Saat ini Zira tengah makan malam dengan suami dan kedua kakaknya. Kaesar duduk di kepala meja– makan dengan tenang. Lalu di sebelahnya, ada Zira yang tengah makan … meski terlihat lahap, perempuan itu makan begitu anggun dan manis. Tentu saja, Zira sedang menjaga image di depan suaminya. Jika di rumahnya, Zira sering dimarahi oleh Daddynya karena makan terlalu cepat-cepat– jauh dari kata anggun. Betul sekali, Zira adalah langganan kemarahan Daddynya. Di sisi lain, Asta diam-diam mengintip ke arah ruang makan. Sejujurnya, dia ingin sekali bergabung ke sana. Namun, dia takut diamuk oleh Xander. "Ke--kenapa anak … dia Zira kan? Salah satu peserta king Queen kampus BF? Kenapa dia di sini?" tanya Maya, mengerutkan kening ketika melihat seorang gadis ikut makan dengan Kaesar maupun dua pria tampan berbahaya di sana. "Awalnya kukira dia disini karena diculik oleh Kaesar. Tetapi … lihat saja! Gadis itu terlihat senang," jawab Asta, mengepalkan tangan secara kuat -- tak terima Zira ikut mak
'Ini kan …?' Zira menatap ke sekeliling, memperhatikan bangunan mega berupa villa di tengah perkebunan. "Wah, bagus sekali villa-nya. Sial, yang punya pasti orang kaya banget," celutuk salah satu teman Zira, berjalan ke teras dan memilih menunggu di sana. Sedangkan Zira, dia duduk di atas koper miliknya– menghadap ke villa dengan perasaan campur aduk. Dia bertopang dagu, begitu serius menatap bangunan cantik di depannya. Villa ini begitu luas, terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah, punya pemandangan yang indah dan punya desain yang bagus– sederhana, klasik tetapi penuh pesona. Zira buru-buru mengeluarkan ponsel, mengambil foto villa tersebut kemudian mengirim gambar pada kembarannya. [Aku ada di Villa Granddad.] Pesan yang Zira kirim pada Razie. Dia tak menunggu balasan dari kembarannya tersebut karena dia tahu Razie tak akan membalas pesannya secepat itu. Butuh-- mungkin nanti malam baru dia mendapat balasan pesan dari Razie. It's ok, karena Zira terbiasa dan memang begit
"Ini kamarku?" tanya Zira setelah berada di sebuah kamar–berbeda bangunan dengan staf atau rekan yang lain. Kaesar menganggukkan kepala, membereskan koper miliknya dan koper milik istrinya. Sedangkan Zira, dia memilih untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Namun, menyadari sesuatu, Zira kembali duduk– menghadap ke arah suaminya yang tengah beres-beres. 'Koper Kak Kae juga di--' Zira mengerutkan kening. "Kak Kae di sini juga? Maksudku-- kita satu kamar?" tanya Zira, masih mengamati suaminya yang sedang membereskan pakaian dalam sebuah lemari. "Humm." Kaesar menganggukkan kepala, "di bangunan ini hanya ada tiga kamar. Dua kamar sudah dipakai oleh Xander dan Samuel." Zira memangut pelan. Tentu saja dia tahu jika bangunan villa bagian ini memang hanya memiliki tiga kamar. Biasanya jika mereka berlibur kemari, Daddynya yang sering menggunakan bangunan ini karena memisah dan cukup jauh dari bangunan lain. Daddynya memang terkenal dengan pribadinya yang suka tenang, sepi dan sunyi
"Daddy akan marah besar, Kak," ucap Zira, mengingat jika Daddynya sangat mengerikan ketika marah. Dia tidak ingin pria yang ia cintai ini berhadapan dengan amarah Daddynya jika tetap nekat mengumumkan pernikahan mereka suatu saat nanti."Itu resikoku jika memang tetap ingin memilikimu. Kau tuan putri Azam, wajar bila aku harus mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkanmu," ucap Kaesar, tiba-tiba berkata serak. Suaranya terkesan lembut namun begitu berat, sangat seksi di pendengaran Zira– membuatnya merinding sekaligus menegang kaku mendengarnya. Deg deg degMata Zira melotot lebar, ucapan Kaesar berhasil membuat jiwanya meronta-ronta dalam sana. Jantung Zira berdebar kencang, terasa diremas kuat dan akan pecah dalam sana. Pipinya panas– menyemburkan semu merah indah, bak buah persik kematangan. Kaesar tidak sedang mengutarakan perasaan padanya, tetapi ucapan pria ini pada Zira seolah menunjukan betapa besarnya cinta Kaesar padanya. Bahkan berniat menentang Daddynya yang sering diseb
Wajah datar tetapi tampan luar biasa kembarannya sudah memenuhi layar HP Zira. 'Ada apa?' Suara bass terdengar– mengalun datar. Sang pemilik suara terlihat menampilkan raut muka lempeng, sorotnya sayup; tatapan kantuk tetapi mengintimidasi secara bersamaan. "Hai," sapa Zira, menyengir lebar dengan pipi yang sudah memanas. Razie Dominic Azam, kembarannya yang punya rupa sangat tampan. Zira yang merupakan kakak dari pria ini saja sering terpesona akan ketampanan adiknya. Apalagi perempuan diluaran sana. "Rindu aku yah?" Zira kemudian menaik turunkan alis, masih melebarkan senyuman ke arah layar HP. 'Tidak.' "Acieee … yang rindu tetapi tidak mau ngaku. Acieee …," ucap Zira dengan nada menggoda. Razie tak mengatakan apa-apa, hanya diam sembari menatap sayup ke arah Zira. Ekspresinya masih sama dengan yang awal, terlihat sangat flat. "Razie kenapa diam saja? O--ouh, aku tahu pasti kamu terpesona yah karena aku tambah cantik. Aih," ucap Zira malu-malu di akhir kalimat, mengibas tang
"Kamu sayang nggak sih sama aku?" pekik Zira tiba-tiba. Awalnya Gani tidak paham kenapa Zira bersikap seperti ini, tetapi sekarang-- dia tahu kenapa Zira bersikap seperti ini. "Ouh gitu yah?" ucap Gani tiba-tiba.Zira menganggukkan kepala. Fiuhh … untuk sahabatnya ini tahu kenapa dia bersikap seperti tadi. Sejujurnya Zira reflek, terlalu kesal pada Kaesar yang sangat romantis dengan Asta."Iya." Zira tersenyum manis, tanpa berdosa serta merasa bersalah sedikitpun– menikmati perannya yang pura-pura polos dan tak tahu menahu dengan apa yang terjadi, "begitu ceritanya saat Anna marah-marah ke Pacar dia," lanjut Zira. "Eh." Setelah itu dia menatap kaget pada teman-temannya– hanya sikap pura-pura, "kalian kenapa?" tanya Zira dengan tampang polos. "Iya, kalian ngapain?" tanya Gani ikut-ikutan. "Ih, kalian yang kenapa?" Mala berucap dengan penampilan muram. "Aneh! Kalian tadi kayak lagi berantem, eh tahu-tahunya lagi … ngapain?" ucap teman mereka yang lainnya. "Hehehe … kita lagi ng
"Kau mau kemana?" tanya Xander, menaikkan sebelah alis. Kaesar tidak mengatakan apa-apa, langsung pergi begitu saja dari sana. ***Tangan kekar itu mencengkeram kuat pinggiran balkon, lalu satu tangannya menahan batang rokok yang saat ini tengah dihisap olehnya. Huuh--Asap rokok keluar dari mulut pria tampan bak dewa Yunani tersebut. Mata pria itu menatap lurus ke depan, terlihat sayup tetapi penuh ledakan kemarahan yang besar. Rahangnya mengatup kala mengingat momen mesra istrinya dengan seorang pemuda. "Cih." Dia berdecis sinis, lagi-lagi menghisap rokok– melampiaskan kemarahannya di malam ini pada sepuntung rokok. Ceklek' Terdengar suara decitan pintu ketika dibuka. Dia melirik sekilas, setelah itu kembali memilih merokok– tak menghiraukan siapa yang masuk dalam kamarnya. "Kenapa pintu balkon terbuka?" Suara lembut perempuan terdengar, disusul oleh aroma manis yang mendekat ke arah Kaesar– pertanda jika perempuan itu berjalan ke arah tempatnya. Kaesar hanya diam, tetapi
Pria ini sempat begitu khawatir ketika Zira terbatuk karena asap rokok. Namun, sekarang terang-terangan Kaesar sengaja meniup asap rokok ke arahnya. Kenapa? "Masuk," titah Kaesar kembali, sengaja meniup asap rokok di depan wajah Zira supaya perempuan ini menyerah dan masuk dalam kamar. Zira kembali menggelengkan kepala. "Merokok tidak sehat, Kak," peringat Zira, sedikit menjauh karena takut jika Kaesar kembali mengeluarkan asap rokok tepat di depan wajahnya. Zira tidak tahan untuk hal itu. Daddynya tidak pernah merokok, begitu juga dengan Kakaknya. Lingkungan Zira bisa dikatakan sehat, jauh dari asap rokok dan orang-orang kecanduan rokok. Oleh sebab itu Zira tidak terbiasa dengan asap rokok, dia pusing mencium aroma rokok."Humm." Kaesar berdehem, sama sekali tak mengindahkan ucapan Zira karena selanjutnya dia kembali menghisap rokok. "Kak Kae jika punya masalah jangan merokok sebagai pelampiasan. Karena rokok itu tidak …- uhuk uhuk. Kak Kae!" pekik Zira, berakhir terbatuk-batuk
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming