"Perusahaan Mas bangkrut yah, makanya ngajak ke semak-semak begini?""Syuut!" peringat Reigha, membekap mulut Ziea kemudian memaksa istrinya untuk berjongkok– bersembunyi dalam semak-semak. 'Aduhh … jantung aku deg deg kan. Nggak mungkin kan se kelas Mas Reigha mau di semak-semak begini? Aku takut!!' batin Ziea, meneguk saliva dengan kasar– mendongak dan menatap suaminya yang masih membekap mulutnya. Tiba-tiba saja terdengar suara perbincangan, membuat pikiran kotor Ziea pada Reigha seketika lenyap. Ziea melotot horor dan syok kala mendengar percakapan orang-orang tersebut. "Ahahaha … mereka tidak tahu saja jika game ini sudah diatur sedemikian rupa oleh kita," tawa Nanda menggema. "Jangan keras. Pendengaran Rei tajam. Bagaimana jika dia mendengar?" dengkus Haiden. "Hais." Nanda berhenti tertawa. Team kedua terdiri dari empat orang; Haiden, Melodi, Nanda dan Lea. Keempat orang itu terus mengobrol dan bercanda. Lebih tepatnya, Nanda dan Lea yang saling melontarkan kalimat lucu-lu
"Sial. Bukannya Reigha dan Ziea yang terjebak di hutan, tetapi malah kalian semua yang terjebak di sana," ucap Rafael yang saat ini sudah berkumpul dengan para sepupunya, setelah semuanya pulang dari hutan– dalam keadaan wajah kusam dan kusut. Sekarang mereka akan lanjut ke permainan berikutnya. Ular tangga! Kali ini ide datang dari si Tupai Aayara. Biasanya ide Aayara selalu berhasil, dan semoga kali ini game pemersatu Reigha dan Ziea berhasil. "Cik, sudah kukatakan! Rencana menjelajah hutan hanya akan merugikan kita semua. Reigha itu cerdik dan licik," ucap Haiden, mendapat dengkusan dari Rafael. "Mereka sudah datang. Jangan berisik," ucap Nanda. Benar saja, Ziea dan Reigha datang. Mereka mengenakan baju seragam baru. Kali ini berwarna putih dengan bergambar ulat hijau di tengah baju serta sebuah tangga– pertanda jika mereka akan melakukan permainan ular tangga. Seperti biasa, lagi-lagi Ziea dan menjadi team. Permainan ini sudah mereka setting sedemikian rupa. Di mana team yang
"Mas Rei kan tidak suka keramaian. Serius ingin mengajakku ke sana?""Tapi aku suka padamu," ucap Reigha singkat. Nadanya tenang dan teduh, menoleh sekilas pada Ziea lalu memilih menatap lurus ke depan. "Tidak nyambung," gumam Ziea pelan. Diam-diam dan tanpa ia tahu jika Reigha tersenyum tipis, senyuman yang mampu membuat pria itu terlihat semakin tampan dan mempesona. Sayang Ziea tidak bisa melihat senyuman itu. ***"Taraaa …." Ziea menyeru senang dan riang, memutar tubuhnya di depan Reigha– membuat dress putih yang dia kenakan ikut berputar dan mengembang. Setelah di pasar, Ziea menemukan satu toko yang menjual banyak baju yang cocok dikenakan atau bernuansa pantai. Dan Ziea membeli satu dress model kurti dan vintage berwarna putih, di mana terdapat motif bunga di bagian dada dress, bawah dress serta lengan dress yang berbentuk balon. Ada guntingan 'V pada bagian dada dress namun bisa diikat jika tidak ingin tampil terbuka atau seksi. Yang paling menggemaskan bagi Ziea adalah pa
"Maaf, saya hanya ingin tahu kondisi Tuan. Anda keluar cukup lama dan mungkin berada di keramaian. Apa Tuan baik-baik saja?" tanya Camille dengan nada tegas tetapi tersirat kekhawatiran di mata perempuan itu. 'Apaah sih makhluk satu ini? Biar apa coba dia nanya begitu ke suami aku?' batin Ziea, diam-diam mengepalkan tangan karena merasa dongkol pada Camille. Kenapa perempuan ini harus datang?"Seperti yang kau lihat," jawab Reigha datar, membuka pintu kamar– mempersilahkan Ziea untuk masuk lebih dahulu. Ziea menurut dan segera masuk ke dalam. Sedangkan Reigha, dia menoleh ke arah Camille. "Tujuanmu masih sama bukan? Masih ingin bekerja denganku?" Camille menganggukkan kepala, setelah itu lebih memilih menunduk. "Saya paham, Tuan. Maaf jika kesannya saya berlebihan," ucapnya. Reigha sedang tidak bertanya padanya, tetapi itu kalimat peringatan dan ancaman sekaligus. Camille sangat mengenal tuannya dan memahaminya dengan jelas. "Bagus." Reigha berkata dingin. "Sejujurnya aku menyuka
"Apa saja yang Aesya katakan padamu?" tanya Reigha dingin. Sejujurnya dia khawatir pada Ziea, karena semenjak menemui Aesya, istrinya ini lebih banyak diam– seperti banyak hal yang dipikirkan oleh istrinya ini. Mereka telah sampai di Paris-- lebih tepatnya di mansion mewah miliknya-- sejak tadi sore hingga sekarang Ziea hanya dalam kamar, mengurung. Awalnya Reigha membiarkan, karena kebiasaan istrinya ini ketika lelah perjalanan adalah langsung tidur. Namun, aneh saja rasanya jika makhluk yang banyak bicara ini tiba-tiba menjadi lebih pendiam. Ketika makan malam tadi, Ziea hanya diam. Reigha curiga jika diamnya Ziea itu disebabkan oleh pertemuannya dengan Aesya. "Umm … tidak ada, Mas. Kami hanya mengobrol masalah perempuan. Itu saja," jawab Ziea, tersenyum tipis untuk meyakinkan Reigha. 'Selama ini aku mengeluh karena sikap Mas Reigha yang terlalu dingin padaku, tidak banyak bicara dan suka mengurung denganku dalam kamar. Ternyata Mas begitu karena dia nyaman denganku. Nyaman sehi
"Dan itu kesalahanku. Membuatmu merasa tidak nyaman, marah, salah paham, cemburu dan menyakitimu. Itu semua karena kesalahanku," ucap Reigha lembut dan pelan, berkata dengan nada rendah serta serak– menggenggam tangan Ziea sembari menatap penuh ketulusan dan cinta pada istrinya tersebut. Ziea menggigit bibir bawah, mendongak dan menatap Reigha dengan perasaan campur aduk. Tatapan mata pria ini menghipnotis dan menghanyutkan Ziea, ingin sekali dia berpaling karena tidak sanggup dengan perasaan terlalu senang dalam sana. Namun tidak bisa! Mata Reigha seakan mengikat dan membawa Ziea lebih dalam. Pipi Ziea memerah– bersemu seperti kepiting rebus dan terasa panas. Jantungnya berdebar kencang serta hatinya bergetar. Namun, benarkah ini suaminya? Tidak! Ini terlalu manis. Reigha tidak pernah manis seperti ini. Ziea melepas tangannya dari genggaman Reigha, tiba-tiba dia menghadap lurus ke depan– menatap kosong ke arah tembok dengan raut muka gugup serta mata membulat sempurna. Lalu tiba-t
"Panggilkan Tuan Reigha, saya dan Tuan harus berangkat secepatnya ke kantor."Ziea duduk dengan tenang, menatap Camille dengan raut muka datar. Dia melipat kaki, berpose se anggun mungkin. "Maaf yah, Manusia tidak tahu diri. Ini bukan rumahmu, dan posisinya kamu bertamu kemari. Jadi tolong sopanlah sedikit. Kalau kamu tidak tahu cara memberi salah karena bukan budayamu, minimal ucapkan permisi. Jangan asal menerobos dan ngegas.""Ini rumah Tuan Reigha. Saya diberikan wewenang oleh Tuan Reigha untuk menginjakkan kaki di rumah ini. Posidimu dan posisiku sama di rumah ini, jadi jangan bersikap seolah kau berkuasa di sini hanya karena kau istri Tuan." Camille berucap datar, kemudian menoleh ke arah jam untuk memeriksa waktu. "Aku tidak punya waktu berurusan denganmu, cepat panggilkan Tuan." "Hah? Sungguh?" Ziea menghela napas dengan berat, "posisi apa yang kau bahas? Sama? Hei, saya dinikahi oleh lelaki yang kau sebut sebagai Tuan itu untuk dijadikan ratu, Nyonya Reigha di rumah ini. Sed
"A-" Senyuman Ziea langsung lenyap, mulutnya seketika terkunci rapat dan wajahnya langsung muram. Hah, pertanyaan yang diluar prediksi BMKG. "Jawab." Dingin Reigha, menatap menuntut dan menekan Ziea agar mau membuka suara. Reigha sudah lama ingin tahu mengenai masalah ini, tetapi karena dia memang tipe orang yang selalu memendam, Reigha memilih bungkam dan tidak mengatakannya pada Ziea. Namun, kemarin Ziea mengatakan agar Reigha selalu terbuka dan mengutarakan apa yang dia rasakan. Tiba-tiba Reigha kembali memikirkan ini, dan sekarang dia memberanikan diri untuk bersuara. "Karena aku ganjen. Mau menggatal ke pria lain," jawab Ziea dengan pelan dan dengan bibir memanyun. Plak'Reigha seketika menyentil kening istrinya cukup kuat. "Bisa serius?!" peringat Reigha. Ziea mengusap keningnya yang disentil dengan kuat, menatap dongkol dan muram ke arah suaminya. 'Untuk apa ditanya? Aaa-- kan aku jadi ingat lagi bagaimana bajingan ini ciuman di depan umum dengan perempuan itu. Sakit sekal
"Aku mencintaimu, Haiden. Aku ma--mau dijadikan istri kedua atau selingkuhanmu. Plis!" Seseorang yang diam-diam mengintip dari tempatnya, mengepalkan tangan. Lea termenung, berjongkok di balik sebuah tembok. Sejak kemarin dia dan Haiden sudah di penginapan, tempat mereka akan melakukan resepsi pernikahan dengan pasangan Matheo dan Aesya. Malam ini adalah pesta pernikahannya dengan Haiden. Setelah di penginapan ini, Lea dan Haiden memang jarang berinteraksi. Haiden seperti menjaga jarak. Keharusan! Haiden dan dia tidak tidur satu kamar sebab tradisi keluarga suaminya, di mana sebelum acara benar-benar selesai, mereka tidak diperbolehkan satu kamar dan interaksi dibatasi. Tadi malam, Lea tidur dengan sepupu perempuan suaminya–dia benar-benar dijaga. Tradisi aneh, tetapi Lea cukup menyukainya. Kembali ke sekarang. Karena acara akan dimulai dan Lea ingin hadir bersamaan dengan Haiden ke tempat pesta, dia berniat menyusul Haiden. Namun, di tengah jalan dia mendapati suaminya sedang b
"Akhirnya kau menjadi milikku, Azalea," bisik Haiden, setelah memasang cincin di jemari manis istrinya. Setelah itu, dia menarik kecil Lea kemudian mencium kening perempuan yang telah sah menjadi istrinya tersebut. Lea terdiam dengan perasaan aneh yang menyelusup dalam hati, dia hanya merenung–membiarkan Haiden mencium keningnya. Haiden melepas kecupan hangat tersebut, tetapi masih terus menatap wajah cantik Lea. Sayang, perempuan ini sangat pelit–memilih menunduk dibandingkan memperlihatkan kecantikannya pada Haiden. Haiden menangkup pipi Lea secara lembut, mengangkatnya sedikit memaksa–sekarang Lea telah mendongak ke arahnya, menatapnya dengan mata hangat bertabur sparkling. "Hello, Wife," sapa Haiden dengan rendah, tersenyum lembut ke arah Lea. Tak dapat menahan kegembiraan dalam hati, Lea seketika mengibarkan senyuman yang sangat indah. Ada perasaan berdebar ketika Haiden mengatakan hal tadi. Namun, debaran kali ini terasa gembira dan menakjubkan. "Hai, Mas suami," jawab Le
"Kau mau kemana?"Haiden berdecak pelan lalu mendengus. Dia berniat putar balik, tetapi suara dingin itu menghentikan niatannya. Dengan raut muka dingin, Haiden memutar tubuh menghadap Reigha. Melihat wajah datar sahabat sekaligus adik iparnya tersebut, Haiden menggaruk telinga. Dia mendengus lalu berjalan ke arah Reigha. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Haiden, menatap curiga pada Reigha. "Ziea," jawab Reigha datar dan singkat, duduk tenang di tempatnya–tak terganggu oleh kehadiran Haiden yang saat ini telah berdiri di sebelahnya. "Kau tidak bertanya kenapa aku di sini?" Haiden menaikkan sebelah alis, bersedekah dingin. Sejujurnya dia menunggu Reigha bertanya hal tersebut padanya. Saat dia berjalan dari mobil hingga ke tempat ini– tepat di sebelah Reigha berdiri, dia sudah memikirkan alasan apa yang akan dia katakan pada Reigha semisal Reigha menginterogasinya. Reigha menoleh malas ke arah Haiden. "Persetan!" jawabnya cukup santai, tetapi menyebalkan secara saksama. Haiden
"Lea sayang, kamu kenapa?""Papa dengar ada keributan di kamarmu, apa terjadi sesua …- Tuan Haiden?!" Mata Denis membelalak, kaget ketika melihat calon menantunya ada di dalam kamar putrinya. "Pria ini menelusup masuk dalam kamar Azalea. Untung aku lebih dulu menelusup ke kamar putrimu, Ayah mertua," ucap Haiden santai, sengaja mengatakan 'putrimu dan Ayah mertua, trik agar om yang merangkap menjadi ayah kekasihnya tersebut tersanjung. 'Anjay, jujur sekali orang ini. Bikin empeduku ketar ketir ajah,' batin Lea, menatap horor dan melongo syok ke arah Haiden. Mulutnya bahkan terbuka lebar, saking tak percayanya dia dengan Haiden. "Oh iya, Nak Haiden. Untung kamu menelusup lebih dulu," jawab Denis cukup riang, mengganti panggilan Tuan pada Haiden menjadi Nak. Hanya menyebut Lea sebagai putrinya dan dipanggil Ayah mertua oleh Haiden, hatinya meluluh–luar biasa senang. "Azalea bilang dia teman ayah," ucap Haiden, melirik sekilas pada tubuh tua yang sudah tak berdaya di lantai. Kemudian
Benni yang telah berhasil mencongkel jendela kamar Lea seketika menyunggingkan senyuman penuh kemenangan. "Akhirnya, Lea ku yang cantik dan manis-- malam ini aku mendapatkanmu!" ucap Benni, merasa senang serta tak sabar untuk melaksanakan aksinya. Perlahan dia membuka jendela kamar lalu masuk secara hati-hati serta mengendap-endap. Beruntung kamar Lea minim pencahayaan, jadi dia bisa menyelinap dengan gampang. ***Krek'Mendengar bunyi jendela terbuka secara perlahan, mata Haiden yang sempat terpejam seketika kembali terbuka. Dia menoleh ke arah jendela dalam kamar, matanya bisa dikatakan tajam dalam kegelapan sehingga dia bisa melihat siluet seseorang yang tengah menyelinap masuk ke kamar calon istrinya ini. Alis Haiden menekuk tajam, seketika terpancing amarah–jelas itu siluet seorang laki-laki! Tak mungkin Lea mengundang pria dalam kamar, meskipun sedikit genit tetapi dia kenal betul dengan pribadi calon istrinya. Lea hanya genit diluar, aslinya Lea sangat menjaga diri dsn b
Klik'Lampu menyala, bersamaan dengan mata Lea yang membelalak–menatap kaget pada sosok pria yang sekarang telah berada di pinggir ranjangnya. Menyadari pakaiannya yang kurang sopan, Lea buru-buru meraih bantal lalu menutupi bagian dada. Piyama yang Lea kenalan cukup seksi pada bagian atas, lengan berbentuk tali–membuat pundak Lea telanjang. "Pak Haiden ngapain ke sini?!" pekik Lea, setengah berbisik dan menggeram. Dia kesal pada pria ini karena kemunculannya membuat Lea merasa takut. Lea pikir siapa?! Tapi-- … hei, Lea sekarang jauh lebih takut. Haiden ada di kamarnya dan … ba--bagaimana bisa? "Kau tidak berbicara denganku ketika kuantar pulang," ucap Haiden santai, duduk lalu berakhir membaringkan diri di ranjang Lea. Lea kembali melototkan mata, kali ini tak menduga jika Haiden menjadikan itu alasan untuk bisa kemari. "Kita sudah bicara dan Pak Haiden sekarang juga pulang.""Aku datang dengan niat baik, Azalea. Kenapa kau mengusirku? Kau tidak suka bertemu denganku?" "Pak, ma
Brak' Haiden membuka pintu mobil secara kuat, kemudian menarik kasar seseorang dari dalam mobil. "KELUAR!" marah Haiden, membentak perempuan tersebut secara kasar–tak peduli jika yang ia kasari tersebut adalah perempuan. Namanya Haiden Mahendra! Tempramental dan bisa meluapkan kemarahannya pada siapapun–kecuali pada adiknya! Sekarang, Haiden sangat marah karena Lea memilih pulang tanpa diantar olehnya, dan sekarang dia memanfaatkan kemarahannya tersebut pada Melodi–alasan calon istrinya memilih pergi. "Ha--Haiden … argk! Perutku sakit!" pekik Melodi yang sudah tergeletak jatuh di halaman, satu tangan menyangga tubuh dan satu lagi memegangi perut yang terasa kram dan sakit. Bukan penyakit parah, hanya alergi susu dan dia memang sengaja meminum susu supaya bisa cari perhatian pada Haiden. "Persetan!" maki Haiden, segera masuk dalam mobil kemudian buru-buru mengendari mobil–ngebut untuk menyusul Lea. "Haiden!!" teriak Melodi sekencang mungkin, akan tetapi sayang karena Haiden ta
Lea akhirnya selamat dari kesalah pahaman Ziea padanya dan Haiden. Reigha menemukan mereka dengan mudah, sedikit marah sebab menganggap Haiden tidak sopan pada Ziea. Yah, sebab Haiden bertelanjang dada! Keduanya mengobrol lalu tiba-tiba Reigha mendadak satu jalur dengan Haiden, melarang Ziea untuk tak mengatakan apa-apa pada siapapun mengenai kejadian di toilet sebab itu bukan urusan Ziea dan dia. Untungnya Ziea sangat patuh pada suaminya, jadi Lea dan Haiden selamat dari bocah kematian bernama Ziea tersebut. "Ini pakaian Ziea, masih baru dan tak pernah dipakai olehnya. Gunakan ini supaya tak ada yang salah paham lagi," ucap Haiden pada Lea, menyerahkan sebuah pakaian baru untuk sang kekasih. Mereka berada di kamar Haiden, terpaksa sebab tempat inilah yang paling aman dari intaian siapapun. Lagipula kamarnya bersebelahan dengan kamar Ziea dan Reigha, sahabat sekaligus sepupu serta iparnya tersebut telah ia suruh berjaga di depan. "Iya, Pak." Lea meraih pakaian tersebut kemudian
"Aaa--" Lea berteriak namun buru-buru membekap mulut. Dia langsung meringsut ke sudut toilet, merapatkan kemeja pada tubuh sembari menatap pucat pias ke arah Haiden. "Bilang kalau Pak Haiden tidak melihat apapun!" paniknya, lalu buru-buru mengancing kemeja tersebut. Lebih cepat dia membungkus tubuhnya, lebih aman dia dari pria mesum ini. Ternyata oh ternyata! "Jika aku mencopot bramu, aku melihat semuanya," jawab Haiden santai, bersedekap sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Lea. Kini dia telah menghadap ke arah perempuan itu, memperhatikan Lea yang sedang mengancing kemeja secara terburu-buru dengan tatapan yang begitu intens. Pipi Lea memerah–sudah seperti tomat busuk. Dia mengerjab beberapa kali. Kalau dipikir-pikir Haiden tak mungkin se mesun itu. Namun, jika dipertimbangkan secara matang Haiden bahkan pernah hampir kelepasan–hampir merenggut kesuciannya sebab berkunjung dan kebetulan hujan tengah turun. "A--aku tidak peduli, yang penting serangan, Pak Haiden tolong ming