'Ini kan …?' Zira menatap ke sekeliling, memperhatikan bangunan mega berupa villa di tengah perkebunan. "Wah, bagus sekali villa-nya. Sial, yang punya pasti orang kaya banget," celutuk salah satu teman Zira, berjalan ke teras dan memilih menunggu di sana. Sedangkan Zira, dia duduk di atas koper miliknya– menghadap ke villa dengan perasaan campur aduk. Dia bertopang dagu, begitu serius menatap bangunan cantik di depannya. Villa ini begitu luas, terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah, punya pemandangan yang indah dan punya desain yang bagus– sederhana, klasik tetapi penuh pesona. Zira buru-buru mengeluarkan ponsel, mengambil foto villa tersebut kemudian mengirim gambar pada kembarannya. [Aku ada di Villa Granddad.] Pesan yang Zira kirim pada Razie. Dia tak menunggu balasan dari kembarannya tersebut karena dia tahu Razie tak akan membalas pesannya secepat itu. Butuh-- mungkin nanti malam baru dia mendapat balasan pesan dari Razie. It's ok, karena Zira terbiasa dan memang begit
"Ini kamarku?" tanya Zira setelah berada di sebuah kamar–berbeda bangunan dengan staf atau rekan yang lain. Kaesar menganggukkan kepala, membereskan koper miliknya dan koper milik istrinya. Sedangkan Zira, dia memilih untuk membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Namun, menyadari sesuatu, Zira kembali duduk– menghadap ke arah suaminya yang tengah beres-beres. 'Koper Kak Kae juga di--' Zira mengerutkan kening. "Kak Kae di sini juga? Maksudku-- kita satu kamar?" tanya Zira, masih mengamati suaminya yang sedang membereskan pakaian dalam sebuah lemari. "Humm." Kaesar menganggukkan kepala, "di bangunan ini hanya ada tiga kamar. Dua kamar sudah dipakai oleh Xander dan Samuel." Zira memangut pelan. Tentu saja dia tahu jika bangunan villa bagian ini memang hanya memiliki tiga kamar. Biasanya jika mereka berlibur kemari, Daddynya yang sering menggunakan bangunan ini karena memisah dan cukup jauh dari bangunan lain. Daddynya memang terkenal dengan pribadinya yang suka tenang, sepi dan sunyi
"Daddy akan marah besar, Kak," ucap Zira, mengingat jika Daddynya sangat mengerikan ketika marah. Dia tidak ingin pria yang ia cintai ini berhadapan dengan amarah Daddynya jika tetap nekat mengumumkan pernikahan mereka suatu saat nanti."Itu resikoku jika memang tetap ingin memilikimu. Kau tuan putri Azam, wajar bila aku harus mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkanmu," ucap Kaesar, tiba-tiba berkata serak. Suaranya terkesan lembut namun begitu berat, sangat seksi di pendengaran Zira– membuatnya merinding sekaligus menegang kaku mendengarnya. Deg deg degMata Zira melotot lebar, ucapan Kaesar berhasil membuat jiwanya meronta-ronta dalam sana. Jantung Zira berdebar kencang, terasa diremas kuat dan akan pecah dalam sana. Pipinya panas– menyemburkan semu merah indah, bak buah persik kematangan. Kaesar tidak sedang mengutarakan perasaan padanya, tetapi ucapan pria ini pada Zira seolah menunjukan betapa besarnya cinta Kaesar padanya. Bahkan berniat menentang Daddynya yang sering diseb
Wajah datar tetapi tampan luar biasa kembarannya sudah memenuhi layar HP Zira. 'Ada apa?' Suara bass terdengar– mengalun datar. Sang pemilik suara terlihat menampilkan raut muka lempeng, sorotnya sayup; tatapan kantuk tetapi mengintimidasi secara bersamaan. "Hai," sapa Zira, menyengir lebar dengan pipi yang sudah memanas. Razie Dominic Azam, kembarannya yang punya rupa sangat tampan. Zira yang merupakan kakak dari pria ini saja sering terpesona akan ketampanan adiknya. Apalagi perempuan diluaran sana. "Rindu aku yah?" Zira kemudian menaik turunkan alis, masih melebarkan senyuman ke arah layar HP. 'Tidak.' "Acieee … yang rindu tetapi tidak mau ngaku. Acieee …," ucap Zira dengan nada menggoda. Razie tak mengatakan apa-apa, hanya diam sembari menatap sayup ke arah Zira. Ekspresinya masih sama dengan yang awal, terlihat sangat flat. "Razie kenapa diam saja? O--ouh, aku tahu pasti kamu terpesona yah karena aku tambah cantik. Aih," ucap Zira malu-malu di akhir kalimat, mengibas tang
"Kamu sayang nggak sih sama aku?" pekik Zira tiba-tiba. Awalnya Gani tidak paham kenapa Zira bersikap seperti ini, tetapi sekarang-- dia tahu kenapa Zira bersikap seperti ini. "Ouh gitu yah?" ucap Gani tiba-tiba.Zira menganggukkan kepala. Fiuhh … untuk sahabatnya ini tahu kenapa dia bersikap seperti tadi. Sejujurnya Zira reflek, terlalu kesal pada Kaesar yang sangat romantis dengan Asta."Iya." Zira tersenyum manis, tanpa berdosa serta merasa bersalah sedikitpun– menikmati perannya yang pura-pura polos dan tak tahu menahu dengan apa yang terjadi, "begitu ceritanya saat Anna marah-marah ke Pacar dia," lanjut Zira. "Eh." Setelah itu dia menatap kaget pada teman-temannya– hanya sikap pura-pura, "kalian kenapa?" tanya Zira dengan tampang polos. "Iya, kalian ngapain?" tanya Gani ikut-ikutan. "Ih, kalian yang kenapa?" Mala berucap dengan penampilan muram. "Aneh! Kalian tadi kayak lagi berantem, eh tahu-tahunya lagi … ngapain?" ucap teman mereka yang lainnya. "Hehehe … kita lagi ng
"Kau mau kemana?" tanya Xander, menaikkan sebelah alis. Kaesar tidak mengatakan apa-apa, langsung pergi begitu saja dari sana. ***Tangan kekar itu mencengkeram kuat pinggiran balkon, lalu satu tangannya menahan batang rokok yang saat ini tengah dihisap olehnya. Huuh--Asap rokok keluar dari mulut pria tampan bak dewa Yunani tersebut. Mata pria itu menatap lurus ke depan, terlihat sayup tetapi penuh ledakan kemarahan yang besar. Rahangnya mengatup kala mengingat momen mesra istrinya dengan seorang pemuda. "Cih." Dia berdecis sinis, lagi-lagi menghisap rokok– melampiaskan kemarahannya di malam ini pada sepuntung rokok. Ceklek' Terdengar suara decitan pintu ketika dibuka. Dia melirik sekilas, setelah itu kembali memilih merokok– tak menghiraukan siapa yang masuk dalam kamarnya. "Kenapa pintu balkon terbuka?" Suara lembut perempuan terdengar, disusul oleh aroma manis yang mendekat ke arah Kaesar– pertanda jika perempuan itu berjalan ke arah tempatnya. Kaesar hanya diam, tetapi
Pria ini sempat begitu khawatir ketika Zira terbatuk karena asap rokok. Namun, sekarang terang-terangan Kaesar sengaja meniup asap rokok ke arahnya. Kenapa? "Masuk," titah Kaesar kembali, sengaja meniup asap rokok di depan wajah Zira supaya perempuan ini menyerah dan masuk dalam kamar. Zira kembali menggelengkan kepala. "Merokok tidak sehat, Kak," peringat Zira, sedikit menjauh karena takut jika Kaesar kembali mengeluarkan asap rokok tepat di depan wajahnya. Zira tidak tahan untuk hal itu. Daddynya tidak pernah merokok, begitu juga dengan Kakaknya. Lingkungan Zira bisa dikatakan sehat, jauh dari asap rokok dan orang-orang kecanduan rokok. Oleh sebab itu Zira tidak terbiasa dengan asap rokok, dia pusing mencium aroma rokok."Humm." Kaesar berdehem, sama sekali tak mengindahkan ucapan Zira karena selanjutnya dia kembali menghisap rokok. "Kak Kae jika punya masalah jangan merokok sebagai pelampiasan. Karena rokok itu tidak …- uhuk uhuk. Kak Kae!" pekik Zira, berakhir terbatuk-batuk
Besoknya--Zira dengan peserta lain melakukan pemotretan di sebuah lokasi yang telah disiapkan. "Seperti biasa, Zira selalu bagus," ucap fotografer, memuji Zira yang sedang berpose. "Oke, berikutnya." Zira beranjak dari sana, berganti dengan calon queen lain. Zira berjalan mendekati Gani, menatap gelang sahabatnya tersebut dengan air muka bertanya-tanya. Sejak tadi, sebenarnya Zira fokus pada gelang Gani. Tadi malam, seseorang yang mencuri fotonya dengan Kaesar memakai gelang merah yang menyala di kegelapan. Persis dengan gelang Gani."Gelang baru, Gan?" tanya Zira, meraih tangan Gani lalu memperhatikan gelang merah tersebut secara saksama. Gani tersenyum bangga. "Bagus nggak?" ucapnya menyombongkan diri. "Lumayan," ucap Zira. Namun, buru-buru melepas tangan Gani karena tak jauh dari tempatnya Kaesar sedang memperhatikan dirinya– menatap Zira dengan tajam dan penuh peringatan. "Hehehe …." Zira cengengesan entah pada siapa. "Kamu kenapa? Suka gelangku?" Zira menggelengkan kepa