Carla menghembuskan napasnya mendapati Savian yang masih bergelut dengan berkas-berkas dan laptop di ruang kerja. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, sudah lewat dari waktu tidur, tapi lihat apa yang sedang suaminya itu lakukan?"Mas, ayo tidur." Carla tidak suka ranjangnya terasa dingin karena Savian tidak ada di sana.Sejenak Savian melepas fokusnya, ia menatap Carla dengan raut wajah bersalah. "Kamu duluan aja ya, Sayang, aku masih ada kerjaan." ini sudah peringatan kedua dari istrinya, tapi jawaban Savian masih tetap sama. Masih ada kerjaan.Akhir-akhir ini Savian sering bergadang demi pekerjaannya. Meski tidak begitu sering, tapi tetap saja Carla mengkhawatirkan kesehatan suaminya itu. "Bisa dilanjut besok, Mas. Lagian kamu besok juga kerja, harus bangun pagi." rengek Carla memohon. Ia bagai anak kecil yang meminta Ibunya untuk menemaninya tidur.Hembusan napas panjang Savian keluarkan, "Nggak bisa, Sayang. Harus diselesaiin malam ini juga." kekeh Savian keras kepala.Gan
"Tumben nggak bawa bekel, Pak?" Jordi bertanya, menatap bingung kehadiran Savian di antara teman kantornya yang sedang menikmati makan siang di sebuah restoran Padang."Istri gue lagi sibuk, jadi nggak sempet masak." jawab Savian sembari memasukan tangannya ke dalam air kobokan.Sebenarnya tadi pagi Carla menawarkan Savian untuk membawa bekal, tapi Savian menolak karena tidak tega. Sejak kemarin istrinya itu sibuk membantu keluarga Alvero menyiapkan acara lamaran Jovan yang terlaksana hari ini. Makanya Savian sengaja membiarkan Carla istirahat sebelum kembali ke rumah Alvero lagi.Jordi manggut-manggut. Pria itu mulai memakan makan siangnya sambil memainkan ponsel di tangan. Ciri khas anak jaman sekarang, nggak bisa lepas dari ponsel. "Pak, bini lo lagi sama siapa nih?" wajah Jordi sedikit panik, ia menunjukkan layar ponselnya ke hadapan Savian.Savian hanya melirik ponsel Jordi sekilas, menampakan sebuah foto selfie Carla dan Alvero yang Alvero posting di i***a story, lalu Carla ikut
"Loh kalian udah saling kenal?"Carla membatu di tempat saat Shasha berhambur ke pelukan Savian tanpa permisi. Rasa terkejut dan bingung menjadi satu. Melihat interaksi seperti itu, Carla yakin mereka pernah saling kenal. Namun sejauh apa hubungan mereka sampai harus berpelukan di hadapannya?Tidak jauh berbeda dengan reaksi Carla, Savian pun sempat mematung saat mendapatkan pelukan tiba-tiba dari Shasha, namun ia segera tersadar saat melihat gurat Carla yang menyendu, Savian lantas mendorong pelan tubuh Shasha untuk menjauh. Kemudian menarik Carla ke dalam rangkulannya kembali. "Kamu apa kabar, Sha?" tanya Savian dengan suara bergetar. Ada perasaan sesak di dadanya saat bertemu kembali dengan Shasha, ia seperti berkelana ke masa lalu yang sebenarnya tidak ingin Savian ingat lagi."Savian?" satu suara lain memanggil. Membuat Savian dan Carla spontan menoleh ke sumber suara, mendapati orang tua dari Shasha yang tengah berjalan menghampiri mereka dengan raut kaku
Pada akhirnya, Carla berangkat ke Bandung sendirian. Savian baru di kabarkan oleh Miera kalau pagi ini dia ada meeting dengan klien. Mau tidak mau Savian membiarkan Carla pergi diantar oleh supir kantornya. Savian khawatir kalau Carla naik kendaraan umum atau taksi online.Usai sarapan bareng Savian, Carla berangkat ke Bandung dan sampai di rumah Mama mertuanya pada siang hari. Kirana membiarkan Carla untuk istirahat lebih dulu di kamar Savian. Ketika sore tiba, Carla terbangun dari tidurnya."Sudah bangun, Sayang?" Carla melukis senyum mendengar pertanyaan dari suara merdu itu. Ia lantas berjalan ke ruang makan, tempat Kirana berada sekarang."Mama masak?" tanya Carla sembari berdiri di samping Kirana yang sibuk menata lauk pauk di atas meja makan."Iya. Kan mantu kesayangan Mama datang, harus di kasih makan enak dong." jawabnya sambil tersenyum cerah. "Ah, Mama..." Carla peluk pinggang Kirana lalu bergelayut manja. "Mbok ke mana, Ma?" pandangan Carla mengedar, mencari keberadaan A
Unknown: Mas Savian, ini aku Shasha. Maaf karena aku lancang minta kontak mas Savian dari Alvero.Savian yang baru saja selesai meeting dengan kliennya harus menghembuskan napas panjang usai membaca pesan dari nomor tak di kenal. Yang ternyata nomor Shasha. Ada kepentingan apa Shasha menghubunginya?Dengan malas Savian mengetik balasan."Ada apa, Sha?" Sambil menunggu balasan —yang sebenarnya tidak Savian tunggu, Savian mengetik pesan ke Carla. Istrinya itu ternyata masih di jalan. Mungkin satu jam lagi akan sampai di tempat tujuan.Shasha: Aku cerita ke Mbak Kaluna kalau Mama ketemu sama Mas Savian. Dan Mbak Kaluna minta ketemu sama mas. Hembusan napas panjang Savian kembali terdengar. Apa ini akan menjadi awal kerikil di rumah tangganya? Tapi, seharusnya Savian tidak perlu khawatir jika memang Kaluna sudah tidak berarti apa-apa lagi untuknya, Savian harus bersikap biasa saja, kan?"Bertemu untuk kepentingan apa, Sha?" Itu balasan yang Savian kiri
Sabtu adalah hari bebas untuk sebagian besar orang. Sesuai dengan janjinya, hari ini Savian akan pergi ke Bandung untuk menjemput istrinya itu pulang. 4 hari tidak bertemu Carla membuat rasa rindu Savian membuncah. Sebenarnya di hari kedua mereka berpisah, Savian sempat menyesali keputusannya untuk menyuruh Carla menemani Mamanya di Bandung. Hari terasa lebih panjang dan membosankan tanpa Carla di rumah, untuklah Sabtu sudah datang.Mobil Savian berhenti di depan halaman rumah orang tuanya, ia melukis senyum bahagia saat melihat Carla keluar dari dalam rumah dan berjalan menghampirinya sambil tersenyum senang. "Mas..." tubuh Savian terasa hangat saat Carla memeluknya begitu ia keluar dari mobil. "Kangen..." lirih Carla sambil menenggelamkan wajahnya di dada bidang Savian."Aku juga." Savian menjawab setelah menjatuhkan kecupan dalamnya di kepala Carla. Wangi khas Carla dan kehangat seperti ini yang Savian rindukan selama 4 hari. "Bawa apa, Kak?" Deica datang menghampiri, membuat pa
Sambil mengusak rambut basahnya menggunakan handuk, Savian berjalan menuju lemari pakaian. Ia melepas handuk yang melilit setengah badannya lalu memakai baju tidurnya yang sudah istrinya siapkan.Usai berpakaian lengkap, Savian berjalan menuju nakas. Meraih ponsel sembari melirik Carla yang anteng tengkurap di atas ranjang dengan laptop di hadapannya."Tadi Miera telepon," celetuk Carla membuat Savian menahan pandangan ke arahnya."Ban mobilnya Miera bocor. Jadi aku suruh dia ke sini nya besok aja." lanjutnya membuat Savian memijat pangkal hidungnya, nampak frustrasi. "Kan bisa suruh dia naik ojol. Kamu gimana sih! kenapa nggak ngomong dulu sama aku?" sentaknya kesal. Sepasang mata Savian mulai menajam, lengkap dengan rahangnya yang sedikit mengeras. Tidak biasanya Carla ikut campur dengan pekerjaannya, apa lagi mengambil keputusan tanpa bertanya lebih dulu. Carla menghembuskan napas pelan. Ia menegakkan badannya dan menatap Savian dengan jengkel. "Kamu tau nggak sekarang jam berap
"Tapi apa nggak kegedean beli rumah yang ini. Tante cuma tinggal sendiri, kan?" "Tapikan harganya murah, Al. Tante aja kaget lihat rumah gede harganya segitu, apa lagi di Jakarta. Lagi jual butuh, Al?" sahut Mirda yang duduk tenang di kursi belakang.Alvero melirik Mirda lewat kaca. "Iya, di jual karena cerai sama suaminya. Itu yang punya rumah kakaknya calonnya bang Jovan." Meski terlampau fokus pada layar ponselnya, tapi telinga Carla tidak budeg untuk tidak menangkap apa yang barusan Alvero katanya. Dalam sekejap Carla menoleh ke Alvero dengan kening mengernyit. "Kakaknya Shasha maksud kamu?"Alvero menoleh diiringi anggukan singkat. "Rumahnya baru direnovasi padahal, tapi namanya musibah nggak ada yang tau." Carla terdiam. Tadinya ia cukup senang karena menemukan rumah murah di Jakarta, apa lagi rumahnya bagus dan cukup besar. Tapi setelah tau akan hal lainnya, Carla jadi bingung.Apa yang sedang Tuhan rencanakan hingga membawanya masuk ke dalam ranah masa lalu Savian? Apa na
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be
Kahfi mengelus bibirnya dengan kedua mata tertuju pada ponsel digenggaman. Biasanya di jam-jam segini pria itu sibuk dengan laptop dan pekerjaan, meskipun pekerjaannya sudah selesai tapi dia pasti selalu bertanya ke Sekretarisnya apakah ada pekerjaan yang bisa dia selesaikan saat itu. Namun untuk kali ini Kahfi memilih untuk korupsi waktu, entah kenapa dia lebih memilih untuk berperang dengan isi kepalanya sendiri daripada menandatangi berkas-berkas.Pria dengan kemeja abu-abu itu merenggangkan dasinya. Tangan kanan Kahfi memegang ponsel yang hanya dia tatapi sejak setengah jam lalu, sementara tangan lainnya memutar-mutar bolpoint. Nama sang istri yang asik berlarian di kepalanya menjadi alasan kenapa pria itu asik dengan dunianya sendiri. Kahfi melirik arloji dipergelangan tangannya, jam satu siang. Kalau dia telepon Keina dan bertanya apakah istrinya itu sudah sholat dzuhur dan makan siang, apa Keina akan merasa terganggu? Mengingat bagaimana respon Keina saat ia telepon tadi pagi,
Mas Kahfi: Assamu'alaikum, Na... Selamat pagi.Mas Kahfi: Hari ini kesiangan enggak sholat subuhnya? Oh iya, jangan telat sarapan, ya.Keina yang baru membuka kedua matanya dan tak sengaja mendapati pop-up pesan dari Kahfi lantas berdecih. Entah kenapa pesan manis itu terlihat menjijikan untuknya. Typing Kahfi benar-benar menggambarkan sosok bapak-bapak yang sudah tua, sangat berbeda dengan Keina yang terbiasa menerima pesan dengan typing gaul dari teman-teman sepantarannya.Tanpa berniat membalas pesan dari suaminya itu, Keina lantas meletakan kembali ponselnya ke atas nakas. Sejenak dia merenggangkan otot-otot badannya sebelum menyibak selimut dan turun dari ranjang. Gadis dengan setelan piyama biru muda itu berjalan menuju jendela kamarnya, membuka ventilasi udara dan menghirup banyak-banyak udara yang belum terkontaminasi polusi.Kepala Keina menoleh ke belakang, melirik jam dinding. Ternya masih pukul enam pagi. Sejujurnya, ini momen langka karena Keina bisa bangun disaat matahar
Menepati janjinya, selepas sholat dzuhur Kahfi membawa Keina ke rumah Galih untuk silahturahmi sekaligus mengenalkan istri cantiknya itu. Tentu saja, Galih dan istrinya menyambut dengan baik kedatangan keduanya. Ya, meski gagal menjadikan Kahfi sebagai menantu mereka, tapi hubungan keluarga Galih dengan Kahfi tetap baik. Mereka juga banyak memuji Keina yang katanya cantik. Usai berbincang kecil selama kurang lebih setengah jam, Kahfi dan Keina harus pamit karena mereka harus pergi mengejar jam penerbangan pesawat ke Jakarta yang sudah mereka pesan siang ini. Ya, hari ini Keina akan kembali ke Jakarta, jika gadis itu menepati janjinya, maka dia akan kembali lagi bulan depan untuk menetap selamanya bersama Kahfi di kota ini."Sudah dicek lagi barang-barang kamu? Ada yang ketinggalan enggak?" tanya Kahfi seraya mengambil alih tas besar yang sedang Keina bawa. Lantas dia menaruhnya ke dalam bagasi mobil."Enggak ada, Kak," jawab Keina.Kahfi mengangguk, dia lantas membukakan pintu penump
"Mas Kahfi, tumben sudah dua hari saya enggak lihat mas Kahfi jamaah di sini,"Kahfi yang baru saja melangkah keluar dari pintu masjid langsung menghentikan tungkainya, dia berbalik badan dan mendapati Pak Galih yang melempar pertanyaan kepadanya.Sebelum menjawab, Kahfi lebih dulu menyalami tangan pria paruhbaya itu. Dia cukup dekat dengan Pak Galih selaku ketua RT dikompleknya. Apalagi mereka sama-sama jamaah tetap di masjid, jadi setiap hari pasti bertemu."Iya, Pak, kemarin saya habis dari Jakarta," jawab Kahfi dengan senyuman di wajah teduhnya. "Oh iya, Pak, rencananya pagi ini saya mau ke rumah bapak," imbuh Kahfi sambil melangkah menuju halaman masjid. Tentu saja, tungkai Galih juga mengiringi."Ada apa, mas?" Galih bertanya sambil memakai sandal jepitnya.Kahfi menahan senyum, sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan situasi seperti ini, dijalan menuju arah pulang. Meskipun jalanan sedang sepi dan hanya ada beberapa orang yang juga baru keluar dari masjid selepas sholat sub