Bagian 25
Menempuh Bahaya
Mita tak punya kegiatan lain. Tiga hari setelah ia kembali dari Hutan Larangan, wanita itu hanya duduk, diam dan menonton di dalam rumah. Sengaja, ia ingin membuktikan apa benar Erick tak bisa lagi mengendus keberadaan dirinya setelah bermalam di Hutan Larangan beberapa minggu.
Ia mengutak-atik ponselnya, mencoba menghubungi kembali nomor asing yang melakukan panggilan tak terjawab ratusan kali. Mita menebak panggilan itu berasal dari Ana yang telah berganti dengan nomor baru.
Tidak bisa dihubungi, di luar jangkauan, begitu sahut operator, walau telah ratusan kali pula Mita mencoba melakukan panggilan ulang.
Wanita itu menyantap sekerat daging yang ia ubah menjadi olahan dengan bumbu tongseng. Dulu, sering Ana membuatnya dan ia tak bisa menikmati. Seka
Bagian 26Jatuh“Mr Dimas,” sapa Ben pada lelaki yang sedang duduk santai sambil menyesap kopi di dalam ruang tunggu bandara.Sahabat Mita dan Ana itu terperanjat. Ia bukan tak tahu akan dikunjungi oleh orang yang sedang berbicara dengannya, tapi tak ia sangka pula akan secepat ini.“Pergi! Aku nggak akan buka mulut sedikit pun.”“Kalau begitu aku harus memaksamu.” Ben menyuruh dua orang suruhannya untuk menyeret Dimas ke dalam mobil secara perlahan agar tak menimbulkan kecurigaan. Pisau yang ditodongkan di pinggang Dimas membuatnya tak bisa melawan.Di dalam mobil ia diapit oleh dua orang di sisi kiri dan kanan. Perlahan mobilnya memasuki area kastil milik Ben. Tanpa banyak bicara ia dilemparkan
Bagian 27Pesan TerakhirArya menatap bayangan wanita cantik di hadapannya. Perlahan tangan wanita itu terulur dan menyentuh pipinya. Sentuhan yang sangat ia rindukan. Sentuhan yang berasal dari wanita yang sangat ia cintai.“Berbahagialah, kau sudah lama hidup menyiksa dirimu sendiri,” ucap bayang Dewi. Ia mengecup suami yang begitu ia cintai hingga rela mengorbankan nyawanya. Setelahnya ia pergi dengan menembus tubuh Arya yang hanyut dalam kerinduan, hilang begitu saja meninggalkan belahan jiwanya yang begitu menanti untuk bersatu kembali.Tak dapat menentukan ke mana hatinya harus ditambatkan, sang Pangeran lalu merebahkan kepalanya ke batang pohon yang senantiasa menemaninya. Tertidur karena belaian lembut yang diberikan oleh bayang istrinya.“Semoga kalian mene
Bagian 28PertempuranTanah di sekitar wilayah Hutan Larangan bergemuruh. Ratusan makhluk dengan gigi-gigi yang saling bergemeretakan keluar dari dalam tanah. Tanpa ragu mereka lansung mengejar ke inti hutan. Di mana bangsa manusia harimau bermukim.Erick dan Ben telah sampai, gegas mereka pun menyusul jejak kaki ratusan makhluk yang berbekas di tanah. Tak ada makhluk lain yang berani mencegah. Mereka kedatangan tamu di luar dugaan. Manusia berusia ratusan tahun yang juga tak bisa mati. Semuanya hanya menatap dengan penuh rasa penasaran.“Perburuan dimulai.” Erick menyiagakan senapan dan juga ratusan peluru peraknya yang ia bawa dalam sebuah tas.Dua orang itu berlari sekuat tenaga, Ben tertinggal jauh ke belakang. Erick tak memedulikannya, baginya hanya kemat
Bagian 29KeputusanMengendap-ngedap Erick berjalan, ia harus bisa menggapai tujuannya walau harus mengorbankan banyak nyawa. Lelaki Belanda itu kini berada di depan mulut gua. Tempat itu, kini tak memiliki tabir karena seluruh manusia harimau disibukkan dengan kedatangan mayat hidup buatannya.Ia melangkah dengan senapan laras pendek yang diselipkan di pinggangnya. Terus berjalan hingga memasuki sebuah batu berukuran besar yang di dalamnya berbaring seorang lelaki yang mengutuknya ratusan tahun lalu.“Jadi sekarang kau selemah ini. Bahkan harus direndam di dalam air untuk terus bertahan hidup.” Erick memainkan air jernih itu.“Bagaimana kalau aku bantu agar penderitaanmu lebih cepat berlalu?”Lelaki b
Bagian 30Dunia BaruMita duduk di dekat pohon besar yang biasanya dijadikan Arya tempat bersandar. Wanita yang telah ditakdirkan berusia panjang itu, terus menatap ke kedalaman hutan. Di sana ia temukan, sepasang burung yang sedang bercengkrama. Wanita yang baru dinikahi Arya beberapa waktu itu, kemudian, menajamkan pandangannya, mengambil sebuah batu, ingin menguji sejauh mana kemampuannya menghalau dua makhluk lain yang sedang kasmaran. Namun, belum sampai batu itu ia lemparkan, makhluk lain datang dan menjentik kepalanya hingga ia meringis kesakitan.“Kau mau kalau kita sedang berdua saja ada yang mengganggu, ha?” Arya datang dan membuyarkan semua kesenangan Mita.“Nggak apa-apa, malah bagus, gak patah rasanya tulangku tiap malam,” sahutnya sembari memainkan rambutnya yang tumbuh lebih teba
Epilog 1Harimau PutihPawana, terus berjalan meninggalkan Hutan Larangan. Usai memberi pesan pada Arya agar tak membawa seorang wanita ke tempat mereka tinggal. Lelaki berambut putih itu menarik napas panjang. Bukan tak tahu ia ke mana Ana dan anaknya melangkah. Suatu tempat yang ia tinggalkan ratusan tahun yang lalu, ketika ia dan istrinya tak menemukan kesepakatan, hingga Pawana pun mengalah demi menghindari pertikaian. Wanita yang juga sama sakti dengannya, harimau putih dari Bukit Buas tempat mereka pertama kali bertemu.Lelaki berambut putih itu mengubah wujudnya menjadi harimau, terus berlari untuk keluar dari wilayah Hutan Larangan yang sangat luas. Ia tak pernah peduli dengan makhluk lain selagi tak menggangunya, hingga ia sampai di tepi hutan. Lelaki berambut putih dan bermata biru itu memejamkan matanya. Ia membayangkan wajah istrinya, Murti, yang telah lama terpis
Epilog 2Bukit BuasAna melempar ponselnya di ranjang, ketika ratusan kali ia mencoba untuk menelepon Mita, tetapi tak sekali pun sahabatnya menjawab. Hampir sebulan wanita bermata cokelat itu hidup berdua dengan Andra tanpa sedikit pun kabar dari Mita.“Apa kamu mati di tangan Erick.” Ana menggigiti kukunya sendiri. Berbagai macam spekulasi beredar di kepalanya. Wanita itu kemudian tertidur ketika Andra telah lama terlelap, mereka berdua masih tinggal di penginapan sederhana ketika harus kabur dari pengejaran Erick. Satu langkah besar akan diambil wanita bermata cokelat itu besok, hingga ia terpaksa harus memberi kabar pada Mita.***Pagi harinya, Ana kembali ke pasar tradisional tempatnya mencuri dengar tentang sebuah bukit yang menurut legenda, dijaga oleh seekor harimau putih
Sebelum membaca seaon 3 ini pastikan sudah membaca season 1 dan 2 ya, biar ceritanya nyambung. Happy reading. Warning : rate cerita ini sama seperti season 1 Bagian 1 Bangun Dari Tidur PanjangManusia harimau yang telah tertidur selama dua puluh tahun itu membuka mata yang pupilnya berwarna kuning. Bisa Bagus rasakan tubuhnya ditimpa batu-batu besar dan kecil di dalam sungai. Ia mengerakkan tangannya, lalu keluar kuku-kuku tajam yang telah lama tak ia asah ketajamannya. Dengan kekuatannya yang baru saja pulih, manusia harimau itu menyingkirkan semua bebatuan yang mengurung dirinya. Lalu dengan cepat ia berenang ke permukaan sembari wujudnya berubah menjadi harimau seutuhnya. Ia menangkap beberapa ikan baik ukuran besar atau kecil untuk mengganjal perutnya yang sangat lapar. Dua puluh tahun bertahan hidup hanya dengan air, jangan tanya lagi rasa lapar yang ia tanggung. Mungkin saja seisi hutan bisa ia babat untuk mengisi perutnya. Sebelum ia mencari di mana keberadaan Ana dan juga
Waktu terus berjalan sampai malam hari dan Andra belum bisa menjawab pertanyaan dari Nay harus pindah ke mana. Bukan soal barang-barang yang ia khawatirkan, benda-benda itu bisa dibeli lagi. Tapi soal kehidupan sebagai separuh binatang dan manusia. Sulit untuk berbaur dengan orang ramai. Tak semua paham menjaga sikap. Dengan warga desa di sini hanya karena ada aturan dari penguasa saja makanya mereka tunduk. Sambil berbaring, Andra melipat dua tangan di belakang kepalanya. Apa harus pergi ke pegunungan Himalaya? Tapi terlalu dingin, mungkin cocok bagi Nay tapi tidak baginya. Atau ke Hutan Larangan? Di sana ada Murti dan Pawana. Tak terlalu suka Andra dengan dua harimau putih itu. Bingung. Tangan Nay tiba-tiba berpindah memeluk Andra yang dari tadi melamun saja. Lelaki itu tergugah sedikit. Mungkin bisa mencari inpirasi usai menghangatkan diri pada tubuh dingin seekor ular. Mulailah si pejantan beraksi menyentuh setiap jengkal kulit betina yang halus tanpa cela. Ular itu pun mulai
“Murti, kau di sini.” Candramaya meliha temannya duduk di singgasana milik Darma. “Iya, kalian sudah kembali. Akhirnya kau dapat juga apa yang kau mau,” jawab Murti sambil memperhatikan wajah Candramaya yang asli. “Setelah hampir ribuan tahun menunggu. Rasanya semua ini melelahkan.” Candra menghela napasnya yang dingin. “Lelah apanya? Sekarang dia ke mana?” Maksud Murti kandanya kenapa tidak kembali. “Terakhir aku meninggalkan dia penginapan, mungkin dia masih tidur.” “Astaga, kalian benar-benar kasmaran sampai lupa menjaga bukit. Sekarang karena kau sudah kembali, aku akan pergi ke tempat suamiku.” Murti beranjak dari singgasana milik kandanya. “Bagaimana dengan kehidupanmu di sana?” Candra menahan tangan Murti. “Kami baik-baik saja, semoga kau juga sama, Candra, penantian dan kesetiaanmu layak mendapatkan hasil yang memuaskan. Kalau kanda tidak juga luluh tinggalkan saja bukit ini. Lebih baik cari lelaki lain yang peka dengan perasaanmu.” Murti mengelus jemari Candra yang hal
Candramaya terbangun di kamar hotel tempatnya menginap. Ia tak sadarkan diri selama beberapa hari akibat minumal alkohol yang dicicipi. Saat bangun, ia hanya menggunakan selimut saja. Sedangkan di lantai bagian bawah, ada seekor harimau putih yang bermalas-malasan. “Sepertinya kami terlena tinggal di kota. Ini tidak bisa dibiarkan.” Candra bangkit dan mencari sumber air. Ia yang kurang tahu tentang kehidupan modern menendang pintu kamar mandi padahal tinggal dibuka saja. Ketiadaan air di dalam bak mandi layaknya telaga membuat ular tujuh warna itu merusak shower hingga airnya terus mengalir. Candra tak peduli yang penting ada air untuk membersihkan sisiknya yang terasa berdebu.“Kenapa airnya panas sekali.” Wanita itu tak sadar menghidupkan penghangat. Tak ingin Canda berendam di sana. Keadaan di luar bukit sama sekali tidak membuatnya tenang. Ular tujuh warna itu tak peduli lagi dengan Damar yang ingin tinggal di hotel atau tidak. Candra pun memejamkan mata dan menghilang, kemudi
Waktu berjalan hingga telah ratusan tahun lamanya sejak Damar, Weni, Murti dan Pawana menjadi separuh binatang buas. Pun dengan lingkungan yang telah berubah sangat berbeda. Orang-orang tak lagi menggunakan kuda, meski masih ada beberapa yang mempertahankan tradisi. Rumah mulai dibuat dari batu, semen, serta besi, tak lupa pula keramik hingga bahkan istana raja zaman dahulu kalah indahnya. Semua itu normal dimiliki oleh manusia biasa. Namun, Damar memiliki aturan sendiri di bukit tempatnya berkuasa. Tidak boleh ada aliran listrik sebab akan timbul kebisingan di sekitarnya. Tidak boleh ada modernitas apa pun, bahkan kendaraan saja masih sama seperti dahulu. Sederhana saja, siapa yang mampu dia akan bertahan tinggal di Bukit Buas. Apalagi di desa tetangga masih bisa melakukan aktifitas yang sama. Murti dipercaya oleh Damar untuk menerima siapa pun yang tinggal di desa. Selain orang itu bisa diajak bekerja sama dan tidak mengurus kehidupan para binatang di dalam bukit. Murti—wanita
Pawana baru saja menyelesaikan semedi jangka panjangnya. Ia menjadi semakin bijaksana juga sakti. Hanya satu kekurangannya, yaitu ia bukanlah penguasa di Bukit Buas. Murti mendatangi dan memeluk suaminya. Lelaki yang sejak jadi harimau lebih memilih dekat dengan alam, wanita itu jadi merasa terabaikan. “Setelah ini mau bertapa lagi? Tidakkah Kang Mas tahu anak kita sudah besar semua dan mencari hidupnya sendiri-sendiri,” ujar Murti sambil menggamit tangan Pawana. “Mereka pergi semua?” tanya lelaki berambut putih itu. “Iya, semua sudah besar, yang lelaki pergi mencari wilayah sendiri, yang perempuan pergi bersama pasangannya. Aku tak bisa melarang mereka sudah punya hidup sendiri.” “Berapa lama waktu yang aku lewati memangnya?” Pawana tak sadar dengan kesepian diri sendiri. “Ratusan tahun sepertinya, kali ini memang Kas Mas terlalu lama. Aku hampir saja mencari jantan lain.” “Kau tak akan bisa melakukannya. Kau itu sudah terikat denganku,” jawab Pawana sambil tersenyum. Namun, a
Samar-samar sang penguasa Bukit Buas mendengar suara teriakan seorang perempuan. Sebenarnya ia tak mau ikut campur urusan lain. Namun, semakin lama suara itu justru terdengar semakin pilu dan masih terjadi dalam wilayah kekuasannya. Manusia harimau putih itu menghilang dan mencari sumber suara. Ia berubah menjadi seekor harimau dan berlari cepat bahkan nyaris menumbangkan beberapa pohon. Beberapa saat kemudian harimau itu sampai di sebuah tempat. Di mana Sora sedang mencabik-cabik kain sutera yang menutupi tubuh Candramaya. Harimau itu memejamkan mata, ia perhatikan dengan baik lalu melangkah mundur sebentar dan berlari kencang hingga menerjang Sora yang nyaris sedikit lagi merenggut harga diri Candramaya. Ular tujuh warna itu terkejut ketika harimau putih melompat melewati atas tubuhnya. Ia pun bangkit dan menutupi diri dengan sisa-sisa kain di badan. Tadinya Candra mengira kalau harimau itu Murti. “Sepertinya dia bukan Murti,” gumam Candra dari balik pohon. Pertama kali sejak
Candramaya turun ke bawah dengan perasaan tak menentu. Jujur tak mudah baginya untuk melupakan paman yang mengajarkan arti cinta pertama kali. Tapi melihat lelaki itu bersanding dengan yang lain pun ia tak kuat. “Apakah ini yang namanya bodoh. Pergi tak mampu bertahan sakit?” gumamnya sambil menuruni bukit. Sekali lagi ia menoleh, terdengar suara Damar dan istri manusia biasanya bersenda gurau. “Cih, bahkan kandaku tak memandangmu sedikit pun. Benar kalau matanya itu ada penyakit,” ucap Murti dengan bibir dimiringkan. “Cinta tidak bisa dipaksakan, Murti. Mau kau bilang aku paling cantik di dunia ini tetap saja kalau bukan aku yang dia mau, aku tak akan ada nilai di matanya.” “Aku hanya kasihan dengan manusia itu. Nanti dia akan ditiduri dan jeritnya terdengar sampai seluruh bukit, lalu hamil dan mati karena melahirkan, tak pernah ada istri kandaku yang hidup dan mampu berubah jadi harimau. Kasihan, hidup hanya untuk jadi pemuas saja.” “Sudah takdir mereka, beberapa perempuan mema
Sora menepi ketika air sungai tak mengalir deras lagi. Ada beberapa bekas luka gigitan di tubunya. Ia akui perlawanan ular betina tadi cukup ganas, meski bisa saja ia langsung bunuh, tapi Sora menginginkan tubuhnya. “Kau terlalu berani, akan aku ajarkan bagaimana caranya agar menurut padaku.” Sora meludah, ia membuang racun ular yang tadi sempat ditancapkan Candramaya. Ular hitam itu berjalan sambil mencium aroma bunga yang begitu khas. Jelas sekali hanya satu perempuan di dunia ini yang memilikinya. Lelaki itu berubah menjadi ular hitam kecil, ia melata mengikuti semilir angin yang akan mendekatkanya pada Candramaya. Wilayah kekuasaan Damar cukup luas. Tak ada yang berani mengusik sebab tahu ia siapa. Semua binatang jadi-jadian tunduk padanya, termasuk Sora. Tapi untuk urusan perempuan cantik lain lagi ceritanya. “Lagi pula harimau putih itu sudah memiliki istri bergonta-ganti, untuk yang ini berikan saja padaku,” gumam Sora dari atas pohon. Di sana ia bergelung karena aroma bun
Seekor ular hitam yang sudah berumur ratusan tahun tinggal di Bukit Buas. Ia merupakan binatang tak memiliki tuan. Hidupnya bebas. Sora namanya, sebab ia berubah menjadi ular karena memang bersekutu. Ia memang bengis dan kerap mencari mangsa perempuan. Baik untuk diajak tidur atau setelahnya dimangsa. Hitamnya hati membuat warna sisiknya menjadi hitam juga. Dari tepi sungai ia memperhatikan seekor ular betina yang memiliki kecantikan layaknya bidadari. “Penghuni baru sepertinya. Akhirnya ada juga yang sama sepertiku,” ujar Sora sambil menelisik Weni. Ular betina itu masih bergelung di atas pohon untuk bermalas-malasan. Waktu yang terus berjalan membuat Weni turun dari dahan. Saat itulah Sora baru tahu bahwa selain cantik seperti bidadari, Weni juga memiliki kemampuan untuk membunuhkan bunga tujuh warna. Daerah yang kerap kali becek dan kotor dibuatnya jadi indah. “Aku harus mendapatkanmu, apa pun caranya.” Sora berubah menjadi ular dan masuk ke dalam sungai. Ia menanti Weni mandi