kepalanya lembut.“Zara pengen ketemu Papi.” Tangis gadis kecilku kemudian pecah. Aku pun tidak bisa menahan
ArumKakiku tak bisa bergerak, seakan terpatri pada tanah basah yang kupijak. Gundukan di hadapanku ini sudah bertabur bunga dan di dalamnya jasad suamiku terbaring dengan tenangnya.Setelah koma selama 3 hari, Rajendra benar-benar pergi untuk selamanya. Aku yang tidak tahu tentang penyakitnya selama ini, merasa sangat kehilangan. Bagiku kepergiannya ini begitu tiba-tiba. Kakek sudah mengajakku pulang beberapa kali. Tetapi aku enggan beranjak. Tak ingin jauh dari suamiku. Laki-laki yang sudah memporak-porandakan kehidupanku, tetapi dia juga yang sudah mengisi kisah-kisah manis selama beberapa tahun ini. Ingatanku terbang ke ingatan beberapa tahun lalu. Kilasan demi kilasan kenangan saat bersamanya yang terekam diputar layaknya sebuah film. “Rum, rasanya aku ingin terus mendampingi kalian lebih lama lagi. Mengisi hidupku berdua bersamamu sampai hari tua, melihat tumbuh kembang Zara sampai dewasa. Hingga dia bisa mengejar cita-cita dan memilih jodohnya sendiri. Bisakah aku melihat cuc
ArumLima tahun kemudian“Mami, kenapa Papi lama sekali?”Untuk ke sekian kalinya terdengar rengekan dari bibir mungil milik Zara. Gadis kecil yang bernama lengkap Lamia Nadia Zara ini, hari ini genap berusia 5 tahun. Pesta ulang tahun yang diadakan secara sederhana di kediaman kami tengah berlangsung. Gadis kecilku tidak mau meniup lilin sebelum Papinya datang.Tiga hari yang lalu, ketika Rajendra berpamitan untuk urusan ke luar kota. Dia memang tidak berjanji untuk hadir di acara ulang tahun ini.“Papi usahakan datang, tapi enggak janji, ya. Kalau Papi terlambat datang, Zara tiup lilinnya sama Mami saja. Okey?”Saat itu Zara mengangguk, meskipun ada raut kecewa mendengar ucapan Papinya. Aku sendiri ingin bertanya banyak, sebab akhir-akhir ini Rajendra terlihat kurang bersemangat. Berat badannya pun menurun. Saat kuminta untuk periksa, Rajendra bilang dirinya hanya kecapean dan butuh istirahat. “Aku baik-baik saja, tidak ada keluhan apa pun. Kamu jangan khawatir. Tentang berat badan
Asap semakin memenuhi ruangan, bahkan kini warnanya tak lagi putih. Agak hitam dan membuatku sesak. Aku yang semula akan berjalan menghampiri pintu, mengurungkan niat karena semakin dekat ke pintu, pandangan semakin kabur dan aku semakin tidak nyaman.Akhirnya aku berjalan ke arah balkon, di mana bisa mendapatkan udara yang lebih bersih. Dari atas sini, aku mendengar dengan jelas teriakan Mang Kurdi dan istrinya. Benar saja, ternyata di bawah terjadi kebakaran. Begitu menyadari hal itu, aku semakin panik. Tidak mungkin kalau turun melalui pintu dan tangga sebab asap berasal dari sana. Untuk meloncat dari balkon kamar lantai dua ini pun sangat tidak mungkin.Badanku bergetar hebat, aku merasa kematian sudah di depan mata.Aku mendekati pagar yang berada di balkon dan mendongak. Tak terlihat satu orang pun di halaman depan. Villa ini memang terletak agak terpencil dari bangunan-bangunan lainnya. “Tolong ... tolong “Aku berteriak sekuat tenaga, sementara asap semakin bergerak cepat
Tujuh hari sudah aku bolak-balik ke rumah sakit. Sebenarnya capek, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak bisa berdiam diri di rumah, sementara suamiku terbaring di ranjang pasien. Mengenai perasaanku, memang belum sepenuhnya memaafkan Rajendra. Meskipun setiap hari pria itu berusaha menunjukkan perasaan sayangnya padaku. Tapi setiap kali aku mengingat kejadian itu, hatiku kembali diliputi rasa tidak nyaman.Luka di wajahnya sudah mengering, hanya saja retakan di bagian tulang lengannya yang membuat dokter belum mempersilakan pulang.Rajendra sendiri tampaknya sudah bosan berada di rumah sakit. Oleh sebab itu ia, tak hentinya meminta dokter supaya mengizinkannya pulang. Hari ini aku tidak bisa menemuinya ke rumah sakit. Mungkin karena selama beberapa hari ini aku bolak-balik ke sana, badanku sudah memberikan sinyal, bahwa aku sesungguhnya kecapean.“Tidak apa-apa, Rum. Kamu istirahat saja di rumah. Bukankah kemarin juga sudah aku katakan. Supaya kamu tidak setiap hari pergi ke sini.”
Sempat kusesali, kenapa aku datang terlalu cepat hingga jasad Pak Bachtiar belum sempat dipindahkan ke ruang jenazah. Sebab itu pula aku harus menangis meratapi jasad yang disangka suamiku itu. Lalu, kenapa pula ada yang memberitahukan kejadian itu kepada Rajendra. Apa pria ini punya mata-mata huh?Begitu sampai dan berbicara pada suster penjaga tadi, aku sempat bertanya apakah jasad yang diduga suamiku itu sudah dipindahkan ke kamar jenazah? Perawat itu bilang masih di ruang IGD, makanya aku langsung menuju ruangan itu. Dan ini sebuah kesialan bagiku.“Jadi tangisan dan semua kata-katamu itu hanya pura-pura?”Aku belum berani menoleh ke arah pria itu, sebab kutahu saat ini pun dia pasti sedang tersenyum mengejekku. “Wajar kalau seorang istri menangisi kepergian suaminya.” Aku menjawab tanpa mengalihkan pandangan. “Memangnya siapa yang bilang tidak wajar. Itu sangat wajar. Aku senang saat seorang perawat mendengarnya dan menceritakan semua kepadaku, itu artinya jauh di dasar hati
Aku berpikir beberapa saat lalu menengok sekeliling. Tidak enak juga dilihat orang jika aku terus-menerus berdiri di depan pintu ruangan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk masuk, perlahan mendorong hendel pintu supaya tidak membuat kaget orang yang berada di dalam. Siapa tahu Rajendra masih tertidur. Kalaupun sudah bangun, pasti ia akan terkejut dengan suara pintu terbuka yang tiba-tiba.Ketika memasuki ruangan, keringat meluncur di seluruh tubuhku. Telapak tangan terasa dingin, entah apa penyebabnya. Ini seperti pertama kali akan bertemu dengan pria itu, tapi aku yakin kali ini alasannya berbeda.Lagi-lagi kuatur langkah se-pelan mungkin supaya tidak menimbulkan suara, lantaran sekecil apa pun suara di ruangan yang sunyi seperti ini pasti akan terdengar.Rajendra masih menutup matanya, itu artinya dia masih terlelap. Mungkin benar yang dikatakan oleh suster kalau Rajendra dalam pengaruh obat.Aku memutuskan untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari tempat tidur Rajendra, itu pun lakuk
“Beberapa menit yang lalu, Pak Rajendra sudah siuman. Namun sepertinya beliau sekarang tertidur karena pengaruh obat.”Setelah mendengar penuturan perawat yang kini berada di sebelah tempat tidur Rajendra, baru aku berani mengangkat wajah. Posisiku saat ini berada di dekat kaki Rajendra yang tertutup selimut. Perlahan aku menggerakkan kepalaku, ada perasaan lega ketika mendengar suamiku itu sedang tidur. Berarti barusan pria itu tidak mendengar ucapanku.Syukurlah. Aku membuang napas perlahan. Menggerakan kaki untuk mendekat ke arah perawat. Meneliti wajah suamiku yang tadi pagi sempat kubenci. Paras rupawan itu sekarang berada di balik beberapa perban yang menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat, aku hanya memandanginya tanpa bersuara.“Biarkan Pak Rajendra beristirahat dulu. Ibu ikut saya sebentar untuk menemui dokter.” Ucapan perawat membuatku menoleh.“Ah, ya, Suster, mari!” Aku yang baru saja beberapa detik di samping tempat tidur Rajendra, akhirnya harus kembali pergi meninggal