"Bos, ada yang nyariin tuh di luar. Cewek, cantik banget kek artis yang suka gue lihat di TV!" "Namanya siapa?" tanya Savian tanpa mengalihkan pandangannya pada layar komputer. Meski Jordi bilang yang mencarinya adalah cewek cantik tapi hal itu tidak berhasil mengusik fokus Savian dalam bekerja. Jordi menggaruk pelipisnya, "Yah, gue gak sempet nanya. Coba deh lo temuin dulu," ujar Jordi kemudian beranjak keluar dari ruangan sang atasan. Savian menghembuskan napas, ia menghempaskan punggungnya ke badan kursi lalu melepas kacamata tanpa bingkai yang bertengger di hidung bangirnya. Sebelum akhirnya pria itu memilih bangkit untuk menemui tamunya. Begitu keluar dari ruangan, kerutan langsung tercetak jelas di dahi Savian ketika melihat Alyssa yang berdiri menunggu dan menjadi pusat perhatian para pegawainya, terutama pegawai laki-laki yang ngeliriknya sambil senyum - senyum nakal. "Aly?" Savian berjalan menghampiri membuat para pegawainya langsung pura-pura sibuk dengan pekerjaannya l
"Mama?!"Carla yang hendak marah karena pintu flat nya diketuk jam dua malam mendadak sirna emosinya ketika melihat Mirda berdiri di depan pintu dengan wajah berantakan. Belum lagi keberadaan koper besar di belakang Mirda, seketika rasa kantuk Carla langsung hilang. Tanpa berkata apa-apa, Mirda membekap Carla erat, wanita itu menangis, merintih sedih di dalam pelukan sang anak, membuat Carla semakin dibuat kebingungan dengan tingkah Mirda saat ini. "Mama kenapa, Ma?" sambil mengusap punggung Mirda, Carla bertanya dengan cemas.Sebelum menunggu penjelasan dari Mirda, Carla memerintahkan sang Mama untuk masuk dan minum air putih lebih dulu agar ia jadi lebih tenang. "Mama berantem sama Papa?" Hanya itu yang ada dipikiran Carla sekarang. Pertengkaran dalam rumah tangga itu wajar, Carla sering melihat Mama dan Papanya berdebat ketika ia masih tinggal satu rumah dengan mereka. Tapi, sebesar apapun perdebatan keduanya, Mirda bukan tipe istri yang lebih memilih untuk minggat dari pada men
"Car, keluar dulu dong. Mama kamu udah bikinin sarapan masa nggak dimakan?" Savian membuang napas frustasi sebab tak mendapatkan respon apapun dari Carla yang sedang mengurung diri di dalam kamar. Wajah Savian semakin menurun melihat Mirda yang tampak cemas mengkhawatirkan kondisi anaknya di dalam sana. "Tante udah sarapan? tante sarapan aja dulu, biar Carla saya yang bujuk ya," ujar Savian dengan lembut, ini sudah agak siang, tapi sarapan yang Mirda buat tampak belum tersentuh sama sekali.Mirda menggelengkan kepalanya. Bagaimana ia bisa mengisi perut sedangkan Carla tidak ia ketahui kondisinya seperti apa di dalam kamar yang terkunci itu. Senyum menenangkan terbit dibibir Savian, meski saat ini yang mencemaskan Carla bukan hanya Mirda, dirinya pun sama. Tapi Savian berusaha terlihat tenang agar Mirda tidak semakin panik. "Mungkin semalam Carla bergadang, Tante. Jadi kayaknya masih tidur di kamar." Begitulah dongeng Savian, padahal pria itu tahu sejak satu tahun lalu Carla sudah
Sudah hari ketiga semenjak Mirda datang ke flat. Lalu malam ini, Carla kembali kedatangan tamu, Ozi, papa tirinya datang membawa wajah kesedihan. Carla yang tidak mau ikut campur memilih untuk pergi ke rumah Savian. Ia cukup peka dengan kondisi, tentu karena Mama dan Papanya butuh ruang untuk berbicara empat mata. "Mandi dulu sana," Baru saja Carla mendudukan diri di sofa empuk milik Savian, suara pria itu malah menginstruksinya membuat Carla mendengus jengkel mendengarnya. Ia baru pulang kerja setengah jam lalu, belum sempat mandi bahkan mengganti pakaian kerjanya. "Aku nggak bawa baju ganti," jawab Carla tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Savian menutup laptopnya, kemudian beranjak duduk di sebelah Carla. "Pakai baju aku aja," balasnya, Carla tetap menggelengkan kepala menolak. "Yasudah kalau nggak mau. Kamu juga tetap cantik walaupun belum mandi," Savian gunakan tangannya untuk merangkul Carla dan menarik gadis itu kedekapan. "Lagi chatan sama siapa?" tegur Sav
Hari berjalan dengan begitu cepat, hingga tidak terasa Savian dan Carla telah sampai di hari kebahagiaan mereka. Saat ini keduanya sudah berada diatas panggung pelaminan, bersalaman dengan para tamu undangan yang datang.Senyum kebahagiaan tidak kunjung luntur dari sepasang wajah pengantin baru itu. Badan langsing Carla yang terbalut kebaya jahitan tangan mertua dipadukan dengan wajah ayu miliknya, siapapun yang melihat pasti memuji keelokan rupa wanita itu. Savian sampai kesel sendiri melihat istrinya dipandangi oleh mata jelalatan para pejantan lain. "Untung kamu jadi pengantin cuma satu kali," bisik Savian ketika mereka memiliki waktu untuk duduk dan berbincang. Tamu mulai surut, beberapa beralih ke prasmanan dan photo booth yang telah disediakan. "Kenapa emangnya?" tanya Carla, sedikit sibuk merapikan kebayanya agar tidak rusak. Kebaya khusus yang dirancang dan dijahit dengan tangan sang mertua kesayangan, Carla bakal menangis tiga hari tiga malam kalau sampai robek. Menurutnya,
Savian membereskan meja kerjanya dengan semangat. Sudah waktunya pulang, ia jadi tidak sabar ingin sampai di rumah dan memeluk tubuh mungil istrinya. "Udah mau balik, Pak?" Jordi yang melihat Savian keluar dari ruangannya latah bertanya. Pasalnya, tidak ada gurat kelelahan seperti yang biasanya Savian ciptakan saat mau pulang. Dan juga, masih tersisa satu jam lagi sebelum jam pulang kantor.Savian menoleh, sepasang alisnya terangkat saat melihat para bawahannya masih bergelut dengan pekerjaannya masing-masing. "Iya. Kok kalian belum pada pulang?" tanya Savian bingung.Dengan kompak para bawahan melongo dan saling melempar pandang. Sudah jam pulang apanya!"Masih satu jam lagi kaliiii, pak!" Miera menimpali dengan jengkel. Savian selalu mengomel setiap ada bawahannya yang izin pulang sebelum jam kerja, tapi lihat apa yang ia lakukan sekarang. Kalau tidak ingat mencari kerjaan itu susah, mungkin mereka sudah kompak memaki-maki Savian.Mendengar ucapan Miera, Savian menaikan sebelah tan
Jam 5 pagi Carla sudah bangun dari tidurnya. Hal pertama yang cewek itu lakukan adalah tersenyum kecil sambil memandangi Savian yang pulas di sebelahnya. Tangan Carla bergerak, mengusap usil rahang tegas Savian. “Hmmm...” Yang disentuh terusik, sepasang mata mengantuk Savian terbuka perlahan, kemudian ia membawa Carla ke dalam pelukannya. “Masih gelap, tidur lagi.” titahnya dengan suara serak-serak basah. “Kebo!” sungut Carla sambil mencubit pipi Savian yang mulai mengembung, baru dua bulan pernikahan, tapi Savian sudah menampakan perubahan pada tubuhnya. Kalau kata Deica, ‘Berarti susunya cocok’.Padahal Savian sudah berhenti meminum susu kemasan apapun. Selain dari sumbernya langsung.“Mas, awas dulu!” sentak Carla karena Savian semakin mempererat pelukannya. Savian terkekeh kecil melihat wajah kesal Carla, “Mau ke mana sih, Sayang?” tanyanya mengejek, masih enggan melepaskan badan mungil sang istri dari dekapan. “Mau mandilah, badan aku lengket gini.” jawab Carla diakhiri dengu
"Mas, aku bingung deh." ujar Carla sambil sibuk menyiapkan bekal untuk Savian. Sementara suaminya itu sedang fokus main ponsel sambil minum kopi di pantri."Bingung kenapa, Sayang?" tanya Savian tanpa mengalihkan pandangannya dari layar benda pipih di tangan."Tabungan aku udah cukup buat beliin Mama rumah, meskipun bukan rumah yang besar sih. Tapi di sisi lain aku nggak tega biarin Mama tinggal sendirian." jawabnya. Semenjak menikah, Carla tinggal di rumah Savian. Sementara Mamanya tinggal sendirian di flat sebab Mirda sudah resmi bercerai dengan Ozi setelah Carla menang di pengadilan saat sidang kasus pelecehan dengan Genta."Sejak kamu tinggal sama aku, Mama tinggal sendirian bukan?" balas Savian."Ya tapikan cuma beda blok aja jarak rumah kita sama flat."Savian manggut-manggut, ia menyesap kopinya sesaat lalu bersuara lagi. "Aku gak masalah kok kalau Mama mau tinggal di sini sama kita. Lagian masih ada dua kamar kosong, kan?" Kontan Carla menoleh ke Savian, sepasang mata coklat
Tidak seperti kemarin, pagi ini Keina ikut sholat subuh bersama Kahfi di rumah. Berbeda dari hari biasanya, entah kenapa rasanya pagi ini kantuk tidak begitu menghantui. Meski gadis itu kembali goleran di atas ranjang tidur, namun telinganya dia pasang lebar-lebar untuk mendengar suara syahdu Kahfi yang sedang membaca kitab suci Al-Qur'an.Tepat pukul enam pagi, Kahfi menutup kitabnya dan bersiap untuk membuat sarapan. Tak lupa dia mengganti pakaian santainya dengan pakaian kantor supaya habis sarapan dia bisa langsung berangkat kerja.Mendengar suara pintu yang tertutup, Keina mengangkat kepalanya. Dia melempar ponsel yang sejak tadi menempel ditangan, dengan terburu-buru gadis itu mengikuti jejak sang suami.Keina berjalan mendekati tanpa mengatakan apapun, Kahfi yang sudah mulai memasak sempat mennatapnya sejenak, tapi tak ada pertanyaan apapun yang meluncur dari bibir pria itu."Aku buatkan kopi ya buat kakak?" tanya Keina sembari berdiri di sebelah Kahfi yang sibuk memotong sayur
Tidak seperti seorang istri pada umumnya yang bangun tidur langsung bergelut di dapur. Rumah tangga Kahfi dan Keina justru berbanding balik dari hal itu. Disaat Keina masih terlelap begitu nyenyak di atas ranjang, Kahfi sudah sibuk di dapur membuat sarapan.Selesai menata dua piring nasi goreng telur ceplok di atas meja, Kahfi kembali berjalan menuju kamar untuk membangunkan istrinya."Sudah bangun, Na?" ujar Kahfi menghampiri Keina yang ternyata sudah terjaga. Namun gadis itu masih rebahan di atas ranjang sambil memainkan ponselnya.Mendapati Kahfi yang datang, Keina lantas mengusap wajahnya dan meletakan ponselnya ke nakas. "Belum berangkat kerja, Kak?" "Berangkat nanti setelah kita sarapan. Ayo bangun, sarapan dulu." Tak sedikitpun Kahfi merasa kesal melihat Keina yang masih santai-santai di jam segini. Dia memahami keadaan gadis itu yang habis menempuh perjalanan jauh semalam, apalagi Keina sedang berbadan dua, jadi harus banyak beristirahat.Selepas membasuh wajah, Keina duduk d
"Kalau aku boleh tahu, apa Kak Kahfi pernah pacaran?" Mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir istrinya, Kahfi hampir saja tersedak kopi. Beruntung dia bisa mengontrol diri. Kekehan kecil dia keluarkan, ada rasa gelitik manakala suara istrinya tertangkap telinga. Ya, masalahnya, tumben banget Keina penasaran dengan kehidupan Kahfi. Padahal biasanya gadis itu cuek bebek dan seakan tidak peduli apapun tentang suaminya."Tumben kamu nanya begitu?" Wajah tampan itu langsung mengibarkan sebuah cengiran yang membuat Keina spontan mengalihkan pandangan. Mungkin takut terpesona akan ketampanan suami yang tidak dia cintai itu."Ya, kalau enggak mau jawab gakpapa!" Keina kembali ke mode jutek. Entah ada angin apa, tiba-tiba saja dia mau bergabung bersama Kahfi untuk menghirup udara pagi di balkon kama.r. Sepertinya hari ini suasana hati Kahfi akan bagus seharian sebab sang istri mengalami perubahan, meski tidak terlalu signifikan.Menurutnya, dengan cara bicara Keina yang jadi lebih lembut
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be
Kahfi mengelus bibirnya dengan kedua mata tertuju pada ponsel digenggaman. Biasanya di jam-jam segini pria itu sibuk dengan laptop dan pekerjaan, meskipun pekerjaannya sudah selesai tapi dia pasti selalu bertanya ke Sekretarisnya apakah ada pekerjaan yang bisa dia selesaikan saat itu. Namun untuk kali ini Kahfi memilih untuk korupsi waktu, entah kenapa dia lebih memilih untuk berperang dengan isi kepalanya sendiri daripada menandatangi berkas-berkas.Pria dengan kemeja abu-abu itu merenggangkan dasinya. Tangan kanan Kahfi memegang ponsel yang hanya dia tatapi sejak setengah jam lalu, sementara tangan lainnya memutar-mutar bolpoint. Nama sang istri yang asik berlarian di kepalanya menjadi alasan kenapa pria itu asik dengan dunianya sendiri. Kahfi melirik arloji dipergelangan tangannya, jam satu siang. Kalau dia telepon Keina dan bertanya apakah istrinya itu sudah sholat dzuhur dan makan siang, apa Keina akan merasa terganggu? Mengingat bagaimana respon Keina saat ia telepon tadi pagi,