Markas Mafia Drachov Cahaya temaram dari lampu gantung kristal menerangi aula besar yang dipenuhi oleh orang-orang berbadan kekar dengan sorot mata tajam. Aroma cerutu dan wiski bercampur dengan bau logam yang pekat, mengisyaratkan keberadaan senjata di setiap sudut ruangan. Para pria dengan tubuh berbalut jas hitam berdiri tegak dan siaga, masing-masing membawa aura haus darah yang menekan. Di tengah-tengah ruangan itu, seorang pria tinggi dengan rambut hitam sepekat malam melangkah masuk dengan penuh kewibawaan. Segaris perak di rambutnya menambah dominasinya di antara anggota lainnya, seolah berkata: Aku berbeda. Mantel panjangnya masih basah oleh air dari rerumputan yang lembab. Dan di sisinya, seorang gadis berambut putih tampak berusaha menahan diri agar tidak meronta. Matanya yang biru jernih menelusuri ruangan, mencoba memahami tempat seperti apa yang kini dimasukinya. Raven Drachov, pemimpin organisasi mafia yang ditakuti di dunia gelap, melemparkan pandangannya ke arah
"Luar biasa..."Selenia berdecak kagum melihat pemandangan di hadapannya. Setelah Raven meninggalkannya seorang diri, gadis itu mulai berkeliling dan menjelajahi markas besar yang luasnya setara sebuah kota itu. Di dalamnya terdapat banyak pabrik kecil, gudang senjata, dan tempat pelatihan untuk para bawahan dan assassin Drachov. Namun hal yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah tempat bermain anak-anak di sebuah bangunan yang tampak kelam. Panti, tertulis seperti itu di pintu masuknya. Selenia melangkah masuk, melihat seorang anak perempuan yang manis, ia melambai pada sang bocah. Senyuman cerah ia dapati dari wajah mungil itu. Banyak anak-anak yang bermain di sana.Apa saja yang Raven bangun selama ini?Selenia tak tahu berapa banyak narkotika yang telah diselundupkan oleh sindikat perdagangan ilegal Drachov, berapa banyak anak-anak jalanan dan panti asuhan dipungut demi keuntungan mereka, berapa lusin senjata yang organisasi itu miliki, bahkan seberapa luas jaringan mereka.
"Kita sampai" Saat pintu besar kastil terbuka, hawa dingin langsung menyergap tubuh Selenia. Dinding batu yang menjulang tinggi memantulkan suara langkah mereka, menciptakan gema samar yang membuat suasana semakin mencekam. Lilin-lilin yang bertengger di chandelier menyala redup, menerangi lorong panjang dengan sinar keemasan yang goyah. Selenia berjalan di belakang Raven dengan langkah gontai. Seluruh tubuhnya terasa lelah, nyeri akibat perlakuan kasar Hector masih membekas di sendinya. Gaun lusuh yang melekat di tubuhnya kini berdebu, rambut peraknya berantakan, dan wajahnya menyiratkan kepasrahan. Setibanya di aula utama, Raven berhenti. Ia melirik sekilas ke belakang, menatap Selenia yang berdiri kaku di ambang pintu. Matanya yang merah menyala menyorot tajam, tapi gadis itu tidak gentar. Ia hanya mengalihkan pandangan, tidak mau melihatnya lebih lama dari yang diperlukan. "Naik," perintah Raven singkat, menunjuk ke arah tangga yang melingkar ke atas. Selenia tidak bergerak.
"AKHH-!" Jeritan Selenia memenuhi ruangan saat taring tajam itu menembus dagingnya. Rasa sakitnya menusuk, lebih dari yang pernah ia rasakan sebelumnya. Raven tidak lagi menggigit dengan lembut seperti sebelumnya, tidak ada kelembutan atau kepura-puraan kali ini. Ia menghisap dengan rakus, brutal, seolah-olah ingin menghabiskan setiap tetes darah yang dimiliki gadis itu. Tubuh Selenia menegang, tangannya meronta, tetapi semakin ia berjuang, semakin erat cengkeraman Raven di pergelangannya. "Nngh… Sialan… Lepaskan…!" suara Selenia melemah, kepalanya mulai pusing, tubuhnya kehilangan tenaga seiring darahnya tersedot keluar. Raven menggeram rendah, seperti binatang buas yang menikmati buruannya. Tangannya bergerak turun, menekan pinggang Selenia agar gadis itu tidak bergerak. "Ini hukumanmu," bisiknya di sela-sela gigitan. "Rasakan… dan ingat bahwa kau adalah milikku." Selenia ingin melawan, ingin menolak, tetapi tubuhnya terlalu lemah. Pandangannya mengabur, napasnya terse
Ini akan menjadi malam berdarah di Kastil Drachov. Hujan turun perlahan, menyelimuti kastil megah itu dengan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang. Namun, di balik tembok batu yang menjulang, bukan kesejukan yang menyelimuti, melainkan ketegangan yang semakin mengental. Puluhan... tidak, ratusan pria berbaju gelap mengepung bangunan tersebut. Di bawah bendera keluarga Vanderbilt, mereka datang dengan satu tujuan: merebut kembali putri mereka. Dari menara tertinggi kastil, Raven berdiri dengan ekspresi tak terbaca. Mata merah darahnya menatap ke bawah, mengamati barisan musuh yang membanjiri tanah miliknya seperti wabah. “Tsk… menyebalkan.” Hector berdiri di sampingnya, sigar cerutunya mengepulkan asap tebal. “Mereka membawa lebih banyak orang dari yang kuduga.” Di halaman kastil, prajurit Vanderbilt bersiap. Senjata terhunus, mata mereka penuh dendam dan amarah. Di sisi lain, para anggota sindikat Drachov mulai bergerak. Pembunuh bayaran, tentara bayangan, para petarung te
"Kalau begitu...."Lucas mengambil langkah maju, ujung pedangnya berkilat dalam hujan. Tatapan zamrudnya berubah dingin, menusuk Raven dengan kebencian yang membara. “…Aku akan menghabisimu, Raven.” Raven menyeringai, matanya bersinar merah, memancarkan aura haus darah yang tak tertandingi. Ia mendorong tubuh Selenia ke dalam kastil tanpa peduli gadis itu tersungkur. “Coba saja, bocah Hernandez.” Dan dalam sekejap, dunia kembali meledak dalam pertempuran. Langit di atas kastil Drachov bergemuruh, seolah ikut menyaksikan pertempuran dua pria yang dipertaruhkan oleh takdir. Hujan turun semakin deras, membasahi tanah yang kini penuh bercak darah dan mayat. Di tengah hiruk-pikuk pertempuran antara pasukan Vanderbilt dan anak buah Raven, dua sosok itu berdiri berhadapan. Lucas menggenggam pedangnya erat, kilatan perak di bilahnya memantulkan cahaya petir yang menyambar. Di seberangnya, Raven menjilat sisa darah di ujung jarinya. Darah milik para prajurit yang telah ia habisi sebelumn
"Kau akan kalah, Raven"Selenia menatap Raven dengan senyum menghina. Kemudian gadis itu menatap tunangannya, memanggilnya dengan lembut dan penuh kasih."Lucas, tak peduli kau meletakkan pedangmu ataupun tetap berusaha menebasnya, dia akan mati. Lukanya sangat parah" Selenia tersenyum. Namun sepertinya senyum itu terlalu cepat sebagai deklarasi kemenangan."Oh, manis sekali."Raven terkekeh, namun darah hitam pekat masih mengalir dari luka di tubuhnya, bercampur dengan air hujan yang deras mengguyur mereka. Cengkeramannya di pinggang Selenia mengendur sedikit, tetapi senyumnya tetap menantang."Kau pikir aku akan mati begitu saja?" suaranya dalam dan serak, namun penuh bahaya."Gadis kecil, kau lupa siapa aku?"Seketika, hawa di sekitar mereka berubah. Angin berputar, membawa aroma anyir darah dan kematian yang lebih pekat. Mata merah Raven bersinar lebih terang, urat-urat hitam menjalar di sekitar luka yang ditimbulkan oleh pedang perak itu. Tetapi bukan tanda kematian, melainkan ta
"K-Kau akan selalu menjadi milikku"Raven mencintai rasa sakit itu. Namun, ia tahu rencananya mulai berjalan lancar. Tepat sebelum pria vampir itu kehilangan kesadaran, ia tahu Librae akan mendapat konsekuensinya."Librae... Kau terlalu ikut campur dengan dunia manusia... kau bisa memporak-porandakan garis takdir hamba-hambaku... ini belum saatnya kau menghakiminya"Dan bersamaan dengan hilangnya suara itu, kekuatan Librae lenyap seketika dari tubuh Selenia. Langit yang tadinya bergetar kini mulai mereda, seolah mengakui bahwa satu fase dari takdir telah mencapai titik akhirnya.Tubuh Raven tergeletak di tanah yang hangus terbakar petir suci Librae, namun senyum samar masih bertahan di wajahnya.Ia kalah... tapi bukan berarti ia telah gagal.Sementara itu, di sisi lain, tubuh Selenia jatuh lunglai begitu cahaya keemasannya sirna. Napasnya tersengal, matanya kehilangan sinar ilahinya, dan kini ia hanyalah seorang gadis biasa yang lemah dan rapuh.Lucas menangkapnya tepat waktu.Mata p
"Ingin... Melarikan diri?" Selenia membeo ucapan Raven. "Maunya sih begitu, tapi aku yakin itu sia-sia. Aku tahu kau akan menikmatinya, dan aku tak ingin memberimu kepuasan saat memburuku" Selenia menatap dedaunan yang gugur. Matanya menunjukkan kesenduan. "Aku akan bertanya satu hal yang serius padamu" Wanita itu menatap langsung ke mata merah delima pria di hadapannya, mata yang selalu membuatnya bergidik ngeri. "Apa sejauh ini... kau memiliki niat untuk membunuhku? Atau memanfaatkanku?" Raven terdiam, menatap Selenia dengan sorot mata yang sulit ditebak. Sejenak, hanya ada suara angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan pohon yang mulai gundul. Lalu, pria itu menyeringai tipis. "Sebuah pertanyaan yang menarik," katanya, suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati permainan catur yang menantang. "Tapi apakah jawaban yang jujur akan membuatmu lebih tenang atau justru lebih takut?" Selenia tetap menatapnya, tak bergeming. Raven menghela nap
"Lapar." Raven sangat lapar malam ini. Aroma darah menguar di seluruh kastil. Selenia tengah menstruasi, dan sialnya itu adalah malapetaka bagi Raven. Penciumannya yang jauh lebih tajam dari manusia tentu membuatnya mampu mencium aroma darah Selenia. Ia melangkah keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti sejenak. Vampir itu mendapati Selenia tengah duduk santai di sofa ruang tengah, merajut syal yang tak kunjung rampung. Melihat wanita itu menggelung rambutnya, Raven menelan saliva dengan kasar. Lihatlah leher putih nan jenjang milik sang hawa, Raven sangat ingin menggigitnya dan merasakan darah mengalir ke mulutnya. "Sedang apa disana?" Ucap Selenia tanpa menoleh, menyadari derap langkah Raven yang terhenti. Raven tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada denyut halus di leher Selenia yang terekspos, bergerak seiring aliran darah di bawah kulitnya. Napasnya sedikit berat, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Godaan ini hampir menyiksa. Sial. “S
Pagi yang sejuk, dengan cuaca berawan.Selenia duduk di taman belakang kastil seorang diri. Rambut putih panjangnya tergerai bebas, tak lagi tertata dengan rapi. Tangannya masih sibuk merajut syal."Aku tidak bisa menentukan panjang syal yang pas kalau Lucas tidak ada disini... Bagaimana caranya aku mengukurnya?" Gumam Selenia pada dirinya sendiri.Sebuah daun kering gugur, bergerak lembut dan tersangkut di rambut putih Selenia. Namun wanita itu tak menyadarinya.Selenia menghela napas, menatap rajutannya dengan ekspresi tak puas. Ia merasa sudah menghabiskan banyak waktu untuk ini, tapi tanpa Lucas, semuanya terasa setengah hati. Sambil terus menggerakkan hakpen di jemarinya, ia melirik ke langit yang mendung. Musim dingin sebentar lagi datang. Syal ini harus selesai sebelum saat itu tiba, agar Lucas bisa memakainya. Tiba-tiba, hembusan angin mengusik ketenangannya. Ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala
"Pola ini salah"Akhir-akhir ini, Selenia sibuk dengan syal yang tengah dirajutnya. Mengabaikan keberadaan Raven, dan fakta bahwa dirinya adalah tawanan di kastil itu. Sementara Raven, sepertinya tidak terlalu memusingkan Selenia yang anteng dan jarang berinteraksi dengannya belakangan ini. Pria itu lebih sibuk dengan bisnisnya di dunia hitam, begitulah yang Selenia kira."Selamat jalan" Ucap Selenia melihat Raven hendak keluar kastil.Itulah kalimat yang selalu Selenia ucapkan pada Raven kala pria itu keluar di malam hari untuk menjalankan perannya sebagai bos organisasi Mafia besar. Dengan nada yang seolah dipermanis, padahal Selenia hanya meyakinkan Raven bahwa dirinya patuh dan takkan berusaha melarikan diri lagi.Raven hanya melirik sekilas ke arah Selenia yang duduk di dekat perapian, jemarinya sibuk dengan hakpen dan benang biru tua. Matanya yang tajam menangkap pola rajutan yang semakin terbentuk jelas, namun ia tidak berkomentar."Jangan melakukan hal bodoh saat aku pergi," u
"Aku akan membuat masakan itu hari ini" Selenia tengah sibuk berkutat dengan bahan makanan dan alat-alat dapur. Ia pun baru membuka bungkusan belanjaannya kemarin malam. Belanja menyebalkan bersama si vampir, Raven Drachov. Tangannya sibuk memotong bahan-bahan, kemudian kembali mengambil sesuatu di dalam tas belanja. Tersenyum horor, Selenia menatap benda di tangannya dengan sedikit harapan. Bawang putih. Selenia memutar siung bawang putih di antara jemarinya, matanya menyipit penuh perhitungan. Apakah ini benar-benar bisa bekerja? Selama ini, ia hanya mengetahui dari cerita dan legenda bahwa vampir membenci bawang putih. Tapi, Raven bukan vampir biasa. Ia lebih kuat, lebih licik, dan jelas lebih sulit dikalahkan daripada makhluk-makhluk menyeramkan di dongeng. Namun, tetap saja, tidak ada salahnya mencoba. Wanita itu menyeringai kecil, mulai mengupas dan mengiris bawang putih dengan hati-hati. Potongan kecil-kecil ia sisipkan ke dalam masakannya. Jika ini berhasil, mungkin ia
"Pagi di sini cukup dingin.." Selenia terbangun lebih awal hari ini. Bukan, bukan karena ia ingin, tapi memang ia tak pernah sudi tidur nyenyak sementara Raven berada di sekitarnya. Ingat, Selenia tak pernah terlelap nyenyak di kastil sang vampir melainkan karena dua hal, dihisap darahnya hingga lemas, atau kelelahan kabur darinya. Selenia sudah mandi, memakai sebuah gaun santai berwarna merah muda, dan menata rambutnya dengan rapi dan ringkas. Wanita itu kini tengah menyapu daun-daun kering di taman belakang kastil, entah motivasi dari mana. "Waah, cantiknya" Selenia meraih sebuah daun maple yang tergeletak di tanah, mengangkatnya dan menatap lekat. Daun itu oranye, dengan garis-garis merah di tulang daun, dan rona kekuningan di beberapa permukaannya. Wanita bersurai putih itu termenung sejenak, ia bahkan sampai lupa kalau saat ini masih musim gugur. Ia lupa, karena segala kekacauan dan masalah yang disebabkan satu orang yang sama. Raven. Musim semi terakhir yang ia ingat adalah
Selenia kira mereka akan kembali ke kastil, namun secara tiba-tiba, Raven mengubah arah langkahnya. "Kau bilang, aku boleh meminta apa saja padamu kan?" Selenia memalingkan wajahnya, enggan menatap wajah pria yang tengah menggendongnya saat ini. "Mati saja, sana. Dasar menyebalkan" Selenia menatap jalan yang mereka lewati. Menyusuri hutan gelap, demi mencapai sebuah perkotaan. Raven tertawa kecil, suara rendahnya menggema di antara pepohonan. "Mati? Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu semudah manusia biasa, Selenia." Ia mempererat gendongannya, seakan sengaja membuat Selenia semakin kesal. Wanita itu menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi tentu saja sia-sia. "Kau ini kenapa?!" gerutu Selenia, mendelik pada Raven sebelum kembali memalingkan wajahnya. "Aku bisa jalan sendiri! Aku bukan anak kecil!" "Ah, tapi aku suka begini," jawab Raven santai. "Kau begitu ringan, seperti boneka kecil yang bisa kubawa ke mana saja." Selenia mendengus kesal. "Aku akan mengg
"Lepaskan..." Raven membawa Selenia ke dalam kamar dengan langkah tenang, sementara wanita itu masih meronta di gendongannya. Namun, sekuat apa pun Selenia mencoba melepaskan diri, kekuatan vampir di hadapannya jauh lebih dominan. Begitu mencapai ranjang besar dengan seprai hitam yang elegan, Raven meletakkan Selenia dengan hati-hati di atasnya. Selenia segera bergerak, hendak bangkit, namun sebelum sempat menjauh, satu tangan kuat sudah menekan bahunya, menahannya di tempat. "Jangan bergerak." Suara Raven terdengar rendah dan dalam, membawa sensasi aneh yang merambat di kulit Selenia. "Lepaskan aku, dasar iblis!" Selenia mendesis, tapi tubuhnya menegang saat Raven mencondongkan tubuhnya ke depan, wajah mereka hanya terpaut beberapa senti. "Iblis?" Raven menatapnya dengan mata merah yang berkilat penuh bahaya. "Bukankah sudah sejak lama kau tahu bahwa aku memang bukan manusia?" Jemarinya bergerak, menyusuri lengan Selenia, menyentuh kulit halusnya dengan sentuhan yang ny
"Warnanya cantik sekali" Selenia tengah terduduk di ruang tengah kastil Raven. Tangannya sibuk memotongi tangkai mawar yang terlalu panjang dengan gunting, kemudian menatanya di vas bunga. Wanita itu memiliki banyak hal yang berkecamuk di benak, namun berusaha tetap santai. Selesai menata bunga di vas, ia terdiam sejenak. Tak menunggu waktu lama untuk langkah ringannya mengantarkan Selenia ke dapur, ia menatap ke sekeliling. Apakah di kastil ini ada bahan makanan untuk manusia? Ia kelaparan, dan berinisiatif untuk memasak makanan. "Wah, luar biasa" Ucap Selenia kala mengetahui bahan makanan sungguh melimpah di kulkas kastil tersebut. Selenia akhirnya mulai memasak, ia cukup handal melakukannya. Tak menunggu waktu lama, masakannya telah matang. Selenia tersenyum puas melihat mahakaryanya. Setelah mempersiapkan makan siangnya, Selenia baru hendak duduk di meja makan kala suara langkah kaki terdengar di telinganya. Selenia menghampiri sumber suara, hanya untuk menemukan Raven berhent