'Sangat cantik.' batin Razie, tetapi buru-buru memalingkan wajah ketika gadis remaja yang ia pandangi menatap ke arahmu. "Kenapa Kakakku tua-tua sekali?" Suara khas dari gadisnya terdengar, Razie bisa mendengar suara imut tersebut dengan sangat jelas. Sama seperti Daddynya, dia punya pendengaran yang tajam. "Maksud kamu Abang Ebra atau Abang yang satunya dan satunya trus satunya?" Alana berucap dengan anda cerewet, mempersilahkan para temannya untuk duduk di sebuah sopa yang tak jauh dari para kakaknya bermain game. "Semua. Maksudku bukan tua kakek-kakek. Tapi … kamu seperti bonsai diantara beringin," ucap temannya, Alana memangut pelan. "Aku paham maksud kamu, Adi," jawab Alana, "ini lah bedanya dengan anak uji coba. Mereka bertiga anak uji coba, sedangkan aku-- jelasnya anak yang diinginkan, diprogram dan direncanakan. Makanya hasilnya Abang aku ketuaan, jelek, dan tidak fungsional. Sebab dia hasil coba-coba. Dan aku … see? Aku cantik, mempesona, imut, pintar dan multitalenta."
---Tiga bulan berlalu--Hari-hari Zira jalani dengan indah, bersama suaminya di rumah mereka sendiri. Zira bahagia karena dia bisa hidup bersama dengan pria yang ia cintai, pria yang melindunginya, menjadikannya prioritas dan meratukannya. Hanya satu yang menjadi permasalahan bagi Zira. Belum ada tanda-tanda kehamilan pada dirinya. "Aku sudah makan kurma muda, susu khusus, vitamin trus … aduhh!" Zira memijit kening, menatap sedih ke arah kotak kurma muda. Hampir sudah satu minggu dia mengonsumsi kurma muda, berharap dia bisa segera hamil–bisa memberikan keturunan untuk sang suami. Tapi sampai sekarang, dia tak kunjung hamil, "apa karena keguguran dulu?" monolog nya, menghela napas lalu memilih membaringkan kepala di meja. Saat ini Zira berada dalam kamar, duduk di lantai–di depan televisi, menonton sembari makan kurma. Ceklek' Mendengar pintu kamar terbuka, dengan semangat Zira menoleh ke arah sana–melihat suaminya yang sudah berpenampilan acak-acakan. Jas Kaesar telah dibuka, t
Zira menatap iba pada adiknya–saat ini dia dan suaminya sudah berada di rumah orang tuanya untuk membicarakan permasalahan yang melanda Razie. "Kau harus bertanggung jawab, Razie. Nikahi putriku, segera!" geram seorang pria paru baya, seumuran dengan Paman Zira maupun Razie. "Aku tidak yakin melakukan itu dengannya," gumam Razie pelan, "aku saja berakhir di apartemennya.""A--aku memang sengaja membawa Kakak ke sana. Aku tidak tahu harus membawa Kak Razie kemana selain ke sana. Dan … niatku baik, hanya ingin menolong Kak Razie yang aku temukan dalam keadaan tidak sadarkan diri di jalan," jelas perempuan, tak lain adalah Beby–sepupu Zira yang mengaku menjadi korban pelecehan Razie. Sebenarnya Beby tak bisa dikatakan sepupu, sebab mereka tak ada ikatan keluarga apapun. Hanya saja, Arga--ayah Beby, bersahabat sangat baik dengan Rafael–paman Zira dan Razie. Karena ikatan sahabat yang kuat tersebut, Beby beserta keluarganya dianggap keluarga oleh Azam. Zira menatap wajah dingin Razie.
"Aku punya kabar gembira untukmu, Ma Zi," ucap Kaesar, meletakkan susu khusus ibu hamil di nakas. Sudah satu minggu setelah istrinya dinyatakan hamil, Kaesar semakin posesif dan overprotektif. Keluarga mereka sudah tahu. Tak jauh berbeda dengan reaksi Kaesar saat itu, Mertuanya juga terlihat bahagia. Bahkan mereka sudah menyiapkan banyak calon nama untuk bayi Zira Kaesar, serta perlengkapan bayi juga telah disiapkan oleh ayah dan ibu mertuanya. Segudang mainan bayi telah disiapkan oleh Reigha dan Ziea. Maklum, ini cucu pertama!"Humm? Kabar apa, Mas?" tanya Zira, mendongak ke arah sang suami. "Razie bercerai dengan Beby."Mata Zira membelalak lebar. Apa? Adiknya sudah bercerai dengan Beby? Wow! Haruskah dia senang karena wanita pemalas itu akhirnya pergi dari rumah orang tuanya atau harus tertawa karena adiknya resmi menjadi duda? Tetapi-- bagaimana bisa Razie menceraikan Beby? Sejak awal pernikahan keduanya, Razie memang tak pernah menunjukkan sikap kepedulian pada Beby. Dia san
The real cinta Sanaya pada unclenya adalah cinta buta. Sampai saat ini Zira masih bertanya-tanya kenapa putrinya sangat lengket dengan Razie. Dibilang Razie sering membawa Sanaya jalan-jalan, jelas itu salah. Jika karena sering bermain bersama, itu lebih sangat salah. Razie orang yang-- mirip sekali dengan batu. Diam!Razie juga minim respon dan hanya ham hum hem. Lalu apa yang membuat putrinya yang banyak bicara, hyper aktif serta lincah ini suka lengket dengan sang uncle? Sangat misterius. "Ih." Sanaya memukul sofa dengan kepalan tangan mungil. "Naya bisa jatuh sakit karena merindukan Uncle tampan. Mommy, coba cek kening Naya," celutuk Sanaya, tiba-tiba nadanya berubah lemas dan tak bersemangat. Sanaya meraih tangan sang Mommy kemudian meletakkan telapak tangan Mommynya di atas kening. "Panas nggak, Mommy."Zira hanya terkekeh geli sebagai jawaban. Saat ini dia dan putrinya berada di ruang tengah–menunggu sang suami pulang kerja. "Naya demam deh," lanjut Sanaya, cemberut dengan
"Hei!" horor Zira panik setengah mati, melotot tak percaya pada putrinya. Kemudian buru-buru menatap ke arah suaminya, menggelengkan kepala secara cepat. "Nggak mungkin Mommy selingkuh. Kamu ini!" celutuk Zira, mencubit pipi putrinya cukup kencang–gemas sekaligus sebal pada tuduhan sang putri. "Lagian memangnya kamu tahu arti selingkuh itu apa?""Tahu dong. Naya pernah dengar kakak-kakak pekerja di rumah Kakek dan Nenek buyut. Kakak itu bilang selingkuh itu suka orang lain padahal sudah punya pasangan. Mommy berarti! Mommy suka pada Naya, padahal Mommy kan sudah punya Daddy. Hayoo … Mommy selingkuh," ucap Sanaya sembari memicingkan mata ke arah Mommynya, senyum lebar–jahil sekaligus menggemaskan. "Ya ampun." Zira menepuk jidat, menggeleng-gelengkan kepala karena tak habis pikir. "Nggak begitu, Sayang. Selingkuh itu perbuatan jahat, dan anak kecil seperti kamu tidak boleh membahas ataupun menyebutnya. Tidak pantas! Okey?" tegur Zira."Ouh, begitu yah. Berarti Mommy tidak selingkuh,
Sudah dua hari Sanaya di rumah sakit, demam tinggi. Zira sudah menghubungi Razie supaya kembarannya tersebut pulang–Sanaya tak berhenti memanggil-manggil sang paman, rindu berat pada pamannya. "Kapan Uncle datang, Mommy, Daddy, Sanaya sudah tidak tahan," ucap Sanaya lemah, merintih sakit secara pelan dan serak. Mata gadis cantik itu merah, wajahnya pucat dan bibir memutih. Sama seperti hari pertama demam, suhu badan Sanaya masih tinggi–tak turun sama sekali meskipun sudah meminum obat serta dapat perawatan dari dokter. "Sebentar lagi, Kesayangan Grandma. Granddad saat ini sedang menjemput Uncle tampan kamu," jawab Ziea sembari mengusap pucuk kepala sang cucu dengan lembut.Zira menghela napas, menatap sedih pada putrinya. Dia sama sekali tidak tega melihat kondisi Sanaya, berbaring lemah di bed rumah sakit, mata sayup serta suara lirih. Ini pertama kalinya Sanaya demam tinggi. Sejujurnya sudah enam bulan putrinya tak bertemu dengan sang uncle tampan. Dari biasanya Sanaya bertemu
"Setelah Sanaya sembuh, Razie tidak lagi pulang ke Paris. Tetapi dia tetap di sini, demi mencarimu. Setelah beberapa bulan mencari informasi lengkap tentang kamu, akhirnya … kamu di sini. Selesai dan happy ending! Yeiiii …." Di akhir kalimat, Zira bertepuk tangan meriah–tersenyum lebar ke arah Kanza dan Alana. Akhirnya dia selesai menceritakan kisahnya pada kedua adiknya tersebut. Ternyata cukup menyenangkan berbagi cerita seperti ini pada Kanza dan Alana. Keduanya pendengar yang budiman!Kanza menatap sekilas ke arah Alana, lalu menatap sepenuhnya pada Zira–sang kakak ipar yang merupakan kembaran suaminya. Sebuah senyuman indah mengembang di bibir perempuan manis tersebut, rasanya campur aduk mendengarkan cerita percintaan Zira. Dia suka, senyum-senyum sendiri di awal cerita. Kanza ingin rasanya bertemu dengan Zira delapan belas tahun–pasti saat itu Zira sangat menggemaskan. Dipertengahan cerita, Kanza merasa sesak di dadanya. Dia pikir kisar Zira dan suaminya sangat mulus, perjua