Share

Bab 2. Semua Menutupi

Author: Zuya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"Pemesan atas nama Nilna Fauziah.” Resepsionis menjawab.

“Apa! Tapi saya nggak ngerasa pesan kamar di sini.” Nilna benar-benar bingung. Pelaku fitnah begitu lihai bermain dengan menggunakan namanya sebagai pemesan kamar.

“Tapi itu kenyataannya, Bu.”

“Lalu siapa yang datang bersama saya ke sini? Maksudnya, saya merasa tidak pernah memesan kamar di sini.” Nilna kembali buka suara.

“Kalau masalah itu, saya tidak tahu, Bu. Mungkin rekan saya yang tahu. Saya baru gantian sif.”

“Di sini ada CCTV, kan? Bisa minta tolong tunjukkan saya rekamannya? Saya sangat butuh ini karena menyangkut hidup saya.” Nilna kembali memohon.

“Maaf, kalau bukan untuk kepentingan penyidikan polisi atau hal mendesak, kami tidak bisa mengumbar rekaman CCTV seenaknya. Ini demi menjaga privasi penghuni kamar.”

“Tapi saya difitnah, Mbak. Untuk membersihkan nama saya dari fitnah, saya butuh beberapa bukti. Hanya sedikit yang saya butuhkan. Siapa yang membawa ke sini. Itu saja.” Suara Nilna bergetar. Ia benar-benar lelah.

“Sekali lagi tidak bisa.”

“Mbak, saya mohon. Tolong biarkan saya melihat CCTV.”

“Bu, sudah saya bilang tidak bisa, ya, tidak bisa! Sekarang silakan pergi atau saya panggilkan satpam!” Resepsionis berbicara sambil menunjuk pintu keluar.

Nilna mengepalkan tangan. Dengan dada yang masih membara, ia mengayun kakinya menuju pintu keluar. Di luar ada satpam. Saat bertanya hal yang sama seperti yang ditanyakan kepada resepsionis, jawabannya sama. Satpam itu tidak tahu karena ia baru bertugas.

“Pak, tolong bawa saya ke bagian pemantauan CCTV,” pinta Nilna. Ia berpikir mungkin satpam itu bisa membantunya.

“Tidak bisa, Ibu. Kecuali Ibu membawa surat perintah dari pihak berwajib.”

“Tapi, Pak. Saya hanya ingin–“

“Silakan pergi, terima kasih sudah menginap di hotel kami.”

“Saya bisa memberi rating buruk ke hotel ini. Atau saya laporkan ke polisi karena menutupi kebenaran,” ucap Nilna.

“Silakan. Atau bisa kami laporkan balik karena Ibu mengganggu ketenteraman hotel.”

“Hotel apa-apaan ini?”

Napas Nilna memburu. Dengan tubuh gemetar dan hati hancur, Nilna bergegas meninggalkan hotel penuh petaka itu meski belum tahu akan ke mana. Ia akan menyiapkan diri dan mental sebelum bertemu dengan Satria lagi nanti.

“Apa semua orang di hotel ini sudah ditutup mulutnya oleh orang bi*dab itu? Astagfirullah, aku harus bagaimana?” Nilna bergumam sambil berjalan lesu.

**

Nilna dan Satria menikah atas dasar perjodohan. Maya, ibunda Satria sering memesan katering di tempat Nilna bekerja. Intensitas pertemuan yang terbilang sering, membuat Maya jatuh hati kepada Nilna yang saat itu masih terlihat cantik.

“Kamu ini baik dan cantik, Nilna. Cocok jadi mantu Ibu,” ujar Maya.

“Bu Maya bercandanya lucu.” Nilna mengira itu hanya gurauan semata.

“Ibu serius. Kamu hanya tinggal menunggu saja. Nanti Ibu yang atur pokoknya.”

Awalnya Satria menolak keras karena sudah memiliki kekasih, tetapi Maya terus memaksa. Sebagai orang tua tunggal, Maya tidak ingin salah pilih karena kekasih putranya sangat matre.

“Ibu tidak pernah meminta banyak sama kamu. Kali ini saja, turuti permintaan Ibu, Satria.”

“Tapi Ibu tahu sendiri aku sudah punya kekasih.”

“Dan Ibu nggak suka sama kekasihmu itu. Iya, atau selamanya Ibu akan marah sama kamu.”

Setelah beberapa kali membujuk dan memohon, Satria luluh. Tentu saja setelah pertimbangan panjang dan matang.

Dua bulan sebelum pernikahan, Nilna memakai produk kecantikan dan pelangsing rekomendasi dari temannya. Bukannya mendapatkan hasil yang sesuai, ia justru menjadi buruk rupa dan sempat jatuh sakit. Wajah ayu alaminya jadi tertutup jerawat dan terlihat kusam. Tubuh yang awalnya sehat malah tambah gemuk dan sering sakit-sakitan. Waktu yang singkat tidak membuahkan hasil menjadikan wajah dan tubuhnya kembali ke pengaturan asli dari Allah.

Satria yang awalnya tidak suka, bertambah sangat membenci Nilna. Pria yang bekerja sebagai kontraktor itu sering mem-bully Nilna.

“Ibuku kamu pelet apa sampai begitu suka sama kamu?” tanya Satria saat malam pertama pernikahan.

“Wanita buruk rupa berbodi lebar tak tahu diri. Ingat, Nilna, selama kita menikah, jangan harap kamu mendapat nafkah lahir maupun batin dariku. Aku jijik sama kamu!” Berbagai ultimatum Satria membuat Nilna kian terpojok.

“Kalau tidak suka, kamu bisa menolak, Bang. Awalnya aku juga nolak, tapi ibumu tetap memaksa. Beliau juga sempat sakit. Aku bisa apa?” Nilna membela diri.

“Alesan! Kalaupun kamu kembali tampil cantik, selamanya aku tidak akan tertarik! Camkan itu!” Satria lalu menuju balkon sambil membawa ponsel. Di sana, ia menelepon seseorang dan bercakap-cakap penuh kemesraan.

Nilna yang sempat mengintip, hanya memegangi dadanya agar selalu diberi kesabaran. Sudah menjadi konsekuensi menikah dengan pria yang tidak mencintainya. Harus siaga disakiti, harus siap dikhianati.

Meski begitu, Nilna selalu menjalankan kewajiban seorang istri dengan baik. Ia tetap berbakti meski hatinya selalu disakiti. Wanita itu tidak peduli meski tidak bisa dipungkiri kadang merasa ingin mengakhiri.

Sebuah tepukan di pundak membuat Nilna terkesiap dari lamunan panjangnya. Ia menyapu air mata yang sempat menitik di pipi.

“Aku nggak maksa kalau kamu belum siap cerita. Tapi kapan pun kamu mau cerita, dengan senang hati aku tampung.” Anggi, sahabat Nilna duduk di samping Nilna sambil membawa susu hangat. Ia menyerahkan satu cangkir untuk Nilna.

“Makasih.” Nilna menerima dengan tangan gemetar.

Dari hotel Nilna sempat bingung ingin ke mana dan belum makan. Akhirnya, ia teringat Anggi dan memutuskan mengunjungi kos-kosan temannya kerja di restoran tersebut. Dengan penampilan memprihatinkan, Nilna datang. Beruntung Anggi ada karena mereka memang satu sif. Keduanya sepantaran, tetapi Anggi belum menikah.

Semua yang terjadi dengan Nilna tadi pagi, belum bisa diceritakan kepada siapa pun karena itu sebuah aib. Namun, air matanya lancang terus berderai dan tidak bisa dibendung.

“Ada masalah sama suamimu?” Anggi kembali bertanya. Meski tidak pernah cerita, ia paham dari awal ada masalah dengan pernikahan Nilna. Hanya saja, Anggi tidak berani bertanya karena itu masalah intern. Namun, dari sikap Nilna yang berubah drastis setelah menikah, sudah menjadi bukti kuat.

Nilna yang dulu selalu ceria, kadang barbar, dan selalu tertawa berubah menjadi pribadi pendiam dan murung. Ia juga suka menyendiri saat di restoran. Nilna yang dulu tidak terlalu pusing memikirkan tubuhnya yang gemuk, mendadak sibuk mencari obat dan jamu pelangsing hingga pernah sakit.

“Beb, kadang, suatu masalah jika diceritakan kepada orang lain itu bukan berarti membuka borok, tapi bisa jadi agar masalah yang dihadapi menjadi plong. Syukur-syukur bisa dapat solusinya. Asal kamu cerita kepada orang yang tepat. Oke, tidak apa nggak cerita sama aku, nggak percaya sama aku. Asal jangan pendam masalahmu sendiri.” Karena tidak ada tanggapan dari Nilna, Anggi terus berbicara.

Tangan Anggi terulur, menyeka air mata Nilna.

Nilna menyeruput minuman yang masih mengepulkan asap itu.

“Minumannya panas, Nggi. Lidahku sakit.” Nilna mengalihkan pembicaraan. Ia menggeser tubuhnya agar Anggi tidak bisa menjangkau pipinya. Bibirnya yang bergetar, terus berusaha menyesap susu. Namun, isinya justru tumpah membasahi hijabnya.

Dengan pelan, Anggi merebut cangkir itu dan meletakkannya di nakas samping mereka duduk, lalu membawa tubuh Nilna dalam dekapan.

“Menangislah, sepuasmu. Jangan ditahan. Kalau itu yang bikin kamu lega. Meski nggak cerita, aku tahu kamu sedang nggak baik-baik saja,” bisik Anggi. Ia mengelus pundak Nilna penuh kasih sayang.

Tangis Nilna yang sejak tadi pecah, kian tumpah di bahu Anggi. Nilna sangat rapuh, ingin sembuh dari kesakitan yang kini menghinggapi.

“Kamu tahu kenapa Allah menciptakan pelangi? Agar hamba-hambanya tahu betapa pelangi itu lebih indah jika disandingkan dengan hujan dan panas. Yang mana, hujan itu air mata dan panas itu ujian. Pelangi atau kebahagiaan pasti terselip di sela-sela air mata dan ujian.”

“Makasih, makasih atas pengingatnya. Maaf aku belum bisa cerita. Maaf kalau kamu jadi tabrakanku.” Nilna berkata dengan terputus-putus.

**

Sore harinya, Nilna berangkat bekerja dari kos-kosan Anggi. Ia belum berniat pulang karena seragamnya masih setia melekat di tubuh. Di kos-kosan, Anggi meminjami bajunya yang berukuran besar kepada Nilna.

Restoran yang ramai, sejenak bisa mengalihkan pikiran Nilna. Empat tahun bekerja di sana, Nilna dipercaya bekerja sebagai kasir. Dengan berinteraksi dengan pengunjung, ia bisa sedikit terhibur.

“Kembaliannya, Bang,” ucap Nilna saat pengunjung akan berlalu padahal uangnya lebih.

“Oh, saya lupa. Kalau kembalian uang saya suka. Tapi kalau kembalian sama mantan, saya ogah.” Pengunjung itu menggoda.

“Eaa! Mantan is setan menakutkan, ya, Bang?” Nilna menanggapi sambil menyerahkan uang. Pengunjung itu tergelak.

Saat orang itu pergi, di arah jam dua belas, Nilna melihat seseorang tidak asing berjalan ke arahnya. Orang itu kian dekat dengan dan berhenti di hadapan Nilna.

“Hai, Wanita Buruk Rupa. Saya dengar dari suamimu, kamu habis ke-grep, ya. Kasihan. Baguslah, itu berarti saya bisa lekas menggantikan posisimu.”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Alex Pokniangge
cvjshusuzxx
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 3. Pernikahan Paksa

    "Hai, Wanita Buruk Rupa. Saya dengar dari suamimu, kamu habis ke-grep, ya. Kasihan. Baguslah, itu berarti saya bisa lekas menggantikan posisimu.”Nilna tahu betul siapa wanita yang kini ada di hadapannya. Dialah Rosa, kekasih Satria. Keduanya bahkan tidak segan dan sering menunjukkan kemesraan di depan Nilna. Entah itu secara langsung atau via telepon.Rosa mengetuk-ngetukkan jari di meja depan Nilna. Sementara seperti biasa, Nilna hanya menunjukkan wajah tenang.“Kenapa diam? Ngerasa malu? Etapi, masih punya nyali juga kerja di sini,” ujar Rosa sambil tersenyum buaya.Nilna ikut tersenyum meski batinnya berdenyut manyun. “Cepat sekali, ya, beritanya menyebar. Heran. Pasti kamu puas banget.”“Jelas. Jadi, saya tidak perlu bersusah-susah memutar otak, mengotori tangan saya demi memisahkan kalian. Nggak nyangka, kelihatannya alim, berkerudung, ternyata kelakuannya busuk. Digrebek pula sama semua keluarga. Malu nggak, tuh? Atau jangan-jangan kerudungmu cuma buat tutup aja? Padahal lehern

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 4. Haus Kasih Sayang?

    "Keluar dari rumahku! Kamu bukan lagi istriku, tapi kenapa masih di sini, hah!”“Gi-gimana keadaan Ibu, Bang? Tadi aku udah beresin barang Ibu yang mau dibawa.” Terbata-bata Nilna mengucapkannya saat sang suami kian merapatkan tubuh kepadanya.Satria mendekat, sedangkan Nilna bergerak mundur. Tatapan tajam Satria beradu dengan pandangan sendu Nilna. Keduanya berhenti saat tubuh Nilna terantuk tembok. Satria mengurungnya dengan kedua tangan.“Masih berani kamu tanya kondisi ibu?” Satria bertanya lirih, tetapi penuh penekanan.“A-aku salah apa lagi?”“Ibu kena stroke dan ini gara-gara kamu, Nilna! Dia pasti kepikiran dengan kelakuan busukmu tadi pagi!”“Bang, berkali-kali aku bilang demi Allah aku enggak ngelakuin apa-apa. Aku nggak sadar.”“Lantas kenapa kamu bisa ada di hotel!”“Kalau pertanyaannya dibalik. Kenapa Abang bisa tahu aku ada di hotel!”“Kamu masih bisa tanya? Hah! Lawak. Ada seorang pria yang menghubungiku dengan ponselmu! Dan apa katanya? Dia mengakui semua kalau kalian

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 5. Menjenguk Maya

    “Luar biasa kalian. Kalau mau me*sum, minimal sewa hotel, jangan di rumah sakit! Nggak malu kalau tiba-tiba ada perawat masuk!” Nilna kembali berteriak.Mati-matian Nilna tetap menguatkan diri untuk masuk ke kamar Maya. Ia berusaha mengabaikan dua manusia yang mungkin saat ini sedang kehilangan kewarasan. Mereka menunggu orang sakit, tetapi justru tertawa dan ber*cumbu mesra dengan Rosa ada di pangkuan Satria.Saat melihat kedatangan Nilna, Satria menoleh dan melepaskan diri dari Rosa. Nilna tidak peduli meski tahu Satria menatapnya tajam. Ia berjalan menuju samping ranjang Maya, lalu mengelus tangan wanita paruh baya yang tengah terlelap itu lembut. Diletakkannya makanan yang dibawa ke nakas samping Maya terbaring.“Bilang aja kalau kamu cemburu?” Rosa berjalan menghampiri Nilna.Nilna hanya menoleh sambil tersenyum.“Aku bahkan sudah khatam melihat kemesraan kalian. Dan hatiku mungkin sudah mati rasa saat melihat kalian kayak gitu.”“Oh, kasihan sekali. Istri, tapi tidak pernah dise

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 6. Video Asusila

    “Iyalah. Maksud Kakak apa nanya gitu?”“Kakak hanya curiga semua fitnah ini konspirasi dari abangmu. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin hanya perasaan Kakak saja. Lalu, kenapa kamu dan Ibu ikut Bang Satria waktu itu?”“Kakak ini playing victim, ya. Udah tahu salah, masih aja melempar kesalahan ke Abang. Asal Kak Nilna tahu, aku sama ibu diajak Abang yang saat itu tergesa-gesa. Kami nggak tahu diajak ke mana karena Abang hanya diam saja saat ditanya. Ternyata diajak buat mergoki sendiri ulah menji*jikkan Kakak. Udah ah. Aku mau nemui Ibu.” Gadis yang masih duduk di bangku SMA itu melangkah, menjauhi Nilna.Baru beberapa langkah, tangan Samira dicekal Nilna. “Titip Ibu. Jaga beliau baik-baik. Kalau ada apa-apa, kabari Kakak.”“Basi, Kak. Tanpa Kakak bilang, aku dan Abang akan jaga Ibu. Kami sudah nggak butuh Kakak lagi, nggak butuh hubungi Kakak lagi.” Samira melepaskan kasar pergelangan tangannya dari cengkeraman Nilna.Nilna meremas tali tasnya untuk meredam panas hati yang tengah bergejolak

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 7. Kemelut Hati Nilna

    Teriakan dari luar kamar kos-kosan diabaikan Nilna. Ia bersimpuh di lantai sambil menutup kedua telinga dengan ponsel masih di genggaman tangan kanan. Air mata wanita berwajah pucat itu terus berderai. Hingga akhirnya, suara di luar yang merupakan suara pemilik kos-kosan menghilang.Perlahan, ia merebahkan dirinya di lantai. “Apa ini yang dimaksud Bang Satria sanksi sosial? Tega sekali dia, Ya Allah.”Nilna terus terisak sambil mendekap dada dengan kedua tangan.“Aku lelah, ingin menyerah.”**Video dengan Nilna tokoh utamanya terus menyebar ke orang-orang terdekat Nilna. Mereka semua menggunjing dan mencemooh wanita itu seenaknya.Nilna pun terpaksa bercerita kepada Anggi tentang tragedi yang dulu pernah menimpa dan kenapa bisa ada video itu. Ia tidak ingin sang sahabat ikut menyalahkan dan mengucilkannya.“Aku ngerasa bo*doh dan kotor dalam satu waktu, Nggi. Sementara pelakunya bebas berkeliaran di luar sana,” ujar Nilna.“Usut ke hotelnya. Di sana ada CCTV.”“Udah dan aku nggak dii

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 8. Usaha Mengakhiri Hidup

    Begitu dicek, hasilnya ... garis dua. Nilna terduduk lemas di lantai kamar mandi.“Ini nggak adil buatku! Ini sangat keja*m!” Nilna menutup telinga dengan kedua tangan seiring bisikan nakal setan terus-menerus seperti ditiup ke telinganya.Nilna memukuli perutnya dengan sangat kuat. Ia berharap noda di dalamnya bisa luruh.Setelah menangis cukup lama, Nilna benar-benar tidak kuat. Wanita itu berdiri mengambil gunting yang biasa digunakan untuk memotong sampo atau sabun. Dengan tangan gemetar dan mata terpejam, ia memutus urat nadi tangan kirinya. Tekanan hidup benar-benar membuatnya gelap mata.Tepat saat darah mulai keluar, hatinya mati rasa. Sudah tidak ada lagi tangis atau sekadar ucapan protes kepada Sang Maha Kuasa. Rasa sakit di pergelangan tangan sebisanya tidak dirasakan. Wanita itu juga masih sempat memasukkan hasil tes kehamilan ke saku baju.Matanya hanya menyorot kosong saat melihat darah menetes di lantai kamar mandi. Perlahan, pandangannya mengabur, kepalanya terasa berp

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 9. Sebuah Paket

    “Sudah bangun?” tanya pria itu kembali sambil tersenyum.Sementara Nilna masih berusaha menormalkan kinerja jantung yang hampir lompat dari tempatnya.“Mas Lukman ngagetin aja. Sejak kapan ada di sini?” tanya Nilna.Lukman hanya tertawa menanggapinya. “Baru lima jaman. Ya, maaf kalau bikin kamu kaget.”Nilna mengamati jam dinding. Perasaan baru sejam yang lalu ia tertidur. Ia tahu Lukman bercanda.“Kenapa nggak dibangunin?”“Nggak tega. Pules banget kayaknya.”Pria itu mengambil sesuatu dari nakas. Setelah sebuah styrofoam sudah ada di tangan, ia mengangsurkan kepada Nilna setelah menata isinya. Ada nasi hangat dan cumi-cumi lada hitam yang terlihat menggugah selera.“Makasih.” Nilna menerimanya. Entah dari mana Lukman tahu kalau itu makanan favoritnya. Apalagi olahan tangan Lukman memang tidak diragukan lagi rasanya.“Makanlah. Entah sudah berapa abad kamu nggak makan sampai kurus kering begini.” Lukman mencoba bergurau.“Terakhir ketemu kamu sekitar sebulan yang lalu. Hampir saja ak

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 10. Benih Janin Tak Bertuan

    Pria itu mendekat hendak menyiramkan sesuatu ke tubuh Nilna yang masih mengeluarkan isi lambung. Posisi Nilna membelakangi hingga tidak sadar ada bahaya yang mengintai.“Hey, mau apa kau!” Suara bentakan terdengar.“Nilna awas!” Suara Lukman terdengar melengking.Pria asing itu lalu berlari menjauh sebelum niatnya terealisasi.“Hey, tunggu! Jangan kabur!”Lukman hendak mengejar, tetapi urung karena melihat Nilna yang duduk terkulai. Wanita itu syok dan lemas. Wanita berhijab navy tersebut masih terus muntah sambil memegangi kepala yang kian terasa pusing.“Kamu kenapa bisa sampe kayak gini?” tanya Lukman.Nilna tidak bisa menjawab. Dalam keadaan biasa saja ia sering mual dan muntah, apalagi ketika mencium bangkai? Mual bertambah luar biasa.Lukman memberanikan diri masuk kamar kos-kosan untuk mencari air. Beruntung ada sebotol air mineral yang ada di atas meja tidak jauh dari pintu. Setelah barang yang didapat ada di tangan, Lukman kembali keluar. Betapa terkejutnya pria berkaus abu-a

Latest chapter

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 131. Sepinggan Kebahagiaan

    “Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 130. Seleksi Alam dan Tuhan

    “Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 129. Secawan Madu (21+)

    “Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 128. Namanya Mahardika

    “Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 127. Ancaman Latifa

    “Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 126. Trauma

    Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 125. Hempaskan Bibit Pelakor

    “Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 124. Kepergok

    “Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 123. Sebuah Tempat Cincin

    “Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z

DMCA.com Protection Status