"Apa saja yang Aesya katakan padamu?" tanya Reigha dingin. Sejujurnya dia khawatir pada Ziea, karena semenjak menemui Aesya, istrinya ini lebih banyak diam– seperti banyak hal yang dipikirkan oleh istrinya ini. Mereka telah sampai di Paris-- lebih tepatnya di mansion mewah miliknya-- sejak tadi sore hingga sekarang Ziea hanya dalam kamar, mengurung. Awalnya Reigha membiarkan, karena kebiasaan istrinya ini ketika lelah perjalanan adalah langsung tidur. Namun, aneh saja rasanya jika makhluk yang banyak bicara ini tiba-tiba menjadi lebih pendiam. Ketika makan malam tadi, Ziea hanya diam. Reigha curiga jika diamnya Ziea itu disebabkan oleh pertemuannya dengan Aesya. "Umm … tidak ada, Mas. Kami hanya mengobrol masalah perempuan. Itu saja," jawab Ziea, tersenyum tipis untuk meyakinkan Reigha. 'Selama ini aku mengeluh karena sikap Mas Reigha yang terlalu dingin padaku, tidak banyak bicara dan suka mengurung denganku dalam kamar. Ternyata Mas begitu karena dia nyaman denganku. Nyaman sehi
"Dan itu kesalahanku. Membuatmu merasa tidak nyaman, marah, salah paham, cemburu dan menyakitimu. Itu semua karena kesalahanku," ucap Reigha lembut dan pelan, berkata dengan nada rendah serta serak– menggenggam tangan Ziea sembari menatap penuh ketulusan dan cinta pada istrinya tersebut. Ziea menggigit bibir bawah, mendongak dan menatap Reigha dengan perasaan campur aduk. Tatapan mata pria ini menghipnotis dan menghanyutkan Ziea, ingin sekali dia berpaling karena tidak sanggup dengan perasaan terlalu senang dalam sana. Namun tidak bisa! Mata Reigha seakan mengikat dan membawa Ziea lebih dalam. Pipi Ziea memerah– bersemu seperti kepiting rebus dan terasa panas. Jantungnya berdebar kencang serta hatinya bergetar. Namun, benarkah ini suaminya? Tidak! Ini terlalu manis. Reigha tidak pernah manis seperti ini. Ziea melepas tangannya dari genggaman Reigha, tiba-tiba dia menghadap lurus ke depan– menatap kosong ke arah tembok dengan raut muka gugup serta mata membulat sempurna. Lalu tiba-t
"Panggilkan Tuan Reigha, saya dan Tuan harus berangkat secepatnya ke kantor."Ziea duduk dengan tenang, menatap Camille dengan raut muka datar. Dia melipat kaki, berpose se anggun mungkin. "Maaf yah, Manusia tidak tahu diri. Ini bukan rumahmu, dan posisinya kamu bertamu kemari. Jadi tolong sopanlah sedikit. Kalau kamu tidak tahu cara memberi salah karena bukan budayamu, minimal ucapkan permisi. Jangan asal menerobos dan ngegas.""Ini rumah Tuan Reigha. Saya diberikan wewenang oleh Tuan Reigha untuk menginjakkan kaki di rumah ini. Posidimu dan posisiku sama di rumah ini, jadi jangan bersikap seolah kau berkuasa di sini hanya karena kau istri Tuan." Camille berucap datar, kemudian menoleh ke arah jam untuk memeriksa waktu. "Aku tidak punya waktu berurusan denganmu, cepat panggilkan Tuan." "Hah? Sungguh?" Ziea menghela napas dengan berat, "posisi apa yang kau bahas? Sama? Hei, saya dinikahi oleh lelaki yang kau sebut sebagai Tuan itu untuk dijadikan ratu, Nyonya Reigha di rumah ini. Sed
"A-" Senyuman Ziea langsung lenyap, mulutnya seketika terkunci rapat dan wajahnya langsung muram. Hah, pertanyaan yang diluar prediksi BMKG. "Jawab." Dingin Reigha, menatap menuntut dan menekan Ziea agar mau membuka suara. Reigha sudah lama ingin tahu mengenai masalah ini, tetapi karena dia memang tipe orang yang selalu memendam, Reigha memilih bungkam dan tidak mengatakannya pada Ziea. Namun, kemarin Ziea mengatakan agar Reigha selalu terbuka dan mengutarakan apa yang dia rasakan. Tiba-tiba Reigha kembali memikirkan ini, dan sekarang dia memberanikan diri untuk bersuara. "Karena aku ganjen. Mau menggatal ke pria lain," jawab Ziea dengan pelan dan dengan bibir memanyun. Plak'Reigha seketika menyentil kening istrinya cukup kuat. "Bisa serius?!" peringat Reigha. Ziea mengusap keningnya yang disentil dengan kuat, menatap dongkol dan muram ke arah suaminya. 'Untuk apa ditanya? Aaa-- kan aku jadi ingat lagi bagaimana bajingan ini ciuman di depan umum dengan perempuan itu. Sakit sekal
"Ampun, Mas …," pinta Ziea cengengesan, berjongkok di sudut lift sembari menatap mendongak ke Reigha dengan air muka takut bercampur waspada; keseluruhan terlihat konyol tetapi sangat menggemaskan. Reigha mengangkat tinggi bantal tersebut, berdiri di depan Ziea berjongkok. Dia menyunggingkan smirk penuh kemenangan dengan sorot mata geli– memperhatikan istrinya yang sudah menutupi wajah dengan tangan. "Aaaaaa …," jerit Ziea. Padahal Reigha belum memukulnya dengan bantal. Hal tersebut membuat Reigha tertawa geli, memilih menarik Ziea untuk berdiri kemudian menghujani wajah perempuan itu dengan kecupan-kecupan ringan. Keduanya sama-sama tertawa. Ziea tertawa karena geli dengan kecupan Reigha di leher dan wajahnya. Sedangkan Reigha tertawa karena mendengar tawa merdu Ziea. Menurutnya tawa Ziea sangat manis, menghipnotis dan mengundang untuk seseorang ikut tertawa setelah mendengarnya. ***Hari-hari berlalu dan Ziea merasa jika Reigha jauh berubah. Jika ditanya apakah suaminya terseb
Ziea menoleh ke atas karena cukup kaget ketika suaminya ini menutupi kepala mereka dengan tuxedo Reigha sendiri. Tetapi dia lebih kaget ketika Reigha menyambar bibirnya, menyapunya dengan lembut dan hangat. "Di sini terlalu dingin," ucap Reigha setelah melepas pangutan bibirnya dengan Ziea, "kita masuk ke dalam, ZieKu," tambah Reigha, menyampirkan tuxedo ke pundak Ziea kemudian dia menggendong istrinya tersebut– membawanya masuk dalam rumah mereka. "ZieKu?" beo Ziea dengan alis menaut, menatap suaminya bingung. "Humm." Reigha berdehem rendah, "kurasa ZieKu lebih baik daripada ZieMour. ZieKu lebih kepemilikan," jelas Reigha rendah, menoleh sekilas ke arah Ziea dengan tersenyum tipis. 'Argkk! ZieMour saja aku mau pingsan. Dan sekarang ZieKu menyerang. Jantungku makin nggak kuat.' batinnya, diam dengan mata membulat cantik, tersenyum tipis dengan pipi yang sudah memerah indah. Setelah sampai dalam kamar, Reigha langsung membaringkan Ziea di atas ranjang. Tiba-tiba saja Reigha membuk
"Jangan menangis, Mon Amour," serak Reigha, mengulurkan tangannya ke pipi Ziea– mengusap air mata istrinya tersebut dengan lembut dan hati-hati. Bibir Ziea yang melengkung ke atas perlahan berubah, sudut bibirnya mulai tertarik ke bawah. Air matanya yang berhasil dihapus oleh jemari suaminya, digantikan oleh bulir kristal yang jauh lebih banyak berjatuhan. "Syuttttt …." Reigha menarik Ziea dalam pelukannya. Dia mengusap rambut Ziea dan sesekali mengecup ubun-ubun istrinya juga. "Aku tidak akan lama." "Aku tahu," jawab Ziea pelan. "Aku akan mengabarimu lebih sering." "U'uh." Ziea menganggukkan kepala. "Kak Den-mu sudah datang," ucap Reigha serak, melonggarkan pelukannya. Dia menangkup pipi Ziea lalu tersenyum lembut ke arah istrinya tersebut. "Jangan nakal," bisiknya, mencium singkat bibir Ziea lalu beralih dengan kembali mencium kening istrinya tersebut."Tumben kau ikut mengantarnya kemari? Ingin mampir?" tanya Haiden yang sudah di sana. Ziea membelakangi Kakaknya dan suaminy
Sudah hampir satu bulan Ziea LDR dengan suaminya, rasanya sedikit menyedihkan bagi Ziea. Namun, mau bagaimana lagi, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalaninya. Suaminya sedang ada urusan penting di Italia, dan Ziea hanya bisa mendoakan keselamatan Reigha dari sini. Semua orang merahasiakan urusan apa yang sedang Reigha tangani di Italia. Tetapi mereka bilang-- itu sangat berbahaya. Oleh sebab itu Reigha tidak membawa Ziea ikut ke sana. Bahkan kata keluarga pria itu, di sana tak ada yang tahu siapa istri dari seorang Reigha. Saking jaganya Reigha pada Ziea. Ziea saat ini berada di dalam kamarnya, seperti bisa– dia menonton televisi namun sibuk bermain handphone. Sebenarnya Ziea menunggu telpon dari suaminya, namun sudah hampir tengah malam begini tetapi Reigha belum juga menghubunginya. 'Apa Mas Reigha sudah lupa yah padaku? Kemarin dia juga tidak menelpon, dan malam ini sepetinya juga tidak. Cik, aku jadi takut.' batin Ziea. Wajahnya murung tetapi matanya tak lepas dari la