“Sabar, dong, Ga. Gue kan lagi jelasin. Gue udah selidiki semuanya dan sengaja pergi ke sana. Ternyata benar, istri Lo, Arum betul tinggal di sana. Gue udah menemukannya,” terang Ibnu membuatku terlonjak saking bahagianya. “Serius, Nu?” “Ya ialah, masa gue bercanda. Entar gue kirim alamatnya setelah ini. ,” jelasnya membuatku bernapas lega. “Makasih atas bantuannya, ya, Nu,” ucapku dengan tulus. Kalau bukan karena bantuan temanku itu Arum tak mungkin kutemukan sekarang. Tak lama setelah panggilan telepon mati, Ibnu mengirimkan alamat Arum di solo melalui pesan. Dengan tak sabar kucek tiket kereta api menuju ke sana hari ini. Ternyata keberangkatan pukul sembilan kurang lima belas menit nanti malam. Kebetulan masih ada tiket dengan kelas eksekutif yang masih kosong. Dapat! Aku mengelus dadaku sambil bersyukur dalam hati. Beruntung sekali aku bisa mendapatkan kemudahan ini. Tak harus menunggu lama untuk segera bertemu dengan Arum. Tiba-tiba rasa rindu ini semakin membuncah. Saking
“Sayang, kamu kenapa? Ini suamimu sudah datang.” Kupeluk tubuh Arum sambil menepuk-nepuk pipinya. Namun, tak ada reaksi apa pun dari istriku itu. Meskipun aku dokter, tak mungkin mengurusnya sendiri tanpa alat. Takut terjadi apa-apa terhadapnya, segera kupesan taksi online untuk membawa kami ke Rumah Sakit terdekat di kota ini. Para tetangga yang mendengar suaraku memanggil Arum, membuat mereka satu-persatu berdatangan untuk melihat kami. Kupindahkan tubuh istriku ke atas sofa di ruang tamu ini. “Maaf, Anda siapa, ya? Kenapa bisa datang ke rumah ini? Apa hubungan Anda dengan Arum?” tanya seorang ibu-ibu yang datang menghampiriku. Dia memandang penuh selidik. “Oh iya, perkenalkan saya Arga, suami dari Arum.” Semua orang mangut-mangut dan saling berpandangan satu sama lain. “Oh begitu, soalnya setahu saya Arum memang hanya tinggal sendiri sejak dia pindah kemari. Saya tidak tahu kalau Mas-nya ini suaminya.” “Tidak apa-apa, Bu.” Aku tersenyum, tak mungkin kukatakan pada semua orang
Menurut dokter kandungan yang memeriksa kondisi kehamilan Arum, beliau mengatakan istriku itu sudah mengandung sekitar delapan Minggu. Berarti, kehamilan ini terjadi sebulan sebelum dia pergi. Kenapa aku tak menyadari ini semua. Sebagai seorang dokter, seharusnya aku tahu, perubahan fisik dari Arum istriku. Atau mungkin aku saja yang tak peka karena terlalu sibuk memikirkan Erika istri mudaku itu. Saat itu aku hanya fokus pada kesenangan diri sendiri. Apalagi kami berdua masih menjadi pengantin baru yang tengah hangat-hangatnya. Aku memang egois sudah abai kepada Arum di saat kondisi psikis dia sedang tak stabil karena hamil. Apalagi hatinya telah kusakiti dengan pengkhianatan. Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya istriku itu sadar. “Alhamdulillah, kamu sudah bangun, Sayang.” Aku tersenyum sambil menggenggam tangannya, membuat dia menoleh dan membulatkan mata dengan lebar. Lalu, dengan cepat Arum melepaskan tautan tangan kami. Dia membuang muka seolah jijik melihat wajahku. “S
Dengan berat hati kutinggalkan Arum lalu mengangkat telepon dari Erika. Suara istri mudaku itu berteriak memekakkan telinga saat kuangkat. Bahkan, belum kuucapkan salam dia sudah nyerocos terlebih dahulu. “Mas, kenapa baru diangkat sih telepon dariku. Mas keterlaluan kenapa ponsel Mas Arga enggak diaktifkan seharian? Aku sampai berkali-kali hubungi tapi enggak bisa,” omel Erika di seberang sana. “Iya, Sayang. Maafkan Mas. Ponsel Mas mati dari pagi habis baterai. Ini baru hidup lagi. Jangan marah-marah terus, Sayang. Ada masalah apa kok sampai nelepon?” “Mas ini kenapa, sih? Aku kan kangen. Memangnya Mas Arga enggak. Aku masih marah, lho Mas ditinggalin gitu aja sama Mas,” ucapnya manja dapat kubayangkan seperti apa muka Erika saat menelepon begini. “Maaf, ya. Mas kan sedang ada keperluan di sini. Kamu sabar untuk beberapa hari. Nanti kita ketemu lagi.” Semoga saja Erika bisa mengerti kalau aku tak bisa pulang cepat. “Mas, aku minta uang dong. Mau belanja, nih. Uangku yang Mas kasi
Awalnya, saat masuk ke rumah ini mengikuti Arum. Dapat kulihat istri pertamaku itu terlihat tak setuju kalau aku menginap di rumah ini. Akan tetapi, dia tak menolak saat kubilang akan menjaganya karena khawatir pingsan lagi nanti. Setidaknya, sebagai dokter suaminya ini bisa mengurusnya serta tahu apa yang dia butuhkan. Apalagi, dengan tegas kubilang akan memastikan kesehatannya dan bayi kami yang masih dalam kandungan. Arum tidak mengatakan apa pun, tak menolak atau pun mengizinkan. Dia terus saja diam seribu bahasa. Kuhampiri Arum yang sedang termenung di dekat jendela yang mengarah keluar. Memandang rintik hujan yang membasahi kampung Laweyan ini. Wajahnya terlihat sendu, tetapi saat kudekati raut mukanya berubah menjadi tegas. Seolah dia menyembunyikan lukanya dengan sempurna di hadapanku. “Sayang, Mas, mohon. Kembalilah ke Jakarta lagi. Bi Surmi dan Mang Mansur tadi ada menelepon. Mereka ingin ketemu. Apalagi, yang paling penting sekarang kesehatanmu. Dokter kan sudah bilang ka
POV Arum “Sayang, ada orang yang cari kamu di depan,” ucap Mas Arga menghampiriku saat sedang merebahkan badan di kasur. “Siapa, Mas?” Suamiku menggeleng. Gegas aku keluar dari kamar untuk melihat siapa yang datang ke rumah. Aku tersenyum kala kulihat Shofie datang menjengukku. “Rum, maafin aku kemarin enggak jenguk kamu di Rumah Sakit. Maklum aku ada kerjaan di luar kota. Jadi, aku pulang ke rumah udah malam. Tapi, aku lega kamu enggak kenapa-kenapa,” jelas temanku itu sambil merangkul serta memeluk. “Iya, enggak apa-apa, Shof. Aku ngerti, kok. Lagi pula aku baik-baik saja. Kamu enggak perlu khawatir, Shof.” Shofie duduk di kursi yang sama denganku, setelah itu kupersilahkan pria yang datang bersamanya untuk duduk di kursi tunggal sebelah kiri temanku. “Rum, pria itu suamimu?” tanya temanku itu sambil berbisik. “Iya,” jawabku tak panjang lebar. Saat ini Shofie hanya membulatkan matanya, mungkin terkejut kenapa Mas Arga bisa menemukanku di sini. “Eh, iya. Kamu masih ingat, kan,
Aku begitu bingung harus bagaimana lagi. Untunglah Shofie membuat suasana di antara kami mencair. Temanku yang satu ini memang pandai bertutur kata. Dia memintaku untuk beristirahat terlebih dahulu. Jangan memikirkan tugasku di tokonya. Kata Shofie, dia sudah meminta saudaranya untuk menghandle pekerjaan ini. Aku merasa tak enak, karena sebagai orang yang dia percaya, dengan seenaknya meninggalkan kewajiban yang temanku itu berikan. Namun, berulang kali Shofie memintaku jangan memikirkan hal tidak penting dahulu. Dia menyuruh untuk menjaga kehamilanku agar tetap sehat. Akan tetapi, aku tak bisa berdiam diri di rumah terus menerus. Aku tak tahu pernikahanku dengan Mas Arga akan bertahan sampai kapan. Jujur, saat ini aku merasa tak ada harapan untuk mempertahankan hubungan kami. Tak lama Shofie dan Bang Satria pamit untuk pulang dengan alasan ada pekerjaan. Mereka memang sedang ada kerja sama. Aku tak tahu Bang Satria memiliki pekerjaan seperti apa. Yang jelas yang kudengar dari obro
“Rum, mama ngerti apa yang kamu rasakan saat ini. Maafkan Arga, ya. Berikan kesempatan untuk putra kami untuk memperbaiki rumah tangga kalian. Menebus kesalahannya selama ini. Kasihan cucu Mama kalau dia lahir tanpa sosok ayah.”Aku terkejut dengan apa yang Mama ucapkan. Tidak bisa kupungkiri, hati ini merasa senang mendengarnya. Apalagi, melihat beliau berubah lebih menyayangi Arum setelah istriku itu dikabarkan hamil. Ini memberikan angin segar ke dalam rumah tangga kami.Tidak ada jawaban apa pun dari Arum. Dia hanya diam membisu di tempat. “Ma, jangan paksa Arum. Mama tahu, kan? Apa kesalahan putra kita saat ini.” Ucapan Papa membuat Arum yang sedari tadi menunduk sambil Memilin ujung hijab miliknya kembali mendongak. Memandang dengan raut wajah penuh pertanyaan.Apa sebenarnya yang ada di dalam hati istriku? Namun, Mama terus saja mencoba membujuk Arum, meski tak ada jawaban apa pun darinya. Sampai, ucapan istriku membuat semua orang tercengang.“Aku sangat terharu Mama sekarang