Wajah datar tetapi tampan luar biasa kembarannya sudah memenuhi layar HP Zira. 'Ada apa?' Suara bass terdengar– mengalun datar. Sang pemilik suara terlihat menampilkan raut muka lempeng, sorotnya sayup; tatapan kantuk tetapi mengintimidasi secara bersamaan. "Hai," sapa Zira, menyengir lebar dengan pipi yang sudah memanas. Razie Dominic Azam, kembarannya yang punya rupa sangat tampan. Zira yang merupakan kakak dari pria ini saja sering terpesona akan ketampanan adiknya. Apalagi perempuan diluaran sana. "Rindu aku yah?" Zira kemudian menaik turunkan alis, masih melebarkan senyuman ke arah layar HP. 'Tidak.' "Acieee … yang rindu tetapi tidak mau ngaku. Acieee …," ucap Zira dengan nada menggoda. Razie tak mengatakan apa-apa, hanya diam sembari menatap sayup ke arah Zira. Ekspresinya masih sama dengan yang awal, terlihat sangat flat. "Razie kenapa diam saja? O--ouh, aku tahu pasti kamu terpesona yah karena aku tambah cantik. Aih," ucap Zira malu-malu di akhir kalimat, mengibas tang
"Kamu sayang nggak sih sama aku?" pekik Zira tiba-tiba. Awalnya Gani tidak paham kenapa Zira bersikap seperti ini, tetapi sekarang-- dia tahu kenapa Zira bersikap seperti ini. "Ouh gitu yah?" ucap Gani tiba-tiba.Zira menganggukkan kepala. Fiuhh … untuk sahabatnya ini tahu kenapa dia bersikap seperti tadi. Sejujurnya Zira reflek, terlalu kesal pada Kaesar yang sangat romantis dengan Asta."Iya." Zira tersenyum manis, tanpa berdosa serta merasa bersalah sedikitpun– menikmati perannya yang pura-pura polos dan tak tahu menahu dengan apa yang terjadi, "begitu ceritanya saat Anna marah-marah ke Pacar dia," lanjut Zira. "Eh." Setelah itu dia menatap kaget pada teman-temannya– hanya sikap pura-pura, "kalian kenapa?" tanya Zira dengan tampang polos. "Iya, kalian ngapain?" tanya Gani ikut-ikutan. "Ih, kalian yang kenapa?" Mala berucap dengan penampilan muram. "Aneh! Kalian tadi kayak lagi berantem, eh tahu-tahunya lagi … ngapain?" ucap teman mereka yang lainnya. "Hehehe … kita lagi ng
"Kau mau kemana?" tanya Xander, menaikkan sebelah alis. Kaesar tidak mengatakan apa-apa, langsung pergi begitu saja dari sana. ***Tangan kekar itu mencengkeram kuat pinggiran balkon, lalu satu tangannya menahan batang rokok yang saat ini tengah dihisap olehnya. Huuh--Asap rokok keluar dari mulut pria tampan bak dewa Yunani tersebut. Mata pria itu menatap lurus ke depan, terlihat sayup tetapi penuh ledakan kemarahan yang besar. Rahangnya mengatup kala mengingat momen mesra istrinya dengan seorang pemuda. "Cih." Dia berdecis sinis, lagi-lagi menghisap rokok– melampiaskan kemarahannya di malam ini pada sepuntung rokok. Ceklek' Terdengar suara decitan pintu ketika dibuka. Dia melirik sekilas, setelah itu kembali memilih merokok– tak menghiraukan siapa yang masuk dalam kamarnya. "Kenapa pintu balkon terbuka?" Suara lembut perempuan terdengar, disusul oleh aroma manis yang mendekat ke arah Kaesar– pertanda jika perempuan itu berjalan ke arah tempatnya. Kaesar hanya diam, tetapi
Pria ini sempat begitu khawatir ketika Zira terbatuk karena asap rokok. Namun, sekarang terang-terangan Kaesar sengaja meniup asap rokok ke arahnya. Kenapa? "Masuk," titah Kaesar kembali, sengaja meniup asap rokok di depan wajah Zira supaya perempuan ini menyerah dan masuk dalam kamar. Zira kembali menggelengkan kepala. "Merokok tidak sehat, Kak," peringat Zira, sedikit menjauh karena takut jika Kaesar kembali mengeluarkan asap rokok tepat di depan wajahnya. Zira tidak tahan untuk hal itu. Daddynya tidak pernah merokok, begitu juga dengan Kakaknya. Lingkungan Zira bisa dikatakan sehat, jauh dari asap rokok dan orang-orang kecanduan rokok. Oleh sebab itu Zira tidak terbiasa dengan asap rokok, dia pusing mencium aroma rokok."Humm." Kaesar berdehem, sama sekali tak mengindahkan ucapan Zira karena selanjutnya dia kembali menghisap rokok. "Kak Kae jika punya masalah jangan merokok sebagai pelampiasan. Karena rokok itu tidak …- uhuk uhuk. Kak Kae!" pekik Zira, berakhir terbatuk-batuk
Besoknya--Zira dengan peserta lain melakukan pemotretan di sebuah lokasi yang telah disiapkan. "Seperti biasa, Zira selalu bagus," ucap fotografer, memuji Zira yang sedang berpose. "Oke, berikutnya." Zira beranjak dari sana, berganti dengan calon queen lain. Zira berjalan mendekati Gani, menatap gelang sahabatnya tersebut dengan air muka bertanya-tanya. Sejak tadi, sebenarnya Zira fokus pada gelang Gani. Tadi malam, seseorang yang mencuri fotonya dengan Kaesar memakai gelang merah yang menyala di kegelapan. Persis dengan gelang Gani."Gelang baru, Gan?" tanya Zira, meraih tangan Gani lalu memperhatikan gelang merah tersebut secara saksama. Gani tersenyum bangga. "Bagus nggak?" ucapnya menyombongkan diri. "Lumayan," ucap Zira. Namun, buru-buru melepas tangan Gani karena tak jauh dari tempatnya Kaesar sedang memperhatikan dirinya– menatap Zira dengan tajam dan penuh peringatan. "Hehehe …." Zira cengengesan entah pada siapa. "Kamu kenapa? Suka gelangku?" Zira menggelengkan kepa
Zira sontak menoleh ke arah layar. Daddynya tiba-tiba menghubungi. Zira buru-buru mengangkat telpon– menempelkan benda pipih canggih tersebut di telinga lalu mulai menyapa hangat sang Daddy. Meskipun galak dan menyeramkan, tetapi pria yang menelponnya ini adalah cinta pertamanya, Hero untuk kehidupannya. "Halo, Daddy," sapa Zira dengan tak semangat, sengaja supaya Daddynya di seberang sana semakin khawatir padanya. Aneh, sebab Zira sengaja ingin membuat orang tuanya khawatir. Tetapi itulah tujuan Zira. Karena semakin Daddynya khawatir maka semakin celaka orang yang yang menjahati Zira. 'Bagaimana keadaanmu?' Seperti biasa, suara Daddynya terkesan dingin dan tanpa nada. Maklum, karena hanya pada makhluk bernama Ziea lah Daddynya tersebut mau berbicara hangat serta panjang lebar. "Tidak apa-apa sebenarnya, Daddy. Tapi pipi Zira sangat sakit, ditampar oleh seorang super model hebat dari perusahaan Beauty&Fashion Kingdom." 'Humm. Cukup kirim data dirinya pada Daddy, dan Daddy akan m
"Kanjeng ratu yang menyuruh," ucap Zira, menutup telpon– dalam posisi masih berlari. Setelah itu mereka memilih bersembunyi, duduk di belakang villa– dibalik sebuah pot bunga besar."Aku mencuri ini," ucap Gani, mengeluarkan sebuah kamera dari balik baju. Ia curi ketika Zira bertengkar dengan Asta tadi. Kebetulan kameranya diletakkan di atas sebuah tempat duduk, Maya lengah dan Gani memanfaatkan itu. "Mantap, Bro." Zira merampas kamera tersebut, mengotak atik. Benar saja, ada fotonya dan Kaesar di sana– foto dirinya sedang berciuman dengan sang suami. Zira buru-buru menghapus foto tersebut. Setelah itu, merusak kamera dan menguburnya dalam pot. Sekalian saja bukan?! "Terimakasih, Gani. Berkatmu nama Kak Kaesar tidak akan tercemar dan Daddy tidak akan tahu jika Kak Kae pernah menciumku. Aku selamat!" ucap Zira berterimakasih pada sahabatnya tersebut, bernapas begitu lega di akhir kalimat. "Itu fungsinya sahabat," jawab Gani r
"Maafkan kami," jawab Zira pelan, ikut tertunduk sebab sama seperti Gani– tak berani bersitatap dengan mata elang sang suami. "Poin kalian berdua dikurangi. Keseriusan dan kedisiplinan sangat penting, dan kalian mempermainkan keduanya." Zira dan Gani menganggukkan kepala. "Kami menerimanya, Pak," ujar keduanya secara kompak. Melihat itu rahang Kaesar mengatup dengan kuat. Fuck! Bahkan istrinya begitu kompak dengan pemuda ini. Mereka seperti satu hati dan satu pikiran. "Untuk foto kalian dalam tema 'Perkebunan yang Menyenangkan'-- itu tak akan dipost di manapun," lanjut Kaesar– Zira dan Gani hanya bisa mengangguk pasrah. Teman-teman satu fakultas mereka sangat berharap pada keduanya, tetapi mereka telah mengecewakan teman-teman mereka tersebut. "Dianggap hangus, hukuman karena kalian membully senior." "Hah?" Zira seketika itu juga mendongak, "membully siapa, Ka--Pak? Aku dan Gani tidak membully siapapun."