Sudah tiga hari Ziea berada di tanah air, lebih tepatnya di rumah orang tuanya. Seharunya Ziea tinggal dengan mertuanya, tetapi karena Ziea kurang nyaman karena tak ada Reigha di sana dia memilih tinggal dengan orang tuanya. Daddy dan Mommy mertuanya sangat paham dan mengerti, mereka mengizinkan Ziea untuk tinggal bersama orang tuanya. Lagipula Satiya dan Gabriel (mertua Ziea) sedang pergi ke luar negeri– mengunjungi Zayyan. Ziea tidak tahu kenapa Zayyan harus dikunjungi, selama ini yang mengurus Zayyan di sana adalah Reigha. Namun, mendadak sekarang mertuanya ingin mengunjungi Zayyan di sana. Mungkin memang ada hal yang penting."Cik, lagi rame-ramenya lagi," dumel Ziea ketika sebuah telpon masuk ke ponselnya. Sekarang dia sedang di cafe, membantu para stafnya yang kewalahan karena banyak pengunjung yang berdatangan– mulai dari yang pelajar maupun pekerja. "Le, aku angkat telpon. Bentar," pamit Ziea pada Lea, buru-buru ke ruangannya untuk mengangkat telpon yang tak lain dari suamin
"Reigha yang menerorku untuk mengirim foto aktivitas Ziea. Jadi kalian jangan panik begitu," ucap Haiden, mendapat tatapan tak percaya dari aunty, paman dan orang-orang dalam ruangan tersebut. Satiya seketika itu juga melebarkan senyumannya, menatap geli ke arah putranya. "Ya ampun, Ega sayang!! Kelakuan kamu yah--" ucapnya dengan geleng-geleng kepala. "Kenapa tidak meminta langsung?" tanya Gabriel, menatap aneh pada putranya tersebut. "Daddy tidak perlu tahu alasannya," jawab Reigha dengan nada datar, terkesan malas dan kesal. Bukan pada Daddynya dia kesal melainkan pada Ziea yang masih memblokir nomornya. Reigha diam, memilih sibuk dengan ponselnya– berusaha mencari cara agar Ziea membuka blokiran nomornya. Shit! Sepertinya istrinya tersebut tengah datang bulan karena itu mudah terpancing atau marah. "Baiklah. Daddy tahu kau pemalu. Cih, pasti kau takut memintanya langsung pada Ziea bukan?" ledek Gabriel-- Reigha hanya menghela napas, menganggukkan kepala secara singkat kemudia
"Lari, Coi. Ada banteng ngamuk!" pekiknya pelan, berlari sekencang mungkin dari sana. Karena tak merasa dikejar oleh Reigha-- merasa aman sudah jauh dari Reigha, Ziea memutuskan untuk berhenti berlari. Dia mengatur napas dan sempat membungkuk karena kelelahan. "Hah hah hah … hampir saja," gumam Ziea pelan, menyekat keningnya yang tak ada apa-apanya di sana. Dia menegakkan tubuh– kembali mengatur napas dan berniat berjalan dengan langkah santai dari sana. Namun, tiba-tiba saja bagian belakang leher baju yang dia kenakan terasa ditahan atau ditarik oleh seseorang. Itu bersamaan dengan aroma parfum maskulin yang harum serta mahal, menyeruak masuk secara paksa ke indra penciuman Ziea. Ini aroma parfum yang sangat nyaman dipenciuman Ziea. Namun, sekarang entah kenapa aroma ini terkesan horor. Vibes-nya mirip ketika Ziea mencium aroma melati di keheningan tengah malam. Dengan gerakan kaku dan gugup– mengigit bibir atas, Ziea menoleh ke arah seseorang yang menahan leher belakang bajunya
"Iya, Nak. Setiap kali Mantan Mommy ajak jalan kan, pasti tuh Bapak kalian tiba-tiba muncul. Kasih pekerjaan yang sangat banyak!!" cerita Satiya, nostalgia dengan masa mudanya dahulu– ketika dia belum menikah dengan Gabriel. "Kalian tahu kegilaan Daddy? Pernah sekali ketika malam minggu, mantan Mommy mengajak jalan ke sebuah festival. Ya daripada Mommy bosan sendirian di apartemen kan lebih baik Mommy terima ajakan dia. Nah, posisinya Daddy tidak ada hubungan sama sekali dengan Mommy, adapun hanya hubungan pekerjaan. Eh tiba-tiba pas Mommy mau berangkat, Daddy sudah di depan pintu bawa koper. Trus kalian tahu apa yang Daddy kalian lakukan? Dia dengan seenak hati menyuruh Mommy mencuci pakaiannya, supaya Mommy batal pergi. Mau marah, Mommy butuh uang, takut dipecat dan di-black list dari perusahaan lain."Ziea, Aesya dan Serena yang mendengarnya tertawa geli serta cengengesan. Lucu dengan kisah Mommy mereka ini dengan sang Daddy. "Mommy sampai sekarang masih heran karena sejak dulu ap
"Halo, Sayangku," ucap Aesya pada Ziea, melambaikan tangan ke arah Ziea sembari berjalan layaknya model profesional di catwalk– semua mata pengunjung cafe tertuju pada Aesya. Perempuan tersebut memang punya kecantikan yang tak main-main, ditambah bentuk tubunnya yang ideal memangnya siapa yang tak tergila-gila. Sayangnya, sampai detik ini hati wanita dengan empat pawang tersebut belum ada yang bisa merebutnya. Dia masih single dan tak satupun pria yang dekat dengannya. Sepupunya? Tak ada yang berani! "Loh, Kak Eca, Kak Serena, Kak …-- loh lah heh, kalian kenapa ke sini?" bengong Ziea setelah mengantar pesanan pengunjungnya. Dia tercengang, menatap para sepupunya yang tiba-tiba datang di cafenya. Tadi suaminya, terus kakaknya dan sekarang para sepupunya. Bukan hanya, Aayara, Serena, Aesya dan Jenny, tetapi ada juga Kiara, Melodi dan Ratna. Ingat Melodi? Yah, sepupu Ziea yang pernah menyukai Reigha. Tetapi tenang, sekarang Ziea dan Melodi berbaikan. Untungnya sepupu suaminya yang re
Deg'Langkah Ziea seketika berhenti, jantungnya berdebar kencang dan dadanya terasa bergemuruh dalam sana. Terlihat di sana hanya ada Reigha dan Serena, duduk berdua dan sangat romantis. Walau kursi mereka berbeda dan terpisah tetapi jarak mereka begitu dekat. Hal yang paling membuat dada Ziea sesak adalah Reigha tersenyum pada Serena, mengelus perut buncit perempuan itu sembari mengatakan sesuatu yang Ziea tidak bisa ditangkap oleh pendengaran Ziea. 'Mas Reigha jarang tersenyum padaku, tetapi kenapa pada Kak Serena senyumannya begitu mudah muncul? Apa benar Kak Serena adalah cinta pertamanya dan perempuan yang selama ini Mas Rei idam-idamkan.' batin Ziea, terus menatap Reigha dan Serena– sangat romantis dan manis. Ziea bisa melihat bagaimana perilaku Reigha begitu lembut pada Serena, tatapannya hangat dan selalu ada senyuman tipis yang hadir di bibir suaminya. Rasanya sangat berbeda ketika Reigha bersamanya. Reigha selalu cuek, dingin dan jarang tersenyum. Terhitung berapa kali Re
"Ah, aku saja yang sepupuan dengan mereka tidak nyaman apalagi kamu yah."Lea mengangguk pelan, memahami ucapan dan kondisi sahabatnya ini. Sejujurnya meskipun anak ini suka melawak dan terlihat mudah berbaur, tetapi Lea tahu jika Ziea tidak nyaman. "Ziea, aku juga sepertimu. Aku mau-mau saja berbaur dengan sepupumu. Tapi … hah, sakit sekali setiap Kak Haiden cuek padaku tetapi dia ramah pada sepupumu yang lain. Terutama sepupumu yang bernama Melodi itu. Mereka dekat banget yah," di akhir kalimat Lea tersenyum lirih. Ziea hanya diam, meresapi rasa sakit di dadanya. Kebetulan macam apa ini?! Dia dan Lea merasakan hal yang sama. "Aku ikut kesini berharap bisa cari perhatian ke Abang kamu. Tapi … malah tak diacuhkan. Aku cape, Ziea. Aku …- mau nyerah saja yah untuk jadi kakak ipar kamu. Sepertinya Melodi jauh lebih layak bersanding dengan Abang kamu. Lagian kelihatanya keluarga kalian sepertinya sulit menerima pendatang seperti aku."Ziea menghela napas. "Kan aku sudah bilang sejak aw
"Besok kita ke sana lagi yah," tambah Ziea bersemangat dan ceria pada Aayara dan Lea, berbanding terbalik ketika dia berbicara pada Aesya. Setelah itu dia beranjak dari sana, sama sekali tak menunjukkan air muka apapun atau menoleh sedikit saja pada Reigha. "Ziea, aku ikut," ucap Lea, buru-buru menyusul Ziea. Dia tak nyaman jika tak ada Ziea di sana. Dan lagi, nada bicara Ziea pada Aesya itu terkesan marah serta bad mood. Lea semakin tak enak. "A--aku punya salah?" Aesya bergumam pelan, menatap Ziea dengan air muka bertanya-tanya dan murung. "Yara, Ziea kenapa?" tanya Aesya lemah dan sedih ke arah Aayara. Aesya yakin jika Ziea marah padanya karena mengabaikan Lea. Tapi Aesya ingin memastikan, dia ingin tahu agar lebih jelas. Aayara menggelengkan kepala. "Ziea tidak kenapa-napa, Kak Eca. Tadi kami habis seru-seruan di luar. Anaknya banyak ketawa, normal dan seperti biasanya." "Jangan dipikirkan, Eca. Sudah kukatakan mood Ziea seperti musim pancaroba. Nanti dia juga akan berbicara
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming