"Hai, Wanita Buruk Rupa. Saya dengar dari suamimu, kamu habis ke-grep, ya. Kasihan. Baguslah, itu berarti saya bisa lekas menggantikan posisimu.”
Nilna tahu betul siapa wanita yang kini ada di hadapannya. Dialah Rosa, kekasih Satria. Keduanya bahkan tidak segan dan sering menunjukkan kemesraan di depan Nilna. Entah itu secara langsung atau via telepon.
Rosa mengetuk-ngetukkan jari di meja depan Nilna. Sementara seperti biasa, Nilna hanya menunjukkan wajah tenang.
“Kenapa diam? Ngerasa malu? Etapi, masih punya nyali juga kerja di sini,” ujar Rosa sambil tersenyum buaya.
Nilna ikut tersenyum meski batinnya berdenyut manyun. “Cepat sekali, ya, beritanya menyebar. Heran. Pasti kamu puas banget.”
“Jelas. Jadi, saya tidak perlu bersusah-susah memutar otak, mengotori tangan saya demi memisahkan kalian. Nggak nyangka, kelihatannya alim, berkerudung, ternyata kelakuannya busuk. Digrebek pula sama semua keluarga. Malu nggak, tuh? Atau jangan-jangan kerudungmu cuma buat tutup aja? Padahal lehernya ....” Rosa berucap sambil memainkan kukunya yang panjang.
“Jaga ucapanmu!” desis Nilna. Kalau tidak sedang ada di tempat kerja, mungkin ia bisa menghadiahi bibir Rosa dengan telapak tangannya.
“Jadi penasaran, kira-kira siapa, ya, yang doyan sama wanita buruk rupa kayak kamu ini.” Rosa kembali tertawa.
Awalnya Nilna geram luar biasa, tetapi ia mencoba kuat. Akhirnya, ikut tertawa demi meladeni Rosa. “Terserahlah, ya, mau mikir apa. Toh, dijelaskan pun hanya buang-buang tenaga. Saya jadi curiga ini semua justru karena persekongkolanmu sama Bang Satria untuk memfitnah saya.”
Rosa ikut tertawa. “Pinter juga berkilah dan mencoba memutar fakta. Eh, kalau selingkuh, ya, selingkuh aja. Jangan malah menuduh saya. Tapi apa pun itu, saya sangat bahagia karena sekarang kamu sudah hancur. Selamat menderita, selamat menjanda.”
“Waw, terima kasih atas ucapannya. Saya sangat terharu.” Nilna menguatkan diri untuk bersikap bijak menghadapi wanita ular di hadapannya.
“Nanti kalau kamu sudah resmi menjanda, saya akan syukuran.” Rosa tertawa sangat kencang.
Meski mereka bertengkar, tetapi terlihat seperti bercanda.
“Saya tunggu hari bahagianya. Daa.”
Rosa kemudian berlalu menuju salah satu kursi dan memesan makanan kepada seorang waitress. Nilna mengembuskan napas panjang. Ia harus terlihat kuat dalam menghadapi letusan fitnah yang begitu menyakitkan ini.
“Kuat, Na, kuat!” Nilna mengepalkan tangannya kuat-kuat.
**
Jam sepuluh malam, Nilna masih duduk di taman belakang restoran. Ia bingung harus ke mana. Kembali ke kos-kosan Anggi atau ke rumah untuk menyelesaikan masalahnya dengan Satria. Ia merasa tidak bisa terus menghindar. Hanya saja, perlu sedikit waktu menguatkan mental ketika bertemu mereka lagi.
“Belum pulang?” sapa suara bariton. Nilna menoleh. Ada Lukman, pria bagian koki di restoran berdiri di hadapan, lalu duduk di sampingnya. Nilna menggeleng.
“Tapi motor di parkiran sudah nggak ada. Kamu nggak bawa motor?”
“Iya, Mas. Aku nggak bawa motor. Ini masih berusaha pesen ojek online.” Nilna berbohong. Ia juga tidak tahu nasib sepeda motornya yang mungkin ada di teras saat ia dibekap.
“Aku antar aja ayo. Daripada nunggu ojek lama. Lagian, sudah malam. Driver udah pada pulang mungkin.”
“Nggak usah, Mas.”
Awalnya Nilna menolak, tetapi Lukman terus memaksa. Akhirnya, wanita itu pasrah saat Lukman memakaikan helm di kepalanya.
Dengan dibonceng Lukman, Nilna pulang ke rumah. Ia tidak peduli bagaimana nanti tanggapan keluarganya.
“Bahkan selama menikah, Bang Tria nggak pernah memboncengku seperti ini. Astagfirullah.” Nilna bergumam lirih. Ia yang sempat membanding-bandingkan, lekas kembali waras. Wanita itu merutuki diri sendiri yang selama ini begitu bodoh dan selalu memaklumi sikap sang suami. Padahal jelas dari awal pernikahannya berpenyakit.
Tiba di jalan depan rumah, sepeda motor Lukman berhenti. Nilna pun turun.
“Makasih, ya, Mas.”
“Iya, sama-sama. Selamat malam, Na. Assalamualaikum.”
Pria itu langsung tancap gas setelah Nilna menjawab salamnya.
Kunci masih setia berada di tas Nilna. Ia tidak perlu repot membangunkan orang dalam rumah. Begitu masuk, kondisinya gelap. Karena haus, wanita itu langsung menuju dapur. Alangkah terkejutnya saat ia melihat seseorang tergeletak di lantai.
Cepat-cepat Nilna menghampiri dan melihatnya. “Ibu!”
Mata Maya terkatup, tubuhnya sangat lemah. Nilna berusaha membalik tubuh mertuanya yang awalnya telungkup.
“Bang Tria, Samira! Ibu pingsan!” Nilna berteriak. Beberapa kali dilakukan. Dalam teriakan ketiga, Samira datang.
“Ibu kenapa?” tanya Samira.
“Nggak tahu. Panggil abangmu, Ra. Kita bawa Ibu ke rumah sakit.”
“Abang dari tadi belum pulang, Kak. Apa Kakak nggak tahu kalau mobilnya nggak ada!” Samira malah membentak.
“Ya udah, kamu tunggu di sini. Biar Kakak ke rumah Pak RT minta bantuan.”
Nilna bangkit dan berjalan tergesa-gesa keluar rumah. Begitu sampai di depan gerbang, ada lampu mobil yang menyorotnya. Hampir saja tubuh itu tertabrak kalau saja pengemudi tidak menginjak rem. Nilna berhenti seketika.
Pengemudinya turun, lalu menatap Nilna nyalang. “Selain buruk rupa, apa sekarang kamu juga buta! Depresi? Sampai-sampai kamu ingin bunuh diri, hah!”
“Bang, I-ibu pingsan di dalam. Aku tadi mau ke rumah Pak RT minta bantuan karena Abang–“ Belum lengkap penjelasan Nilna, Satria menabrak tubuhnya dan berlari memasuki rumah. Nilna sedikit terhuyung dan lekas memegangi pagar rumah agar tidak terjatuh.
Nilna hanya menghela napas panjang dan mengembuskannya kasar. Dalam kondisi krisis pun, Satria tetap menyakitinya.
Tak butuh waktu lama, Satria kembali keluar seraya menggotong Maya diikuti Samira dari belakang. Nilna mencoba membantu dengan membuka pintu mobil bagian belakang, tetapi tangannya mengambang di udara saat suara seseorang menginterupsi.
“Jangan sentuh karena sulit mendapatkan debu untuk membersihkannya setelah tanganmu hinggap di situ!” Suara Satria penuh penekanan.
Nilna terbengong-bengong. Begitu jahatnya Satria yang menilai sentuhannya seperti sentuhan an*jing.
Samira menggeser tubuh Nilna dan membuka pintu. Nilna yang tahu diri, mundur beberapa langkah. Lalu, tubuh Maya dimasukkan setelah sebelumnya Samira berada di dalam.
“Semua ini pasti karena ulahmu! Kalau ada apa-apa sama Ibu, awas kamu!” Satria mengacungkan telunjuk di wajah Nilna. Ia lalu berlari menuju pintu bagian kemudi dan masuk.
Mobil itu kemudian melaju, meninggalkan Nilna dengan segala kesakitan dan air matanya.
**
Nilna masih ingat betul awal mula ia dan Maya bertemu. Maya seorang pengusaha kerupuk yang memiliki beberapa karyawan. Wanita itu juga seorang ketua PKK dan UMKM warga sekitar. Berkat usahanya, banyak kaum ibu yang terbantu perekonomian karena bekerja dengannya.
Saat itu, Maya menawarkan produk makanan ringan hasil dari UMKM kepada pihak restoran lewat Nilna. Sambutan baik diterima pihak restoran. Maya dan Nilna sering berinteraksi hingga keduanya akrab. Maya juga sering memesan katering di restoran itu jika ada acara di rumahnya. Pun Nilna kalau senggang, ikut belajar membuat kerupuk di tempat Maya. Simbiosis mutualisme.
Suatu hari, Maya yang punya riwayat darah tinggi, tiba-tiba pingsan saat di restoran. Dengan cekatan dan sabar, Nilna yang mengurus setelah meminta izin sang manajer untuk membawa Maya ke rumah sakit. Sang bos mengizinkan.
Dari situ, Maya makin sayang dan jatuh hati kepada Nilna yang tidak banyak bicara tetapi pekerja keras.
“Mau nggak jadi mantu Ibu? Pokoknya harus mau, ya?” Pertanyaan berulang-ulang dari Maya selalu seperti itu. Nilna pun hanya tertawa karena menganggap itu hanya lelucon.
“Yang jadi pertanyaan, mau nggak anak Ibu sama aku?”
“Dia itu anaknya manut. Pasti maulah. Apalagi sama kamu yang cantik ini.”
Nilna yang dulu memang cantik alami. Wajahnya hanya disapu sedikit bedak dan lipstik saat bekerja. Hanya saja, tubuhnya agak berisi. Itu yang membuatnya sering minder.
“Pacar anak Ibu itu matre, boros karena diam-diam, Ibu sering memata-matai dan mengecek bagaimana anak Ibu menghabiskan uangnya. Tiap pulang pacaran, dia mengeluh uangnya habis. Nggak bisa dibiarkan, bukan?”
Nilna hanya tersenyum.
“Atau kamu sudah punya pacar?” Pertanyaan Maya kembali dijawab Nilna dengan senyuman.
“Aku nggak pernah punya pacar dan nggak ingin pacaran, Bu. Lagi pula, mana ada laki-laki yang mau sama orang bulat kayak pentol macam aku ini?”
Maya tertawa, lalu menggenggam telapak tangan Nilna. “Kamu itu cantik luar dalam. Tapi sebenarnya, sejatinya cantik itu dari hati, bukan dari wajah. Dari ceritamu yang tidak punya pacar itu, menunjukkan kamu wanita terjaga. Dan Ibu makin yakin kamu pasangan tepat untuk Satria, anak Ibu.”
Nyatanya, keadaan visual masih menjadi patokan termasuk Satria. Pria itu menolak keras dan selalu menyindir Nilna karena kondisi tubuhnya.
Nilna dari awal juga tidak terlalu yakin menerima tawaran Maya. Namun, ada beberapa alasan yang membuatnya nekat meski tahu Satria jelas-jelas menolak. Salah satunya, Maya pernah sakit parah dan terus memohon kepada Nilna.
Suara deru mobil terdengar, membuyarkan lamunan Nilna. Ia sengaja tidak tidur karena menunggu kabar dari sang mertua. Cepat-cepat ia berdiri dan keluar kamar. Begitu kakinya baru satu langkah melewati pintu, seseorang menatapnya seolah-olah menguliti.
“Keluar dari rumahku! Kamu bukan lagi istriku tapi kenapa masih di sini, hah!”
"Keluar dari rumahku! Kamu bukan lagi istriku, tapi kenapa masih di sini, hah!”“Gi-gimana keadaan Ibu, Bang? Tadi aku udah beresin barang Ibu yang mau dibawa.” Terbata-bata Nilna mengucapkannya saat sang suami kian merapatkan tubuh kepadanya.Satria mendekat, sedangkan Nilna bergerak mundur. Tatapan tajam Satria beradu dengan pandangan sendu Nilna. Keduanya berhenti saat tubuh Nilna terantuk tembok. Satria mengurungnya dengan kedua tangan.“Masih berani kamu tanya kondisi ibu?” Satria bertanya lirih, tetapi penuh penekanan.“A-aku salah apa lagi?”“Ibu kena stroke dan ini gara-gara kamu, Nilna! Dia pasti kepikiran dengan kelakuan busukmu tadi pagi!”“Bang, berkali-kali aku bilang demi Allah aku enggak ngelakuin apa-apa. Aku nggak sadar.”“Lantas kenapa kamu bisa ada di hotel!”“Kalau pertanyaannya dibalik. Kenapa Abang bisa tahu aku ada di hotel!”“Kamu masih bisa tanya? Hah! Lawak. Ada seorang pria yang menghubungiku dengan ponselmu! Dan apa katanya? Dia mengakui semua kalau kalian
“Luar biasa kalian. Kalau mau me*sum, minimal sewa hotel, jangan di rumah sakit! Nggak malu kalau tiba-tiba ada perawat masuk!” Nilna kembali berteriak.Mati-matian Nilna tetap menguatkan diri untuk masuk ke kamar Maya. Ia berusaha mengabaikan dua manusia yang mungkin saat ini sedang kehilangan kewarasan. Mereka menunggu orang sakit, tetapi justru tertawa dan ber*cumbu mesra dengan Rosa ada di pangkuan Satria.Saat melihat kedatangan Nilna, Satria menoleh dan melepaskan diri dari Rosa. Nilna tidak peduli meski tahu Satria menatapnya tajam. Ia berjalan menuju samping ranjang Maya, lalu mengelus tangan wanita paruh baya yang tengah terlelap itu lembut. Diletakkannya makanan yang dibawa ke nakas samping Maya terbaring.“Bilang aja kalau kamu cemburu?” Rosa berjalan menghampiri Nilna.Nilna hanya menoleh sambil tersenyum.“Aku bahkan sudah khatam melihat kemesraan kalian. Dan hatiku mungkin sudah mati rasa saat melihat kalian kayak gitu.”“Oh, kasihan sekali. Istri, tapi tidak pernah dise
“Iyalah. Maksud Kakak apa nanya gitu?”“Kakak hanya curiga semua fitnah ini konspirasi dari abangmu. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin hanya perasaan Kakak saja. Lalu, kenapa kamu dan Ibu ikut Bang Satria waktu itu?”“Kakak ini playing victim, ya. Udah tahu salah, masih aja melempar kesalahan ke Abang. Asal Kak Nilna tahu, aku sama ibu diajak Abang yang saat itu tergesa-gesa. Kami nggak tahu diajak ke mana karena Abang hanya diam saja saat ditanya. Ternyata diajak buat mergoki sendiri ulah menji*jikkan Kakak. Udah ah. Aku mau nemui Ibu.” Gadis yang masih duduk di bangku SMA itu melangkah, menjauhi Nilna.Baru beberapa langkah, tangan Samira dicekal Nilna. “Titip Ibu. Jaga beliau baik-baik. Kalau ada apa-apa, kabari Kakak.”“Basi, Kak. Tanpa Kakak bilang, aku dan Abang akan jaga Ibu. Kami sudah nggak butuh Kakak lagi, nggak butuh hubungi Kakak lagi.” Samira melepaskan kasar pergelangan tangannya dari cengkeraman Nilna.Nilna meremas tali tasnya untuk meredam panas hati yang tengah bergejolak
Teriakan dari luar kamar kos-kosan diabaikan Nilna. Ia bersimpuh di lantai sambil menutup kedua telinga dengan ponsel masih di genggaman tangan kanan. Air mata wanita berwajah pucat itu terus berderai. Hingga akhirnya, suara di luar yang merupakan suara pemilik kos-kosan menghilang.Perlahan, ia merebahkan dirinya di lantai. “Apa ini yang dimaksud Bang Satria sanksi sosial? Tega sekali dia, Ya Allah.”Nilna terus terisak sambil mendekap dada dengan kedua tangan.“Aku lelah, ingin menyerah.”**Video dengan Nilna tokoh utamanya terus menyebar ke orang-orang terdekat Nilna. Mereka semua menggunjing dan mencemooh wanita itu seenaknya.Nilna pun terpaksa bercerita kepada Anggi tentang tragedi yang dulu pernah menimpa dan kenapa bisa ada video itu. Ia tidak ingin sang sahabat ikut menyalahkan dan mengucilkannya.“Aku ngerasa bo*doh dan kotor dalam satu waktu, Nggi. Sementara pelakunya bebas berkeliaran di luar sana,” ujar Nilna.“Usut ke hotelnya. Di sana ada CCTV.”“Udah dan aku nggak dii
Begitu dicek, hasilnya ... garis dua. Nilna terduduk lemas di lantai kamar mandi.“Ini nggak adil buatku! Ini sangat keja*m!” Nilna menutup telinga dengan kedua tangan seiring bisikan nakal setan terus-menerus seperti ditiup ke telinganya.Nilna memukuli perutnya dengan sangat kuat. Ia berharap noda di dalamnya bisa luruh.Setelah menangis cukup lama, Nilna benar-benar tidak kuat. Wanita itu berdiri mengambil gunting yang biasa digunakan untuk memotong sampo atau sabun. Dengan tangan gemetar dan mata terpejam, ia memutus urat nadi tangan kirinya. Tekanan hidup benar-benar membuatnya gelap mata.Tepat saat darah mulai keluar, hatinya mati rasa. Sudah tidak ada lagi tangis atau sekadar ucapan protes kepada Sang Maha Kuasa. Rasa sakit di pergelangan tangan sebisanya tidak dirasakan. Wanita itu juga masih sempat memasukkan hasil tes kehamilan ke saku baju.Matanya hanya menyorot kosong saat melihat darah menetes di lantai kamar mandi. Perlahan, pandangannya mengabur, kepalanya terasa berp
“Sudah bangun?” tanya pria itu kembali sambil tersenyum.Sementara Nilna masih berusaha menormalkan kinerja jantung yang hampir lompat dari tempatnya.“Mas Lukman ngagetin aja. Sejak kapan ada di sini?” tanya Nilna.Lukman hanya tertawa menanggapinya. “Baru lima jaman. Ya, maaf kalau bikin kamu kaget.”Nilna mengamati jam dinding. Perasaan baru sejam yang lalu ia tertidur. Ia tahu Lukman bercanda.“Kenapa nggak dibangunin?”“Nggak tega. Pules banget kayaknya.”Pria itu mengambil sesuatu dari nakas. Setelah sebuah styrofoam sudah ada di tangan, ia mengangsurkan kepada Nilna setelah menata isinya. Ada nasi hangat dan cumi-cumi lada hitam yang terlihat menggugah selera.“Makasih.” Nilna menerimanya. Entah dari mana Lukman tahu kalau itu makanan favoritnya. Apalagi olahan tangan Lukman memang tidak diragukan lagi rasanya.“Makanlah. Entah sudah berapa abad kamu nggak makan sampai kurus kering begini.” Lukman mencoba bergurau.“Terakhir ketemu kamu sekitar sebulan yang lalu. Hampir saja ak
Pria itu mendekat hendak menyiramkan sesuatu ke tubuh Nilna yang masih mengeluarkan isi lambung. Posisi Nilna membelakangi hingga tidak sadar ada bahaya yang mengintai.“Hey, mau apa kau!” Suara bentakan terdengar.“Nilna awas!” Suara Lukman terdengar melengking.Pria asing itu lalu berlari menjauh sebelum niatnya terealisasi.“Hey, tunggu! Jangan kabur!”Lukman hendak mengejar, tetapi urung karena melihat Nilna yang duduk terkulai. Wanita itu syok dan lemas. Wanita berhijab navy tersebut masih terus muntah sambil memegangi kepala yang kian terasa pusing.“Kamu kenapa bisa sampe kayak gini?” tanya Lukman.Nilna tidak bisa menjawab. Dalam keadaan biasa saja ia sering mual dan muntah, apalagi ketika mencium bangkai? Mual bertambah luar biasa.Lukman memberanikan diri masuk kamar kos-kosan untuk mencari air. Beruntung ada sebotol air mineral yang ada di atas meja tidak jauh dari pintu. Setelah barang yang didapat ada di tangan, Lukman kembali keluar. Betapa terkejutnya pria berkaus abu-a
“Nggak usah repot-repot mengabarinya.” Nilna menggeleng.Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan? Satria sudah barang tentu tidak mau datang karena itu bukan anaknya. Seumur pernikahan, pria itu tidak pernah menjamah Nilna. Mustahil juga menjelaskan semua itu kepada Lukman.Di rahimnya ada janin pria bi*dab entah siapa. Haruskah ia mencari? Namun, untuk apa? Kalau tahu siapa penj*hat itu, apa semua akan baik-baik saja atau justru makin runyam? Terlalu pusing Nilna memikirkan.Kemarin, saat rawat inap pertama dokter sudah melakukan sugesti dan beberapa terapi agar Nilna tenang dan itu sedikit membantu. Ia sudah agak tidak terlalu memikirkan kehamilannya. Namun, setelah kiriman paket itu, jiwanya tertekan lagi. Belum lagi ditambah akan dilakukan USG. Nilna seperti akan melihat hasil noda permanen di rahimnya.“Mas pulanglah. Biar aku yang nanti meneleponnya sendiri. Itu urusanku. Jangan ikut campur terlalu dalam.” “Sekali nggak tetap nggak. Aku akan menemanimu. Kalau suamimu benar-benar d
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z