"Keluar dari rumahku! Kamu bukan lagi istriku, tapi kenapa masih di sini, hah!”
“Gi-gimana keadaan Ibu, Bang? Tadi aku udah beresin barang Ibu yang mau dibawa.” Terbata-bata Nilna mengucapkannya saat sang suami kian merapatkan tubuh kepadanya.
Satria mendekat, sedangkan Nilna bergerak mundur. Tatapan tajam Satria beradu dengan pandangan sendu Nilna. Keduanya berhenti saat tubuh Nilna terantuk tembok. Satria mengurungnya dengan kedua tangan.
“Masih berani kamu tanya kondisi ibu?” Satria bertanya lirih, tetapi penuh penekanan.
“A-aku salah apa lagi?”
“Ibu kena stroke dan ini gara-gara kamu, Nilna! Dia pasti kepikiran dengan kelakuan busukmu tadi pagi!”
“Bang, berkali-kali aku bilang demi Allah aku enggak ngelakuin apa-apa. Aku nggak sadar.”
“Lantas kenapa kamu bisa ada di hotel!”
“Kalau pertanyaannya dibalik. Kenapa Abang bisa tahu aku ada di hotel!”
“Kamu masih bisa tanya? Hah! Lawak. Ada seorang pria yang menghubungiku dengan ponselmu! Dan apa katanya? Dia mengakui semua kalau kalian habis ena-ena! Harga diriku sebagai seorang suami rasanya terinjak-injak kau tahu itu!”
“Setelah semua yang terjadi Abang baru mengakui aku ini istrimu? Ke mana saja beberapa bulan ini?” Nilna memberanikan diri membalas tatapan Satria.
“Asal kamu tahu, Nilna. Aku bukan pria bodoh yang tidak tahu apa-apa. Kamu mau menikah denganku pun karena alasan tertentu. Kamu pikir aku tidak tahu? Aku tahu semuanya! Sekarang, kita akhiri semua permainan ini. Kau bukan lagi istriku dan lekas kemasi rongsokanmu dari rumah ini! Segera aku urus perceraian.”
“La-lalu ibu?”
“Ibu sudah tahu kelakuan busukmu dan dia sudah sangat benci sama kamu. Apa? Mau alasan apa lagi? Mau mengiba agar aku nggak nyerein kamu?”
Nilna hanya diam. Pantang baginya mengemis iba agar tetap tinggal atau meminta agar Satria mengurungkan niatnya.
“Baiklah. Kalau itu yang buat jalan kita sama-sama enak. Aku hanya mau terima beres tanpa dipersulit saat perceraian nanti. Akan aku tinggalkan beberapa berkas untuk keperluannya.”
“Ya! Aku pun tidak sabar ingin segera pisah. Tanpa berlu berbuat banyak hal, kedok busukmu terbongkar dengan sendirinya!” Wajah Satria begitu dekat dengan wajah Nilna.
“Terserah Abang mau mikir apa!”
“Apa jangan-jangan kamu ngelakuin ini karena haus nafkah batin dariku? Sampai segitunya. Berapa kamu pasang tarif semalam?”
Plak!
Telapak tangan Nilna mendarat di pipi Satria.
“Jaga ucapanmu, Bang!”
Satria mengelus pipinya, lalu tergelak. “Nilna, Nilna. Kamu terlalu muna jadi wanita!”
Satria melotot, lantas meninju dinding tepat di sebelah kiri wajah Nilna, membuat wanita itu terpejam.
“Ngaku saja, Nilna. Kamu haus belaian dari suami, makanya mencari kehangatan dari luar rumah. Hahaha!”
“Aku benci sama kamu, Nilna!”
Pria itu lalu menuju kamar Maya untuk mengambil barang yang sekiranya dibutuhkan di rumah sakit sambil terus tergelak.
Pria itu melihat koper kecil yang teronggok di ranjang sang ibu. Ia tahu itu mungkin saja barang yang ditata Nilna. Ia melempar koper itu dan memilih mengambil sendiri barang yang akan dibawa dan memasukkannya dalam tas.
Nilna yang mengintip hanya bisa memandang dengan sorot sendu. Wanita itu lalu masuk dapur untuk meneguk air sebanyak-banyaknya.
“Dengan minum sebanyak ini, semoga air mataku tidak pernah kering. Teruslah menangis, Na. Hanya ini yang bisa kamu lakukan untuk mengurangi beban saat tidak ada seorang pun yang peduli.” Nilna terus minum sampai tersedak.
Kebiasaan aneh itu memang sering dilakukan saat kondisi psikisnya sedang tidak baik-baik saja.
“Ibu, aku rindu. Peluk aku, Bu.” Lelah mengisi lambungnya dengan air, Nilna menutup wajah dengan kedua tangan.
Ibu, seorang peri pelindung yang tidak pernah dilihat dan dirasa keberadaannya. Sang ibu meninggal saat melahirkannya.
Nilna menuju kamar untuk mengemasi ‘rongsokan’ saat suara mobil Satria terdengar meninggalkan rumah. Wanita itu memasukkan barang yang tidak seberapa dalam ransel. Dihubunginya Anggi setelah semuanya beres.
Karena malam sudah kian larut dan mungkin saja Anggi sudah tidur, Nilna memutuskan untuk langsung ke sana.
Dengan mengendarai sepeda motor miliknya sendiri yang bahkan sampai sekarang belum lunas cicilannya, Nilna menuju kos-kosan Anggi. Sebenarnya Maya sudah menyiapkan kendaraan untuknya. Namun, Nilna menolak memakai dengan alasan lebih nyaman jika barang yang dipakai hak miliknya sendiri.
Dengan rasa takut dan kewaspadaan tinggi, Nilna mengendara dengan fokus. Ini pengalaman pertama kali ia berkendara malam-malam di tengah kota Yogyakarta yang sedang marak-maraknya klitih.
Dua puluh menit kemudian, Nilna sampai juga di tempat yang dituju. Diketuknya pintu kos-kosan Anggi. Setelah berkali-kali, akhirnya pintu dibuka. Anggi tampak malas dengan tampilan berantakan.
“Nilna,” ujar Anggi sambil menguap.
“Ada kamar kos kosong nggak di sini? Aku ... aku ... sendirian di rumah. Takut.”
Anggi menengok belakang tubuh Nilna setelah kesadarannya agak terkumpul. Ada sepeda motor lengkap dengan koper di depan jok kemudi. Ia lalu menelisik wajah sembab sang sahabat. Isak tangis Nilna terdengar kemudian.
Anggi yang tidak tega meski tidak tahu alasan Nilna menangis, memeluk sang sahabat dalam dekapan.
“Masuklah. Ceritakan semua. Nggak baik menyimpan masalah sendiri. Karena itu hanya akan membuatmu makin sekarat.”
**
Nilna seorang piatu. Ibunya meninggal saat melahirkannya. Sementara sang bapak, menikah tak lama setelah ibunya meninggal. Nilna bayi hingga remaja diasuh kakek dan nenek dari pihak ibu. Saat SMP, keduanya meninggal dengan jarak berdekatan.
Nilna lalu ikut sang bapak dan ibu tiri. Ia menguat-nguatkan diri demi pendidikannya. Tidak ada kasih sayang yang didapat. Kerap kali Nilna dihina, dimarahi, dan kadang disiksa secara mental oleh mereka. Nilna terus diperalat, dimanfaatkan.
“Kamu itu pembawa sial. Ibumu meninggal saat melahirkanmu. Kakek nenekmu lalu nyusul. Aku sebenarnya takut kena imbas juga karena kamu tinggal di sini.” Ibu tiri Nilna sering mengatakan itu.
Bukannya membela, sang bapak justru punya pemikiran yang sama. Pria itu membenci Nilna karena menganggap penyebab kematian sang istri pertama.
Nilna yang tidak kuat selalu tersudut, memutuskan tinggal dan nderek di sebuah pesantren saat SMA. Mati-matian ia belajar agar terus menerima beasiswa. Semua itu terwujud. Hanya saja, untuk keperluan dan biaya sekolah lain, mau tidak mau ia tetap meminta sang bapak.
“Kamu ini dikit-dikit minta uang. Bapak juga punya anak lain yang butuh biaya. Kamu sudah besar, usaha cari duit sendiri,” ujar bapak saat Nilna meminta uang sekolah.
Patah berkali-kali. Itulah yang dirasakan Nilna. Sejak itu, ia makin giat melakukan apa saja untuk mendapatkan uang. Namun, hidup di pesantren membuat usahanya terbatas. Ia lalu memutuskan keluar dari pesantren saat kelas dua. Wanita itu memilih menjadi pembantu. Bos itu yang akhirnya membawa Nilna di gerbang kelulusan SMA.
Lulus SMA, Nilna bekerja di restoran. Sementara keluarga tirinya selalu meminta uang dengan alasan balas budi.
Hingga pada akhirnya, Nilna menerima tawaran Maya agar menikah dengan Satria.
“Alasan utamaku menikah dulu agar aku lepas dari keluarga toksik. Tapi yang kudapat adalah suami yang tidak pernah memberiku bahagia. Aku kadang lelah hidup seperti ini terus, Nggi. Aku lelah.” Nilna menceritakan lembaran hidupnya kepada Anggi sambil menangis. Lembaran itu baru sekali ini dibukanya kepada orang lain.
“Aku difitnah hingga akhirnya Bang Tria menalakku dan Ibu mertua membenciku lalu kini sakit. Aku diusir. Aku bingung harus ke mana. Kembali ke rumah bapak nggak mungkin. Di sana aku lebih menderita,” lanjut Nilna.
Anggi ikut tersedu-sedu mendengarnya.
“Aku nggak punya siapa-siapa di dunia ini. Aku nggak berarti. Andai bisa, aku akan kibarkan bendera putih agar waktuku di dunia habis saat ini juga.”
Anggi yang sudah tidak tahan, mendekap Nilna dalam dekapan.
“Katanya ujian itu ada agar kita naik kelas. Dan waktu ujian pasti akan berakhir. Pasti ada hal lebih indah di depan sana. Kamu kuat, Na. Kamu bisa lewatin semua ini.”
“Sampai kapan?”
“Sampai kamu jadi wanita hebat. Kamu masih punya Allah, masih ada aku dan teman-teman di restoran. Tidakkah kamu syukuri nikmat itu?”
Nilna tertohok. Tangisnya kian kencang.
**
Tiga hari sudah Nilna meninggalkan rumah Satria. Hari ini, ia bagian sift pagi. Sore hari lepas pulang kerja, ia mengunjungi ibu mertuanya di rumah sakit.
Setelah bertanya kepada petugas jaga, langkah Nilna berayun menuju kamar Maya. Ada beberapa makanan kesukaan sang mertua yang dibawanya.
Begitu menengok kamar, dadanya seperti dihantam godam. Di sana, ada Satria dan Rosa saling rangkul dan melakukan hal tidak beradab.
“Waw, pemandangan indah. Pantaskah berbuat seperti ini saat menunggu orang sakit?” sindir Nilna.
“Luar biasa kalian. Kalau mau me*sum, minimal sewa hotel, jangan di rumah sakit! Nggak malu kalau tiba-tiba ada perawat masuk!” Nilna kembali berteriak.Mati-matian Nilna tetap menguatkan diri untuk masuk ke kamar Maya. Ia berusaha mengabaikan dua manusia yang mungkin saat ini sedang kehilangan kewarasan. Mereka menunggu orang sakit, tetapi justru tertawa dan ber*cumbu mesra dengan Rosa ada di pangkuan Satria.Saat melihat kedatangan Nilna, Satria menoleh dan melepaskan diri dari Rosa. Nilna tidak peduli meski tahu Satria menatapnya tajam. Ia berjalan menuju samping ranjang Maya, lalu mengelus tangan wanita paruh baya yang tengah terlelap itu lembut. Diletakkannya makanan yang dibawa ke nakas samping Maya terbaring.“Bilang aja kalau kamu cemburu?” Rosa berjalan menghampiri Nilna.Nilna hanya menoleh sambil tersenyum.“Aku bahkan sudah khatam melihat kemesraan kalian. Dan hatiku mungkin sudah mati rasa saat melihat kalian kayak gitu.”“Oh, kasihan sekali. Istri, tapi tidak pernah dise
“Iyalah. Maksud Kakak apa nanya gitu?”“Kakak hanya curiga semua fitnah ini konspirasi dari abangmu. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin hanya perasaan Kakak saja. Lalu, kenapa kamu dan Ibu ikut Bang Satria waktu itu?”“Kakak ini playing victim, ya. Udah tahu salah, masih aja melempar kesalahan ke Abang. Asal Kak Nilna tahu, aku sama ibu diajak Abang yang saat itu tergesa-gesa. Kami nggak tahu diajak ke mana karena Abang hanya diam saja saat ditanya. Ternyata diajak buat mergoki sendiri ulah menji*jikkan Kakak. Udah ah. Aku mau nemui Ibu.” Gadis yang masih duduk di bangku SMA itu melangkah, menjauhi Nilna.Baru beberapa langkah, tangan Samira dicekal Nilna. “Titip Ibu. Jaga beliau baik-baik. Kalau ada apa-apa, kabari Kakak.”“Basi, Kak. Tanpa Kakak bilang, aku dan Abang akan jaga Ibu. Kami sudah nggak butuh Kakak lagi, nggak butuh hubungi Kakak lagi.” Samira melepaskan kasar pergelangan tangannya dari cengkeraman Nilna.Nilna meremas tali tasnya untuk meredam panas hati yang tengah bergejolak
Teriakan dari luar kamar kos-kosan diabaikan Nilna. Ia bersimpuh di lantai sambil menutup kedua telinga dengan ponsel masih di genggaman tangan kanan. Air mata wanita berwajah pucat itu terus berderai. Hingga akhirnya, suara di luar yang merupakan suara pemilik kos-kosan menghilang.Perlahan, ia merebahkan dirinya di lantai. “Apa ini yang dimaksud Bang Satria sanksi sosial? Tega sekali dia, Ya Allah.”Nilna terus terisak sambil mendekap dada dengan kedua tangan.“Aku lelah, ingin menyerah.”**Video dengan Nilna tokoh utamanya terus menyebar ke orang-orang terdekat Nilna. Mereka semua menggunjing dan mencemooh wanita itu seenaknya.Nilna pun terpaksa bercerita kepada Anggi tentang tragedi yang dulu pernah menimpa dan kenapa bisa ada video itu. Ia tidak ingin sang sahabat ikut menyalahkan dan mengucilkannya.“Aku ngerasa bo*doh dan kotor dalam satu waktu, Nggi. Sementara pelakunya bebas berkeliaran di luar sana,” ujar Nilna.“Usut ke hotelnya. Di sana ada CCTV.”“Udah dan aku nggak dii
Begitu dicek, hasilnya ... garis dua. Nilna terduduk lemas di lantai kamar mandi.“Ini nggak adil buatku! Ini sangat keja*m!” Nilna menutup telinga dengan kedua tangan seiring bisikan nakal setan terus-menerus seperti ditiup ke telinganya.Nilna memukuli perutnya dengan sangat kuat. Ia berharap noda di dalamnya bisa luruh.Setelah menangis cukup lama, Nilna benar-benar tidak kuat. Wanita itu berdiri mengambil gunting yang biasa digunakan untuk memotong sampo atau sabun. Dengan tangan gemetar dan mata terpejam, ia memutus urat nadi tangan kirinya. Tekanan hidup benar-benar membuatnya gelap mata.Tepat saat darah mulai keluar, hatinya mati rasa. Sudah tidak ada lagi tangis atau sekadar ucapan protes kepada Sang Maha Kuasa. Rasa sakit di pergelangan tangan sebisanya tidak dirasakan. Wanita itu juga masih sempat memasukkan hasil tes kehamilan ke saku baju.Matanya hanya menyorot kosong saat melihat darah menetes di lantai kamar mandi. Perlahan, pandangannya mengabur, kepalanya terasa berp
“Sudah bangun?” tanya pria itu kembali sambil tersenyum.Sementara Nilna masih berusaha menormalkan kinerja jantung yang hampir lompat dari tempatnya.“Mas Lukman ngagetin aja. Sejak kapan ada di sini?” tanya Nilna.Lukman hanya tertawa menanggapinya. “Baru lima jaman. Ya, maaf kalau bikin kamu kaget.”Nilna mengamati jam dinding. Perasaan baru sejam yang lalu ia tertidur. Ia tahu Lukman bercanda.“Kenapa nggak dibangunin?”“Nggak tega. Pules banget kayaknya.”Pria itu mengambil sesuatu dari nakas. Setelah sebuah styrofoam sudah ada di tangan, ia mengangsurkan kepada Nilna setelah menata isinya. Ada nasi hangat dan cumi-cumi lada hitam yang terlihat menggugah selera.“Makasih.” Nilna menerimanya. Entah dari mana Lukman tahu kalau itu makanan favoritnya. Apalagi olahan tangan Lukman memang tidak diragukan lagi rasanya.“Makanlah. Entah sudah berapa abad kamu nggak makan sampai kurus kering begini.” Lukman mencoba bergurau.“Terakhir ketemu kamu sekitar sebulan yang lalu. Hampir saja ak
Pria itu mendekat hendak menyiramkan sesuatu ke tubuh Nilna yang masih mengeluarkan isi lambung. Posisi Nilna membelakangi hingga tidak sadar ada bahaya yang mengintai.“Hey, mau apa kau!” Suara bentakan terdengar.“Nilna awas!” Suara Lukman terdengar melengking.Pria asing itu lalu berlari menjauh sebelum niatnya terealisasi.“Hey, tunggu! Jangan kabur!”Lukman hendak mengejar, tetapi urung karena melihat Nilna yang duduk terkulai. Wanita itu syok dan lemas. Wanita berhijab navy tersebut masih terus muntah sambil memegangi kepala yang kian terasa pusing.“Kamu kenapa bisa sampe kayak gini?” tanya Lukman.Nilna tidak bisa menjawab. Dalam keadaan biasa saja ia sering mual dan muntah, apalagi ketika mencium bangkai? Mual bertambah luar biasa.Lukman memberanikan diri masuk kamar kos-kosan untuk mencari air. Beruntung ada sebotol air mineral yang ada di atas meja tidak jauh dari pintu. Setelah barang yang didapat ada di tangan, Lukman kembali keluar. Betapa terkejutnya pria berkaus abu-a
“Nggak usah repot-repot mengabarinya.” Nilna menggeleng.Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan? Satria sudah barang tentu tidak mau datang karena itu bukan anaknya. Seumur pernikahan, pria itu tidak pernah menjamah Nilna. Mustahil juga menjelaskan semua itu kepada Lukman.Di rahimnya ada janin pria bi*dab entah siapa. Haruskah ia mencari? Namun, untuk apa? Kalau tahu siapa penj*hat itu, apa semua akan baik-baik saja atau justru makin runyam? Terlalu pusing Nilna memikirkan.Kemarin, saat rawat inap pertama dokter sudah melakukan sugesti dan beberapa terapi agar Nilna tenang dan itu sedikit membantu. Ia sudah agak tidak terlalu memikirkan kehamilannya. Namun, setelah kiriman paket itu, jiwanya tertekan lagi. Belum lagi ditambah akan dilakukan USG. Nilna seperti akan melihat hasil noda permanen di rahimnya.“Mas pulanglah. Biar aku yang nanti meneleponnya sendiri. Itu urusanku. Jangan ikut campur terlalu dalam.” “Sekali nggak tetap nggak. Aku akan menemanimu. Kalau suamimu benar-benar d
“Jangan makan yang asem, kamu lagi sakit,” cegah Anggi.“Sekali aja, Nggi. Kalau nggak ada, rujak aja. Tapi banyakin nanasnya. Pliiis.” Nilna mengiba dengan mata syarat permohonan."Pliis, Anggi.""Kalau nggak kamu beliin, aku nggak mau minum obat."“Baiklah.” Dengan berat hati, Anggi memenuhi permintaan sang sahabat.Tidak butuh waktu lama setelah keluar, apa yang diinginkan Nilna ada di hadapan.Air liur Nilna bergejolak melihat nanas dan sambal. Tidak butuh waktu lama, makanan itu habis tidak bersisa.“Nggi, lagi.”Anggi hanya mengepalkan tangan ke wajah Nilna, pura-pura marah. Nilna hanya tertawa menanggapinya.**Hanya dua hari Nilna dirawat di rumah sakit. Hari ini, ia sudah diperkenankan pulang. Saat ini, ia masih menunggu perawat melepas jarum infus di tangannya.“Aku mau nyari kos-kosan sendiri ajalah, Nggi. Nggak enak ngerepotin kamu terus,” ujar Nilna, sedangkan Anggi mengemasi barang-barang yang akan dibawa pulang.“Udah ratusan kali kamu ngomong gitu. Sekali lagi, berhadi
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z