“Iyalah. Maksud Kakak apa nanya gitu?”
“Kakak hanya curiga semua fitnah ini konspirasi dari abangmu. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin hanya perasaan Kakak saja. Lalu, kenapa kamu dan Ibu ikut Bang Satria waktu itu?”
“Kakak ini playing victim, ya. Udah tahu salah, masih aja melempar kesalahan ke Abang. Asal Kak Nilna tahu, aku sama ibu diajak Abang yang saat itu tergesa-gesa. Kami nggak tahu diajak ke mana karena Abang hanya diam saja saat ditanya. Ternyata diajak buat mergoki sendiri ulah menji*jikkan Kakak. Udah ah. Aku mau nemui Ibu.” Gadis yang masih duduk di bangku SMA itu melangkah, menjauhi Nilna.
Baru beberapa langkah, tangan Samira dicekal Nilna. “Titip Ibu. Jaga beliau baik-baik. Kalau ada apa-apa, kabari Kakak.”
“Basi, Kak. Tanpa Kakak bilang, aku dan Abang akan jaga Ibu. Kami sudah nggak butuh Kakak lagi, nggak butuh hubungi Kakak lagi.” Samira melepaskan kasar pergelangan tangannya dari cengkeraman Nilna.
Nilna meremas tali tasnya untuk meredam panas hati yang tengah bergejolak antara marah dan kecewa.
**
Sambil menunggu mendapatkan kos-kosan baru, Nilna masih menumpang di tempat Anggi. Ia langsung pergi dari rumah Satria setelah pulang dari rumah sakit menjenguk sang mertua waktu itu. Nilna ingin secepatnya pergi dari daerah tersebut setelah proses perceraiannya dengan Satria nanti tuntas. Ia ingin memulai hidup baru meski bayang-bayang hitam kejadian memilukan waktu itu selalu mengiringi. Pergi sejauhnya dari Satria adalah pilihan tepat.
Nilna selalu merasa dirinya kotor dan tidak berarti. Setiap hari, ia selalu menangisi kisah hidupnya yang pilu.
Jika ia serupa kertas, tragedi waktu itu serupa noda tumpah yang mengotori, tidak bisa dihapus. Wanita berpostur tinggi itu ingin hidupnya sempurna dengan tinta yang tertulis rapi. Namun, tinta yang merupakan penggambaran dari sosok Satria tidak ubahnya hanya memberi coretan tidak bermakna, mengoyak harga dirinya, dan menusuk-nusuk ketahanannya. Ditambah tragedi di hotel. Sempurna sudah penderitaannya.
Setiap hari, Nilna masih bekerja. Namun, ada yang berbeda dari tatapan semua rekan kerjanya hari ini. Sejak berangkat, ia merasa seperti dipandang penuh selidik.
“Na, dipanggil bos ke ruangannya,” ujar salah seorang rekan kerjanya. Nilna mengangguk.
Dengan gelisah, ia menuju ruangan manajer. Di sana, sang bos sudah menunggu dengan raut tegang.
“Permisi, Bapak manggil saya?” tanya Nilna kepada Ridwan setelah duduk di kursi. Sementara bosnya itu ada di depannya. Keduanya dipisahkan meja.
“Jelaskan apa ini?” Ridwan bertanya sambil meletakkan ponsel di meja, menyuruh Nilna melihatnya.
Di sana, terpampang video berdurasi dua menit yang mempertontonkan tubuh polos Nilna. Wanita itu terlelap. Sementara ada seorang pria yang tidak terlihat wajahnya sedang melakukan hal tidak senonoh kepadanya.
Nilna membekap mulut. Detakan jantungnya berdetak lebih cepat. Napasnya tidak beraturan. “Astagfirullah.”
“Ini kamu, ‘kan?”
“Pak, Bapak lihat sendiri saya dalam kondisi tidak sadar. Saya waktu itu pingsan, Pak. Ada yang membekap mulut saya dan begitu bangun saya ada di situ.”
“Saya tidak peduli dengan penjelasanmu, Nilna. Yang saya pedulikan restoran ini, nama baiknya, karyawannya. Saya tidak bisa mempertaruhkan semua itu demi satu orang yaitu kamu. Jika kamu masih berada di sini, restoran akan kena imbasnya.”
“Apa itu berarti saya dipecat, Pak?”
“Tepat sekali. Nilna, saya harap kamu paham. Saya harus mengorbankan kamu demi hajat hidup banyak orang. Saya takut satu hal. Orang-orang yang sudah tahu kasus ini bisa jadi enggan ke sini dan restoran akan sepi. Jadi, dengan berat hati saya memberhentikanmu.”
“Pak.” Nilna masih berusaha menawar. Matanya berkaca-kaca.
“Video ini dikirim orang tidak dikenal sejak seminggu yang lalu. Awalnya saya diam karena saya ingin tahu seperti apa perkembangannya. Tapi sekarang videonya sudah menyebar luas. Sudah banyak yang tahu. Jadi, saya melakukan ini sebelum nama restoran tercemar. Sekali lagi saya minta maaf karena melakukan ini. Ini pesangon kamu.”
Ridwan meletakkan amplop cokelat ke hadapan Nilna.
Nilna hanya memandang amplop itu nanar. Lalu perlahan, ia menghapus air matanya kasar.
“Baiklah, saya akan mencoba mengerti. Semoga restoran ini selalu rame setelah saya pergi. Terima kasih untuk kesempatannya menjadi bagian restoran beberapa tahun ini. Maaf kalau saya ada salah.” Nilna berucap sambil berusaha tersenyum.
Ia lalu mengambil amplop itu dan bangkit. Tergesa-gesa ia keluar. Di depan ruangan sang bos, banyak karyawan lain yang sedang menguping. Ia tidak peduli. Wanita berhijab hitam tersebut terus berjalan cepat menjauh dari sana.
Sementara sang manajer, menelepon seseorang setelah Nilna tidak ada di ruangannya. “Saya sudah melakukan apa yang Anda perintah.”
“Kerja bagus!” Suara di seberang membalas dengan nada puas.
**
Dengan mengendarai sepeda motornya, Nilna kembali ke kos-kosan Anggi sambil terus menangis.
“Angin, kamu bisa dengan mudah mengeringkan air mataku. Tapi apakah bisa kamu juga mengeringkan lukaku? Aku lelah dengan semua ujian yang ada.” Nilna terus berbisik kepada angin.
Tiba di kos-kosan dengan wajah yang masih sembab, Nilna mengambil ponsel. Ia sengaja merekam wajahnya. Entah nanti di-unggah atau tidak, ia hanya ingin menyuarakan kebenaran.
“Saya mau memberikan klarifikasi mengenai video itu. Posisi saya tidur pulas dan saya tidak tahu apa yang terjadi. Saya korban dan ternyata ada seseorang yang mele*cehkan saya hingga memvideonya.” Nilna menjeda karena tangisnya kian kencang.
“Tolong usut siapa pria itu, siapa penyebar video itu, siapa pemain pria itu. Saya hanya korban. Tolong, temukan pria bia*dab itu.”
Tepat saat video diakhiri, ada teriakan dan gedoran di pintu kamar. “Nilna! Keluar kau!”
Teriakan dari luar kamar kos-kosan diabaikan Nilna. Ia bersimpuh di lantai sambil menutup kedua telinga dengan ponsel masih di genggaman tangan kanan. Air mata wanita berwajah pucat itu terus berderai. Hingga akhirnya, suara di luar yang merupakan suara pemilik kos-kosan menghilang.Perlahan, ia merebahkan dirinya di lantai. “Apa ini yang dimaksud Bang Satria sanksi sosial? Tega sekali dia, Ya Allah.”Nilna terus terisak sambil mendekap dada dengan kedua tangan.“Aku lelah, ingin menyerah.”**Video dengan Nilna tokoh utamanya terus menyebar ke orang-orang terdekat Nilna. Mereka semua menggunjing dan mencemooh wanita itu seenaknya.Nilna pun terpaksa bercerita kepada Anggi tentang tragedi yang dulu pernah menimpa dan kenapa bisa ada video itu. Ia tidak ingin sang sahabat ikut menyalahkan dan mengucilkannya.“Aku ngerasa bo*doh dan kotor dalam satu waktu, Nggi. Sementara pelakunya bebas berkeliaran di luar sana,” ujar Nilna.“Usut ke hotelnya. Di sana ada CCTV.”“Udah dan aku nggak dii
Begitu dicek, hasilnya ... garis dua. Nilna terduduk lemas di lantai kamar mandi.“Ini nggak adil buatku! Ini sangat keja*m!” Nilna menutup telinga dengan kedua tangan seiring bisikan nakal setan terus-menerus seperti ditiup ke telinganya.Nilna memukuli perutnya dengan sangat kuat. Ia berharap noda di dalamnya bisa luruh.Setelah menangis cukup lama, Nilna benar-benar tidak kuat. Wanita itu berdiri mengambil gunting yang biasa digunakan untuk memotong sampo atau sabun. Dengan tangan gemetar dan mata terpejam, ia memutus urat nadi tangan kirinya. Tekanan hidup benar-benar membuatnya gelap mata.Tepat saat darah mulai keluar, hatinya mati rasa. Sudah tidak ada lagi tangis atau sekadar ucapan protes kepada Sang Maha Kuasa. Rasa sakit di pergelangan tangan sebisanya tidak dirasakan. Wanita itu juga masih sempat memasukkan hasil tes kehamilan ke saku baju.Matanya hanya menyorot kosong saat melihat darah menetes di lantai kamar mandi. Perlahan, pandangannya mengabur, kepalanya terasa berp
“Sudah bangun?” tanya pria itu kembali sambil tersenyum.Sementara Nilna masih berusaha menormalkan kinerja jantung yang hampir lompat dari tempatnya.“Mas Lukman ngagetin aja. Sejak kapan ada di sini?” tanya Nilna.Lukman hanya tertawa menanggapinya. “Baru lima jaman. Ya, maaf kalau bikin kamu kaget.”Nilna mengamati jam dinding. Perasaan baru sejam yang lalu ia tertidur. Ia tahu Lukman bercanda.“Kenapa nggak dibangunin?”“Nggak tega. Pules banget kayaknya.”Pria itu mengambil sesuatu dari nakas. Setelah sebuah styrofoam sudah ada di tangan, ia mengangsurkan kepada Nilna setelah menata isinya. Ada nasi hangat dan cumi-cumi lada hitam yang terlihat menggugah selera.“Makasih.” Nilna menerimanya. Entah dari mana Lukman tahu kalau itu makanan favoritnya. Apalagi olahan tangan Lukman memang tidak diragukan lagi rasanya.“Makanlah. Entah sudah berapa abad kamu nggak makan sampai kurus kering begini.” Lukman mencoba bergurau.“Terakhir ketemu kamu sekitar sebulan yang lalu. Hampir saja ak
Pria itu mendekat hendak menyiramkan sesuatu ke tubuh Nilna yang masih mengeluarkan isi lambung. Posisi Nilna membelakangi hingga tidak sadar ada bahaya yang mengintai.“Hey, mau apa kau!” Suara bentakan terdengar.“Nilna awas!” Suara Lukman terdengar melengking.Pria asing itu lalu berlari menjauh sebelum niatnya terealisasi.“Hey, tunggu! Jangan kabur!”Lukman hendak mengejar, tetapi urung karena melihat Nilna yang duduk terkulai. Wanita itu syok dan lemas. Wanita berhijab navy tersebut masih terus muntah sambil memegangi kepala yang kian terasa pusing.“Kamu kenapa bisa sampe kayak gini?” tanya Lukman.Nilna tidak bisa menjawab. Dalam keadaan biasa saja ia sering mual dan muntah, apalagi ketika mencium bangkai? Mual bertambah luar biasa.Lukman memberanikan diri masuk kamar kos-kosan untuk mencari air. Beruntung ada sebotol air mineral yang ada di atas meja tidak jauh dari pintu. Setelah barang yang didapat ada di tangan, Lukman kembali keluar. Betapa terkejutnya pria berkaus abu-a
“Nggak usah repot-repot mengabarinya.” Nilna menggeleng.Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan? Satria sudah barang tentu tidak mau datang karena itu bukan anaknya. Seumur pernikahan, pria itu tidak pernah menjamah Nilna. Mustahil juga menjelaskan semua itu kepada Lukman.Di rahimnya ada janin pria bi*dab entah siapa. Haruskah ia mencari? Namun, untuk apa? Kalau tahu siapa penj*hat itu, apa semua akan baik-baik saja atau justru makin runyam? Terlalu pusing Nilna memikirkan.Kemarin, saat rawat inap pertama dokter sudah melakukan sugesti dan beberapa terapi agar Nilna tenang dan itu sedikit membantu. Ia sudah agak tidak terlalu memikirkan kehamilannya. Namun, setelah kiriman paket itu, jiwanya tertekan lagi. Belum lagi ditambah akan dilakukan USG. Nilna seperti akan melihat hasil noda permanen di rahimnya.“Mas pulanglah. Biar aku yang nanti meneleponnya sendiri. Itu urusanku. Jangan ikut campur terlalu dalam.” “Sekali nggak tetap nggak. Aku akan menemanimu. Kalau suamimu benar-benar d
“Jangan makan yang asem, kamu lagi sakit,” cegah Anggi.“Sekali aja, Nggi. Kalau nggak ada, rujak aja. Tapi banyakin nanasnya. Pliiis.” Nilna mengiba dengan mata syarat permohonan."Pliis, Anggi.""Kalau nggak kamu beliin, aku nggak mau minum obat."“Baiklah.” Dengan berat hati, Anggi memenuhi permintaan sang sahabat.Tidak butuh waktu lama setelah keluar, apa yang diinginkan Nilna ada di hadapan.Air liur Nilna bergejolak melihat nanas dan sambal. Tidak butuh waktu lama, makanan itu habis tidak bersisa.“Nggi, lagi.”Anggi hanya mengepalkan tangan ke wajah Nilna, pura-pura marah. Nilna hanya tertawa menanggapinya.**Hanya dua hari Nilna dirawat di rumah sakit. Hari ini, ia sudah diperkenankan pulang. Saat ini, ia masih menunggu perawat melepas jarum infus di tangannya.“Aku mau nyari kos-kosan sendiri ajalah, Nggi. Nggak enak ngerepotin kamu terus,” ujar Nilna, sedangkan Anggi mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang.“Udah ratusan kali kamu ngomong gitu. Sekali lagi, berhadi
“Satria! Ke sini kau!” Suara Anggi kembali melengking.Satria menoleh sekilas, lalu kembali fokus kepada wanita di dekapannya. Seorang perawat datang sambil membawa brankar dorong, lalu wanita yang bersama Satria ditidurkan di sana. Wanita itu Rosa.“Nggi, kenapa malah kamu panggil dia? Ayo pergi aja dari sini,” ajak Nilna dengan suara bergetar.Meskipun tahu sang suami tidak pernah menginginkannya, melihat Satria bersama wanita lain sementara ia sakit, itu sangat menyesakkan. Terlebih, suaminya terlihat sangat khawatir dengan Rosa. “Nggak. Sebelum aku ngasih pelajaran ke pria itu.”“Jangan nambah masalah. Biarin dia semaunya. Aku lelah.”“Ini nggak adil, Na. Bagaimanapun juga, kamu masih istrinya, kalian masih terikat pernikahan, kamu sakit. Tapi dia nggak sekali pun peduli. Sementara itu wanita lain dan dengan manisnya diperlakukan demikian. C*h!”“Lebih tepatnya mantan. Ingat itu. Anggi, ayolah kita pergi dari sini. Atau aku akan jalan sendiri.” Nilna berusaha bangkit. Namun, belu
“Su-surat perceraian?” Nilna kembali memastikan.Anggi mengangguk. Ia menatap sahabatnya sendu.Bahu Nilna terkulai. Ia sudah mempersiapkan diri dengan semua ini, tetapi nyatanya saat sesuatu yang ‘menyakitkan’ itu benar-benar datang, hatinya tetap tercubit.“Are you okey?” Anggi menggenggam telapak tangan Nilna yang tengah melamun.Pelan, Nilna mengangguk. Ia mengambil alih kertas itu dari tangan sang sahabat.Nilna membacanya. Di sana, tertulis kalau perceraian sebab Nilna terbukti berselingkuh. Ia juga tidak berhak atas harta gono-gini sepeser pun. Nilna dilepaskan tanpa membawa apa-apa.Air mata Nilna tidak bisa dibendung. Setetes demi setetes cairan transparan itu terjatuh ke pipi.“Belum setahun bergelar istri, aku sudah berganti gelar menjadi janda. Ah, lucu sekali.”“Nilna sayang. Menangislah, bersedihlah, itu manusiawi.” Anggi membawa Nilna dalam dekapan.“Pernikahanku benar-benar harus berhenti di sini. Apa aku bisa menjadi ibu tanpa suami? Apa aku bisa memberikan hidup laya
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z