"Kau marah padaku?" "Aku ingin istirahat. Paham kan?!" ketus Ziea pelan, berdecak halus lalu kembali memejamkan mata. Dia benar-benar kesal untuk saat ini, dan dia sama sekali tak ingin berbicara pada Reigha. Bayang-bayang ketika pria ini menyematkan cincin di jemari manis Serena masih mengiyang di kepalanya. Reigha menggeram tertahan, mengepalkan tangan sembari menatap tajam ke arah Ziea yang masih berbaring tengkurap– serta enggan menanggapinya. Namun, Reigha memilih mengalah. Mungkin saja jika Ziea memang tengah kelelahan, istrinya tadi habis dikejar lebah. Reigha pada akhirnya memilih beranjak dari sana, memilih duduk di sofa kamar sembari membaca sebuah buka– berusaha fokus meskipun isi kepalanya dipenuhi oleh Ziea. Shit! Jelas dia tahu jika istrinya sedang marah padanya. Tetapi karena apa? Karena tadi Reigha meninggalkannya? Tidak mungkin hanya karena itu. "Marah," gumam Reigha pelan, mengerutkan kening dengan menatap serius pada lembaran buku yang dia baca. Matanya ke arah
"ZieMour," sapa seseorang yang Ziea sebut banteng tersebut– berbisik pelan sembari duduk di sebelah Ziea yang sudah menegang dan pucat pias. "Kalian ini sedang bertengkar apa bagaimana?" tanya Prince, memperhatikan Reigha dan Ziea secara bersamaan dan bergantian– dia memicingkan mata, sedikit curiga jika Reigha dan Ziea memang tengah bertengkar. Prince yang paling tua di sini, oleh sebab itu dia merasa bertanggung jawab pada semua kejadian di sini. Termasuk pertengkaran sekecil apapun. "Tidak," jawab Reigha santai, tersenyum tipis ke arah Ziea kemudian mengusap pucuk kepala Ziea secara acak dan gemas– membuktikan kepada semua orang jika dia dan istrinya baik-baik saja. 'Apaan sih nih kambing? Caper banget!' batin Ziea, menatap malas ke arah Reigha dan memilih kembali melanjutkan aktivitasnya yang tengah makan. Srett'Tiba-tiba saja dengan santai, Reigha menarik piring Ziea kehadapannya– membuat Ziea yang tengah menyuapkan nasi dalam mulut, sontak menatap melogo ke arah suaminya.
Ziea duduk menyendiri di bawah sebuah pohon, merenung di sana dan diam-diam menangis. Kakinya menekuk, memeluk lututnya sendiri sembari menatap tanah– menulis-nulis tanah dengan sebuah ranting kayu. 'Karena kamu sudah melepas cincin pernikahan kita dari jariku, maka kuanggap kita selesai.' Ucapan yang Ziea lontarkan pada Reigha entah kenapa mengiyang dalam kepalanya, membuat dadanya semakin sesak dan air matanya kembali jatuh. 'Meskipun aku marah, harusnya aku tidak melontarkan kalimat itu pada Mas Rei.' batin Ziea, mengusap air matanya dengan tangan. Setelah itu, kembali menulis tanah dengan kayu dan terus hanyut dalam pikirannya. 'Enak banget yah jadi Kak Serena. Bukan cuma dicintai oleh suaminya, tetapi dicintai oleh suami orang juga. Hehehe … sedangkan aku? Tai kucing di sambal mata, bangsat lah.' batin Ziea. "Lagi bertengkar dengan Pak Reigha yah?" Sebuah suara pelan dan halus terdengar mengalun. Ziea menoleh cepat, menatap makhluk tersebut dengan raut muka kaget. "Aaa-- kunt
Setelah mendengar penuturan Serena, Ziea langsung mencari Reigha. Entah ini salahnya, salah Reigha atau ini hanya salah paham, tetapi Ziea ingin menyelesaikannya serta menyudahinya. Kata Nanda, Reigha ke pantai untuk mengantar Fauzan dan Camille pulang. Dan Ziea menyusul ke sana, sendirian! Ziea berlari sekencang mungkin menuju pantai. Jika memang dia yang harus meminta maaf, maka Ziea akan meminta maaf pada Reigha. Tak'Langkah kaki Ziea yang melaju cepat seketika berhenti, kakinya me-rem mendadak– hampir terjatuh akibat kehilangan ke seimbangan. Untungnya dia masih bisa menahan diri. Ziea terdiam, menatap ke arah Reigha yang terlihat berjalan ke arahnya sembari menggendong Camille secara bridal style. Wajah Reigha terlihat flat dan dingin, tak mengatakan apa-apa dan hanya melewati Ziea begitu saja. Sejenak Camille menoleh ke arah Ziea, tersenyum sinis dengan sengaja mengalungkan tangan di leher Reigha. Tangan Ziea terkepal kuat, terdiam di tempat dengan tubuh membeku dan mema
"Tolongggg …." Terdengar suara meminta tolong, teriakannya begitu halus dan sangat pelan– seperti halusinasi otak. Namun, Reigha merasa jika dia memang mendengarnya. Itu suara Ziea! Pendengaran Reigha sangat tajam dan-- dia tidak mungkin salah. Reigha buru-buru keluar dari air, berlari cepat mengikuti asal suara tersebut– arah angin bertiup. "Reigha, kau mau kemana?" teriak Haiden, spontan keluar dari air untuk menyusul Reigha yang berlari kencang. Sedangkan Rafael dan Serena, mereka hanya mengikuti dari belakang. Tak mungkin mereka berlari karena Serena tengah hamil. Jadi, mereka hanya menyusul dengan langkah biasa. Reigha berhenti melangkah, dia sudah jauh dari tempat semula dan sialnya dia tidak mendengar suara itu lagi. Rahang Reigha mengatup kuat, tatapan matanya menajam dan penuh kekesalan. Damn it! Tak ada siapapun di sini dan-- suara itu menghilang. 'Aku tidak berhalusinasi.' batinnya, mengepalkan tangan. Wajahnya kaku, berbalut perasaan kesal yang bercampur kekecewaan a
"Masih belum mau melepasnya?" ucap Reigha dingin dan rendah, setelah mereka dalam kamar. Ziea menggigit semakin kuat leher Reigha. "Asss." Reigha meringis pelan, menatap ke arah istrinya yang masih mengigit lehernya. Namun, kali ini gigitannya lebih kuat dari sebelumnya. Setelah itu Ziea melepas gigitannya, mengusap bibirnya kasar sembari menatap tajam ke arah Reigha yang juga tengah menatap Ziea datar. Kemudian merasa punya kesempatan melompat dari gendongan Reigha. Reigha mengusap pelan lehernya, terus menatap Ziea intens– tak melepas sedikitpun tatapannya dari istrinya tersebut. Reigha menghela napas dengan pelan, merogok saku celana lalu meraih tangan Ziea– menyematkan cincin pernikahan mereka di jari manis Ziea. "Maaf …," ucap Reigha pelan dan rendah, setelah memasang cincin tersebut kembali ke jari manis istrinya. "Hanya itu yang mau kamu bicarakan?" Ziea berkata remeh, berdecis sinis sembari melepas cincin tersebut dari jari manisnya. "Nah." Ziea meraih tangan Reigha ke
"Perusahaan Mas bangkrut yah, makanya ngajak ke semak-semak begini?""Syuut!" peringat Reigha, membekap mulut Ziea kemudian memaksa istrinya untuk berjongkok– bersembunyi dalam semak-semak. 'Aduhh … jantung aku deg deg kan. Nggak mungkin kan se kelas Mas Reigha mau di semak-semak begini? Aku takut!!' batin Ziea, meneguk saliva dengan kasar– mendongak dan menatap suaminya yang masih membekap mulutnya. Tiba-tiba saja terdengar suara perbincangan, membuat pikiran kotor Ziea pada Reigha seketika lenyap. Ziea melotot horor dan syok kala mendengar percakapan orang-orang tersebut. "Ahahaha … mereka tidak tahu saja jika game ini sudah diatur sedemikian rupa oleh kita," tawa Nanda menggema. "Jangan keras. Pendengaran Rei tajam. Bagaimana jika dia mendengar?" dengkus Haiden. "Hais." Nanda berhenti tertawa. Team kedua terdiri dari empat orang; Haiden, Melodi, Nanda dan Lea. Keempat orang itu terus mengobrol dan bercanda. Lebih tepatnya, Nanda dan Lea yang saling melontarkan kalimat lucu-lu
"Sial. Bukannya Reigha dan Ziea yang terjebak di hutan, tetapi malah kalian semua yang terjebak di sana," ucap Rafael yang saat ini sudah berkumpul dengan para sepupunya, setelah semuanya pulang dari hutan– dalam keadaan wajah kusam dan kusut. Sekarang mereka akan lanjut ke permainan berikutnya. Ular tangga! Kali ini ide datang dari si Tupai Aayara. Biasanya ide Aayara selalu berhasil, dan semoga kali ini game pemersatu Reigha dan Ziea berhasil. "Cik, sudah kukatakan! Rencana menjelajah hutan hanya akan merugikan kita semua. Reigha itu cerdik dan licik," ucap Haiden, mendapat dengkusan dari Rafael. "Mereka sudah datang. Jangan berisik," ucap Nanda. Benar saja, Ziea dan Reigha datang. Mereka mengenakan baju seragam baru. Kali ini berwarna putih dengan bergambar ulat hijau di tengah baju serta sebuah tangga– pertanda jika mereka akan melakukan permainan ular tangga. Seperti biasa, lagi-lagi Ziea dan menjadi team. Permainan ini sudah mereka setting sedemikian rupa. Di mana team yang
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming