"Panggilkan Tuan Reigha, saya dan Tuan harus berangkat secepatnya ke kantor."Ziea duduk dengan tenang, menatap Camille dengan raut muka datar. Dia melipat kaki, berpose se anggun mungkin. "Maaf yah, Manusia tidak tahu diri. Ini bukan rumahmu, dan posisinya kamu bertamu kemari. Jadi tolong sopanlah sedikit. Kalau kamu tidak tahu cara memberi salah karena bukan budayamu, minimal ucapkan permisi. Jangan asal menerobos dan ngegas.""Ini rumah Tuan Reigha. Saya diberikan wewenang oleh Tuan Reigha untuk menginjakkan kaki di rumah ini. Posidimu dan posisiku sama di rumah ini, jadi jangan bersikap seolah kau berkuasa di sini hanya karena kau istri Tuan." Camille berucap datar, kemudian menoleh ke arah jam untuk memeriksa waktu. "Aku tidak punya waktu berurusan denganmu, cepat panggilkan Tuan." "Hah? Sungguh?" Ziea menghela napas dengan berat, "posisi apa yang kau bahas? Sama? Hei, saya dinikahi oleh lelaki yang kau sebut sebagai Tuan itu untuk dijadikan ratu, Nyonya Reigha di rumah ini. Sed
"A-" Senyuman Ziea langsung lenyap, mulutnya seketika terkunci rapat dan wajahnya langsung muram. Hah, pertanyaan yang diluar prediksi BMKG. "Jawab." Dingin Reigha, menatap menuntut dan menekan Ziea agar mau membuka suara. Reigha sudah lama ingin tahu mengenai masalah ini, tetapi karena dia memang tipe orang yang selalu memendam, Reigha memilih bungkam dan tidak mengatakannya pada Ziea. Namun, kemarin Ziea mengatakan agar Reigha selalu terbuka dan mengutarakan apa yang dia rasakan. Tiba-tiba Reigha kembali memikirkan ini, dan sekarang dia memberanikan diri untuk bersuara. "Karena aku ganjen. Mau menggatal ke pria lain," jawab Ziea dengan pelan dan dengan bibir memanyun. Plak'Reigha seketika menyentil kening istrinya cukup kuat. "Bisa serius?!" peringat Reigha. Ziea mengusap keningnya yang disentil dengan kuat, menatap dongkol dan muram ke arah suaminya. 'Untuk apa ditanya? Aaa-- kan aku jadi ingat lagi bagaimana bajingan ini ciuman di depan umum dengan perempuan itu. Sakit sekal
"Ampun, Mas …," pinta Ziea cengengesan, berjongkok di sudut lift sembari menatap mendongak ke Reigha dengan air muka takut bercampur waspada; keseluruhan terlihat konyol tetapi sangat menggemaskan. Reigha mengangkat tinggi bantal tersebut, berdiri di depan Ziea berjongkok. Dia menyunggingkan smirk penuh kemenangan dengan sorot mata geli– memperhatikan istrinya yang sudah menutupi wajah dengan tangan. "Aaaaaa …," jerit Ziea. Padahal Reigha belum memukulnya dengan bantal. Hal tersebut membuat Reigha tertawa geli, memilih menarik Ziea untuk berdiri kemudian menghujani wajah perempuan itu dengan kecupan-kecupan ringan. Keduanya sama-sama tertawa. Ziea tertawa karena geli dengan kecupan Reigha di leher dan wajahnya. Sedangkan Reigha tertawa karena mendengar tawa merdu Ziea. Menurutnya tawa Ziea sangat manis, menghipnotis dan mengundang untuk seseorang ikut tertawa setelah mendengarnya. ***Hari-hari berlalu dan Ziea merasa jika Reigha jauh berubah. Jika ditanya apakah suaminya terseb
Ziea menoleh ke atas karena cukup kaget ketika suaminya ini menutupi kepala mereka dengan tuxedo Reigha sendiri. Tetapi dia lebih kaget ketika Reigha menyambar bibirnya, menyapunya dengan lembut dan hangat. "Di sini terlalu dingin," ucap Reigha setelah melepas pangutan bibirnya dengan Ziea, "kita masuk ke dalam, ZieKu," tambah Reigha, menyampirkan tuxedo ke pundak Ziea kemudian dia menggendong istrinya tersebut– membawanya masuk dalam rumah mereka. "ZieKu?" beo Ziea dengan alis menaut, menatap suaminya bingung. "Humm." Reigha berdehem rendah, "kurasa ZieKu lebih baik daripada ZieMour. ZieKu lebih kepemilikan," jelas Reigha rendah, menoleh sekilas ke arah Ziea dengan tersenyum tipis. 'Argkk! ZieMour saja aku mau pingsan. Dan sekarang ZieKu menyerang. Jantungku makin nggak kuat.' batinnya, diam dengan mata membulat cantik, tersenyum tipis dengan pipi yang sudah memerah indah. Setelah sampai dalam kamar, Reigha langsung membaringkan Ziea di atas ranjang. Tiba-tiba saja Reigha membuk
"Jangan menangis, Mon Amour," serak Reigha, mengulurkan tangannya ke pipi Ziea– mengusap air mata istrinya tersebut dengan lembut dan hati-hati. Bibir Ziea yang melengkung ke atas perlahan berubah, sudut bibirnya mulai tertarik ke bawah. Air matanya yang berhasil dihapus oleh jemari suaminya, digantikan oleh bulir kristal yang jauh lebih banyak berjatuhan. "Syuttttt …." Reigha menarik Ziea dalam pelukannya. Dia mengusap rambut Ziea dan sesekali mengecup ubun-ubun istrinya juga. "Aku tidak akan lama." "Aku tahu," jawab Ziea pelan. "Aku akan mengabarimu lebih sering." "U'uh." Ziea menganggukkan kepala. "Kak Den-mu sudah datang," ucap Reigha serak, melonggarkan pelukannya. Dia menangkup pipi Ziea lalu tersenyum lembut ke arah istrinya tersebut. "Jangan nakal," bisiknya, mencium singkat bibir Ziea lalu beralih dengan kembali mencium kening istrinya tersebut."Tumben kau ikut mengantarnya kemari? Ingin mampir?" tanya Haiden yang sudah di sana. Ziea membelakangi Kakaknya dan suaminy
Sudah hampir satu bulan Ziea LDR dengan suaminya, rasanya sedikit menyedihkan bagi Ziea. Namun, mau bagaimana lagi, dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menjalaninya. Suaminya sedang ada urusan penting di Italia, dan Ziea hanya bisa mendoakan keselamatan Reigha dari sini. Semua orang merahasiakan urusan apa yang sedang Reigha tangani di Italia. Tetapi mereka bilang-- itu sangat berbahaya. Oleh sebab itu Reigha tidak membawa Ziea ikut ke sana. Bahkan kata keluarga pria itu, di sana tak ada yang tahu siapa istri dari seorang Reigha. Saking jaganya Reigha pada Ziea. Ziea saat ini berada di dalam kamarnya, seperti bisa– dia menonton televisi namun sibuk bermain handphone. Sebenarnya Ziea menunggu telpon dari suaminya, namun sudah hampir tengah malam begini tetapi Reigha belum juga menghubunginya. 'Apa Mas Reigha sudah lupa yah padaku? Kemarin dia juga tidak menelpon, dan malam ini sepetinya juga tidak. Cik, aku jadi takut.' batin Ziea. Wajahnya murung tetapi matanya tak lepas dari la
Saat ini Ziea sedang di cafe, sedang di dapur cafe lebih tepatnya. Dia tengah membaca novel sembari menikmati susu pisang kesukaannya. Ziea istirahat sejenak bersama Lea yang juga tengah membaca novel. "Eh, tadi malam kamu ngapain ngirim foto Abang kamu ke aku?" Ziea yang sedang asyik membaca seketika teralihkan, dia seketika mendongak dan menatap Lea dengan air muka bingung. "Kirim foto apaan? Nggak lah.""Ih, serius. Ini buktinya." Lea buru-buru membuka ponselnya dan langsung men-cek room chat antara dia dan Ziea. Kening Lea seketika mengerut, aneh sekali pesan bahkan foto yang dikirim Ziea padanya tadi malam semuanya hilang. "Loh, hilang?" bingungnya, memperlihatkan room chat-nya dengan Ziea yang sudah kosong. "Coba kamu cek di ponsel kamu. Pa-pasti ada.""Enggak ada." Ziea menunjukkan room chat-nya dengan Lea, tak ada pesan apapun yang dia kirim semalam untuk Lea. Sebaliknya, pesan dari Lea untuknya, juga tak ada yang dikirim tadi malam. Ada, tetapi kemarin dan kemarin lagi. In
"Sudah ada kabar?" tanya Aesya pada Haiden. Ini sudah tiga hari berlalu– mereka semua masih menunggu kabar, berharap jika kabar baik yang akan mendatangi mereka. "Masih Camille yang ditemukan dengan Paman Fauzan. Dan … Camille akan kesini untuk menemui keluarganya. Paman akan tetap di sana– akan ikut mencari Rei," jelas Haiden, menghela napas berat sembari memijit pangkalan hidungnya. Camille, Fauzan dan beberapa orang mereka ditemukan di sebuah pulau, tetapi mereka sama sekali tak menemukan jejak Reigha di sana. Mereka masih mencari, dan tak ada yang tahu Reigha ada di mana sekarang. "Tapi kabar baiknya, Rei bisa saja selamat dari ledakan itu. Hanya saja sampai sekarang dia belum ditemukan. Kita berdoa saja," tambahnya, yang mendapat anggukan kepala dari Aesya, Ziea maupun Serena. "Ziea, Kakak akan ke sana dengan Kak Prince. Kau jaga dirimu di sini dengan baik, jaga Mommy dan … terus berdoa." Ziea menganggukkan kepala. "Baik, Kak," ucapnya serak dan lembut, tersenyum manis ke a
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming