"Cantik. Mawar cantik yang ingin kuhancurkan dalam genggamanku."
Raven suka mengamati Selenia. Sudah tiga hari gadis itu berada di kastil gelapnya yang mencekam, tanpa makanan. Raven ingin menguji sejauh mana gadis titisan dewi bisa bertahan. Hanya anggur yang sama yang selalu Raven berikan pada Selenia. Anggur beracun. Selenia membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, tubuhnya terasa berat, seolah dunia di sekelilingnya berputar. Namun, satu hal yang ia sadari adalah sensasi aneh yang mengalir dalam darahnya. Dingin dan membakar sekaligus. Ia lupa kapan terakhir kali dirinya mengecap rasa makanan. Dan sialnya, sudah tiga hari dirinya disekap di tempat menyesakkan ini. Entah mengapa keluarga Vanderbilt tak kunjung menyelamatkannya. Padahal ia putri kesayangan Vanderbilt. Di hadapannya, Raven Drachov berdiri dengan santai, mata merahnya mengamati setiap reaksi tubuh Selenia dengan intensitas berbahaya. "Menarik," gumamnya, sudut bibirnya melengkung dalam seringai samar. "Kau masih hidup." Selenia mengerjap, mencoba memahami maksud perkataan pria itu. Ia masih bisa merasakan sisa rasa anggur yang pahit di lidahnya, mengingat bagaimana cairan merah pekat itu mengalir ke tenggorokannya. Namun, kini yang tersisa hanyalah sensasi panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya, menembus hingga ke tulangnya. "Apa yang kau lakukan padaku?" suara Selenia bergetar, bukan karena takut, tetapi lebih kepada kemarahan yang terpendam. Raven hanya tertawa kecil. Ia berjongkok di hadapan Selenia yang masih terikat, jari-jarinya dengan lembut menyusuri garis rahang gadis itu sebelum berhenti di bawah dagunya. Ia mengangkatnya, memaksa Selenia menatapnya. "Aku memberimu anggur istimewa," bisiknya, nyaris seperti rayuan. "Namun, kau seharusnya mati setelah menelannya. Racun itu cukup untuk membunuh seratus manusia biasa dalam hitungan detik." Mata Selenia membulat. "Racun?" Raven mengangguk, jempolnya mengusap perlahan bibir gadis itu, seolah ingin merasakan jejak sisa racun yang sempat menyentuhnya. "Aku ingin melihat sendiri apakah mitos tentang dirimu itu benar atau hanya bualan para pendongeng tua." Ia mencondongkan tubuhnya, napas dinginnya menyapu kulit Selenia yang masih panas akibat efek racun. "Dan ternyata kau bukan hanya dongeng. Kau hidup. Kau nyata." Selenia merasakan detak jantungnya berdegup lebih kencang. Bukan karena pesona pria ini, tetapi karena fakta mengerikan yang baru saja ia ketahui. Ia baru saja menenggak racun dan seharusnya mati. Namun sebaliknya, tubuhnya justru terasa lebih kuat. Luka-luka yang tadi ia rasakan perlahan menghilang, meninggalkan kulitnya tanpa cela seperti sebelumnya. "Kau adalah titisan dewi, bukan?" suara Raven berubah lebih dalam, penuh ketertarikan yang berbahaya. Selenia mengertakkan giginya. "Aku bukan siapa-siapa," sahutnya tajam, mencoba menepis ketakutan yang mulai mengintai benaknya. Raven tersenyum. "Kalau begitu, kenapa kau tidak mati?" Ia merunduk lebih dekat, hingga hidung mereka hampir bersentuhan. Mata merahnya menyelidik, mencari kebenaran yang tersembunyi dalam iris biru pucat Selenia. Gadis itu menolak mengalihkan pandangannya, meski ia tahu betapa berbahayanya pria ini. "Lepaskan aku," desisnya. Alih-alih menuruti, Raven justru semakin menekan tubuhnya ke dinding. Jarinya beralih ke leher Selenia, kemudian turun ke bawah tulang selangka, menelusuri bekas luka halus yang nyaris tak terlihat setelah gigitan sebelumnya. "Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu," bisiknya, suaranya penuh racun dan godaan. "Tentang darahmu, tentang tubuhmu, tentang seberapa jauh kau bisa bertahan." Dada Selenia naik turun dengan cepat. "Kau menjijikkan." Raven tertawa kecil, suara gelap yang menggema di ruangan yang dingin. Ia lalu menelusuri garis tulang selangka Selenia dengan punggung jarinya, membuat gadis itu bergidik. "Dan kau, gadis kecil yang sangat menarik." Raven menatap ekspresi Selenia dengan penuh kesenangan. Ia menikmati setiap perubahan yang terjadi. Dari ketakutan, kemarahan, kebencian, hingga keputusasaan yang mulai merayap ke dalam mata birunya. Ia ingin lebih. "Kau tahu," ucapnya lirih, jemarinya kini melayang di atas pipi Selenia. "Aku ingin melihat seberapa banyak ekspresi yang bisa kau tunjukkan padaku." Selenia menggertakkan giginya, menahan gejolak dalam dadanya. Namun, Raven tidak memberi jeda. Dengan satu gerakan, ia meraih dagu Selenia dengan kasar, memaksanya mendongak. Jari-jarinya menekan cukup kuat untuk meninggalkan bekas samar di kulit gadis itu. "Takut?" tanyanya, nada suaranya menggoda namun dingin. Selenia menolak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan sorot menantang, meski tubuhnya sedikit gemetar. Raven semakin tertantang untuk menghancurkan kecantikan surgawi itu, untuk merusak boneka manis dari Librae untuknya. Raven menyeringai. "Marah? Jijik? Atau... mungkin kau mulai menyerah?" "Lepaskan!" Tak ada komando bagi Raven. Pria itu malah menatap Selenia penuh kegelapan, kemudian tangan besarnya masuk ke dalam rok gadis itu, ke sela-sela yang harusnya tak ia jangkau. Bermain di sana, jemari kokohnya menjamah area yang harusnya terlarang. Sesuatu yang tak pernah tersentuh oleh siapapun selain gadis itu sendiri. "Dasar.... Bajingan!" Selenia memberontak, tubuhnya meronta untuk menjauhkan diri dari pria itu. PLAKK "Jaga mulut kecilmu, berani-beraninya kau mengumpatku" Raven menampar wajah Selenia hingga tertoleh ke kiri. Ia melepaskan cengkeramannya pada dagu si gadis, membiarkan wajah Selenia terkulai lemas menatap lantai batu yang dingin. Gadis itu menggigit bibirnya, menahan tangis yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Raven semakin tertantang. Pria itu menekan leher Selenia ke dinding batu, merasakan kulit halusnya, dan nafas sesaknya di tangannya. "H-Hentikan...." Saat mulut Selenia terbuka untuk meraup oksigen, saat itulah Raven menyerang. Meraup kasar bibir merah muda, lidahnya menerobos masuk ke mulut gadis itu tanpa permisi. Brutal, kasar, hingga Selenia sesak nafas. Hal paling hina bagi seorang gadis yang menjaga diri dan berasal dari keluarga terhormat macam Selenia, dilecehkan. "Mmmph!" Manis. Selenia itu manis. Raven tahu ia memenangkan permainan kali ini. Menghinakan gadis yang katanya akan membunuhnya kelak. Harga diri Selenia pasti porak-poranda. Benar saja, gadis itu bergetar. Matanya menunjukkan kedukaan dan ego yang hancur. Masih belum mau menyerah? Baiklah, Raven bertindak lebih jauh. Kedua tangannya bermain dengan liar di sekujur tubuh Selenia yang hanya berlapis gaun putih tipis yang sederhana. Gaun cantik yang ia pakaikan untuk gadis itu. "HENTIKAN!" Raven tidak berhenti. Ia terus bergerak, menyentuh semua titik di tubuh sang gadis. Melecehkannya. Menorehkan luka pada harga dirinya. Dan saat setetes air mata akhirnya jatuh, Raven terkekeh. "Indah sekali," gumamnya, seolah baru saja melihat seni yang paling memesona. "Air mata seorang dewi... seberapa langka dan berharganya, ya?" Selenia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan kemarahan yang membara. "Aku akan membunuhmu," desisnya. Raven tertawa kecil, lalu meraih dagunya sekali lagi, namun kali ini dengan lebih lembut. Ia mendekat, bibirnya nyaris menyentuh kening Selenia. "Aku tunggu, sayang," bisiknya sebelum akhirnya melepasnya dan berjalan menjauh. Selenia terisak, bukan karena lemah, tetapi karena frustrasi. Ia telah masuk ke dalam permainan mematikan milik Raven Drachov. Neraka dunia, yang ia pun tidak tahu mengapa bisa ada di dalamnya. Dan ia belum melihat adanya jalan keluar."Mengapa nasibku begini? Mengapa aku bisa ada di sini? Apa salahku?" Selenia duduk bersandar di dinding batu yang dingin. Sudah berhari-hari ia disekap di tempat ini, dan tubuhnya mulai menyesuaikan diri dengan kegelapan serta hawa dingin yang merasuk hingga ke tulang. Namun, bukan berarti ia menyerah. Tidak. Dalam diam, ia mengamati, menganalisis. Jika Raven ingin mengujinya, maka ia akan melakukan hal yang sama. Ia memperhatikan setiap kebiasaan pria itu, bagaimana Raven tidak pernah benar-benar meninggalkannya tanpa pengawasan, bagaimana setiap pintu yang ia lewati dikunci dengan sistem yang lebih kompleks dari yang terlihat. Tapi ada satu kelemahan, tangguhnya Raven sering kali disertai dengan kepercayaan dirinya yang berlebihan. Ia menganggap dirinya tak terkalahkan, dan itu bisa menjadi celah bagi Selenia. Ketika Raven kembali malam itu dengan segelas anggur yang sama, Selenia sudah siap. “Kau tahu? Aku hampir bosan melihatmu di sini” ujar Raven santai, mendekatkan gelas ang
"Lelah."Selenia terbaring lesu di dinding batu yang dingin, tubuhnya masih tertinggal bekas-bekas perlawanan yang sia-sia melawan Raven. Setiap sendi, setiap serat ototnya seolah-olah berteriak dalam penderitaan, namun di balik kesakitan itu, ada percikan keberanian yang masih tersisa. Di ruang tahanan kastil Raven yang suram, waktu seakan berjalan lambat, menghitung detik-detik penderitaan dan penantian yang tiada henti.Raven telah membawa Selenia ke sebuah ruangan yang berbeda, lebih sempit dan kelam, di mana cahaya lilin hanya menari-nari di dinding dengan bayangan yang menyeramkan. Kali ini, Selenia tidak lagi diizinkan untuk duduk atau berbaring dengan nyaman, ia hanya dibelenggu menempel ke dinding dengan tangan dan kaki yang terikat erat, sebuah posisi yang memaksa ia menyaksikan setiap gerakan sang vampir dengan mata yang penuh perlawanan.Raven mendekati dengan langkah yang berat, namun setiap langkahnya dipenuhi dengan keangkuhan dan kekejaman. Tatapannya tajam menelusuri
"Kau adalah tumbal" Selenia terhenyak. Ucapan Raven menembus benteng pertahanannya. Taring nan tajam kembali menusuk lehernya. Dalam percakapan batin sebelumnya, terungkaplah relasi yang rumit antara dewi Librae dengan Raven. Dahulu, Raven adalah salah satu prajurit bayangan yang dikhianati oleh takdir. Librae, dengan keadilan yang mutlak, pernah menghukumnya karena ambisinya yang melampaui batas. Sejak saat itu, Raven menyimpan kebencian mendalam, namun juga ada penghargaan terselubung terhadap kekuatan yang mampu mengubah nasib. Baginya, Librae adalah cermin dari apa yang pernah ia inginkan, kekuasaan dan keabadian, namun juga sebagai simbol penderitaan yang tiada tara. Sementara itu, Selenia, yang sejak kecil tumbuh dengan cerita-cerita tentang titisan dewi Librae, mulai memahami bahwa dirinya bukan sekadar manusia biasa. Meski ia selalu mengandalkan logika dan sains, setiap luka, setiap rasa sakit yang ia rasakan, seolah mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dirinya.
“Nona tidak dapat ditemukan.” Laporan datang. Seorang bawahan keluarga Vanderbilt melaporkan kepada Eugene Vanderbilt. Seluruh Keluarga Vanderbilt hancur oleh kepanikan. Eugene tidak bisa tidur semalaman, Elaine bahkan pingsan setelah mendengar bahwa putrinya, Selenia... Putri semata wayang yang rapuh, mungkin saja telah diculik. Sementara itu, Lucas, tunangan Selenia, bersama pihak kepolisian dan seluruh bawahan Vanderbilt, terus menggempur jalanan mencari jejak sang gadis. Di balik bayang-bayang itu, Raven menyimpan rahasia yang hanya dia ketahui. Raven melangkah perlahan di lorong kastil yang gelap, matanya yang merah menyala menatap ke arah ruangan tahanan. Di sana, terikat di dinding batu dengan tangan dan kaki yang terbelenggu. Selenia, menatap dunia dengan campuran keberanian dan keputusasaan. Raven mendekat, menikmati setiap gerakan kecil gadis itu, tak hanya sebagai tawanan, tetapi sebagai sumber segala kegembiraan dalam kegelapan hidupnya. "Nona, kau memang benar-bena
"Tapi lihatlah, darahmu ini...."Raven menghisap darah Selenia sedikit lagi, menutup mata sejenak."Membawa keajaiban yang kualami hanya dalam mimpi burukku."Rasa darah Selenia mengalir ke dalam dirinya begitu intens, seolah mengaburkan batas antara penderitaan dan kenikmatan. Raven merasakan setiap detik penderitaan Selenia sebagai hadiah, sebuah perlawanan halus terhadap semua yang menentang takdirnya. Ia tahu, suatu hari nanti, dunia akan tahu bahwa dirinya bukan hanya bayangan yang menghantui kegelapan, tetapi kekuatan yang tak terelakkan.Karena ia dapat menggenggam titisan seorang Dewi di tangannya."Dengar aku, Selenia. Kau mungkin merasa bahwa keluargamu yang terhormat sedang mencari-cari jejakmu. Tapi di sinilah kita, terikat oleh takdir yang lebih besar daripada keinginan manusia. Librae telah memilihmu untuk menjadi penyeimbang, untuk menggabungkan cahaya dan kegelapan dalam darahmu. Dan aku? Aku adalah bagian dari kegelapan itu. Aku adalah penegak keadilan yang sesungguhn
"Oh? Apa ini? Putri kecil kita sudah mulai menangis?"Raven berjalan perlahan di antara pepohonan, langkahnya nyaris tak bersuara di atas tanah basah. Matanya menyala merah, penuh ketertarikan dan ejekan saat melihat Selenia berusaha mencari bantuan. Lalu, nama itu keluar dari bibirnya.Lucas."Hah. Lucas? Kau sungguh berpikir tunangan manismu bisa menyelamatkanmu dari cengkeramanku?"Raven lebih dari sekedar tahu seluk beluk kehidupan Selenia. Bahkan pertunangannya dengan pria bernama Lucas.Ia melangkah lebih cepat, sengaja membuat kehadirannya terasa lebih nyata. Angin malam berbisik di telinga Selenia, membawa aroma darah yang samar. Ia tahu sang gadis bisa merasakannya. Dan Raven sangat menikmati ketakutan yang merayap di setiap inchi tubuh sang gadis."Sayang sekali, Selenia,"Raven mendengus, lalu menghilang sejenak dalam bayangan, hanya untuk muncul kembali tepat di belakang Selenia. Tangannya mencengkeram lengan sang hawa, keras, hingga tak bisa bergerak."Apa yang kau harapk
"SELENIA!" Selenia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Merasakan tubuhnya terombang-ambing di bahu Raven, ia menendang tubuh pria itu hingga sedikit oleng. Namun berhasil membuat tubuh Selenia yang mungil terlepas dan terjerembab ke tanah dengan cukup keras. "Ouch" Gumam Selenia menahan nyeri di tubuhnya. Gadis itu terdiam sejenak, bak orang linglung. Setelahnya mulai berlari ke arah suara Lucas yang menggema, dengan kaki terkilir. Raven mengumpat pelan saat tendangan Selenia mengenai rusuknya. Meski tidak cukup kuat untuk benar-benar melukainya, gerakan itu cukup mengejutkan sehingga cengkeramannya melemah, memungkinkan gadis itu terlepas dari bahunya. Bruk! Tubuh mungil Selenia menghantam tanah kasar dengan cukup keras, membuat napasnya tersengal. Sensasi nyeri menjalar dari lengannya yang tergores dan pergelangan kakinya yang terkilir akibat pendaratan yang buruk. "Sshh..." Ringis Raven, merasa ngilu melihat tubuh mungil Selenia terbanting ke tanah. Sejenak, Selenia h
Tenang, tenang, tahan. Selenia yakin seratus persen bahwa vampir sialan itu berhasil ia kelabui. ya, Raven benar-benar mengira Selenia mati. Padahal ini adalah salah satu trik yang ia pelajari di kelas kedokteran, berpura-pura mati. ia hanya perlu menunggu apa yang akan Raven lakukan selanjutnya. Namun, ada yang aneh. getaran halus di tangan Raven... apakah iblis yang menghancurkan hidupnya itu panik saat mengiranya benar-benar mati? Selenia tak peduli. Paling tubuhnya akan dibuang di sungai atau ditinggalkan begitu saja kan? Raven menatap tubuh Selenia dengan rahang mengeras. Pikirannya berputar cepat. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini, tetapi satu hal yang pasti, ini bukan sekadar iritasi karena kehilangan "miliknya." Bukan sekadar kemarahan karena mangsanya mati sebelum ia menginginkannya. Ini… lebih dari itu. Tangannya mengepal di sisi tubuh gadis itu. Jemarinya sedikit gemetar, hal yang jarang terjadi pada seorang Raven Drachov. Keheningan terlalu
Pagi yang sejuk, dengan cuaca berawan.Selenia duduk di taman belakang kastil seorang diri. Rambut putih panjangnya tergerai bebas, tak lagi tertata dengan rapi. Tangannya masih sibuk merajut syal."Aku tidak bisa menentukan panjang syal yang pas kalau Lucas tidak ada disini... Bagaimana caranya aku mengukurnya?" Gumam Selenia pada dirinya sendiri.Sebuah daun kering gugur, bergerak lembut dan tersangkut di rambut putih Selenia. Namun wanita itu tak menyadarinya.Selenia menghela napas, menatap rajutannya dengan ekspresi tak puas. Ia merasa sudah menghabiskan banyak waktu untuk ini, tapi tanpa Lucas, semuanya terasa setengah hati. Sambil terus menggerakkan hakpen di jemarinya, ia melirik ke langit yang mendung. Musim dingin sebentar lagi datang. Syal ini harus selesai sebelum saat itu tiba, agar Lucas bisa memakainya. Tiba-tiba, hembusan angin mengusik ketenangannya. Ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala
"Pola ini salah"Akhir-akhir ini, Selenia sibuk dengan syal yang tengah dirajutnya. Mengabaikan keberadaan Raven, dan fakta bahwa dirinya adalah tawanan di kastil itu. Sementara Raven, sepertinya tidak terlalu memusingkan Selenia yang anteng dan jarang berinteraksi dengannya belakangan ini. Pria itu lebih sibuk dengan bisnisnya di dunia hitam, begitulah yang Selenia kira."Selamat jalan" Ucap Selenia melihat Raven hendak keluar kastil.Itulah kalimat yang selalu Selenia ucapkan pada Raven kala pria itu keluar di malam hari untuk menjalankan perannya sebagai bos organisasi Mafia besar. Dengan nada yang seolah dipermanis, padahal Selenia hanya meyakinkan Raven bahwa dirinya patuh dan takkan berusaha melarikan diri lagi.Raven hanya melirik sekilas ke arah Selenia yang duduk di dekat perapian, jemarinya sibuk dengan hakpen dan benang biru tua. Matanya yang tajam menangkap pola rajutan yang semakin terbentuk jelas, namun ia tidak berkomentar."Jangan melakukan hal bodoh saat aku pergi," u
"Aku akan membuat masakan itu hari ini" Selenia tengah sibuk berkutat dengan bahan makanan dan alat-alat dapur. Ia pun baru membuka bungkusan belanjaannya kemarin malam. Belanja menyebalkan bersama si vampir, Raven Drachov. Tangannya sibuk memotong bahan-bahan, kemudian kembali mengambil sesuatu di dalam tas belanja. Tersenyum horor, Selenia menatap benda di tangannya dengan sedikit harapan. Bawang putih. Selenia memutar siung bawang putih di antara jemarinya, matanya menyipit penuh perhitungan. Apakah ini benar-benar bisa bekerja? Selama ini, ia hanya mengetahui dari cerita dan legenda bahwa vampir membenci bawang putih. Tapi, Raven bukan vampir biasa. Ia lebih kuat, lebih licik, dan jelas lebih sulit dikalahkan daripada makhluk-makhluk menyeramkan di dongeng. Namun, tetap saja, tidak ada salahnya mencoba. Wanita itu menyeringai kecil, mulai mengupas dan mengiris bawang putih dengan hati-hati. Potongan kecil-kecil ia sisipkan ke dalam masakannya. Jika ini berhasil, mungkin ia
"Pagi di sini cukup dingin.." Selenia terbangun lebih awal hari ini. Bukan, bukan karena ia ingin, tapi memang ia tak pernah sudi tidur nyenyak sementara Raven berada di sekitarnya. Ingat, Selenia tak pernah terlelap nyenyak di kastil sang vampir melainkan karena dua hal, dihisap darahnya hingga lemas, atau kelelahan kabur darinya. Selenia sudah mandi, memakai sebuah gaun santai berwarna merah muda, dan menata rambutnya dengan rapi dan ringkas. Wanita itu kini tengah menyapu daun-daun kering di taman belakang kastil, entah motivasi dari mana. "Waah, cantiknya" Selenia meraih sebuah daun maple yang tergeletak di tanah, mengangkatnya dan menatap lekat. Daun itu oranye, dengan garis-garis merah di tulang daun, dan rona kekuningan di beberapa permukaannya. Wanita bersurai putih itu termenung sejenak, ia bahkan sampai lupa kalau saat ini masih musim gugur. Ia lupa, karena segala kekacauan dan masalah yang disebabkan satu orang yang sama. Raven. Musim semi terakhir yang ia ingat adalah
Selenia kira mereka akan kembali ke kastil, namun secara tiba-tiba, Raven mengubah arah langkahnya. "Kau bilang, aku boleh meminta apa saja padamu kan?" Selenia memalingkan wajahnya, enggan menatap wajah pria yang tengah menggendongnya saat ini. "Mati saja, sana. Dasar menyebalkan" Selenia menatap jalan yang mereka lewati. Menyusuri hutan gelap, demi mencapai sebuah perkotaan. Raven tertawa kecil, suara rendahnya menggema di antara pepohonan. "Mati? Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu semudah manusia biasa, Selenia." Ia mempererat gendongannya, seakan sengaja membuat Selenia semakin kesal. Wanita itu menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi tentu saja sia-sia. "Kau ini kenapa?!" gerutu Selenia, mendelik pada Raven sebelum kembali memalingkan wajahnya. "Aku bisa jalan sendiri! Aku bukan anak kecil!" "Ah, tapi aku suka begini," jawab Raven santai. "Kau begitu ringan, seperti boneka kecil yang bisa kubawa ke mana saja." Selenia mendengus kesal. "Aku akan mengg
"Lepaskan..." Raven membawa Selenia ke dalam kamar dengan langkah tenang, sementara wanita itu masih meronta di gendongannya. Namun, sekuat apa pun Selenia mencoba melepaskan diri, kekuatan vampir di hadapannya jauh lebih dominan. Begitu mencapai ranjang besar dengan seprai hitam yang elegan, Raven meletakkan Selenia dengan hati-hati di atasnya. Selenia segera bergerak, hendak bangkit, namun sebelum sempat menjauh, satu tangan kuat sudah menekan bahunya, menahannya di tempat. "Jangan bergerak." Suara Raven terdengar rendah dan dalam, membawa sensasi aneh yang merambat di kulit Selenia. "Lepaskan aku, dasar iblis!" Selenia mendesis, tapi tubuhnya menegang saat Raven mencondongkan tubuhnya ke depan, wajah mereka hanya terpaut beberapa senti. "Iblis?" Raven menatapnya dengan mata merah yang berkilat penuh bahaya. "Bukankah sudah sejak lama kau tahu bahwa aku memang bukan manusia?" Jemarinya bergerak, menyusuri lengan Selenia, menyentuh kulit halusnya dengan sentuhan yang ny
"Warnanya cantik sekali" Selenia tengah terduduk di ruang tengah kastil Raven. Tangannya sibuk memotongi tangkai mawar yang terlalu panjang dengan gunting, kemudian menatanya di vas bunga. Wanita itu memiliki banyak hal yang berkecamuk di benak, namun berusaha tetap santai. Selesai menata bunga di vas, ia terdiam sejenak. Tak menunggu waktu lama untuk langkah ringannya mengantarkan Selenia ke dapur, ia menatap ke sekeliling. Apakah di kastil ini ada bahan makanan untuk manusia? Ia kelaparan, dan berinisiatif untuk memasak makanan. "Wah, luar biasa" Ucap Selenia kala mengetahui bahan makanan sungguh melimpah di kulkas kastil tersebut. Selenia akhirnya mulai memasak, ia cukup handal melakukannya. Tak menunggu waktu lama, masakannya telah matang. Selenia tersenyum puas melihat mahakaryanya. Setelah mempersiapkan makan siangnya, Selenia baru hendak duduk di meja makan kala suara langkah kaki terdengar di telinganya. Selenia menghampiri sumber suara, hanya untuk menemukan Raven berhent
Seorang wanita dengan gaun tidur merah marun menghapus jejak air matanya. Selenia duduk diatas ranjang yang sama, dengan yang ia hindari tempo lalu. Ia tidur di kamar Raven, dengan terpaksa. Sabar. Wanita itu mencoba bermain cerdas, ia harus terlihat menyerah dan tunduk dihadapan Raven, sambil merencanakan pelariannya."Selamat pagi" Ucapnya pelan, kala Raven memasuki kamar.Raven menghentikan langkahnya di ambang pintu, matanya yang berwarna merah batu delima meneliti Selenia dengan penuh selidik. Wanita itu tampak berbeda. Tidak lagi memberontak, tidak lagi menatapnya dengan sorot ketakutan yang liar. Sebaliknya, ada ketenangan yang terpatri di wajahnya, begitu halus namun mencurigakan."Selamat pagi?" Raven mengulang sapaan itu dengan nada geli, menutup pintu di belakangnya dengan tenang."Ah, ini pertama kalinya kau menyapaku seperti itu tanpa ada umpatan di belakangnya. Sesuatu yang baru, bukan?"Selenia memaksakan sen
"Aku membencimu" Selenia menatap Raven penuh kebencian, netra biru lautnya bergetar. Wanita itu terus memberontak, apalagi saat mendengar samar-samar suara Lucas memanggilnya di kejauhan. Selenia ingin kembali pada Lucas, pria yang dicintainya, suaminya."LUCAS!" Teriak Selenia."Selenia!"Lucas berlari menerobos semak-semak, dedaunan kering hancur di bawah kakinya. Perkiraannya tak salah. Vampir itu benar-benar membawa Selenia kembali ke kastilnya, dan beruntungnya Lucas karena mengetahui lokasi kastil tersebut. Napasnya terengah, jantungnya berdegup liar di dalam dadanya. Suara jeritan istrinya baru saja menembus kegelapan hutan, suara yang memanggilnya, meminta pertolongan.Dan ia tidak akan membiarkan iblis itu mengambilnya lagi.Lucas berbelok tajam, dan di sana-Ia melihatnya.Selenia, dalam balutan gaun pengantin yang sudah kotor dan robek, rambut albino panjangnya berantakan tert