"Salam, Tuan dan Nyonya Pratama," ucap Haiden dengan sopan, duduk di sebuah sofa kosong– di depan ketiga tamu spesialnya tersebut. Bagaimana pun orang tua dihadapannya ini merupakan orang tua calon istrinya. Seburuk apapun mereka pada Lea, bukan dengan cara bersikap tidak sopan Haiden membalasnya. "Ah, salam, Tuan Haiden." Yoga dan Mira sama-sama tersenyum, memberikan salam pada sang tuan muda dari keluarga Mahendra tersebut. Di sisi lain, Arumika sudah tersenyum malu-malu-- senang dan berdebar harinya karena kemunculan Haiden di sini. Ya Tuhan! Pria ini sangat tampan dan hot. Dia punya visual yang membuat jantung kaum hawa kejang-kejang. Arumika semakin tidak sabar untuk menikah dengan pria ini. Dia tidak sabar menjadi Nyonya di rumah megah dan mewah ini. Setelah menikah dengan Haiden, dia yakin dia akan menjadi ratu di kehidupan pria ini. "To the point saja, Tuan Pratama. Apa tujuan kalian datang kemari?" ucap Haiden dengan nada datar, duduk secara bossy di tempatnya sembari men
Saat ini Ziea sedang di teras belakang rumahnya, sedang bersantai dengan keluarganya yang lain. Orang tuanya sudah pulang dan mereka berkumpul di halaman belakang, kebiasaan mereka agar bisa menghabiskan waktu bersama-sama. Ini sudah malam, dan Reigha batal pulang malam ini. Suaminya akan kembali ke Paris besok pagi. Alasannya simpel, karena Reigha masih ingin bermanja ria dengan sang istri. Daddy, Kakak dan suaminya tengah membicarakan suatu hal. Sedangkan Ziea, dia tengah makan buah-- disuap oleh Mommynya. Bukan kemauannya, jujur saja Ziea menolak dimanjakan oleh Daddy, Kakak dan Mommynya. Tetapi mau bagaimana lagi, ketiga makhluk yang sangat ia cintai tersebut selalu saja memperlakukan Ziea seperti anak kecil. Sama seperti Mommynya, di mana Mommynya mengupas buah untuknya, memotongnya kemudian menyuapi Ziea. Padahal Ziea berniat mengupas buah mangga itu sendiri, tetapi Mommynya mengatakan 'nanti jarimu kena pisau, Sayang. Sini, Mommy saja yang kupas.' Selalu seperti itu!"Mani
Namun, belum sempat Ziea membaca pesan dari sahabatnya tersebut-- seseorang lebih dulu merampas HP tersebut. "Apaan sih, Kak?!" kesal Ziea, "balikin nggak?!" jerit dan marah Ziea-- berniat merampas HP-nya dari tangan Haiden. Namun, kakaknya tersebut menahan kepala Ziea– Haiden menempelkan telapak tangan di jidat Ziea sehingga membuat adiknya tersebut kesulitan menjangkau Hp di tangan satunya lagi. Kenzie yang melihat itu dari tempatnya hanya bisa mendengkus. Seperti biasa, kedua anaknya tersebut selalu ribut! Kalau tidak bertemu keduanya saling merindu, tetapi kalau berjumpa-- begini. Bertengkar, ribut, dan terus berdebat. "Kau lihat kan kelakuan mereka? Sama-sama sudah dewasa tetapi terus saja bertengkar seperti anak kecil. Hah, pemandangan inilah makanan sehari-hari Daddy," ucap Kenzie pada menantunya, mendapat kekehan kecil dari Reigha. "Tabiat adik kakak memang seperti itu, Daddy," jawab Reigha pelan dan rendah, memperhatikan istrinya yang tengah mengomel kesal pada Haiden yan
Saat ini Lea ada di cafe, begitu juga dengan Ziea yang saat ini tengah berkutat dengan laptop untuk mengurus masalah cafe. Lea masuk begitu saja dalam ruang kerja sahabatnya tersebut, memperhatikan Ziea yang sedang sibuk dengan laptop. Percayalah, jika Ziea seperti ini Ziea akan terlihat seperti dalam versi lain. Bukan Ziea yang lawak dan reog, tetapi Ziea yang kalem serta serius. Intinya, Ziea terlihat berbeda. "Sibuk yah?" tanya Lea yang sudah duduk di depan Ziea– terpisah oleh meja kerja sahabatnya tersebut. "Oh." Ziea langsung mengalihkan pandangannya dari laptop, mendongak dan menatap sepenuhnya pada Lea, "nggak sibuk-sibuk amat sih, Mak. Kenapa? Mau bicara sesuatu?" Lea mengangukkan kepala sembari tersenyum malu-malu. "Kamu paling tahu aku, Ziea," ucapnya sembari cengengesan. "aku belum ngomong tetapi kamu udah bisa tahu maksud dan tujuan aku ke sini."Ziea tersenyum manis dan lembut, "kan aku sohibmu, Mak Le.""Ahahaha … oke oke." Lea terkekeh pelan. "Gimana? Suami kamu ud
'Sialan! Jadi tamu spesial yang Mama Intan katakan itu keluarganya Ziea. Sumpah, aku nggak tahu dan … nggak mikir ke sana.' batin Lea yang saat ini sedang makan malam keluarga bersama keluarga calon suaminya. Yah, keluarga Mahendra datang ke rumah ini untuk membahas pernikahan Lea dan Haiden. Lea sama sekali tak dikabari, tentu saja dia kaget. Setalah makan malam bersama selesai, keluarga Mahendra tak langsung pulang. Calon mertuanya masih mengobrol santai dengan Papa dan Mama baru Lea. "Lea sayang, duduk di sini, Nak," panggil Denis ketika melihat Lea lewat dari depan ruang tamu. Sepertinya putrinya tesebut habis membereskan ruang makan. Lea menaggukkan kepala, dengan canggung dan malu-malu Lea berjalan untuk bergabung dengan kedua keluarga tersebut. 'Shit! Azalea cantik sekali.' batin Haiden, memperhatikan Lea secara lamat– mulai dari perempuan itu keluar dari ruang makan dan berjalan ke tempat mereka. Sedikitpun Haiden tak melepas pandangannya dari Lea. Dia sangat terpukau p
"Daddy dengar dari seseorang, sekretaris Ega menyukaimu. Benar?" Aesya mendongak, menatap Daddynya dengan raut muka gugup dan canggung. Jantungnya seketika berdebar kencang dalam sana hanya karena Daddynya bertanya demi kian. Apa jangan-jangan Daddynya berniat marah padanya? Sama seperti kakaknya-- Rafael yang sudah memperingatinya agar tidak berhubungan dengan Matheo. Sekarang, Aesya bukan hanya takut untuk suka pada Matheo, tetapi dia juga mulai takut dekat dengan pria itu. Yah, karena Rafael melarang adanya hubungan antara dia dan Matheo, Aesya takut jika dia tetap dekat dengan Matheo, Rafael bisa mencelakai Matheo. Namun, ketika dia berpisah dengan pria itu, di mana saat ini Matheo ikut ke Paris dengan Reigha, entah kenapa Aesya merasa-- dia merasa jika dia sedang merindukan sosok itu. Dia merindukan Matheo, dan sepanjang malam Aesya terus memikirkan Matheo. Aesya menganggukkan kepala dengan gugup. "Benar, Daddy," ucap Aesya, memilih menutup majalah yang sedang ia baca kemudi
Aesya sangat terharu, senang, dan bahagia luar biasa. "Ada apa ini?" Aesya melepas pelukannya dari sang Daddy, spontan menoleh ke arah Mommynya yang baru tiba dengan membawa secangkir kopi. Yah, kopi untuk Daddynya. "Ini kopinya." Satiya meletakkan kopi di depak suaminya. "Huh, dicariin ke ruangannya ternyata di sini. Mampus, kopimu keburu dingin," galaknya sembari memilih duduk terpisah dari anak dan suaminya. "Duduk di sini, Sweetheart," goda Gabriel sembari menepuk-nepuk pangkuannya, membuat istrinya yang sangat cantik dimatanya tersebut melotot galak ke arahnya. "Diam kamu, Mas!" horor Satiya."Sapi." Gabriel kembali menggoda, sengaja memanggil istrinya tersebut dengan sebuah panggilan istimewa serta penuh makna dalam kisah keduanya. "Nggak sudah dengar Daddymu." Satiya menatap putrinya. "Sudah gila," tambah Satiya, mendengkus ke arah suaminya. Aesya terkekeh geli dan lucu, memerhatikan Daddy dan Mommynya yang tengah ribut. Yah, ribut dengan sangat manis dan romantis. "
A--asli, Cuk, bukan halusinasi!' batin Ziea, menatap syok dan horor pada suaminya. Matanya membulat sempurna dengan mulut menganga, tetapi ditutup oleh telapak tangan sendiri. "Begini caramu menyambut suamimu?" tanya Reigha, menatap tajam dan penuh peringatan pada sang istri. Perlahan kakinya melangkah, mendekati Ziea yang perlahan mundur-- menjauh dan mengikis jarak dari Reigha. "Maaf, Mas Rei. A--aku pikir hanya imajinasi saja," ucap Ziea panik, tidak bisa mundur atau menghindar karena Reigha sudah lebih dulu melilitkan tangan di pinggang Ziea. Pria itu memeluk pinggangnya erat dan begitu possessive, seolah tak ingin melepaskan Ziea sedikit pun dari jangkauannya. "Humm?" Reigha menaikkan sebelah alis, mendekatkan wajahnya ke wajah Ziea– menempelkan bibirnya ke atas bibir Ziea yang merupakan candunya tesebut. Awalnya, bibir keduanya hanya saking menempel. Tetapi Reigha mulai bermain, menyesap dan melumat lembut benda kenyal pink kemerahan tersebut. Shit! Ini sangat manis, segar d
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming