"Kau akan kalah, Raven"Selenia menatap Raven dengan senyum menghina. Kemudian gadis itu menatap tunangannya, memanggilnya dengan lembut dan penuh kasih."Lucas, tak peduli kau meletakkan pedangmu ataupun tetap berusaha menebasnya, dia akan mati. Lukanya sangat parah" Selenia tersenyum. Namun sepertinya senyum itu terlalu cepat sebagai deklarasi kemenangan."Oh, manis sekali."Raven terkekeh, namun darah hitam pekat masih mengalir dari luka di tubuhnya, bercampur dengan air hujan yang deras mengguyur mereka. Cengkeramannya di pinggang Selenia mengendur sedikit, tetapi senyumnya tetap menantang."Kau pikir aku akan mati begitu saja?" suaranya dalam dan serak, namun penuh bahaya."Gadis kecil, kau lupa siapa aku?"Seketika, hawa di sekitar mereka berubah. Angin berputar, membawa aroma anyir darah dan kematian yang lebih pekat. Mata merah Raven bersinar lebih terang, urat-urat hitam menjalar di sekitar luka yang ditimbulkan oleh pedang perak itu. Tetapi bukan tanda kematian, melainkan ta
"K-Kau akan selalu menjadi milikku"Raven mencintai rasa sakit itu. Namun, ia tahu rencananya mulai berjalan lancar. Tepat sebelum pria vampir itu kehilangan kesadaran, ia tahu Librae akan mendapat konsekuensinya."Librae... Kau terlalu ikut campur dengan dunia manusia... kau bisa memporak-porandakan garis takdir hamba-hambaku... ini belum saatnya kau menghakiminya"Dan bersamaan dengan hilangnya suara itu, kekuatan Librae lenyap seketika dari tubuh Selenia. Langit yang tadinya bergetar kini mulai mereda, seolah mengakui bahwa satu fase dari takdir telah mencapai titik akhirnya.Tubuh Raven tergeletak di tanah yang hangus terbakar petir suci Librae, namun senyum samar masih bertahan di wajahnya.Ia kalah... tapi bukan berarti ia telah gagal.Sementara itu, di sisi lain, tubuh Selenia jatuh lunglai begitu cahaya keemasannya sirna. Napasnya tersengal, matanya kehilangan sinar ilahinya, dan kini ia hanyalah seorang gadis biasa yang lemah dan rapuh.Lucas menangkapnya tepat waktu.Mata p
"Cantik"Langit senja membentang dengan warna oranye lembut, mengguratkan gradasi cahaya yang hangat di langit kota. Selenia menatap ke arah danau kecil di taman pribadi keluarga Vanderbilt, duduk di atas selimut piknik yang telah Lucas siapkan dengan sempurna. Sepanjang sore, mereka menghabiskan waktu bersama, bercanda, berbagi cerita, dan menikmati camilan yang Lucas beli khusus untuknya. Semuanya terasa begitu ringan, seolah-olah bahaya dan darah yang pernah mengintai mereka hanya ilusi masa lalu."Kau tidak perlu memandangiku seperti itu, Lucas," ujar Selenia dengan nada menggoda, memainkan ujung rambutnya dengan jemarinya yang lentik."Apa ada sesuatu di wajahku?"Lucas, yang tengah memegang secangkir teh hangat, meneguk minumannya dengan santai."Hmm… aku hanya berpikir, bagaimana mungkin seseorang sepertimu bisa bertahan melewati semua hal gila yang terjadi?" ujarnya sambil mengangkat alis."Diculik, disandera, bertarung melawan vampir, dan sekarang kau di sini, seolah-olah sem
"Menikah?" Raven Drachov, si iblis berjas rapi, tertawa kecil saat mendengar kabar itu. Sebuah tawa yang tipis, berlapis kegetiran, tetapi juga anehnya penuh hiburan. Duduk di singgasana gelapnya, dengan luka yang masih meninggalkan jejak samar di tubuhnya, ia mengangkat segelas anggur merah, atau mungkin darah ke bibirnya. Keadaannya saat ini berbeda jauh dengan saat pertarungan terakhir kali. Ia berhasil menyembuhkan dirinya dengan susah payah. "Jadi… gadis kecilku benar-benar akan menjadi mempelai pria sialan itu?" gumamnya, membiarkan kata-katanya mengudara, nyaris seperti gumaman pada diri sendiri. Hector, yang berdiri di sisi ruangan, menundukkan kepala. "Ya, Tuan. Vanderbilt telah lama mengumumkan pertunangan resmi mereka, bahkan sejak gadis itu belum bertemu dengan anda. Beberapa hari lagi, pernikahannya akan diumumkan ke publik." Jari-jari panjang Raven mengetuk-ketuk permukaan gelasnya. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya, sebuah sensasi yang ia kenali, tetapi
Bayangan akan selalu mengusik kebahagiaan Selenia. Langit sore masih bersinar lembut ketika pesta pernikahan Lucas dan Selenia memasuki puncaknya. Gelak tawa dan musik mengalun di seluruh taman keluarga Vanderbilt, menciptakan suasana hangat yang penuh kebahagiaan. Para tamu menikmati hidangan mewah, berdansa, dan tentu saja, tak henti-hentinya menggoda pengantin baru. Lucas dan Selenia duduk berdampingan di bangku utama, tangan mereka saling bertaut. Selenia baru saja memasukkan sepotong kue ke dalam mulut Lucas dengan ekspresi puas. Lucas yang tidak suka makanan manis tampak berusaha keras menelan tanpa terlihat menderita. "Kau benar-benar menikmati ini, ya?" keluh Lucas. Selenia menyeringai. "Tentu saja. Aku akan menikmati setiap kesempatan untuk menyiksamu, Sayang." Wajah Lucas memerah padam mendengar panggilan Selenia untuknya. Namun, tepat ketika suasana berada di puncak kebahagiaan, langit yang semula cerah mendadak berubah kelam. Angin dingin bertiup tanpa peringatan,
"Kau iblis" Selenia menatap jijik pada Raven. Matanya sembab, hari bahagianya dihancurkan oleh vampir di hadapannya. "Waktu itu... kenapa kau tidak mati saja? Kau benar-benar mengusik hidupku" Selenia meremas gaun putihnya, menatap Raven dengan tatapan nyalang. Raven menatapnya, kemudian tertawa pelan. "Iblis?" ulangnya, mendekatkan wajahnya ke arah Selenia, cukup dekat hingga wanita itu bisa mencium aroma khasnya, campuran anggur merah, darah, dan sesuatu yang lebih gelap. "Aku lebih dari itu, Selenia. Aku adalah kutukan yang tak bisa kau enyahkan." Ia menyingkap sehelai rambut yang jatuh di wajah wanita itu dengan gerakan santai, seolah mereka hanya sedang berbincang biasa. "Dan kenapa aku tidak mati?" suara baritonnya terdengar hampir seperti bisikan, mendekat ke telinganya. "Karena aku belum selesai bermain denganmu." Raven menegakkan tubuhnya lagi, menatap gaun putih yang kini kusut dan ternoda debu. Matanya yang berkilat tajam menyapu ke seluruh tubuhnya, lalu ia menyer
"Aku membencimu" Selenia menatap Raven penuh kebencian, netra biru lautnya bergetar. Wanita itu terus memberontak, apalagi saat mendengar samar-samar suara Lucas memanggilnya di kejauhan. Selenia ingin kembali pada Lucas, pria yang dicintainya, suaminya."LUCAS!" Teriak Selenia."Selenia!"Lucas berlari menerobos semak-semak, dedaunan kering hancur di bawah kakinya. Perkiraannya tak salah. Vampir itu benar-benar membawa Selenia kembali ke kastilnya, dan beruntungnya Lucas karena mengetahui lokasi kastil tersebut. Napasnya terengah, jantungnya berdegup liar di dalam dadanya. Suara jeritan istrinya baru saja menembus kegelapan hutan, suara yang memanggilnya, meminta pertolongan.Dan ia tidak akan membiarkan iblis itu mengambilnya lagi.Lucas berbelok tajam, dan di sana-Ia melihatnya.Selenia, dalam balutan gaun pengantin yang sudah kotor dan robek, rambut albino panjangnya berantakan tert
Seorang wanita dengan gaun tidur merah marun menghapus jejak air matanya. Selenia duduk diatas ranjang yang sama, dengan yang ia hindari tempo lalu. Ia tidur di kamar Raven, dengan terpaksa. Sabar. Wanita itu mencoba bermain cerdas, ia harus terlihat menyerah dan tunduk dihadapan Raven, sambil merencanakan pelariannya."Selamat pagi" Ucapnya pelan, kala Raven memasuki kamar.Raven menghentikan langkahnya di ambang pintu, matanya yang berwarna merah batu delima meneliti Selenia dengan penuh selidik. Wanita itu tampak berbeda. Tidak lagi memberontak, tidak lagi menatapnya dengan sorot ketakutan yang liar. Sebaliknya, ada ketenangan yang terpatri di wajahnya, begitu halus namun mencurigakan."Selamat pagi?" Raven mengulang sapaan itu dengan nada geli, menutup pintu di belakangnya dengan tenang."Ah, ini pertama kalinya kau menyapaku seperti itu tanpa ada umpatan di belakangnya. Sesuatu yang baru, bukan?"Selenia memaksakan sen
"Ingin... Melarikan diri?" Selenia membeo ucapan Raven. "Maunya sih begitu, tapi aku yakin itu sia-sia. Aku tahu kau akan menikmatinya, dan aku tak ingin memberimu kepuasan saat memburuku" Selenia menatap dedaunan yang gugur. Matanya menunjukkan kesenduan. "Aku akan bertanya satu hal yang serius padamu" Wanita itu menatap langsung ke mata merah delima pria di hadapannya, mata yang selalu membuatnya bergidik ngeri. "Apa sejauh ini... kau memiliki niat untuk membunuhku? Atau memanfaatkanku?" Raven terdiam, menatap Selenia dengan sorot mata yang sulit ditebak. Sejenak, hanya ada suara angin yang berhembus pelan, menggoyangkan dahan-dahan pohon yang mulai gundul. Lalu, pria itu menyeringai tipis. "Sebuah pertanyaan yang menarik," katanya, suaranya terdengar seperti seseorang yang sedang menikmati permainan catur yang menantang. "Tapi apakah jawaban yang jujur akan membuatmu lebih tenang atau justru lebih takut?" Selenia tetap menatapnya, tak bergeming. Raven menghela nap
"Lapar." Raven sangat lapar malam ini. Aroma darah menguar di seluruh kastil. Selenia tengah menstruasi, dan sialnya itu adalah malapetaka bagi Raven. Penciumannya yang jauh lebih tajam dari manusia tentu membuatnya mampu mencium aroma darah Selenia. Ia melangkah keluar dari kamarnya, menuruni anak tangga. Langkahnya terhenti sejenak. Vampir itu mendapati Selenia tengah duduk santai di sofa ruang tengah, merajut syal yang tak kunjung rampung. Melihat wanita itu menggelung rambutnya, Raven menelan saliva dengan kasar. Lihatlah leher putih nan jenjang milik sang hawa, Raven sangat ingin menggigitnya dan merasakan darah mengalir ke mulutnya. "Sedang apa disana?" Ucap Selenia tanpa menoleh, menyadari derap langkah Raven yang terhenti. Raven tidak langsung menjawab. Matanya terpaku pada denyut halus di leher Selenia yang terekspos, bergerak seiring aliran darah di bawah kulitnya. Napasnya sedikit berat, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. Godaan ini hampir menyiksa. Sial. “S
Pagi yang sejuk, dengan cuaca berawan.Selenia duduk di taman belakang kastil seorang diri. Rambut putih panjangnya tergerai bebas, tak lagi tertata dengan rapi. Tangannya masih sibuk merajut syal."Aku tidak bisa menentukan panjang syal yang pas kalau Lucas tidak ada disini... Bagaimana caranya aku mengukurnya?" Gumam Selenia pada dirinya sendiri.Sebuah daun kering gugur, bergerak lembut dan tersangkut di rambut putih Selenia. Namun wanita itu tak menyadarinya.Selenia menghela napas, menatap rajutannya dengan ekspresi tak puas. Ia merasa sudah menghabiskan banyak waktu untuk ini, tapi tanpa Lucas, semuanya terasa setengah hati. Sambil terus menggerakkan hakpen di jemarinya, ia melirik ke langit yang mendung. Musim dingin sebentar lagi datang. Syal ini harus selesai sebelum saat itu tiba, agar Lucas bisa memakainya. Tiba-tiba, hembusan angin mengusik ketenangannya. Ia merasakan sesuatu yang lembut menyentuh kepala
"Pola ini salah"Akhir-akhir ini, Selenia sibuk dengan syal yang tengah dirajutnya. Mengabaikan keberadaan Raven, dan fakta bahwa dirinya adalah tawanan di kastil itu. Sementara Raven, sepertinya tidak terlalu memusingkan Selenia yang anteng dan jarang berinteraksi dengannya belakangan ini. Pria itu lebih sibuk dengan bisnisnya di dunia hitam, begitulah yang Selenia kira."Selamat jalan" Ucap Selenia melihat Raven hendak keluar kastil.Itulah kalimat yang selalu Selenia ucapkan pada Raven kala pria itu keluar di malam hari untuk menjalankan perannya sebagai bos organisasi Mafia besar. Dengan nada yang seolah dipermanis, padahal Selenia hanya meyakinkan Raven bahwa dirinya patuh dan takkan berusaha melarikan diri lagi.Raven hanya melirik sekilas ke arah Selenia yang duduk di dekat perapian, jemarinya sibuk dengan hakpen dan benang biru tua. Matanya yang tajam menangkap pola rajutan yang semakin terbentuk jelas, namun ia tidak berkomentar."Jangan melakukan hal bodoh saat aku pergi," u
"Aku akan membuat masakan itu hari ini" Selenia tengah sibuk berkutat dengan bahan makanan dan alat-alat dapur. Ia pun baru membuka bungkusan belanjaannya kemarin malam. Belanja menyebalkan bersama si vampir, Raven Drachov. Tangannya sibuk memotong bahan-bahan, kemudian kembali mengambil sesuatu di dalam tas belanja. Tersenyum horor, Selenia menatap benda di tangannya dengan sedikit harapan. Bawang putih. Selenia memutar siung bawang putih di antara jemarinya, matanya menyipit penuh perhitungan. Apakah ini benar-benar bisa bekerja? Selama ini, ia hanya mengetahui dari cerita dan legenda bahwa vampir membenci bawang putih. Tapi, Raven bukan vampir biasa. Ia lebih kuat, lebih licik, dan jelas lebih sulit dikalahkan daripada makhluk-makhluk menyeramkan di dongeng. Namun, tetap saja, tidak ada salahnya mencoba. Wanita itu menyeringai kecil, mulai mengupas dan mengiris bawang putih dengan hati-hati. Potongan kecil-kecil ia sisipkan ke dalam masakannya. Jika ini berhasil, mungkin ia
"Pagi di sini cukup dingin.." Selenia terbangun lebih awal hari ini. Bukan, bukan karena ia ingin, tapi memang ia tak pernah sudi tidur nyenyak sementara Raven berada di sekitarnya. Ingat, Selenia tak pernah terlelap nyenyak di kastil sang vampir melainkan karena dua hal, dihisap darahnya hingga lemas, atau kelelahan kabur darinya. Selenia sudah mandi, memakai sebuah gaun santai berwarna merah muda, dan menata rambutnya dengan rapi dan ringkas. Wanita itu kini tengah menyapu daun-daun kering di taman belakang kastil, entah motivasi dari mana. "Waah, cantiknya" Selenia meraih sebuah daun maple yang tergeletak di tanah, mengangkatnya dan menatap lekat. Daun itu oranye, dengan garis-garis merah di tulang daun, dan rona kekuningan di beberapa permukaannya. Wanita bersurai putih itu termenung sejenak, ia bahkan sampai lupa kalau saat ini masih musim gugur. Ia lupa, karena segala kekacauan dan masalah yang disebabkan satu orang yang sama. Raven. Musim semi terakhir yang ia ingat adalah
Selenia kira mereka akan kembali ke kastil, namun secara tiba-tiba, Raven mengubah arah langkahnya. "Kau bilang, aku boleh meminta apa saja padamu kan?" Selenia memalingkan wajahnya, enggan menatap wajah pria yang tengah menggendongnya saat ini. "Mati saja, sana. Dasar menyebalkan" Selenia menatap jalan yang mereka lewati. Menyusuri hutan gelap, demi mencapai sebuah perkotaan. Raven tertawa kecil, suara rendahnya menggema di antara pepohonan. "Mati? Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu semudah manusia biasa, Selenia." Ia mempererat gendongannya, seakan sengaja membuat Selenia semakin kesal. Wanita itu menggeliat, mencoba melepaskan diri, tapi tentu saja sia-sia. "Kau ini kenapa?!" gerutu Selenia, mendelik pada Raven sebelum kembali memalingkan wajahnya. "Aku bisa jalan sendiri! Aku bukan anak kecil!" "Ah, tapi aku suka begini," jawab Raven santai. "Kau begitu ringan, seperti boneka kecil yang bisa kubawa ke mana saja." Selenia mendengus kesal. "Aku akan mengg
"Lepaskan..." Raven membawa Selenia ke dalam kamar dengan langkah tenang, sementara wanita itu masih meronta di gendongannya. Namun, sekuat apa pun Selenia mencoba melepaskan diri, kekuatan vampir di hadapannya jauh lebih dominan. Begitu mencapai ranjang besar dengan seprai hitam yang elegan, Raven meletakkan Selenia dengan hati-hati di atasnya. Selenia segera bergerak, hendak bangkit, namun sebelum sempat menjauh, satu tangan kuat sudah menekan bahunya, menahannya di tempat. "Jangan bergerak." Suara Raven terdengar rendah dan dalam, membawa sensasi aneh yang merambat di kulit Selenia. "Lepaskan aku, dasar iblis!" Selenia mendesis, tapi tubuhnya menegang saat Raven mencondongkan tubuhnya ke depan, wajah mereka hanya terpaut beberapa senti. "Iblis?" Raven menatapnya dengan mata merah yang berkilat penuh bahaya. "Bukankah sudah sejak lama kau tahu bahwa aku memang bukan manusia?" Jemarinya bergerak, menyusuri lengan Selenia, menyentuh kulit halusnya dengan sentuhan yang ny
"Warnanya cantik sekali" Selenia tengah terduduk di ruang tengah kastil Raven. Tangannya sibuk memotongi tangkai mawar yang terlalu panjang dengan gunting, kemudian menatanya di vas bunga. Wanita itu memiliki banyak hal yang berkecamuk di benak, namun berusaha tetap santai. Selesai menata bunga di vas, ia terdiam sejenak. Tak menunggu waktu lama untuk langkah ringannya mengantarkan Selenia ke dapur, ia menatap ke sekeliling. Apakah di kastil ini ada bahan makanan untuk manusia? Ia kelaparan, dan berinisiatif untuk memasak makanan. "Wah, luar biasa" Ucap Selenia kala mengetahui bahan makanan sungguh melimpah di kulkas kastil tersebut. Selenia akhirnya mulai memasak, ia cukup handal melakukannya. Tak menunggu waktu lama, masakannya telah matang. Selenia tersenyum puas melihat mahakaryanya. Setelah mempersiapkan makan siangnya, Selenia baru hendak duduk di meja makan kala suara langkah kaki terdengar di telinganya. Selenia menghampiri sumber suara, hanya untuk menemukan Raven berhent