Isabel mengendarkan pandangannya ke setiap sudut ruangan di penthouse milik seorang pria yang menolongnya. Entah, siapa nama pria itu, dia sendiri pun tidak tahu. Ingin bertanya, namun tidak berani.
Kaki Isabel melangkah pelan dan hati-hati. Penthouse milik pria yang menolongnya sangatlah mewah dan besar. Segala perabotan tertata begitu rapi sempurna. Desain penataan sangat menyejukan mata.
“Nona?” seorang pelayan melangkah menghampiri Isabel yang melamun di ruang tengah.
“Ah? Iya?” Isabel membuyarkan lamunannya, ketika menyadari ada yang memanggilnya.
Sang pelayan tersenyum sopan. “Nona, Tuan Joseph menunggu Anda di ruang makan.”
“Tuan Joseph?” Isabel terdiam sambil mengerutkan keningnya, menatap bingung sang pelayan.
“Iya, Tuan Joseph, Nona,” balas sang pelayan lagi.
‘Oh, pria yang tadi malam itu namanya Joseph,’ gumam Isabel dalam hati.
“Nona, silakan ke ruang makan yang ada di sebelah kiri,” ujar sang pelayan sopan.
Isabel mengangguk pelan dan melangkah mengikuti sang pelayan yang tengah berjalan menuju ke ruang makan. Pagi itu, Isabel mengenakan mini dress berwarna kuning. Sangat cantik di tubuhnya. Dia mendapatkan dress itu dari pelayan yang memberikannya. Ya, tentu saja dia yakin pasti Joseph yang menyiapkan dress itu.
Joseph yang tengah duduk di kursi meja makan, menatap Isabel yang terbalut oleh dress cantik berwarna kuning. Pria itu tersenyum samar melihat ternyata dress yang dipilihkannya sangat cocok untuk Isabel.
“Duduklah,” titah Joseph tegas.
Perlahan, Isabel mulai duduk di samping Joseph. “T-terima kasih sudah menyiapkan dress ini untukku, Tuan.”
“Joseph. Kau panggil aku Joseph,” balas Joseph dingin. Pria itu kurang menyukai jika dipanggil sebutan ‘Tuan’ oleh Isabel.
Isabel menggigit bibir bawahnya. “T-tapi itu tidak sopan. Sepertinya kau jauh lebih tua dariku.”
Joseph berdecak kesal di kala disebut tua. “Kau pikir aku sudah 40 tahun? Usia kita hanya berbeda sedikit!”
Isabel menatap polos Joseph. “Tahun ini usiaku 21 tahun. Usiamu berapa?”
“30,” jawab Joseph singkat.
Isabel menutup mulutnya dengan jemarinya. “Wah, kau sudah tua.”
Mata Joseph mendelik ketika disebut tua. “Aku ini baru 30, bukan 40 tahun!”
Isabel tersenyum manis. “Iya-iya. Aku hanya bercanda. Kau sangat tampan. Tidak sama sekali terlihat tua.”
Joseph berdeham ketika mendapatkan pujian. Biasanya, dia tidak pernah menggubris ucapan perempuan yang memuji dirinya. Akan tetapi entah kenapa ketika Isabel yang memuji sesuatu senyar aneh menelusup ke dalam dirinya.
“Makanlah! Kau sudah kurus,” tukas Joseph dingin dan tegas.
Isabel mengangguk patuh merespon ucapan Joseph. Selanjutnya, dia mulai menikmati makanan yang terhidang di hadapannya. Dia makan perlahan menikmati makanan lezat itu.
“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu ke rumahmu,” ucap Joseph datar.
Raut wajah Isabel berubah. “J-jangan!”
Kening Joseph mengerut dalam. “Jangan? Maksudmu?”
Isabel berusaha untuk tenang di tengah-tengah kepanikan dan rasa takutnya. “M-maksudku, aku anak yatim piatu. Aku tidak memiliki siapa pun lagi.”
Joseph terdiam mendengar apa yang Isabel katakan. “Sebelumnya di mana kau tinggal?”
Isabel meremas pelan dress-nya. “Aku hanya seorang gelandangan yang tidak memiliki apa-apa, Joseph. Aku biasa tinggal di jalanan.”
Joseph merasa ada yang janggal saat Isabel mengatakan hanyalah seorang gelandangan. Gelandangan dari mana yang memiliki kulit semulus itu? Kulit, kuku, dan rambut Isabel sangatlah terawat. Jauh dari kata seorang gelandangan.
“Habiskanlah makananmu. Kita bahas ini lagi nanti,” tukas Joseph tegas.
Isabel menganggukkan kepalanya pelan, dan kembali melanjutkan makanannya. Tampak sejak tadi Joseph tak henti menatap Isabel. Pria itu sedikit mencurigai sesuatu, namun dia memutuskan mengenyahkan pikiran yang mengusiknya.
***
Isabel terlelap dalam tidurnya, namun tiba-tiba dia spontan terbangun ketika mendapatkan mimpi buruk. Keringat membanjiri keningnya. Dia menyeka keringatnya, mengambil segelas air putih yang ada di atas meja, dan meminum air putih itu secara perlahan.
Isabel mengatur napasnya dan menatap ke sekitar kamarnya. Dia masih berada di penthouse milik Joseph. Setidaknya sekarang dia lega, karena bisa selamat dari ancaman yang berbahaya.
Isabel melihat ke arah jendela—langit di luar gelap tidak ada bulan dan bintang yang biasanya sebagai penghias langit yang megah. Akan tetapi, sedari tadi hujan pun tidak turun. Itu menandakan hanya langit yang mendung.
Isabel menyibak selimut, turun dari ranjang. Dalam hati, gadis itu bergumam pelan ingin berjalan-jalan sebentar. Mimpi buruk membuat perasaannya gelisah dan campur aduk. Dia berjalan-jalan demi menghilangkan perasaan khawatir.
Lampu ruang tengah masih menyala, sedangkan beberapa lampu lain dalam keadaan mati. Isabel merasa beruntung karena tidak semua lampu dimatikan. Setidaknya, dia tidak akan merasa takut kalau lampu dalam keadaan menyala.
Tanpa sengaja, tatapan Isabel teralih pada sebuah kamar di sisi kanan yang sedikit terbuka. Awalnya, Isabel tidak ingin memedulikan kamar itu, namun terdengar suara berisik membuat rasa penasaran ingin tahu dalam dirinya bertambah.
Isabel memutuskan untuk melangkah menuju ke ruang tersebut. Namun, seketika mata Isabel melebar terkejut melihat adegan di mana dua insan tengah melakukan kegiatas panas.
“Ah, faster, Honey.”
“Ah …!”
Kegiatan panas itu sempat terhenti di kala Joseph menyadari Isabel berdiri di ambang pintu dalam keadaan bibir yang menganga. Decakan lolos di bibir Joseph ketika ada yang mengganggu kesenangannya.
Joseph menghentikan kegiatan panas itu merapikan kembali pakaiannya dan melempar cek tunai ke wajah jalang yang dia bayar. “Pergilah. Itu bayaranmu.”
Wanita itu sedikit kesal karena Joseph menghentikan permainan. “Tapi kita belum selesai.”
“Apa kau tuli? Aku bilang pergi!” seru Joseph menekankan.
Wanita itu merapikan pakaiannya dan menyambar cek tunai pemberian dari Joseph, melangkah pergi meninggalkan tempat itu. Namun, di ambang pintu saat wanita itu melihat Isabel, dengan sengaja dia menabrak bahu Isabel hingga membuat Isabel meringis.
Isabel menutup kedua matanya dengan telapak tangannya sendiri. Dia tak berani membuka mata. Rasa takut menyelimutinya, ditambah bahunya ditabrak dengan sengaja oleh seseorang. Itu membuat tubuhnya gemetar ketakutan.
“Buka matamu.” Joseph menghampiri Isabel.
Isabel menggeleng cepat. “T-tidak. A-aku akan menutup mataku dan kembali ke kamarku. Maafkan aku, Joseph.”
Buru-buru, Isabel berbalik dan hendak pergi namun karena kondisi mata tertutup—dia pun terbentur pintu dan nyaris terjatuh. Refleks, Joseph menangkap tubuh Isabel yang nyaris terjatuh itu.
Isabel menjerit terkejut ketika hampir terjatuh. Akan tetapi, dia merasakan ada tangan kokoh yang memeluk dirinya. “J-Joseph, l-lepaskan—”
“Buka matamu,” titah Joseph yang tak ingin dibantah.
Perlahan-lahan mata Isabel terbuka, menatap sepasang iris mata hazel Joseph. Dalam sekejab, dia dan Joseph saling melemparkan tatapan penuh makna dalam. Tatapan mereka seakan memiliki magnet kuat untuk tarik menarik. Mereka sama-sama seolah tenggelam akan tatapan yang mereka ciptakan.
“J-Joseph, a-aku…” Lidah Isabel seakan kelu, tidak mampu untuk mengukir kata. Posisinya saat ini begitu intim dan dekat pada Joseph.
Joseph menarik dagu Isabel, mendekatkan bibirnya ke bibir ranum gadis itu dengan tatapan yang masih saling mengunci. “Biasakan untuk mengetuk sebelum kau masuk ke dalam ruangan. Kegiatanku tadi harus terganggu karena ada kau. Ah, atau kau ingin menggantikan wanita tadi, hm?” bisiknya serak.
Isabel menelan saliva-nya dengan wajah memucat ketakutan mendengar ucapan Joseph.
Napas Isabel seakan sesak akibat dipenuhi dengan kata-kata Joseph. Bulu kuduknya sampai merinding ketakutan. Untungnya, dia dilepaskan dan dibiarkan untuk kembali ke kamar sekarang ini.“Ya Tuhan, kenapa aku bodoh sekali?” Isabel menepuk keningnya, merutuki kebodohannya yang langsung masuk kamar, tanpa sama sekali mengetuk pintu.Isabel mondar-mandir tidak jelas di dalam kamarnya. Sungguh, dia tidak menyangka kalau akan melihat adegan seperti tadi. Seumur hidup, dia belum pernah melihat adegan seperti itu.Isabel menghempas tubuhnya ke ranjang dan meraih bantal untuk menutupi wajahnya. Perasaan malu, takut, semuanya campur aduk. Yang dia sesali adalah dirinya harus melihat adegan seperti tadi. Andai saja rasa penasarannya tidak tinggi, pasti dia tidak akan melihat adegan itu.Isabel memaksakan diri untuk memejamkan mata. Meskipun tidak lagi mengantuk, tapi tidak masalah. Yang penting dia memaksa diri untuk tidur, agar esok hari dirinya bisa tenang berhadapan dengan Joseph.Sinar matah
“Gantilah pakaianmu.” Joseph bertitah meminta Isabel mengganti pakaiannya yang sudah basah kuyub, akibat gadis itu tercebur di kolam.Isabel menarik handuk putih yang diberikan oleh Joseph, agar semakin membalut tubuhnya yang kedinginan. “I-iya, Joseph. Terima kasih.”“Kau terlalu banyak mengucapkan terima kasih dan juga minta maaf. Masuklah ke kamarmu. Ganti pakaianmu,” balas Joseph dingin tak ingin dibantah.Isabel mengangguk patuh, lalu melangkah pergi meninggalkan Joseph menuju kamarnya. Namun di kala Joseph hendak ingin menuju kamarnya—langkahnya terhenti melihat Ian—asistennya—datang menghampirinya.“Tuan, Nona itu—” Ian bingung melihat Isabel masuk ke dalam kamar.“Aku membiarkannya tinggal di sini,” jawab Joseph dingin.Ian hendak ingin bertanya lagi, tapi tatapan tajam dari Tuannya membuatnya mengurungkan diri untuk kembali bertanya.“Ada apa kau ke sini, Ian?” tanya Joseph to the point pada sang asisten.“Hm, Tuan. Ayah Anda tadi menghubungi saya. Beliau meminta Anda untuk s
Isabel merasa hidupnya tidak tenang. Benaknya berputar mendengar permintaan gila Joseph. Kata-kata Joseph layaknya ucapan menyejukan, namun memiliki makna menusuk hingga membuatnya merinding ketakutan. Napas Isabel terengah-engah akibat rasa takut sudah menyelimutinya.Permintaan bentuk balas budi membuat Isabel seakan ingin berhenti bernapas. Sungguh, permintaan Joseph benar-benar membuat Isabel ingin terjun bebas dari penthouse megah ini.Joseph adalah pria yang baru Isabel temui. Bahkan bisa dikatakan dalam seumur hidupnya, belum pernah dia dekat dengan seorang pria, seperti dirinya dekat dengan Joseph.Akan tetapi, satu hal yang Isabel tidak lupa adalah Joseph banyak menolongnya, termasuk menolongnya dari ambang kematian. Jika waktu itu Joseph tidak membawanya pergi, maka sudah pasti hidup Isabel akan berakhir tragis.“Isabel tidurlah. Ucapan Joseph tadi pasti omong kosong.” Isabel menarik selimut, menutup rapat wajahnya dengan selimut tebal itu. Joseph telah pergi meninggalkan I
“Siapa Aubree?”Pertanyaan pertama yang Isabel tanyakan di kala dirinya dan Joseph berada di ruang makan. Setelah Nathan pergi, mereka memutuskan untuk makan bersama, karena Joseph merasa lapar. Efek marah-marah sepertinya yang memicu Joseph menjadi lapar.Joseph yang tengah makan steak menghentikan makannya mendengar pertanyaan Isabel. “Aubree adalah istri kakaku.”Isabel terdiam sebentar. “Hm, Joseph … kenapa tadi kau bilang pada kakakmu kalau aku adalah kekasihmu?” tanyanya pelan dan hati-hati. Ini pertanyaan yang sejak tadi Isabel tahan-tahan.Joseph mengambil wine yang ada di atas meja, dan meminum wine itu perlahan. “Kalau aku mengatakan kau adalah temanku, maka dia tidak akan percaya. Aku malas untuk menjelaskan banyak hal padanya. Aku paling tidak suka ada orang yang ikut campur dengan urusan pribadiku.”Isabel mengangguk paham.“Kau keberatan kalau aku mengatakan kau sebagai kekasihku?” Joseph menatap Isabel, menunggu jawaban gadis itu.Isabel menggeleng cepat. “T-tidak seper
Isabel menatap cincin dan kalung milik mendiang ibunya yang tadi diberikan oleh pelayannya. Tampak jelas raut wajah Isabel menunjukkan kerapuhan dan kesedihan di kala melihat cincin dan kalung milik mendiang ibunya.Kepingan memori Isabel teringat tentang mendiang ibunya. Air mata Isabel pun berlinang jatuh membasahi pipinya, mengingat kenangan manis ketika ibunya masih ada di dunia ini.Isabel sangatlah merindukan ibunya. Jika ada mesin waktu yang Isabel inginkan adalah membuat ibunya kembali ada di dunia ini. Setiap kali gadis itu mengingat kenangan itu pastinya dia akan sedih dan sesak.“Nona?” Seorang pelayan mengetuk pintu kamar Isabel.Isabel sedikit tersentak karena pelayan itu menyerukan memanggil namanya. Detik itu juga Isabel menyimpan cincin dan kalung mendiang ibunya ke tempat semula—lalu dia bangkit berdiri—melangkah menghampiri pintu kamarnya—dan membuka pintu kamarnya perlahan.“Iya?” Isabel menatap sang pelayan yang ada di hadapannya.“Nona Isabel, saya akan mememasak
Tubuh Isabel bergerak-gerak. Peluh membanjiri seluruh tubuhnya. Gadis itu seperti tenggelam dalam mimpi buruknya hingga membuatnya sulit membuka mata, akibat mimpi buruknya itu seakan mencekam raganya untuk tidaklah sadar.“Tidak!!” Isabel terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat semakin membanjiri tubuhnya. Dia mengendarkan pandangannya—melihat dirinya berada di kamarnya.Isabel terdiam sebentar menatap ke sekitarnya. Ya, kepingan memorinya teringat bahwa dia masih berada di penthouse Joseph. Untungnya malam itu, Joseph menyelamatkannya. Jika tidak, entah bagaimana dengan kehidupannya. Isabel mengambil tisu menyeka keringatnya menggunakan tisu itu. Lantas, dia melihat ke jam dinding—waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Sekujur tubuhnya benar-benar terasa lelah akibat mimpi buruk yang dideritanya.Isabel berusaha mengatur napasnya di tengah-tengah rasa cemas menyelimutinya. “Lebih baik aku berendam saja.” Isabel bergumam ingin berendam malam-malam, demi menenangkan pikiran y
Otak Isabel tidak bisa tenang. Debaran jantungnya sekarang bahkan jauh lebih kencang dari biasanya. Isabel tak pernah merasakan ini sebelumnya. Perasaan yang benar-benar tak menentu.Tangan Isabel berkeringat dingin. Kegugupan pun melanda dirinya bercampur dengan debaran jantung yang jauh lebih kencang. Jika dibiarkan, bisa-bisa Isabel akan pingsan akibat perasaan yang tak menentu ini.Sumber utama yang membuat Isabel seperti ini adalah Joseph. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya ada pria yang melihat tubuh telanjangnya. Ditambah Joseph bukanlah suami ataupun pacar. Itu sangat memalukan!Isabel merutuki kebodohannya yang berendam di dalam jacuzzi sampai terlelap. Bisa-bisanya dia berendam dan berakhir tertidur pulas. Bahkan dia sampai tidak sadar kalau tubuhnya telah berpindah dari jacuzzi ke ranjang.Kegilaan macam apa ini? Isabel sungguh malu. Kalau saja bisa, dia ingin bersembunyi di kutub utara. Pergi sejauh mungkin. Dia sangat malu. Setiap kali melihat Joseph, ingin dirinya be
Esok hari, Isabel sudah berpakaian khusus untuk berkuda. Ya, tadi pagi-pagi sekali pelayan mengantarkan pakaian yang telah disiapkan oleh Joseph. Entah, Isabel tak tahu kapan Joseph memesan pakaian perempuan untuk berkuda. Dia yakin pasti Joseph meminta asistennya untuk memesan pakaian ini.Joseph memiliki selera yang tinggi. Isabel bisa membuktikan dari pakaiannya yang disiapkan oleh Joseph. Semua pakaian yang dibelikan Joseph merupakan pakaian yang memiliki gaya terbaik dalam arti modern, tidak ketinggalan jaman. Selain modelnya yang menawan, juga merk dari pakaian yang diberikan Joseph, bukanlah merk dari brand sembarangan.Isabel menatap cermin, dia memakai sedikit riasan tipis di wajahnya. Rambut merah gadis itu diikat messy bun—membuatnya cantik dan segar. Isabel memiliki rambut yang cukup panjang. Jika ingin berkuda, pasti akan membuatnya tidak nyaman kalau harus membiarkan rambut panjangnya tergerai. Itu kenapa Isabel memutuskan untuk mengikat rambutnya dengan model messy bun.
Beberapa bulan berlalu … Tangis bayi kembar pecah memenuhi ruang bersalin VIP khusus untuk anggota Kerajaan. Tangis bayi itu bersamaan dengan Isabel dan Joseph yang juga meneteskan air mata penuh haru bahagia atas kelahiran bayi kembar mereka. Isabel melahirkan secara normal. Awalnya, Joseph ingin Isabel melahirkan bayi kembar mereka melalui tindakan operasi, tapi Isabel menolak karena dia ingin dirinya melahirkan secara normal.“Selamat, Tuan Putri, Anda melahirkan sepasang bayi laki-laki dan perempuan. Mereka lahir sempurna, tidak ada kekurangan apa pun,” ucap sang dokter—dan Isabel semakin menangis haru.“Joseph, anak kita lahir dengan selamat,” bisik Isabel.Joseph mengecupi pipi Isabel. “Kau adalah ibu yang hebat. Terima kasih, Sayang.”Sang dokter menyerahkan bayi kembar itu pada Isabel, untuk melakukan proses IMD. Dua bayi kembar itu sangat gemuk dan sehat. Mereka sama-sama minum ASI secara langsung. Isabel tidak tahan untuk tak menangis. Wanita itu menangis saat melihat bayi
Pesta pertunangan Gaspar diadakan secara tertutup. Tidak ada media, dikarenakan Gaspar tak ingin kehidupannya disorot oleh media. Bagi pria itu, dia tidak memiliki kehidupan menarik yang harus sampai media liput.Keluarga Kerajaan hadir di pesta pertunangan Gaspar. Pun keluarga Afford diundang oleh Gaspar. Pertunangan yang diadakan di salah satu hotel di Madrid itu diadakan benar-benar sangat tertutup.Kamera yang ada di sana adalah kamera dari fotografer yang dibayar Gaspar. Bukan dari kamera media. Padahal sebenarnya sosok Gaspar sudah lama sekali ditanyakan oleh publik. Hanya saja memang sejak ibu dan adiknya membuat masalah, Gaspar merasa sangat malu. Itu yang membuat pria itu memutuskan menjauh dari media. Malam itu Isabel tampil cantik dengan balutan gaun berwarna maroon. Rambut indahnya digulung ke atas, menunjukkan leher jenjang yang indah. Joshua berada digendongan Joseph. Pesta diadakan jam tujuh malam, membuat Isabel dan Joseph masih bisa membawa Joshua keluar.“Isabel?”
Joseph menjadi orang yang paling tak bisa tenang. Dia mondar-mandir gelisah di depan ruang rawat. Ya, Isabel langsung dibawa ke rumah sakit di kala pingsan. Joseph dan Benicio mengambil keputusan untuk membawa Isabel ke rumah sakit.Joshua tidak ikut. Joseph ataupun Benicio tak ingin Joshua berada di rumah sakit. Pengasuh menjaga Joshua. Di depan ruang rawat ada Joseph yang ditenangkan oleh Hazel. Lalu ada Benicio yang sejak tadi ditenangkan oleh Lena. Semua orang khawatir, terjadi sesuatu hal buruk pada Isabel.“Isabel akan baik-baik saja.” Lena membelai lengan Benicio, berusaha menenangkan calon suaminya itu.“Istrimu akan baik-baik saja, Kak. Dia wanita yang kuat.” Hazel berusaha menenangkan saudara kembarnya. Joseph mengatur napasnya, berusaha untuk tenang. Lalu, di kala dirinya tengah berusaha menenangkan diri—suara pintu terbuka. Refleks, semua orang di sana menatap dokter yang kini berdiri di ambang pintu sambil membuka masker. Tanpa menunda-nunda, semua orang yang ada di sana
“Ah! Joshua, keponakanku tersayang yang tampan!” Hazel berseru seraya mengambil alih Joshua yang ada di gendongan Isabel. Di tengah-tengah percakapan Hazel dan Joseph—Isabel muncul sambil menggendong Joshua. Tentu Hazel tak menyia-nyiakan itu. Dia segera menggendong keponakannya. Sudah lama dia tidak melihat keponakannya tersayang. Joshua tertawa-tawa di kala Hazel menciuminya. Bayi laki-laki tampan itu tampak suka berada di dekat Hazel. Ya, ini memang bukan pertama kalinya Hazel berada di dekat Joshua. Bayi laki-laki tampan itu sudah beberapa kali digendong Hazel. Jadi wajar jika Joshua sangat nyaman berada di sisi Hazel.“Apa kabar, Hazel?” tanya Isabel seraya memberikan pelukan singkat pada adik iparnya.“Baik, kau sendiri apa kabar?” balas Hazel sambil menimang-nimang Joshua.Isabel tersenyum lembut. “Aku juga baik. Senang sekali melihatmu. Belakangan ini kau sangat sibuk.”“Iya, maafkan aku. Belakangan ini memang aku sangat sibuk.” Hazel kembali duduk di sofa bersama dengan Isab
Joseph tersenyum melihat Joshua yang tengah minum ASI. Bayi laki-lakinya itu tampak sangat lahap. Dia yang gemas langsung menciumi pipi bulat putranya itu. Isabel yang tengah memberikan ASI—sedikit memberikan cubitan pada sang suami yang menciumi Joshua.“Joseph, kau selalu mengganggu Joshua. Kapan dia tidur kalau kau ganggu terus?” protes Isabel dengan bibir yang mencebik kesal.“Joshua pasti hanya ingin minum susu saja, Sayang.” Joseph tak henti menciumi pipi bulat Joshua. “Putra kita mirip sekali sepertiku. Suka minum susumu.”Mata Isabel mendelik mendengar ucapan vulgar dari Joseph. Sepasang iris matanya menunjukkan jelas bagaimana dia kesal dan jengkel pada suaminya itu, yang bicara sembarangan di depan Joshua—yang sedang menyusu padanya.“Joseph! Kenapa kau bicara seperti itu di depan Joshua!” Mata Isabel mendelik tajam.Joseph menatap sang istri. “Apa yang salah, Sayang? Kan memang benar Joshua mirip aku yang suka minum susumu.”“Joseph, kau ini menyebalkan sekali,” rengek Isab
Isabel masuk ke dalam kamar, membaringkan tubuh di samping sang suami yang berkutat dengan MacBook-nya. Mereka masih berada di Kerajaan. Mereka belum kembali ke mansion, karena Isabel memutuskan tetap tinggal di istana untuk sementara waktu. Pun tentu Joseph menyetujui keinginan sang istri.Isabel adalah anak semata wayang di Kerajaan Spanyol, sejak di mana kakak Isabel meninggal dunia. Joseph sangat mengerti bahwa Isabel sangat dibutuhkan di Kerajaan. Hal tersebut yang membuat Joseph tak mengajak Isabel tinggal di New York. Joseph yang mengalah menjadi pindah ke Madrid.“Joshua sudah tidur?” tanya Joseph pada Isabel yang berbaring di sampingnya. Tatapan pria tampan itu masih berfokus pada MacBook-nya, tak melihat sang istri.“Sudah. Joshua sudah tidur.” Isabel menjawab sambil menyentuh tangan Joseph.Joseph mengalihkan pandangannya, menatap Isabel yang tampak tengah memikirkan sesuatu. “Ada apa, Sayang? Masih memikirkan tentang Lena, hm?”“Tadi pagi aku melihat pelayan tidak sengaja
Joseph membaca email masuk dari Ian, yang melaporkan tentang Lena. Sorot matanya menunjukkan jelas keseriusan nyata. Laporan yang diberikan sang asisten sangatlah jelas dan lengkap—membuat Joseph langsung paham.Suara pintu terbuka. Joseph mengalihkan pandangannya, menatap Isabel yang baru saja masuk ke dalam kamar. Pria tampan itu menatap Isabel yang tampak muram seperti telah memikirkan sesuatu.“Isabel?” panggil Joseph yang seketika itu membuyarkan lamunan Isabel.“Ya, Sayang?” Isabel mengalihkan pandangannya, menatap Joseph.Joseph melangkah mendekat, menghampiri Isabel. “Apa yang kau pikirkan? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya sambil membelai lembut pipi sang istri.Isabel terdiam di kala mendapatkan pertanyaan dari sang suami. Dia merasa bingung harus bercerita dari mana. Sebab, ada rasa tak enak pada Joseph. Meskipun sudah menikah, tapi ada fase di mana Isabel sulit bercerita.Joseph tersenyum samar melihat Isabel yang hanya diam, tak mengatakan apa pun padan
Keheningan membentang ruang makan megah itu, akibat keterkejutan dari ucapan Benicio. Sepasang iris mata Isabel menunjukkan jelas keterkejutannya. Kata-kata sang ayah yang akan menikah lagi membuat emosi Isabel terpancing.“Dad! Kenapa ini mendadak sekali? Aku bahkan tidak mengenal wanita itu! Kau ingat bagaimana jahatnya Inez dulu? Dia ular betina yang menghancurkan kedua anakmu. Sekarang kau masih ingin menikah lagi?” seru Isabel dengan emosi.Isabel menumpahkan amarah dalam dirinya. Entah kenapa emosi dalam diri Isabel benar-benar tidaklah stabil. Dia langsung meledakkan emosinya, di hadapan wanita bernama Lena. Dia tak peduli. Kepingan ingatannya teringat akan kekejaman Inez, sampai membuat dirinya harus kehilangan kakak pertamanya.“Isabel—”“Dad, cukup. Aku tidak ingin mendengar apa pun penjelasan darimu. Aku tidak akan merestui kau menikah lagi. Sudah cukup kekejian Inez. Aku tidak mau hal buruk terulang kedua kalinya.” Isabel menyudahi makannya, dan langsung meninggalkan ruang
Setiap pagi Isabel selalu mual. Joseph sudah memaksanya untuk diperiksa ke dokter, tapi yang diinginkan wanita itu adalah pulang ke Madrid. Entah kenapa Isabel sekarang ingin sekali kembali ke Madrid. Pun kebetulan pekerjaan Joseph bisa dipantau dari jarak jauh. Jadi tidak masalah sama sekali, jika kembali ke Madrid.“Isabel, aku mohon kau harus periksa kondisimu ke dokter.” Joseph memaksa Isabel. “Joseph, aku tidak mau diperiksa dokter. Aku ingin pulang saja. Aku rindu rumah kita. Pekerjaanmu sudah selesai, kan? Ayo kita pulang, Sayang.” Isabel menatap Joseph dengan tatapan penuh permohonan.Joseph mengembuskan napas panjang. “Hazel, kau mual setiap pagi. Mungkin saja—”“Mungkin apa, Joseph?” tanya Isabel sedikit kesal.Joseph ingin menjawab, tapi belakangan ini sang istri sangatlah sensitive. Pun dia takut dugaannya salah, dan berujung membuat istrinya itu kecewa. Joseph memutuskan untuk tidak meneruskan ucapannya.“Baiklah, besok kita akan kembali ke Madrid.” Joseph membelai pipi