"Maafkan kami," jawab Zira pelan, ikut tertunduk sebab sama seperti Gani– tak berani bersitatap dengan mata elang sang suami.
"Poin kalian berdua dikurangi. Keseriusan dan kedisiplinan sangat penting, dan kalian mempermainkan keduanya."Zira dan Gani menganggukkan kepala. "Kami menerimanya, Pak," ujar keduanya secara kompak.Melihat itu rahang Kaesar mengatup dengan kuat. Fuck! Bahkan istrinya begitu kompak dengan pemuda ini. Mereka seperti satu hati dan satu pikiran."Untuk foto kalian dalam tema 'Perkebunan yang Menyenangkan'-- itu tak akan dipost di manapun," lanjut Kaesar– Zira dan Gani hanya bisa mengangguk pasrah.Teman-teman satu fakultas mereka sangat berharap pada keduanya, tetapi mereka telah mengecewakan teman-teman mereka tersebut."Dianggap hangus, hukuman karena kalian membully senior.""Hah?" Zira seketika itu juga mendongak, "membully siapa, Ka--Pak? Aku dan Gani tidak membully siapapun.""Jangan pergi …." Suara serak dan lirih pria yang memeluknya tersebut membuat Zira yang terduduk dengan tangan terikat hanya bisa diam. Setelah kejadian tadi– di mana Kaesar duduk di atas perut Zira dengan bertelanjang dada, pria itu tiba-tiba saja mengikat tangan Zira (posisi di belakang tubuh) menggunakan kemeja pria itu sendiri. Kaki Zira juga diikat menggunakan dasi dari pria itu– benar-benar menjadikan Zira sebagai tawanannya malam ini. Zira kira tubuhnya akan menjadi pelampiasan pria yang tengah mabuk berat ini– tubuhnya akan remuk dan pagi dia tak akan bisa berjalan. Dia akan mendapatkan kekerasan atau macam hal lainnya. Namun, dia salah. Pria mabuk ini malah …-Menangis! Yah, menangis dengan nada lirih dan pilu, terus memohon agar Zira tidak meninggalkannya. Pria ini berbaring di sebelah Zira, meringkuk seperti bayi– tanpa mengenakan baju alias bertelanjang dada, sembari dengan memeluk erat pinggang Zira yang sudah dalam posisi duduk serta terikat; disandar oleh pria pemabuk
"Kau tidak akan pergi meninggalkanku meskipun kau bertemu dengan orang yang kau cintai?" tanya Kaesar, suaranya serak, rendah dan seperti bisikan. "Kan yang aku cintai Kakak. Jadi aku akan pergi kemanapun Kak Kaesar pergi. Kita … bersama selamanya." Zira berkata riang. Aih, biarkan saja! Toh, yang dia ladeni adalah pria pemabuk. Jadi-- besok Kaesar juga akan lupa pada semuanya. "Cih." Kaesar tiba-tiba berdecis, terkesan meremehkan tetapi sedih secara bersamaan. "Ini hanya mimpi," ucap pria itu sembari mengamati wajah Zira. "Halusinasi," gumam pria itu, bersamaan dengan matanya yang meredup. Perlahan kelopak matanya turun, menutup mata untuk tertidur. Meski menyengkal tetapi ungkapan cinta dari Zira yang ia anggap ilusi tersebut berhasil menenangkan jiwa serta pikirannya. Kegelisahannya hilang, ketakutannya jua lenyap. Hanya karena ungkapan cinta yang ia anggap imajinasi. "Hei--" Zira memekik setengah panik ketika Kaesar menutup mata.
Tiga hari berlalu setelah itu, Zira kadang masih mendiami Kaesar tetapi kadang mau berbicara dengan suaminya tersebut. Ketika dia butuh, seperti ingin makan, jajan atau hal lainnya maka Zira akan berbicara dengan Kaesar, tetapi ketika dia tidak butuh maka perempuan cantik berusia delapan belas tahun tersebut akan bersikap cuek pada sang suami. Sejujurnya Zira tidak tega mendiami pria itu, tetapi dia masih marah pada Kaesar sebab suaminya tersebut masih berbicara dan bahkan dekat dengan Asta. Padahal sudah jelas jika Asta telah memfitnahnya. "Kita latihan sekali lagi deh," ucap Zira pada Gani, di mana saat ini mereka di sebuah ruangan yang telah disulap untuk tempat latihan bagi para peserta. Setelah pulang dari sini, maka waktu mereka untuk menampilkan bakat hanya satu minggu. Oleh sebab itu, selain fokus pada pemotretan, mereka juga harus berlatih untuk persiapan pentas seni di puncak acara. Saat ini Zira dan Gani memutuskan untuk latihan dan
Ayah mertuanya! ***"Jadi kita memakai lagu Winter Flower?" tanya Gani pada Zira, di mana saat ini keduanya sedang berjalan beriringan menuju tempat ruang makan siang. Mereka semua telah diperbolehkan untuk beristirahat. Zira dan Gani memutuskan untuk makan siang lebih dulu, setelah itu mungkin mereka kembali ke kamar masing-masing untuk tidur siang. Tak ada jadwal hari ini. Zira ingin memanfaatkannya untuk beristirahat. Ah, besok pagi mereka akan kembali dari sini. Zira tidak sabar bertemu dengan Anna, dia sudah sangat merindukan sahabatnya itu. "U'um." Zira menganggukkan kepala. Keduanya bercerita atau mengobrol ringan sepanjang jalan. Tiba-tiba saja, keduanya dihadang oleh dua perempuan. Tak lain adalah Asta dan Maya. "Kemana kameraku, Hah? Cepat kembalikan atau aku bisa memenjarakanmu karena tuduhan pencurian." Maya menatap marah serta sinis pada Zira. Awalnya dia tidak menyadari jika kameranya hilang. N
"Asta," jawab Zira ragu, menengadah untuk menatap suaminya–memperhatikan raut datar Kaesar dengan tatapan lirih. Sepertinya Kaesar tidak percaya pada perkataannya. Setahu Zira dan dari gosib yang dia dengar, Asta adalah mantan kekasih Kaesar–cinta pertama pria ini dan satu-satunya perempuan yang pernah menjadi kekasih Kaesar. Mungkin rasa itu masih ada sehingga Kaesar sulit mendengar orang-orang-- termasuk Zira-- menjelek-jelekkan mantan kekasihnya tersebut. "Kau bertengkar dengannya, lagi?" tanya Kaesar, merunduk sembari menatap datar pada Zira. "Iya." Zira menganggukkan kepala pelan, buru-buru menjauh dari Kaesar–memilih duduk meringsut di kepala ranjang. Zira menekuk lutut, memeluknya lalu meletakkan kepala di sana. Wajahnya cemberut, pipi menggembung dengan manik mata berkaca-kaca. Satu hal yang Zira takutkan. Kaesar memarahinya serta menghukumnya karena bertengkar dengan Asta. Jika hanya Zira yang dihukum, baginya itu tak masalah. Tetapi bagaimana jika Gani ikut terseret da
Setelah mendapat fakta ngeri-ngeri sedap tersebut, Zira kabur dari Xander–memilih bersembunyi untuk sementara waktu, menenangkan dirinya sendiri yang masih panik. "Itu artinya Kak Kaesar sudah tahu jika aku suka dengannya. Haaaa … bagaimana ini?" panik Zira, bermonolog sendiri–duduk bersembunyi di balik tangga. Entah apa yang dia lakukan di sana, tetapi Zira memili diam di tempat tersebut. Di sisi lain, Kaesar menemui Asta. "Kau sepertinya tidak mengindahkan ucapanku kemarin," ucap Kaesar, membuat Asta yang saat itu sedang duduk bersantai di sebuah kursi malas balkon lantai dua villa, spontan menoleh ke arah Kaesar. "Ouh, Kae? Kau di sini?" tanya Asta basa-basi, menghampiri pria itu sembari melebarkan senyuman tipis yang manis. "Aku sudah memperingatimu untuk tak mengusik Ma Zi-- ah Zira." Kaesar memijit pelipis. Shit! Terlalu terbiasa memanggil istrinya Ma Zi membuatnya salah menyebut saat ini. Hah, entah kenapa semakin ke sini pikirannya semakin dipenuhi oleh gadis cantik ters
"Aku ingin kamu melenyapkan seseorang," ucapnya–menempelkan benda pipih di telinga, menatap penuh kemarahan pada Zira yang kini sudah berjalan beriringan dengan Gani. ***"Jadi begitu, Gan," curhat Zira pada Gani, menceritakan kejadian tadi pada sang sahabat–di mana tadi dia menguping pembicaraan sang suami dengan Asta, "apa menurutmu Kak Kae ilfeel padaku yah makanya dia tiba-tiba meminta balikan dengan Asta?" tanya Zira kemudian. Zira bukan hanya menceritakan hasil mengupingnya pada Gani, tetapi dia juga menceritakan tentang Kaesar yang mabuk. Tentunya menghilangkan bagian mabuk dan apa yang Kaesar katakan saat dia mabuk pada Zira. Hah, dia hanya mengatakan pada Gani tentang kebodohannya yang mengungkapkan perasaan pada Kaesar yang saat itu sedang mabuk. "Kurasa Pak Kae tidak sedang mengajak Asta balikan," ucap Gani menanggapi, sedang memetik jeruk–membantu para petani panen. Keduanya sedang di bagian perkebunan jeruk, tengah ikut p
"Damn! Apa yang kau makan? Kecut sekali!" umpat Kaesar, menyingkir dari atas tubuh Zira. Dia langsung menyambar gelas berisi air putih di atas nakas lalu meneguknya hingga habis. Shit! Kenapa bibir istrinya terasa sangat masam, seperti perasan jeruk nipis?! "Tadi aku makan jeruk," jawab Zira, masih berbaring di posisi tersebut sembari menoleh pada suaminya–memperhatikan Kaesar yang terlihat minum dalam keadaan marah. A-apa Kaesar marah padanya karena bibirnya rasa jeruk? Kaesar menoleh tajam ke arah Zira. "Hanya jeruk?" "Iya." Zira menjawab ragu, buru-buru duduk karena tidak nyaman tetap berbaring sedangkan Kaesar sudah duduk. Dia semakin muram dan murung kala mengingat sesuatu. 'Ah iya, Kak Kaesar sudah tahu jika aku suka padanya. Tapi kenapa Kak Kaesar tidak pernah menyinggungnya yah? Apa karena perasaanku tidak penting? Atau … gara-gara dia masih berharap balikan dengan mantannya.'"Sama kulitnya," tambah Zira kemudian, m
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming