"Lelah."
Selenia terbaring lesu di dinding batu yang dingin, tubuhnya masih tertinggal bekas-bekas perlawanan yang sia-sia melawan Raven. Setiap sendi, setiap serat ototnya seolah-olah berteriak dalam penderitaan, namun di balik kesakitan itu, ada percikan keberanian yang masih tersisa. Di ruang tahanan kastil Raven yang suram, waktu seakan berjalan lambat, menghitung detik-detik penderitaan dan penantian yang tiada henti. Raven telah membawa Selenia ke sebuah ruangan yang berbeda, lebih sempit dan kelam, di mana cahaya lilin hanya menari-nari di dinding dengan bayangan yang menyeramkan. Kali ini, Selenia tidak lagi diizinkan untuk duduk atau berbaring dengan nyaman, ia hanya dibelenggu menempel ke dinding dengan tangan dan kaki yang terikat erat, sebuah posisi yang memaksa ia menyaksikan setiap gerakan sang vampir dengan mata yang penuh perlawanan. Raven mendekati dengan langkah yang berat, namun setiap langkahnya dipenuhi dengan keangkuhan dan kekejaman. Tatapannya tajam menelusuri tubuh Selenia yang rapuh, sesekali tersipu geli oleh tingkah-tingkah kecil gadis itu, meski di tengah penderitaan. Ada momen ketika Selenia, dalam kelelahan, menggumam kata-kata sinis tentang keanehan nasibnya "Sialan, katanya aku gadis titisan dewi, malah terjebak seperti boneka santet yang tak berdaya." Mendengar itu, Raven sesaat tak bisa menahan tawa kecil yang menggelegar dalam hati yang kejam. Baginya, tingkah laku Selenia yang kadang lucu dan menyentak itu menjadi hiburan tersendiri di tengah kegelapan tak berujung. “Apa, kau pikir dunia ini adil, Selenia? Bahwa dewi Librae akan melindungimu?” tanya Raven dengan nada mengejek, sambil mendekat dan menyeka sisa darah di pipi Selenia dengan ujung jarinya yang dingin. Suaranya tidak lagi manis, melainkan kasar, penuh dengan ejekan yang menusuk. --- Di sudut ruangan yang remang-remang, bayangan masa lalu dan takdir mulai terbuka. Raven memandang ke langit-langit sejenak, seolah mencari jawaban dalam keheningan. Dalam benaknya, terbayang sosok yang telah lama menjadi momok dan sekaligus simbol penghakiman. Dewi Librae. Raven pernah menyimpan dendam yang mendalam terhadap Librae. Konon, ratusan tahun lalu, ketika kekuasaan dunia gelap masih dipertaruhkan dalam peperangan antara makhluk fana dan dewa-dewi, Raven pernah mencoba menentang kehendak Librae. Ia merasa bahwa keadilan yang diwakili oleh sang dewi hanyalah kepalsuan yang membelenggu kekuatan sejati, yaitu kekuasaan tanpa batas. "Wahai dewi penghakiman, bukankah keadilan hanyalah bualan semata? buktinya Engkau ada di dunia ini, memiliki kekuatan dan kekuasaan yang luar biasa, sedang manusia rendahan begitu lemah. Bukankah itupun bentuk ketidak adilan? Hamba juga ingin kekuasaan tanpa batas" "Sungguh lancang nian engkau Raven, mempertanyakan kekuasaanku. Baiklah, aku akan meminta pada sang pencipta kekuasaan yang luas bagimu di bumi, namun kau akan hidup bak penghuni neraka" "Apa maksud anda, Dewi?" "Kesepian dan duka akan menjadi sahabat karibmu, Raven" Sejak saat itu, setiap hela nafas Raven dipenuhi dengan kebencian terhadap Librae, meski di saat bersamaan ia juga merasa terpikat oleh kekuatan ilahi yang menyelimuti dewi tersebut. Ironisnya, darah Selenia, yang diyakini sebagai titisan Librae, adalah pengingat hidup akan takdir yang ia coba hindari. Keabadian yang sepi dan Kematian yang menyakitkan. Librae menghadiahkan Raven dengan keabadian yang didambakannya, harusnya itu berkah. Namun Dewi penghakiman itu berseru bahwa keabadian Raven akan dipenuhi kesepian dan kematiannya akan sangat menyakitkan kala ia menemukan arti hidupnya kelak. “Librae… kau pikir engkau bisa menghakimiku dengan peraturan surgawi itu?” bisik Raven pelan pada dirinya sendiri, seolah berbicara pada bayangan sang dewi yang hanya bisa didengar oleh hati yang tersiksa. Namun, di sisi lain, ada benih keingintahuan, apakah benar Selenia, gadis yang terikat di dinding ini, adalah perwujudan dari keagungan dan keadilan sang dewi? Apakah dalam dirinya tersembunyi kekuatan yang mampu mengguncang dunia kegelapan Raven? Selenia, di balik mata yang basah dan penuh penderitaan, juga tak lepas dari pengaruh dewi tersebut. Sejak kecil, ia mendengar bisikan tentang titisan Librae, sebuah kepercayaan yang selalu ia tolak dengan nalar kedokterannya. Namun, saat racun yang seharusnya mematikannya justru membuatnya bangkit, ia mulai mempertanyakan segalanya. Adakah benih keilahian yang menunggu untuk bangkit? Ataukah ini hanya ilusi dari sistem tubuh yang belum sepenuhnya hancur? Raven mendekat kembali, kali ini dengan tujuan yang lebih gelap. Ia mengulurkan tangan kekarnya ke wajah Selenia, menyentuh bibirnya yang basah oleh air mata dengan kejam. “Lihatlah, titisan Librae. Betapa lemah engkau. Begitu rapuh, namun sangat menggoda,” ucapnya dengan nada serakah, sementara matanya menyala merah seperti bara api. Dalam sekejap, ia menundukkan wajahnya hingga bibirnya menyentuh kulit Selenia yang halus, lalu perlahan menghisap darah dari sudut bibir gadis itu. Di saat itulah, seluruh dunia Raven seolah membeku. Ia merasakan aliran darah Selenia menyatu dengan dirinya, setiap tetesnya seakan membawa keajaiban sekaligus kutukan. Rasanya seperti melarutkan segala penolakan, menghadirkan kenikmatan yang pahit dan manis bersamaan. Darah itu memiliki aroma yang khas, seperti embun pagi di ladang yang basah, namun dengan sentuhan kematian yang selalu mengintai. “Ini… ini lebih dari sekadar darah,” gumam Raven, suaranya pecah oleh emosi campuran antara kekejaman dan keinginan yang mendalam. “Dalam darahmu, ada kebangkitan yang kutakuti, dan sekaligus aku yang sangat menginginkannya.” Raven merasakan getaran aneh di seluruh tubuhnya, seolah-olah setiap tetes darah Selenia memanggil kenangan masa lalu, tentang waktu ketika ia masih berjuang melawan kekuasaan dewi, dan bagaimana Librae pernah menghukumnya dengan keadilan yang kejam. Namun di balik kepedihan itu, ada pula secercah kepuasan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia membiarkan darah mengalir, menikmati setiap momen di mana ia merasa menjadi pemilik sejati atas takdirnya, sekaligus menggores luka dalam pada dirinya sendiri. “Sungguh, betapa lucunya nasibmu, Selenia,” lanjut Raven, nada suaranya berubah menjadi kasar dan tak tertahankan. “Kau mencoba melawan, mencoba kabur seperti manusia yang putus asa, dan justru membuatku semakin haus. Aku tak akan membiarkan kekonyolanmu itu berlalu begitu saja.” Meskipun Selenia berusaha menolak, tubuhnya tak lagi mampu menampung perlawanan. Dalam keputusasaan, ia memuntahkan kata-kata tajam, “Kau ini… kau bodoh atau bagaimana?! aku tidak memiliki hubungan dengan ramalan, kau, ataupun dewi gilamu itu!” Namun, ucapannya hanya tertelan oleh keheningan gelap ruangan. Raven tertawa terbahak-bahak, namun tawa itu bukanlah tawa kebahagiaan. Tawa itu adalah cerminan dari jiwa yang terluka dan penuh dendam. “Librae? Engkau masih tak mempercayai tentang keberadaan dewi itu?” tanyanya dengan sinis. “Dengarkan aku. Librae bukanlah sosok yang lemah. Dia adalah penguasa keadilan, yang mengatur neraca dunia. Tapi, seperti yang kau tahu, dunia ini tidak adil bagi makhluk sepertiku. Aku adalah bayang-bayang yang selalu tertinggal, selalu dihina oleh cahaya yang seharusnya melimpah. Aku benci dia, namun di saat yang sama, aku tak bisa lepas dari pesonanya.” Tatapan Raven menggelap. Pria itu menekan tubuh Selenia ke dinding dengan tubuh besarnya, menghimpit tubuh mungil yang tak seberapa itu. Di mata rubi sang Vampir, muncul sekelebat kabut nafsu."Kau adalah tumbal" Selenia terhenyak. Ucapan Raven menembus benteng pertahanannya. Taring nan tajam kembali menusuk lehernya. Dalam percakapan batin sebelumnya, terungkaplah relasi yang rumit antara dewi Librae dengan Raven. Dahulu, Raven adalah salah satu prajurit bayangan yang dikhianati oleh takdir. Librae, dengan keadilan yang mutlak, pernah menghukumnya karena ambisinya yang melampaui batas. Sejak saat itu, Raven menyimpan kebencian mendalam, namun juga ada penghargaan terselubung terhadap kekuatan yang mampu mengubah nasib. Baginya, Librae adalah cermin dari apa yang pernah ia inginkan, kekuasaan dan keabadian, namun juga sebagai simbol penderitaan yang tiada tara. Sementara itu, Selenia, yang sejak kecil tumbuh dengan cerita-cerita tentang titisan dewi Librae, mulai memahami bahwa dirinya bukan sekadar manusia biasa. Meski ia selalu mengandalkan logika dan sains, setiap luka, setiap rasa sakit yang ia rasakan, seolah mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dirinya.
“Nona tidak dapat ditemukan.” Laporan datang. Seorang bawahan keluarga Vanderbilt melaporkan kepada Eugene Vanderbilt. Seluruh Keluarga Vanderbilt hancur oleh kepanikan. Eugene tidak bisa tidur semalaman, Elaine bahkan pingsan setelah mendengar bahwa putrinya, Selenia... Putri semata wayang yang rapuh, mungkin saja telah diculik. Sementara itu, Lucas, tunangan Selenia, bersama pihak kepolisian dan seluruh bawahan Vanderbilt, terus menggempur jalanan mencari jejak sang gadis. Di balik bayang-bayang itu, Raven menyimpan rahasia yang hanya dia ketahui. Raven melangkah perlahan di lorong kastil yang gelap, matanya yang merah menyala menatap ke arah ruangan tahanan. Di sana, terikat di dinding batu dengan tangan dan kaki yang terbelenggu. Selenia, menatap dunia dengan campuran keberanian dan keputusasaan. Raven mendekat, menikmati setiap gerakan kecil gadis itu, tak hanya sebagai tawanan, tetapi sebagai sumber segala kegembiraan dalam kegelapan hidupnya. "Nona, kau memang benar-bena
"Tapi lihatlah, darahmu ini...."Raven menghisap darah Selenia sedikit lagi, menutup mata sejenak."Membawa keajaiban yang kualami hanya dalam mimpi burukku."Rasa darah Selenia mengalir ke dalam dirinya begitu intens, seolah mengaburkan batas antara penderitaan dan kenikmatan. Raven merasakan setiap detik penderitaan Selenia sebagai hadiah, sebuah perlawanan halus terhadap semua yang menentang takdirnya. Ia tahu, suatu hari nanti, dunia akan tahu bahwa dirinya bukan hanya bayangan yang menghantui kegelapan, tetapi kekuatan yang tak terelakkan.Karena ia dapat menggenggam titisan seorang Dewi di tangannya."Dengar aku, Selenia. Kau mungkin merasa bahwa keluargamu yang terhormat sedang mencari-cari jejakmu. Tapi di sinilah kita, terikat oleh takdir yang lebih besar daripada keinginan manusia. Librae telah memilihmu untuk menjadi penyeimbang, untuk menggabungkan cahaya dan kegelapan dalam darahmu. Dan aku? Aku adalah bagian dari kegelapan itu. Aku adalah penegak keadilan yang sesungguhn
"Oh? Apa ini? Putri kecil kita sudah mulai menangis?"Raven berjalan perlahan di antara pepohonan, langkahnya nyaris tak bersuara di atas tanah basah. Matanya menyala merah, penuh ketertarikan dan ejekan saat melihat Selenia berusaha mencari bantuan. Lalu, nama itu keluar dari bibirnya.Lucas."Hah. Lucas? Kau sungguh berpikir tunangan manismu bisa menyelamatkanmu dari cengkeramanku?"Raven lebih dari sekedar tahu seluk beluk kehidupan Selenia. Bahkan pertunangannya dengan pria bernama Lucas.Ia melangkah lebih cepat, sengaja membuat kehadirannya terasa lebih nyata. Angin malam berbisik di telinga Selenia, membawa aroma darah yang samar. Ia tahu sang gadis bisa merasakannya. Dan Raven sangat menikmati ketakutan yang merayap di setiap inchi tubuh sang gadis."Sayang sekali, Selenia,"Raven mendengus, lalu menghilang sejenak dalam bayangan, hanya untuk muncul kembali tepat di belakang Selenia. Tangannya mencengkeram lengan sang hawa, keras, hingga tak bisa bergerak."Apa yang kau harapk
"SELENIA!" Selenia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Merasakan tubuhnya terombang-ambing di bahu Raven, ia menendang tubuh pria itu hingga sedikit oleng. Namun berhasil membuat tubuh Selenia yang mungil terlepas dan terjerembab ke tanah dengan cukup keras. "Ouch" Gumam Selenia menahan nyeri di tubuhnya. Gadis itu terdiam sejenak, bak orang linglung. Setelahnya mulai berlari ke arah suara Lucas yang menggema, dengan kaki terkilir. Raven mengumpat pelan saat tendangan Selenia mengenai rusuknya. Meski tidak cukup kuat untuk benar-benar melukainya, gerakan itu cukup mengejutkan sehingga cengkeramannya melemah, memungkinkan gadis itu terlepas dari bahunya. Bruk! Tubuh mungil Selenia menghantam tanah kasar dengan cukup keras, membuat napasnya tersengal. Sensasi nyeri menjalar dari lengannya yang tergores dan pergelangan kakinya yang terkilir akibat pendaratan yang buruk. "Sshh..." Ringis Raven, merasa ngilu melihat tubuh mungil Selenia terbanting ke tanah. Sejenak, Selenia h
Tenang, tenang, tahan. Selenia yakin seratus persen bahwa vampir sialan itu berhasil ia kelabui. ya, Raven benar-benar mengira Selenia mati. Padahal ini adalah salah satu trik yang ia pelajari di kelas kedokteran, berpura-pura mati. ia hanya perlu menunggu apa yang akan Raven lakukan selanjutnya. Namun, ada yang aneh. getaran halus di tangan Raven... apakah iblis yang menghancurkan hidupnya itu panik saat mengiranya benar-benar mati? Selenia tak peduli. Paling tubuhnya akan dibuang di sungai atau ditinggalkan begitu saja kan? Raven menatap tubuh Selenia dengan rahang mengeras. Pikirannya berputar cepat. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini, tetapi satu hal yang pasti, ini bukan sekadar iritasi karena kehilangan "miliknya." Bukan sekadar kemarahan karena mangsanya mati sebelum ia menginginkannya. Ini… lebih dari itu. Tangannya mengepal di sisi tubuh gadis itu. Jemarinya sedikit gemetar, hal yang jarang terjadi pada seorang Raven Drachov. Keheningan terlalu
Selenia mengerucutkan bibirnya. Matanya berkedip beberapa kali, netra birunya menunjukkan kesenduan. "Ah, kuharap aku betulan mati saja agar bisa lepas darimu" Selenia menatap dengan ekspresi sedih yang lucu. "Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri. terserah kau mau bawa aku kemana, yang penting aku tak mau ada digendonganmu." Raven menatap Selenia dengan ekspresi tak terbaca. Sudut bibirnya sedikit terangkat, bukan dalam seringai mengejek seperti biasanya, melainkan sesuatu yang lebih samar seakan menilai, mengamati, bahkan mungkin… terhibur. “Hm?” gumamnya, alisnya terangkat sedikit saat melihat gadis itu mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi yang anehnya tidak tampak mengancam sama sekali. Di matanya, wajah cantik Selenia yang biasanya dipenuhi kemarahan kini justru menampilkan ekspresi menggemaskan yang tidak disengaja. Matanya yang biru berkedip beberapa kali, penuh kesenduan, tapi di mata Raven, gadis ini justru terlihat seperti anak kucing yang kebasahan. Menarik.
Markas Mafia Drachov Cahaya temaram dari lampu gantung kristal menerangi aula besar yang dipenuhi oleh orang-orang berbadan kekar dengan sorot mata tajam. Aroma cerutu dan wiski bercampur dengan bau logam yang pekat, mengisyaratkan keberadaan senjata di setiap sudut ruangan. Para pria dengan tubuh berbalut jas hitam berdiri tegak dan siaga, masing-masing membawa aura haus darah yang menekan. Di tengah-tengah ruangan itu, seorang pria tinggi dengan rambut hitam sepekat malam melangkah masuk dengan penuh kewibawaan. Segaris perak di rambutnya menambah dominasinya di antara anggota lainnya, seolah berkata: Aku berbeda. Mantel panjangnya masih basah oleh air dari rerumputan yang lembab. Dan di sisinya, seorang gadis berambut putih tampak berusaha menahan diri agar tidak meronta. Matanya yang biru jernih menelusuri ruangan, mencoba memahami tempat seperti apa yang kini dimasukinya. Raven Drachov, pemimpin organisasi mafia yang ditakuti di dunia gelap, melemparkan pandangannya ke arah
"Luar biasa..."Selenia berdecak kagum melihat pemandangan di hadapannya. Setelah Raven meninggalkannya seorang diri, gadis itu mulai berkeliling dan menjelajahi markas besar yang luasnya setara sebuah kota itu. Di dalamnya terdapat banyak pabrik kecil, gudang senjata, dan tempat pelatihan untuk para bawahan dan assassin Drachov. Namun hal yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah tempat bermain anak-anak di sebuah bangunan yang tampak kelam. Panti, tertulis seperti itu di pintu masuknya. Selenia melangkah masuk, melihat seorang anak perempuan yang manis, ia melambai pada sang bocah. Senyuman cerah ia dapati dari wajah mungil itu. Banyak anak-anak yang bermain di sana.Apa saja yang Raven bangun selama ini?Selenia tak tahu berapa banyak narkotika yang telah diselundupkan oleh sindikat perdagangan ilegal Drachov, berapa banyak anak-anak jalanan dan panti asuhan dipungut demi keuntungan mereka, berapa lusin senjata yang organisasi itu miliki, bahkan seberapa luas jaringan mereka.
Markas Mafia Drachov Cahaya temaram dari lampu gantung kristal menerangi aula besar yang dipenuhi oleh orang-orang berbadan kekar dengan sorot mata tajam. Aroma cerutu dan wiski bercampur dengan bau logam yang pekat, mengisyaratkan keberadaan senjata di setiap sudut ruangan. Para pria dengan tubuh berbalut jas hitam berdiri tegak dan siaga, masing-masing membawa aura haus darah yang menekan. Di tengah-tengah ruangan itu, seorang pria tinggi dengan rambut hitam sepekat malam melangkah masuk dengan penuh kewibawaan. Segaris perak di rambutnya menambah dominasinya di antara anggota lainnya, seolah berkata: Aku berbeda. Mantel panjangnya masih basah oleh air dari rerumputan yang lembab. Dan di sisinya, seorang gadis berambut putih tampak berusaha menahan diri agar tidak meronta. Matanya yang biru jernih menelusuri ruangan, mencoba memahami tempat seperti apa yang kini dimasukinya. Raven Drachov, pemimpin organisasi mafia yang ditakuti di dunia gelap, melemparkan pandangannya ke arah
Selenia mengerucutkan bibirnya. Matanya berkedip beberapa kali, netra birunya menunjukkan kesenduan. "Ah, kuharap aku betulan mati saja agar bisa lepas darimu" Selenia menatap dengan ekspresi sedih yang lucu. "Turunkan aku, aku bisa jalan sendiri. terserah kau mau bawa aku kemana, yang penting aku tak mau ada digendonganmu." Raven menatap Selenia dengan ekspresi tak terbaca. Sudut bibirnya sedikit terangkat, bukan dalam seringai mengejek seperti biasanya, melainkan sesuatu yang lebih samar seakan menilai, mengamati, bahkan mungkin… terhibur. “Hm?” gumamnya, alisnya terangkat sedikit saat melihat gadis itu mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi yang anehnya tidak tampak mengancam sama sekali. Di matanya, wajah cantik Selenia yang biasanya dipenuhi kemarahan kini justru menampilkan ekspresi menggemaskan yang tidak disengaja. Matanya yang biru berkedip beberapa kali, penuh kesenduan, tapi di mata Raven, gadis ini justru terlihat seperti anak kucing yang kebasahan. Menarik.
Tenang, tenang, tahan. Selenia yakin seratus persen bahwa vampir sialan itu berhasil ia kelabui. ya, Raven benar-benar mengira Selenia mati. Padahal ini adalah salah satu trik yang ia pelajari di kelas kedokteran, berpura-pura mati. ia hanya perlu menunggu apa yang akan Raven lakukan selanjutnya. Namun, ada yang aneh. getaran halus di tangan Raven... apakah iblis yang menghancurkan hidupnya itu panik saat mengiranya benar-benar mati? Selenia tak peduli. Paling tubuhnya akan dibuang di sungai atau ditinggalkan begitu saja kan? Raven menatap tubuh Selenia dengan rahang mengeras. Pikirannya berputar cepat. Ia tidak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan saat ini, tetapi satu hal yang pasti, ini bukan sekadar iritasi karena kehilangan "miliknya." Bukan sekadar kemarahan karena mangsanya mati sebelum ia menginginkannya. Ini… lebih dari itu. Tangannya mengepal di sisi tubuh gadis itu. Jemarinya sedikit gemetar, hal yang jarang terjadi pada seorang Raven Drachov. Keheningan terlalu
"SELENIA!" Selenia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Merasakan tubuhnya terombang-ambing di bahu Raven, ia menendang tubuh pria itu hingga sedikit oleng. Namun berhasil membuat tubuh Selenia yang mungil terlepas dan terjerembab ke tanah dengan cukup keras. "Ouch" Gumam Selenia menahan nyeri di tubuhnya. Gadis itu terdiam sejenak, bak orang linglung. Setelahnya mulai berlari ke arah suara Lucas yang menggema, dengan kaki terkilir. Raven mengumpat pelan saat tendangan Selenia mengenai rusuknya. Meski tidak cukup kuat untuk benar-benar melukainya, gerakan itu cukup mengejutkan sehingga cengkeramannya melemah, memungkinkan gadis itu terlepas dari bahunya. Bruk! Tubuh mungil Selenia menghantam tanah kasar dengan cukup keras, membuat napasnya tersengal. Sensasi nyeri menjalar dari lengannya yang tergores dan pergelangan kakinya yang terkilir akibat pendaratan yang buruk. "Sshh..." Ringis Raven, merasa ngilu melihat tubuh mungil Selenia terbanting ke tanah. Sejenak, Selenia h
"Oh? Apa ini? Putri kecil kita sudah mulai menangis?"Raven berjalan perlahan di antara pepohonan, langkahnya nyaris tak bersuara di atas tanah basah. Matanya menyala merah, penuh ketertarikan dan ejekan saat melihat Selenia berusaha mencari bantuan. Lalu, nama itu keluar dari bibirnya.Lucas."Hah. Lucas? Kau sungguh berpikir tunangan manismu bisa menyelamatkanmu dari cengkeramanku?"Raven lebih dari sekedar tahu seluk beluk kehidupan Selenia. Bahkan pertunangannya dengan pria bernama Lucas.Ia melangkah lebih cepat, sengaja membuat kehadirannya terasa lebih nyata. Angin malam berbisik di telinga Selenia, membawa aroma darah yang samar. Ia tahu sang gadis bisa merasakannya. Dan Raven sangat menikmati ketakutan yang merayap di setiap inchi tubuh sang gadis."Sayang sekali, Selenia,"Raven mendengus, lalu menghilang sejenak dalam bayangan, hanya untuk muncul kembali tepat di belakang Selenia. Tangannya mencengkeram lengan sang hawa, keras, hingga tak bisa bergerak."Apa yang kau harapk
"Tapi lihatlah, darahmu ini...."Raven menghisap darah Selenia sedikit lagi, menutup mata sejenak."Membawa keajaiban yang kualami hanya dalam mimpi burukku."Rasa darah Selenia mengalir ke dalam dirinya begitu intens, seolah mengaburkan batas antara penderitaan dan kenikmatan. Raven merasakan setiap detik penderitaan Selenia sebagai hadiah, sebuah perlawanan halus terhadap semua yang menentang takdirnya. Ia tahu, suatu hari nanti, dunia akan tahu bahwa dirinya bukan hanya bayangan yang menghantui kegelapan, tetapi kekuatan yang tak terelakkan.Karena ia dapat menggenggam titisan seorang Dewi di tangannya."Dengar aku, Selenia. Kau mungkin merasa bahwa keluargamu yang terhormat sedang mencari-cari jejakmu. Tapi di sinilah kita, terikat oleh takdir yang lebih besar daripada keinginan manusia. Librae telah memilihmu untuk menjadi penyeimbang, untuk menggabungkan cahaya dan kegelapan dalam darahmu. Dan aku? Aku adalah bagian dari kegelapan itu. Aku adalah penegak keadilan yang sesungguhn
“Nona tidak dapat ditemukan.” Laporan datang. Seorang bawahan keluarga Vanderbilt melaporkan kepada Eugene Vanderbilt. Seluruh Keluarga Vanderbilt hancur oleh kepanikan. Eugene tidak bisa tidur semalaman, Elaine bahkan pingsan setelah mendengar bahwa putrinya, Selenia... Putri semata wayang yang rapuh, mungkin saja telah diculik. Sementara itu, Lucas, tunangan Selenia, bersama pihak kepolisian dan seluruh bawahan Vanderbilt, terus menggempur jalanan mencari jejak sang gadis. Di balik bayang-bayang itu, Raven menyimpan rahasia yang hanya dia ketahui. Raven melangkah perlahan di lorong kastil yang gelap, matanya yang merah menyala menatap ke arah ruangan tahanan. Di sana, terikat di dinding batu dengan tangan dan kaki yang terbelenggu. Selenia, menatap dunia dengan campuran keberanian dan keputusasaan. Raven mendekat, menikmati setiap gerakan kecil gadis itu, tak hanya sebagai tawanan, tetapi sebagai sumber segala kegembiraan dalam kegelapan hidupnya. "Nona, kau memang benar-bena
"Kau adalah tumbal" Selenia terhenyak. Ucapan Raven menembus benteng pertahanannya. Taring nan tajam kembali menusuk lehernya. Dalam percakapan batin sebelumnya, terungkaplah relasi yang rumit antara dewi Librae dengan Raven. Dahulu, Raven adalah salah satu prajurit bayangan yang dikhianati oleh takdir. Librae, dengan keadilan yang mutlak, pernah menghukumnya karena ambisinya yang melampaui batas. Sejak saat itu, Raven menyimpan kebencian mendalam, namun juga ada penghargaan terselubung terhadap kekuatan yang mampu mengubah nasib. Baginya, Librae adalah cermin dari apa yang pernah ia inginkan, kekuasaan dan keabadian, namun juga sebagai simbol penderitaan yang tiada tara. Sementara itu, Selenia, yang sejak kecil tumbuh dengan cerita-cerita tentang titisan dewi Librae, mulai memahami bahwa dirinya bukan sekadar manusia biasa. Meski ia selalu mengandalkan logika dan sains, setiap luka, setiap rasa sakit yang ia rasakan, seolah mengingatkan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dirinya.