"Mengapa nasibku begini? Mengapa aku bisa ada di sini? Apa salahku?"
Selenia duduk bersandar di dinding batu yang dingin. Sudah berhari-hari ia disekap di tempat ini, dan tubuhnya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan serta hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang. Namun, bukan berarti ia menyerah. Tidak. Dalam diam, ia mengamati, menganalisis. Jika Raven ingin mengujinya, maka ia akan melakukan hal yang sama. Ia memperhatikan setiap kebiasaan pria itu, bagaimana Raven tidak pernah benar-benar meninggalkannya tanpa pengawasan, bagaimana setiap pintu yang ia lewati dikunci dengan sistem yang lebih kompleks dari yang terlihat. Tapi ada satu kelemahan, tangguhnya Raven sering kali disertai dengan kepercayaan dirinya yang berlebihan. Ia menganggap dirinya tak terkalahkan, dan itu bisa menjadi celah bagi Selenia. Ketika Raven kembali malam itu dengan segelas anggur yang sama, Selenia sudah siap. “Kau tahu? Aku hampir bosan melihatmu di sini” ujar Raven santai, mendekatkan gelas anggur ke bibir Selenia. Mata merahnya berkilat dalam cahaya redup. "Tolong lepaskan aku sebentar saja. Tangan dan kakiku kebas, rasanya aku bisa mati karena peredaran darahku tak lancar" "Mana mungkin kau mati hanya karena itu" "Hey Tuan vampir, aku ini manusia biasa. Beda denganmu. Kami bisa mati dengan mudah, dan aku tahu karena aku ini Mahasiswi kedokteran" Raven memutar bola mata malas, melepaskan Selenia dari belenggu dalam sekejap. Selenia cerewet, dan itu membuat telinganya gatal. Ia yakin gadis itu takkan bisa melarikan diri. "Puas?" Selenia hanya menatapnya, menyembunyikan niatnya di balik wajah datar. Ia mendekatkan wajah ke gelas anggur itu, pura-pura enggan, lalu menyesap sedikit. “Begitu menurutmu?” tanyanya pelan, lidahnya menyapu sisa cairan di bibirnya. Ia bisa merasakan racun yang mulai meresap dalam aliran darahnya. Namun Selenia tahu racun itu takkan membunuhnya sekarang juga. Kali ini, ia yang akan mengendalikan permainan. Beberapa menit berlalu, dan seperti yang ia harapkan, tubuhnya mulai melemah, atau setidaknya itulah yang ia tunjukkan. Napasnya tersengal, tangannya gemetar. Ia menutup matanya seolah racun itu akhirnya bekerja. Raven tersenyum tipis, berpikir bahwa eksperimennya akhirnya berhasil. Namun, saat Raven mendekat untuk memeriksa, itulah saat Selenia bertindak. Dengan gerakan cepat, ia menusukkan pecahan kaca dari gelas anggur yang telah ia pecahkan secara diam-diam ke lengan Raven. "MATI KAU!" Raven meringis. Luka itu tidak akan bertahan lama bagi vampir, tetapi cukup untuk memberi Selenia waktu. Gadis itu bertindak cepat. Selenia segera mengambil kunci dari saku Raven dengan kasar. Gadis bersurai putih itu berlari ke pintu, mengabaikan rasa mual akibat racun yang masih mengendap di tubuhnya. Dengan tangan gemetar, ia mencoba memasukkan kunci ke dalam lubangnya. Hanya ada hitungan detik sebelum Raven pulih sepenuhnya. Saat kunci berputar dan pintu terbuka, ia melesat keluar tanpa menoleh ke belakang. "Selenia" --- Udara malam menggigit kulitnya ketika Selenia akhirnya mencapai hutan di luar kastil. Napasnya terengah, tubuhnya lelah, tetapi semangatnya tak luntur. Ia tahu Raven tidak akan tinggal diam. Dan benar saja. Suara langkah kaki berat di belakangnya membuatnya panik. Ia menoleh dan melihatnya—Raven, dengan wajah gelap dan ekspresi penuh amarah. Mata merahnya menyala di antara bayangan pohon-pohon besar. “Selenia...” Suara pria itu rendah, mengandung bahaya yang tak tersamarkan. Selenia selalu merinding kala mendengar suara Raven menyebut namanya. “Kau benar-benar ingin membuatku marah, ya?” Selenia menggertakkan giginya dan terus berlari. Ia mencoba memanfaatkan pengetahuannya tentang anatomi dan tubuhnya sendiri, mencoba mengendalikan adrenalinnya agar tetap bertahan. Namun, lawannya bukan manusia biasa. Dalam sekejap, Raven sudah ada di hadapannya, menghalangi jalannya dengan postur dominan dan berbahaya. Selenia mencoba berbelok ke arah lain, tetapi tangannya telah dicengkeram dengan kasar. “Kau pikir bisa kabur?” bisik Raven di telinganya, napasnya dingin seperti kematian. Selenia meronta, memukuli pria itu. Menendang, meninju, bahkan menggigit tangannya. Akan tetapi, genggaman pria itu tak tergoyahkan. Dengan mudahnya, ia diseret kembali ke dalam pelukannya, tangannya ditarik ke belakang hingga ia meringis kesakitan. "Kau akan kembali ke kastilku" “A-aku lebih baik mati daripada kembali ke sana!” desisnya, masih berusaha melawan. Raven tertawa sinis. “Oh, sayangku, kau tak akan mati. Tidak di tanganku.” Tanpa peringatan, ia mendorong Selenia ke batang pohon dengan kekuatan yang cukup untuk membuat gadis itu kehilangan keseimbangan. Selenia mengerang, tubuhnya terasa nyeri akibat benturan. Sebelum ia bisa bergerak, tangan dingin Raven telah mencengkeram dagunya, memaksanya menatap wajah pria itu. “Kau telah membuatku kesal,” ujar Raven, ekspresinya gelap dan dingin. “Tapi... aku suka melihat ekspresi itu di wajahmu.” Selenia menggigit bibirnya, matanya berkilat dengan kemarahan dan ketakutan. Ia tahu Raven menikmati ini, perubahan ekspresinya, rasa sakitnya, ketidakberdayaannya. Raven menekan kedua tangan Selenia ke batang pohon dengan satu tangan, sementara tangan lainnya menyusup masuk ke dalam pakaian gadis itu. Membubuhkan cakaran kasar yang membekas di kulit halus dan putih sang hawa. Mata merah itu mempelajari setiap gerakan kecilnya, setiap tarikan napasnya. “Takut, marah, putus asa... semuanya sangat cantik di wajahmu.” Jarinya menelusuri pipi Selenia, sentuhan yang seharusnya lembut tetapi terasa seperti belenggu dingin yang tak bisa ia lepaskan. Air mata menggenang di mata Selenia, tetapi ia menolaknya. Ia tidak akan memberinya kepuasan itu. Namun, Raven mempererat cengkeramannya pada rahang gadis itu, cukup kuat untuk membuatnya meringis. “Menangislah, Selenia.” Selenia menggeleng dengan keras, matanya menantang. Raven menyeringai. “Ah, tapi aku ingin melihat air mata itu.” Dengan satu gerakan cepat, ia menarik rambut Selenia ke belakang dengan kasar, memaksanya mendongak dan akhirnya, setetes air mata jatuh dari sudut mata gadis itu. "Kau jahat" cicit Selenia. Raven tersenyum puas. “Cantik.” Selenia ingin berteriak, ingin melawan, tetapi tidak ada gunanya. Raven lebih kuat. Ia tahu ia telah kalah dalam pertarungan ini. Raven menatapnya lama sebelum akhirnya berbisik di telinganya, “Aku akan memastikan kau tidak pernah bisa kabur. Selamanya” Kemudian, tanpa kata lain, ia menggigit leher pucat gadis itu dengan brutal, menghisap darahnya dengan penuh kenikmatan. Setelah puas, ia menyeret Selenia di sepanjang jalan penuh kerikil. Untuk kembali ke kastil, ke dalam kegelapan yang tidak bisa ia hindari. Dan kali ini, ia tak ragu untuk membiarkan gadis itu lepas lagi. Karena ia tahu, sejauh apapun Selenia berlari dan mencoba lepas, pada akhirnya akan tertangkap olehnya. Bak kelinci kecil dalam perburuan, Raven sangat menikmatinya. "Entah kapan terakhir kali, hidup rasanya semenyenangkan ini" Melihat tubuh Selenia yang ia seret sepanjang jalan, Raven mengernyit. Berdarah, terluka. Tak langsung sembuh. Kemana hilangnya kekuatan titisan dewi itu? mengapa lukanya tak beregenerasi? Raven suka bermain-main dengan bahaya. Dan Selenia berbahaya, karena diramalkan sebagai pembunuhnya kelak, bukan? Dan Raven takut mainan kecilnya rusak. Karena itulah, Vampir tersebut mengangkat tubuh mungil Selenia yang seringan bulu baginya. Sepanjang jalan, ia menggigiti setiap bagian tubuh Selenia yang bisa dijangkau oleh mulutnya, bak camilan. Padahal vampir sepertinya bisa tiba di kastil dalam sekejap, namun ia memilih berjalan santai dengan kecepatan manusia. Ia ingin menikmati Selenia sepenjang jalan. Menatap miris wajah letih Selenia di gendongannya, Raven berdecih dengan maksud menghina. Kasihan, tubuh sekecil itu harus melawan vampir dengan tubuh kekar berkekuatan setara lima puluh orang dewasa."Lelah."Selenia terbaring lesu di dinding batu yang dingin, tubuhnya masih tertinggal bekas-bekas perlawanan yang sia-sia melawan Raven. Setiap sendi, setiap serat ototnya seolah-olah berteriak dalam penderitaan, namun di balik kesakitan itu, ada percikan keberanian yang masih tersisa. Di ruang tahanan kastil Raven yang suram, waktu seakan berjalan lambat, menghitung detik-detik penderitaan dan penantian yang tiada henti.Raven telah membawa Selenia ke sebuah ruangan yang berbeda, lebih sempit dan kelam, di mana cahaya lilin hanya menari-nari di dinding dengan bayangan yang menyeramkan. Kali ini, Selenia tidak lagi diizinkan untuk duduk atau berbaring dengan nyaman, ia hanya dibelenggu menempel ke dinding dengan tangan dan kaki yang terikat erat, sebuah posisi yang memaksa ia menyaksikan setiap gerakan sang vampir dengan mata yang penuh perlawanan.Raven mendekati dengan langkah yang berat, namun setiap langkahnya dipenuhi dengan keangkuhan dan kekejaman. Tatapannya tajam menelusuri
"Kau adalah tumbal" Selenia terhenyak. Ucapan Raven menembus benteng pertahanannya. Taring nan tajam kembali menusuk lehernya. Dalam percakapan batin sebelumnya, terungkaplah relasi yang rumit antara dewi Librae dengan Raven. Dahulu, Raven adalah salah satu prajurit bayangan yang dikhianati oleh takdir. Librae, dengan keadilan yang mutlak, pernah menghukumnya karena ambisinya yang melampaui batas. Sejak saat itu, Raven menyimpan kebencian mendalam, namun juga ada penghargaan terselubung terhadap kekuatan yang mampu mengubah nasib. Baginya, Librae adalah cermin dari apa yang pernah ia inginkan, kekuasaan dan keabadian, namun juga sebagai simbol penderitaan yang tiada tara. Sementara itu, Selenia, yang sejak kecil tumbuh dengan cerita-cerita tentang titisan dewi Librae, mulai memahami bahwa dirinya bukan sekadar manusia biasa. Meski ia selalu mengandalkan logika dan sains, setiap luka, setiap rasa sakit yang ia rasakan, seolah mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dirinya.
“Nona tidak dapat ditemukan.” Laporan datang. Seorang bawahan keluarga Vanderbilt melaporkan kepada Eugene Vanderbilt. Seluruh Keluarga Vanderbilt hancur oleh kepanikan. Eugene tidak bisa tidur semalaman, Elaine bahkan pingsan setelah mendengar bahwa putrinya, Selenia... Putri semata wayang yang rapuh, mungkin saja telah diculik. Sementara itu, Lucas, tunangan Selenia, bersama pihak kepolisian dan seluruh bawahan Vanderbilt, terus menggempur jalanan mencari jejak sang gadis. Di balik bayang-bayang itu, Raven menyimpan rahasia yang hanya dia ketahui. Raven melangkah perlahan di lorong kastil yang gelap, matanya yang merah menyala menatap ke arah ruangan tahanan. Di sana, terikat di dinding batu dengan tangan dan kaki yang terbelenggu. Selenia, menatap dunia dengan campuran keberanian dan keputusasaan. Raven mendekat, menikmati setiap gerakan kecil gadis itu, tak hanya sebagai tawanan, tetapi sebagai sumber segala kegembiraan dalam kegelapan hidupnya. "Nona, kau memang benar-bena
"Tapi lihatlah, darahmu ini...."Raven menghisap darah Selenia sedikit lagi, menutup mata sejenak."Membawa keajaiban yang kualami hanya dalam mimpi burukku."Rasa darah Selenia mengalir ke dalam dirinya begitu intens, seolah mengaburkan batas antara penderitaan dan kenikmatan. Raven merasakan setiap detik penderitaan Selenia sebagai hadiah, sebuah perlawanan halus terhadap semua yang menentang takdirnya. Ia tahu, suatu hari nanti, dunia akan tahu bahwa dirinya bukan hanya bayangan yang menghantui kegelapan, tetapi kekuatan yang tak terelakkan.Karena ia dapat menggenggam titisan seorang Dewi di tangannya."Dengar aku, Selenia. Kau mungkin merasa bahwa keluargamu yang terhormat sedang mencari-cari jejakmu. Tapi di sinilah kita, terikat oleh takdir yang lebih besar daripada keinginan manusia. Librae telah memilihmu untuk menjadi penyeimbang, untuk menggabungkan cahaya dan kegelapan dalam darahmu. Dan aku? Aku adalah bagian dari kegelapan itu. Aku adalah penegak keadilan yang sesungguhn
"Oh? Apa ini? Putri kecil kita sudah mulai menangis?"Raven berjalan perlahan di antara pepohonan, langkahnya nyaris tak bersuara di atas tanah basah. Matanya menyala merah, penuh ketertarikan dan ejekan saat melihat Selenia berusaha mencari bantuan. Lalu, nama itu keluar dari bibirnya.Lucas."Hah. Lucas? Kau sungguh berpikir tunangan manismu bisa menyelamatkanmu dari cengkeramanku?"Raven lebih dari sekedar tahu seluk beluk kehidupan Selenia. Bahkan pertunangannya dengan pria bernama Lucas.Ia melangkah lebih cepat, sengaja membuat kehadirannya terasa lebih nyata. Angin malam berbisik di telinga Selenia, membawa aroma darah yang samar. Ia tahu sang gadis bisa merasakannya. Dan Raven sangat menikmati ketakutan yang merayap di setiap inchi tubuh sang gadis."Sayang sekali, Selenia,"Raven mendengus, lalu menghilang sejenak dalam bayangan, hanya untuk muncul kembali tepat di belakang Selenia. Tangannya mencengkeram lengan sang hawa, keras, hingga tak bisa bergerak."Apa yang kau harapk
"SELENIA!" Selenia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Merasakan tubuhnya terombang-ambing di bahu Raven, ia menendang tubuh pria itu hingga sedikit oleng. Namun berhasil membuat tubuh Selenia yang mungil terlepas dan terjerembab ke tanah dengan cukup keras. "Ouch" Gumam Selenia menahan nyeri di tubuhnya. Gadis itu terdiam sejenak, bak orang linglung. Setelahnya mulai berlari ke arah suara Lucas yang menggema, dengan kaki terkilir. Raven mengumpat pelan saat tendangan Selenia mengenai rusuknya. Meski tidak cukup kuat untuk benar-benar melukainya, gerakan itu cukup mengejutkan sehingga cengkeramannya melemah, memungkinkan gadis itu terlepas dari bahunya. Bruk! Tubuh mungil Selenia menghantam tanah kasar dengan cukup keras, membuat napasnya tersengal. Sensasi nyeri menjalar dari lengannya yang tergores dan pergelangan kakinya yang terkilir akibat pendaratan yang buruk. "Sshh..." Ringis Raven, merasa ngilu melihat tubuh mungil Selenia terbanting ke tanah. Sejenak, Selenia h
Tenang, tenang, tahan. Selenia yakin seratus persen bahwa vampir sialan itu berhasil ia kelabui. ya, Raven benar-benar mengira Selenia mati. Padahal ini adalah salah satu trik yang ia pelajari di kelas kedokteran, berpura-pura mati. ia hanya perlu menunggu apa yang akan Raven lakukan selanjutnya. Namun, ada yang aneh. getaran halus di tangan Raven... apakah iblis yang menghancurkan hidupnya itu panik saat mengiranya benar-benar mati? Selenia tak peduli. Paling tubuhnya akan dibuang di sungai atau ditinggalkan begitu saja kan? Raven menatap tubuh Selenia dengan rahang mengeras. Pikirannya berputar cepat. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini, tetapi satu hal yang pasti, ini bukan sekadar iritasi karena kehilangan "miliknya." Bukan sekadar kemarahan karena mangsanya mati sebelum ia menginginkannya. Ini… lebih dari itu. Tangannya mengepal di sisi tubuh gadis itu. Jemarinya sedikit gemetar, hal yang jarang terjadi pada seorang Raven Drachov. Keheningan terlalu
Selenia mengerucutkan bibirnya. Matanya berkedip beberapa kali, netra birunya menunjukkan kesenduan. "Ah, kuharap aku betulan mati saja agar bisa lepas darimu" Selenia menatap dengan ekspresi sedih yang lucu. "Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri. terserah kau mau bawa aku kemana, yang penting aku tak mau ada digendonganmu." Raven menatap Selenia dengan ekspresi tak terbaca. Sudut bibirnya sedikit terangkat, bukan dalam seringai mengejek seperti biasanya, melainkan sesuatu yang lebih samar seakan menilai, mengamati, bahkan mungkin… terhibur. “Hm?” gumamnya, alisnya terangkat sedikit saat melihat gadis itu mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi yang anehnya tidak tampak mengancam sama sekali. Di matanya, wajah cantik Selenia yang biasanya dipenuhi kemarahan kini justru menampilkan ekspresi menggemaskan yang tidak disengaja. Matanya yang biru berkedip beberapa kali, penuh kesenduan, tapi di mata Raven, gadis ini justru terlihat seperti anak kucing yang kebasahan. Menarik.
"Luar biasa..."Selenia berdecak kagum melihat pemandangan di hadapannya. Setelah Raven meninggalkannya seorang diri, gadis itu mulai berkeliling dan menjelajahi markas besar yang luasnya setara sebuah kota itu. Di dalamnya terdapat banyak pabrik kecil, gudang senjata, dan tempat pelatihan untuk para bawahan dan assassin Drachov. Namun hal yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah tempat bermain anak-anak di sebuah bangunan yang tampak kelam. Panti, tertulis seperti itu di pintu masuknya. Selenia melangkah masuk, melihat seorang anak perempuan yang manis, ia melambai pada sang bocah. Senyuman cerah ia dapati dari wajah mungil itu. Banyak anak-anak yang bermain di sana.Apa saja yang Raven bangun selama ini?Selenia tak tahu berapa banyak narkotika yang telah diselundupkan oleh sindikat perdagangan ilegal Drachov, berapa banyak anak-anak jalanan dan panti asuhan dipungut demi keuntungan mereka, berapa lusin senjata yang organisasi itu miliki, bahkan seberapa luas jaringan mereka.
Markas Mafia Drachov Cahaya temaram dari lampu gantung kristal menerangi aula besar yang dipenuhi oleh orang-orang berbadan kekar dengan sorot mata tajam. Aroma cerutu dan wiski bercampur dengan bau logam yang pekat, mengisyaratkan keberadaan senjata di setiap sudut ruangan. Para pria dengan tubuh berbalut jas hitam berdiri tegak dan siaga, masing-masing membawa aura haus darah yang menekan. Di tengah-tengah ruangan itu, seorang pria tinggi dengan rambut hitam sepekat malam melangkah masuk dengan penuh kewibawaan. Segaris perak di rambutnya menambah dominasinya di antara anggota lainnya, seolah berkata: Aku berbeda. Mantel panjangnya masih basah oleh air dari rerumputan yang lembab. Dan di sisinya, seorang gadis berambut putih tampak berusaha menahan diri agar tidak meronta. Matanya yang biru jernih menelusuri ruangan, mencoba memahami tempat seperti apa yang kini dimasukinya. Raven Drachov, pemimpin organisasi mafia yang ditakuti di dunia gelap, melemparkan pandangannya ke arah
Selenia mengerucutkan bibirnya. Matanya berkedip beberapa kali, netra birunya menunjukkan kesenduan. "Ah, kuharap aku betulan mati saja agar bisa lepas darimu" Selenia menatap dengan ekspresi sedih yang lucu. "Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri. terserah kau mau bawa aku kemana, yang penting aku tak mau ada digendonganmu." Raven menatap Selenia dengan ekspresi tak terbaca. Sudut bibirnya sedikit terangkat, bukan dalam seringai mengejek seperti biasanya, melainkan sesuatu yang lebih samar seakan menilai, mengamati, bahkan mungkin… terhibur. “Hm?” gumamnya, alisnya terangkat sedikit saat melihat gadis itu mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi yang anehnya tidak tampak mengancam sama sekali. Di matanya, wajah cantik Selenia yang biasanya dipenuhi kemarahan kini justru menampilkan ekspresi menggemaskan yang tidak disengaja. Matanya yang biru berkedip beberapa kali, penuh kesenduan, tapi di mata Raven, gadis ini justru terlihat seperti anak kucing yang kebasahan. Menarik.
Tenang, tenang, tahan. Selenia yakin seratus persen bahwa vampir sialan itu berhasil ia kelabui. ya, Raven benar-benar mengira Selenia mati. Padahal ini adalah salah satu trik yang ia pelajari di kelas kedokteran, berpura-pura mati. ia hanya perlu menunggu apa yang akan Raven lakukan selanjutnya. Namun, ada yang aneh. getaran halus di tangan Raven... apakah iblis yang menghancurkan hidupnya itu panik saat mengiranya benar-benar mati? Selenia tak peduli. Paling tubuhnya akan dibuang di sungai atau ditinggalkan begitu saja kan? Raven menatap tubuh Selenia dengan rahang mengeras. Pikirannya berputar cepat. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini, tetapi satu hal yang pasti, ini bukan sekadar iritasi karena kehilangan "miliknya." Bukan sekadar kemarahan karena mangsanya mati sebelum ia menginginkannya. Ini… lebih dari itu. Tangannya mengepal di sisi tubuh gadis itu. Jemarinya sedikit gemetar, hal yang jarang terjadi pada seorang Raven Drachov. Keheningan terlalu
"SELENIA!" Selenia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Merasakan tubuhnya terombang-ambing di bahu Raven, ia menendang tubuh pria itu hingga sedikit oleng. Namun berhasil membuat tubuh Selenia yang mungil terlepas dan terjerembab ke tanah dengan cukup keras. "Ouch" Gumam Selenia menahan nyeri di tubuhnya. Gadis itu terdiam sejenak, bak orang linglung. Setelahnya mulai berlari ke arah suara Lucas yang menggema, dengan kaki terkilir. Raven mengumpat pelan saat tendangan Selenia mengenai rusuknya. Meski tidak cukup kuat untuk benar-benar melukainya, gerakan itu cukup mengejutkan sehingga cengkeramannya melemah, memungkinkan gadis itu terlepas dari bahunya. Bruk! Tubuh mungil Selenia menghantam tanah kasar dengan cukup keras, membuat napasnya tersengal. Sensasi nyeri menjalar dari lengannya yang tergores dan pergelangan kakinya yang terkilir akibat pendaratan yang buruk. "Sshh..." Ringis Raven, merasa ngilu melihat tubuh mungil Selenia terbanting ke tanah. Sejenak, Selenia h
"Oh? Apa ini? Putri kecil kita sudah mulai menangis?"Raven berjalan perlahan di antara pepohonan, langkahnya nyaris tak bersuara di atas tanah basah. Matanya menyala merah, penuh ketertarikan dan ejekan saat melihat Selenia berusaha mencari bantuan. Lalu, nama itu keluar dari bibirnya.Lucas."Hah. Lucas? Kau sungguh berpikir tunangan manismu bisa menyelamatkanmu dari cengkeramanku?"Raven lebih dari sekedar tahu seluk beluk kehidupan Selenia. Bahkan pertunangannya dengan pria bernama Lucas.Ia melangkah lebih cepat, sengaja membuat kehadirannya terasa lebih nyata. Angin malam berbisik di telinga Selenia, membawa aroma darah yang samar. Ia tahu sang gadis bisa merasakannya. Dan Raven sangat menikmati ketakutan yang merayap di setiap inchi tubuh sang gadis."Sayang sekali, Selenia,"Raven mendengus, lalu menghilang sejenak dalam bayangan, hanya untuk muncul kembali tepat di belakang Selenia. Tangannya mencengkeram lengan sang hawa, keras, hingga tak bisa bergerak."Apa yang kau harapk
"Tapi lihatlah, darahmu ini...."Raven menghisap darah Selenia sedikit lagi, menutup mata sejenak."Membawa keajaiban yang kualami hanya dalam mimpi burukku."Rasa darah Selenia mengalir ke dalam dirinya begitu intens, seolah mengaburkan batas antara penderitaan dan kenikmatan. Raven merasakan setiap detik penderitaan Selenia sebagai hadiah, sebuah perlawanan halus terhadap semua yang menentang takdirnya. Ia tahu, suatu hari nanti, dunia akan tahu bahwa dirinya bukan hanya bayangan yang menghantui kegelapan, tetapi kekuatan yang tak terelakkan.Karena ia dapat menggenggam titisan seorang Dewi di tangannya."Dengar aku, Selenia. Kau mungkin merasa bahwa keluargamu yang terhormat sedang mencari-cari jejakmu. Tapi di sinilah kita, terikat oleh takdir yang lebih besar daripada keinginan manusia. Librae telah memilihmu untuk menjadi penyeimbang, untuk menggabungkan cahaya dan kegelapan dalam darahmu. Dan aku? Aku adalah bagian dari kegelapan itu. Aku adalah penegak keadilan yang sesungguhn
“Nona tidak dapat ditemukan.” Laporan datang. Seorang bawahan keluarga Vanderbilt melaporkan kepada Eugene Vanderbilt. Seluruh Keluarga Vanderbilt hancur oleh kepanikan. Eugene tidak bisa tidur semalaman, Elaine bahkan pingsan setelah mendengar bahwa putrinya, Selenia... Putri semata wayang yang rapuh, mungkin saja telah diculik. Sementara itu, Lucas, tunangan Selenia, bersama pihak kepolisian dan seluruh bawahan Vanderbilt, terus menggempur jalanan mencari jejak sang gadis. Di balik bayang-bayang itu, Raven menyimpan rahasia yang hanya dia ketahui. Raven melangkah perlahan di lorong kastil yang gelap, matanya yang merah menyala menatap ke arah ruangan tahanan. Di sana, terikat di dinding batu dengan tangan dan kaki yang terbelenggu. Selenia, menatap dunia dengan campuran keberanian dan keputusasaan. Raven mendekat, menikmati setiap gerakan kecil gadis itu, tak hanya sebagai tawanan, tetapi sebagai sumber segala kegembiraan dalam kegelapan hidupnya. "Nona, kau memang benar-bena
"Kau adalah tumbal" Selenia terhenyak. Ucapan Raven menembus benteng pertahanannya. Taring nan tajam kembali menusuk lehernya. Dalam percakapan batin sebelumnya, terungkaplah relasi yang rumit antara dewi Librae dengan Raven. Dahulu, Raven adalah salah satu prajurit bayangan yang dikhianati oleh takdir. Librae, dengan keadilan yang mutlak, pernah menghukumnya karena ambisinya yang melampaui batas. Sejak saat itu, Raven menyimpan kebencian mendalam, namun juga ada penghargaan terselubung terhadap kekuatan yang mampu mengubah nasib. Baginya, Librae adalah cermin dari apa yang pernah ia inginkan, kekuasaan dan keabadian, namun juga sebagai simbol penderitaan yang tiada tara. Sementara itu, Selenia, yang sejak kecil tumbuh dengan cerita-cerita tentang titisan dewi Librae, mulai memahami bahwa dirinya bukan sekadar manusia biasa. Meski ia selalu mengandalkan logika dan sains, setiap luka, setiap rasa sakit yang ia rasakan, seolah mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dirinya.