Saat ini Ziea sedang di teras belakang rumahnya, sedang bersantai dengan keluarganya yang lain. Orang tuanya sudah pulang dan mereka berkumpul di halaman belakang, kebiasaan mereka agar bisa menghabiskan waktu bersama-sama. Ini sudah malam, dan Reigha batal pulang malam ini. Suaminya akan kembali ke Paris besok pagi. Alasannya simpel, karena Reigha masih ingin bermanja ria dengan sang istri. Daddy, Kakak dan suaminya tengah membicarakan suatu hal. Sedangkan Ziea, dia tengah makan buah-- disuap oleh Mommynya. Bukan kemauannya, jujur saja Ziea menolak dimanjakan oleh Daddy, Kakak dan Mommynya. Tetapi mau bagaimana lagi, ketiga makhluk yang sangat ia cintai tersebut selalu saja memperlakukan Ziea seperti anak kecil. Sama seperti Mommynya, di mana Mommynya mengupas buah untuknya, memotongnya kemudian menyuapi Ziea. Padahal Ziea berniat mengupas buah mangga itu sendiri, tetapi Mommynya mengatakan 'nanti jarimu kena pisau, Sayang. Sini, Mommy saja yang kupas.' Selalu seperti itu!"Mani
Namun, belum sempat Ziea membaca pesan dari sahabatnya tersebut-- seseorang lebih dulu merampas HP tersebut. "Apaan sih, Kak?!" kesal Ziea, "balikin nggak?!" jerit dan marah Ziea-- berniat merampas HP-nya dari tangan Haiden. Namun, kakaknya tersebut menahan kepala Ziea– Haiden menempelkan telapak tangan di jidat Ziea sehingga membuat adiknya tersebut kesulitan menjangkau Hp di tangan satunya lagi. Kenzie yang melihat itu dari tempatnya hanya bisa mendengkus. Seperti biasa, kedua anaknya tersebut selalu ribut! Kalau tidak bertemu keduanya saling merindu, tetapi kalau berjumpa-- begini. Bertengkar, ribut, dan terus berdebat. "Kau lihat kan kelakuan mereka? Sama-sama sudah dewasa tetapi terus saja bertengkar seperti anak kecil. Hah, pemandangan inilah makanan sehari-hari Daddy," ucap Kenzie pada menantunya, mendapat kekehan kecil dari Reigha. "Tabiat adik kakak memang seperti itu, Daddy," jawab Reigha pelan dan rendah, memperhatikan istrinya yang tengah mengomel kesal pada Haiden yan
Saat ini Lea ada di cafe, begitu juga dengan Ziea yang saat ini tengah berkutat dengan laptop untuk mengurus masalah cafe. Lea masuk begitu saja dalam ruang kerja sahabatnya tersebut, memperhatikan Ziea yang sedang sibuk dengan laptop. Percayalah, jika Ziea seperti ini Ziea akan terlihat seperti dalam versi lain. Bukan Ziea yang lawak dan reog, tetapi Ziea yang kalem serta serius. Intinya, Ziea terlihat berbeda. "Sibuk yah?" tanya Lea yang sudah duduk di depan Ziea– terpisah oleh meja kerja sahabatnya tersebut. "Oh." Ziea langsung mengalihkan pandangannya dari laptop, mendongak dan menatap sepenuhnya pada Lea, "nggak sibuk-sibuk amat sih, Mak. Kenapa? Mau bicara sesuatu?" Lea mengangukkan kepala sembari tersenyum malu-malu. "Kamu paling tahu aku, Ziea," ucapnya sembari cengengesan. "aku belum ngomong tetapi kamu udah bisa tahu maksud dan tujuan aku ke sini."Ziea tersenyum manis dan lembut, "kan aku sohibmu, Mak Le.""Ahahaha … oke oke." Lea terkekeh pelan. "Gimana? Suami kamu ud
'Sialan! Jadi tamu spesial yang Mama Intan katakan itu keluarganya Ziea. Sumpah, aku nggak tahu dan … nggak mikir ke sana.' batin Lea yang saat ini sedang makan malam keluarga bersama keluarga calon suaminya. Yah, keluarga Mahendra datang ke rumah ini untuk membahas pernikahan Lea dan Haiden. Lea sama sekali tak dikabari, tentu saja dia kaget. Setalah makan malam bersama selesai, keluarga Mahendra tak langsung pulang. Calon mertuanya masih mengobrol santai dengan Papa dan Mama baru Lea. "Lea sayang, duduk di sini, Nak," panggil Denis ketika melihat Lea lewat dari depan ruang tamu. Sepertinya putrinya tesebut habis membereskan ruang makan. Lea menaggukkan kepala, dengan canggung dan malu-malu Lea berjalan untuk bergabung dengan kedua keluarga tersebut. 'Shit! Azalea cantik sekali.' batin Haiden, memperhatikan Lea secara lamat– mulai dari perempuan itu keluar dari ruang makan dan berjalan ke tempat mereka. Sedikitpun Haiden tak melepas pandangannya dari Lea. Dia sangat terpukau p
"Daddy dengar dari seseorang, sekretaris Ega menyukaimu. Benar?" Aesya mendongak, menatap Daddynya dengan raut muka gugup dan canggung. Jantungnya seketika berdebar kencang dalam sana hanya karena Daddynya bertanya demi kian. Apa jangan-jangan Daddynya berniat marah padanya? Sama seperti kakaknya-- Rafael yang sudah memperingatinya agar tidak berhubungan dengan Matheo. Sekarang, Aesya bukan hanya takut untuk suka pada Matheo, tetapi dia juga mulai takut dekat dengan pria itu. Yah, karena Rafael melarang adanya hubungan antara dia dan Matheo, Aesya takut jika dia tetap dekat dengan Matheo, Rafael bisa mencelakai Matheo. Namun, ketika dia berpisah dengan pria itu, di mana saat ini Matheo ikut ke Paris dengan Reigha, entah kenapa Aesya merasa-- dia merasa jika dia sedang merindukan sosok itu. Dia merindukan Matheo, dan sepanjang malam Aesya terus memikirkan Matheo. Aesya menganggukkan kepala dengan gugup. "Benar, Daddy," ucap Aesya, memilih menutup majalah yang sedang ia baca kemudi
Aesya sangat terharu, senang, dan bahagia luar biasa. "Ada apa ini?" Aesya melepas pelukannya dari sang Daddy, spontan menoleh ke arah Mommynya yang baru tiba dengan membawa secangkir kopi. Yah, kopi untuk Daddynya. "Ini kopinya." Satiya meletakkan kopi di depak suaminya. "Huh, dicariin ke ruangannya ternyata di sini. Mampus, kopimu keburu dingin," galaknya sembari memilih duduk terpisah dari anak dan suaminya. "Duduk di sini, Sweetheart," goda Gabriel sembari menepuk-nepuk pangkuannya, membuat istrinya yang sangat cantik dimatanya tersebut melotot galak ke arahnya. "Diam kamu, Mas!" horor Satiya."Sapi." Gabriel kembali menggoda, sengaja memanggil istrinya tersebut dengan sebuah panggilan istimewa serta penuh makna dalam kisah keduanya. "Nggak sudah dengar Daddymu." Satiya menatap putrinya. "Sudah gila," tambah Satiya, mendengkus ke arah suaminya. Aesya terkekeh geli dan lucu, memerhatikan Daddy dan Mommynya yang tengah ribut. Yah, ribut dengan sangat manis dan romantis. "
A--asli, Cuk, bukan halusinasi!' batin Ziea, menatap syok dan horor pada suaminya. Matanya membulat sempurna dengan mulut menganga, tetapi ditutup oleh telapak tangan sendiri. "Begini caramu menyambut suamimu?" tanya Reigha, menatap tajam dan penuh peringatan pada sang istri. Perlahan kakinya melangkah, mendekati Ziea yang perlahan mundur-- menjauh dan mengikis jarak dari Reigha. "Maaf, Mas Rei. A--aku pikir hanya imajinasi saja," ucap Ziea panik, tidak bisa mundur atau menghindar karena Reigha sudah lebih dulu melilitkan tangan di pinggang Ziea. Pria itu memeluk pinggangnya erat dan begitu possessive, seolah tak ingin melepaskan Ziea sedikit pun dari jangkauannya. "Humm?" Reigha menaikkan sebelah alis, mendekatkan wajahnya ke wajah Ziea– menempelkan bibirnya ke atas bibir Ziea yang merupakan candunya tesebut. Awalnya, bibir keduanya hanya saking menempel. Tetapi Reigha mulai bermain, menyesap dan melumat lembut benda kenyal pink kemerahan tersebut. Shit! Ini sangat manis, segar d
"Trus ngapain kamu di sini?" tanya Lea, nadanya ketus dan tatapannya penuh dengan ketidak sukaan serta kebencian. Haiden menoleh ke arah Lea, memandang calon istrinya tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan. Intinya, itu tatapan dalam dan penuh makna. 'Ini pertama kalinya aku melihatmu marah, melihat manik indahmu penuh dengan kebencian. Azalea-ku yang selalu terlihat baik-baik saja sekarang terlihat penuh amarah.' "Aku di--di sini kan karena Kak Lea sendiri yang menyuruh. Kak Lea sakit dan menyuruhku untuk ke sini, menemani Tuan Haiden untuk fitting baju," jawab Arumika dengan nada pelan, mencicit takut-takut-- seolah-olah Lea sedang mengintimidasinya. "Kapan aku menyuruhmu ke sini, Sialan?!" teriak Lea, marah, kesal dan sedih secara bersamaan. Haiden terlihat terkejut ketika Lea berteriak dan menjerit. Tetapi dia masih diam, memilih memantau calon istrinya tersebut. Sedangkan Ziea, tangannya ditahan oleh Haiden agar tidak mendekati Lea. "Kak Lea kenapa sih?" Arumika bangki