Jam 5 pagi Carla sudah bangun dari tidurnya. Hal pertama yang cewek itu lakukan adalah tersenyum kecil sambil memandangi Savian yang pulas di sebelahnya. Tangan Carla bergerak, mengusap usil rahang tegas Savian. “Hmmm...” Yang disentuh terusik, sepasang mata mengantuk Savian terbuka perlahan, kemudian ia membawa Carla ke dalam pelukannya. “Masih gelap, tidur lagi.” titahnya dengan suara serak-serak basah. “Kebo!” sungut Carla sambil mencubit pipi Savian yang mulai mengembung, baru dua bulan pernikahan, tapi Savian sudah menampakan perubahan pada tubuhnya. Kalau kata Deica, ‘Berarti susunya cocok’.Padahal Savian sudah berhenti meminum susu kemasan apapun. Selain dari sumbernya langsung.“Mas, awas dulu!” sentak Carla karena Savian semakin mempererat pelukannya. Savian terkekeh kecil melihat wajah kesal Carla, “Mau ke mana sih, Sayang?” tanyanya mengejek, masih enggan melepaskan badan mungil sang istri dari dekapan. “Mau mandilah, badan aku lengket gini.” jawab Carla diakhiri dengu
"Mas, aku bingung deh." ujar Carla sambil sibuk menyiapkan bekal untuk Savian. Sementara suaminya itu sedang fokus main ponsel sambil minum kopi di pantri."Bingung kenapa, Sayang?" tanya Savian tanpa mengalihkan pandangannya dari layar benda pipih di tangan."Tabungan aku udah cukup buat beliin Mama rumah, meskipun bukan rumah yang besar sih. Tapi di sisi lain aku nggak tega biarin Mama tinggal sendirian." jawabnya. Semenjak menikah, Carla tinggal di rumah Savian. Sementara Mamanya tinggal sendirian di flat sebab Mirda sudah resmi bercerai dengan Ozi setelah Carla menang di pengadilan saat sidang kasus pelecehan dengan Genta."Sejak kamu tinggal sama aku, Mama tinggal sendirian bukan?" balas Savian."Ya tapikan cuma beda blok aja jarak rumah kita sama flat."Savian manggut-manggut, ia menyesap kopinya sesaat lalu bersuara lagi. "Aku gak masalah kok kalau Mama mau tinggal di sini sama kita. Lagian masih ada dua kamar kosong, kan?" Kontan Carla menoleh ke Savian, sepasang mata coklat
Carla menghembuskan napasnya mendapati Savian yang masih bergelut dengan berkas-berkas dan laptop di ruang kerja. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah lewat dari waktu tidur, tapi lihat apa yang sedang suaminya itu lakukan?"Mas, ayo tidur." Carla tidak suka ranjangnya terasa dingin karena Savian tidak ada di sana.Sejenak Savian melepas fokusnya, ia menatap Carla dengan raut wajah bersalah. "Kamu duluan aja ya, Sayang, aku masih ada kerjaan." ini sudah peringatan kedua dari istrinya, tapi jawaban Savian masih tetap sama. Masih ada kerjaan.Akhir-akhir ini Savian sering bergadang demi pekerjaannya. Meski tidak begitu sering, tapi tetap saja Carla mengkhawatirkan kesehatan suaminya itu. "Bisa dilanjut besok, Mas. Lagian kamu besok juga kerja, harus bangun pagi." rengek Carla memohon. Ia bagai anak kecil yang meminta Ibunya untuk menemaninya tidur.Hembusan napas panjang Savian keluarkan, "Nggak bisa, Sayang. Harus diselesaiin malam ini juga." kekeh Savian keras kepala.Gan
"Tumben nggak bawa bekel, Pak?" Jordi bertanya, menatap bingung kehadiran Savian di antara teman kantornya yang sedang menikmati makan siang di sebuah restoran Padang."Istri gue lagi sibuk, jadi nggak sempet masak." jawab Savian sembari memasukan tangannya ke dalam air kobokan.Sebenarnya tadi pagi Carla menawarkan Savian untuk membawa bekal, tapi Savian menolak karena tidak tega. Sejak kemarin istrinya itu sibuk membantu keluarga Alvero menyiapkan acara lamaran Jovan yang terlaksana hari ini. Makanya Savian sengaja membiarkan Carla istirahat sebelum kembali ke rumah Alvero lagi.Jordi manggut-manggut. Pria itu mulai memakan makan siangnya sambil memainkan ponsel di tangan. Ciri khas anak jaman sekarang, nggak bisa lepas dari ponsel. "Pak, bini lo lagi sama siapa nih?" wajah Jordi sedikit panik, ia menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Savian.Savian hanya melirik ponsel Jordi sekilas, menampakan sebuah foto selfie Carla dan Alvero yang Alvero posting di i***a story, lalu Carla ikut
"Loh kalian udah saling kenal?"Carla membatu di tempat saat Shasha berhambur ke pelukan Savian tanpa permisi. Rasa terkejut dan bingung menjadi satu. Melihat interaksi seperti itu, Carla yakin mereka pernah saling kenal. Namun sejauh apa hubungan mereka sampai harus berpelukan di hadapannya?Tidak jauh berbeda dengan reaksi Carla, Savian pun sempat mematung saat mendapatkan pelukan tiba-tiba dari Shasha, namun ia segera tersadar saat melihat gurat Carla yang menyendu, Savian lantas mendorong pelan tubuh Shasha untuk menjauh. Kemudian menarik Carla ke dalam rangkulannya kembali. "Kamu apa kabar, Sha?" tanya Savian dengan suara bergetar. Ada perasaan sesak di dadanya saat bertemu kembali dengan Shasha, ia seperti berkelana ke masa lalu yang sebenarnya tidak ingin Savian ingat lagi."Savian?" satu suara lain memanggil. Membuat Savian dan Carla spontan menoleh ke sumber suara, mendapati orang tua dari Shasha yang tengah berjalan menghampiri mereka dengan raut kaku
Pada akhirnya, Carla berangkat ke Bandung sendirian. Savian baru di kabarkan oleh Miera kalau pagi ini dia ada meeting dengan klien. Mau tidak mau Savian membiarkan Carla pergi diantar oleh supir kantornya. Savian khawatir kalau Carla naik kendaraan umum atau taksi online.Usai sarapan bareng Savian, Carla berangkat ke Bandung dan sampai di rumah Mama mertuanya pada siang hari. Kirana membiarkan Carla untuk istirahat lebih dulu di kamar Savian. Ketika sore tiba, Carla terbangun dari tidurnya."Sudah bangun, Sayang?" Carla melukis senyum mendengar pertanyaan dari suara merdu itu. Ia lantas berjalan ke ruang makan, tempat Kirana berada sekarang."Mama masak?" tanya Carla sembari berdiri di samping Kirana yang sibuk menata lauk pauk di atas meja makan."Iya. Kan mantu kesayangan Mama datang, harus di kasih makan enak dong." jawabnya sambil tersenyum cerah. "Ah, Mama..." Carla peluk pinggang Kirana lalu bergelayut manja. "Mbok ke mana, Ma?" pandangan Carla mengedar, mencari keberadaan A
Unknown: Mas Savian, ini aku Shasha. Maaf karena aku lancang minta kontak mas Savian dari Alvero.Savian yang baru saja selesai meeting dengan kliennya harus menghembuskan napas panjang usai membaca pesan dari nomor tak di kenal. Yang ternyata nomor Shasha. Ada kepentingan apa Shasha menghubunginya?Dengan malas Savian mengetik balasan."Ada apa, Sha?" Sambil menunggu balasan —yang sebenarnya tidak Savian tunggu, Savian mengetik pesan ke Carla. Istrinya itu ternyata masih di jalan. Mungkin satu jam lagi akan sampai di tempat tujuan.Shasha: Aku cerita ke Mbak Kaluna kalau Mama ketemu sama Mas Savian. Dan Mbak Kaluna minta ketemu sama mas. Hembusan napas panjang Savian kembali terdengar. Apa ini akan menjadi awal kerikil di rumah tangganya? Tapi, seharusnya Savian tidak perlu khawatir jika memang Kaluna sudah tidak berarti apa-apa lagi untuknya, Savian harus bersikap biasa saja, kan?"Bertemu untuk kepentingan apa, Sha?" Itu balasan yang Savian kiri
Sabtu adalah hari bebas untuk sebagian besar orang. Sesuai dengan janjinya, hari ini Savian akan pergi ke Bandung untuk menjemput istrinya itu pulang. 4 hari tidak bertemu Carla membuat rasa rindu Savian membuncah. Sebenarnya di hari kedua mereka berpisah, Savian sempat menyesali keputusannya untuk menyuruh Carla menemani Mamanya di Bandung. Hari terasa lebih panjang dan membosankan tanpa Carla di rumah, untuklah Sabtu sudah datang.Mobil Savian berhenti di depan halaman rumah orang tuanya, ia melukis senyum bahagia saat melihat Carla keluar dari dalam rumah dan berjalan menghampirinya sambil tersenyum senang. "Mas..." tubuh Savian terasa hangat saat Carla memeluknya begitu ia keluar dari mobil. "Kangen..." lirih Carla sambil menenggelamkan wajahnya di dada bidang Savian."Aku juga." Savian menjawab setelah menjatuhkan kecupan dalamnya di kepala Carla. Wangi khas Carla dan kehangat seperti ini yang Savian rindukan selama 4 hari. "Bawa apa, Kak?" Deica datang menghampiri, membuat pa
"Sayang, ini Likha, Sekretarisku." Keina menyambut kedatangan suaminya dengan senyum canggung. Pasalnya, untuk pertama kali setelah mereka menikah, Kahfi memperkenalkan dirinya dengan teman kantor pria itu. Padahal saat mereka menikah tidak ada satupun teman kerja Kahfi yang datang, bahkan Keina sempat mengira kalau Kahfi menyembuyikan status barunya sebagai seorang pria yang telah beristri. Well, Keina tahu tabiat pria, meski tidak bisa disamaratakan, namun kebanyakan pria yang sudah menikah kerap terlibat skandal perselingkuhan dengan rekan kantornya sendiri."Halo, Keina..." Gadis itu menyodorkan tangannya seraya tersenyum kikuk.Yang segera Likha sambut dengan ramah, sesaat mereka berjabat tangan. "Likha," balasnya lalu melepaskan jabatan tangan mereka."Mari masuk--- Kak," Keina menggeser tubuhnya dari depan pintu, memberi akses untuk Kahfi dan Likha masuk ke dalam. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal, bingung harus memanggil Likha apa. Jelas umurnya lebih muda dari wanita i
Tidak seperti kemarin, pagi ini Keina ikut sholat subuh bersama Kahfi di rumah. Berbeda dari hari biasanya, entah kenapa rasanya pagi ini kantuk tidak begitu menghantui. Meski gadis itu kembali goleran di atas ranjang tidur, namun telinganya dia pasang lebar-lebar untuk mendengar suara syahdu Kahfi yang sedang membaca kitab suci Al-Qur'an.Tepat pukul enam pagi, Kahfi menutup kitabnya dan bersiap untuk membuat sarapan. Tak lupa dia mengganti pakaian santainya dengan pakaian kantor supaya habis sarapan dia bisa langsung berangkat kerja.Mendengar suara pintu yang tertutup, Keina mengangkat kepalanya. Dia melempar ponsel yang sejak tadi menempel ditangan, dengan terburu-buru gadis itu mengikuti jejak sang suami.Keina berjalan mendekati tanpa mengatakan apapun, Kahfi yang sudah mulai memasak sempat mennatapnya sejenak, tapi tak ada pertanyaan apapun yang meluncur dari bibir pria itu."Aku buatkan kopi ya buat kakak?" tanya Keina sembari berdiri di sebelah Kahfi yang sibuk memotong sayur
Tidak seperti seorang istri pada umumnya yang bangun tidur langsung bergelut di dapur. Rumah tangga Kahfi dan Keina justru berbanding balik dari hal itu. Disaat Keina masih terlelap begitu nyenyak di atas ranjang, Kahfi sudah sibuk di dapur membuat sarapan.Selesai menata dua piring nasi goreng telur ceplok di atas meja, Kahfi kembali berjalan menuju kamar untuk membangunkan istrinya."Sudah bangun, Na?" ujar Kahfi menghampiri Keina yang ternyata sudah terjaga. Namun gadis itu masih rebahan di atas ranjang sambil memainkan ponselnya.Mendapati Kahfi yang datang, Keina lantas mengusap wajahnya dan meletakan ponselnya ke nakas. "Belum berangkat kerja, Kak?" "Berangkat nanti setelah kita sarapan. Ayo bangun, sarapan dulu." Tak sedikitpun Kahfi merasa kesal melihat Keina yang masih santai-santai di jam segini. Dia memahami keadaan gadis itu yang habis menempuh perjalanan jauh semalam, apalagi Keina sedang berbadan dua, jadi harus banyak beristirahat.Selepas membasuh wajah, Keina duduk d
"Kalau aku boleh tahu, apa Kak Kahfi pernah pacaran?" Mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir istrinya, Kahfi hampir saja tersedak kopi. Beruntung dia bisa mengontrol diri. Kekehan kecil dia keluarkan, ada rasa gelitik manakala suara istrinya tertangkap telinga. Ya, masalahnya, tumben banget Keina penasaran dengan kehidupan Kahfi. Padahal biasanya gadis itu cuek bebek dan seakan tidak peduli apapun tentang suaminya."Tumben kamu nanya begitu?" Wajah tampan itu langsung mengibarkan sebuah cengiran yang membuat Keina spontan mengalihkan pandangan. Mungkin takut terpesona akan ketampanan suami yang tidak dia cintai itu."Ya, kalau enggak mau jawab gakpapa!" Keina kembali ke mode jutek. Entah ada angin apa, tiba-tiba saja dia mau bergabung bersama Kahfi untuk menghirup udara pagi di balkon kama.r. Sepertinya hari ini suasana hati Kahfi akan bagus seharian sebab sang istri mengalami perubahan, meski tidak terlalu signifikan.Menurutnya, dengan cara bicara Keina yang jadi lebih lembut
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be