Pertandingan sepakbola selalu menjadi acara yang dinanti-nantikan oleh banyak orang, tak terkecuali bagi Laksmi dan Jaka. Di tengah jadwal kerja yang padat, mereka berdua memutuskan untuk meluangkan waktu dan menonton pertandingan sepakbola bersama, meski dengan perasaan campur aduk. Pertandingan ini bukan hanya soal tim favorit yang bertanding, tetapi juga tentang bagaimana mereka bisa menikmati waktu bersama di luar lingkungan kerja.Stadion yang penuh sesak dengan para penggemar menciptakan atmosfer yang meriah dan bersemangat. Suara sorak-sorai, teriakan, dan nyanyian dari para suporter menggema di seluruh arena. Laksmi dan Jaka tiba di stadion dengan langkah penuh semangat, mengenakan atribut tim favorit mereka. Laksmi mengenakan syal berwarna biru, sementara Jaka dengan kaos merah menyala, menunjukkan dukungan mereka untuk tim yang berbeda."Mungkin kita seharusnya tidak duduk bersebelahan," canda Jaka, melihat perbedaan warna syal dan kaos mereka.Laksmi tersenyum tipis. "Oh, j
Laksmi duduk di ujung sofa berwarna krem di ruang tamu mereka yang terpencil di pinggiran kota. Dia menatap layar laptopnya dengan intensitas yang jarang terlihat oleh Jaka dalam beberapa bulan terakhir ini. Perasaan tegang dan berat merayapi hatinya, membuatnya sulit untuk bernapas. Dia tahu hari ini adalah hari yang dia tidak ingin alami.Beberapa tahun lalu, ketika mereka menikah, segalanya terasa begitu cerah. Laksmi dan Jaka adalah pasangan yang serasi. Mereka bertemu di kampus saat keduanya sedang mengejar mimpi mereka menjadi pengacara. Cinta mereka tumbuh di tengah-tengah belajar hukum, diwarnai dengan mimpi-mimpi masa depan yang penuh harapan.Namun, seperti yang sering terjadi dalam hidup, mimpi itu tidak selalu berlangsung selamanya.FlashbackKampus hukum pagi itu ramai dengan mahasiswa yang terburu-buru menuju kelas mereka. Di lorong yang sibuk itu, dua orang muda berdiri berdampingan: Laksmi dengan rambut hitam panjangnya yang terikat rapi ke belakang, dan Jaka dengan se
Laksmi menatap layar laptopnya dengan serius, mencoba memusatkan perhatian pada laporan kasus yang harus dia selesaikan untuk pertemuan besar sore ini. Ruangan rapat tempatnya duduk terletak di ujung lorong panjang di lantai tujuh gedung kantor hukum yang megah. Sebagai salah satu pengacara terkemuka di firma ini, Laksmi terbiasa dengan kegiatan sehari-hari yang sibuk dan tekanan yang tak terelakkan dari pekerjaannya.Saat dia mengetik dengan cepat, fokusnya terganggu oleh kehadiran seseorang yang duduk di sudut ruangan. Jaka. Mantan suaminya. Dia tidak sengaja melihat ke arahnya ketika rekan kerja Jaka datang berbicara dengannya dengan antusias, sementara Jaka sendiri duduk dengan tatapan hampa, berusaha menenangkan diri di tengah keriuhan kantor yang ramai.Laksmi menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menyergapnya. Ini adalah pertemuan pertama mereka sejak mereka bercerai tiga bulan yang lalu. Setelah perceraian yang sulit dan penuh perteng
Laksmi dan Jaka berdiri di ruang sidang yang megah, wajah mereka tegang dan penuh dengan emosi yang terselubung. Mereka telah menghabiskan bulan-bulan terakhir ini mempersiapkan diri untuk momen ini—saat mereka akan bersaing satu sama lain di depan juri untuk kasus yang sangat penting bagi firma hukum tempat mereka bekerja.Di belakang mereka, duduklah juri yang terdiri dari tujuh orang yang serius, siap untuk mendengarkan argumen-argumen dari kedua belah pihak. Ruangan itu dipenuhi dengan aura tegang, tetapi bagi Laksmi dan Jaka, ada juga lapisan yang lebih dalam dari emosi yang mereka coba sembunyikan di balik masker profesionalisme mereka.Jaka, dengan sikap yang tenang dan percaya diri, mengambil posisi di depan meja pengacaraannya. Dia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, penampilannya selalu menunjukkan ketegasan dan profesionalisme. Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit untuk disembunyikan. Dia melirik sekilas ke arah Laksmi yang berdiri di meja pengacaraan law
Di sebuah kafe yang tenang di sudut kota, Laksmi dan Jaka duduk di meja yang terpisah, tetapi terlalu dekat untuk kenyamanan mereka sendiri. Mereka terjebak dalam situasi makan siang bersama, sebuah peristiwa yang diatur oleh rekan kerja mereka, Sarah, yang sepertinya memiliki rencana tersendiri untuk mendamaikan hubungan yang tegang di antara mereka.Laksmi duduk dengan anggun di satu sisi meja, mengaduk-aduk salad di piringnya dengan gerakan yang cermat, mencoba untuk fokus pada makanannya daripada pada kehadiran Jaka di seberangnya. Dia merasa tegang dan canggung, tidak yakin apa yang harus dia katakan atau bagaimana dia harus bertindak di sekitar mantan suaminya.Di sisi lain meja, Jaka merasa sebaliknya—ia tidak dapat menghindari pandangan matanya yang terus memandang Laksmi. Dia mencoba menemukan cara untuk memecah keheningan yang tidak nyaman di antara mereka, tetapi setiap kali dia berpikir untuk membuka mulut, kata-kata itu terasa berat dan tidak pantas.Sarah, yang duduk di
Laksmi dan Jaka duduk di ruang konferensi yang besar, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan berkas kasus yang baru mereka terima. Mereka sedang bersiap untuk bekerja sama dalam kasus besar pertama mereka sejak bercerai. Meskipun perasaan mereka masih penuh dengan ketegangan dan kenangan masa lalu yang menyakitkan, keduanya merasa bertekad untuk menunjukkan profesionalisme yang tinggi dalam hal ini.Laksmi, yang duduk di ujung meja, merenung sejenak saat dia memandang berkas-berkas yang tersebar di depannya. Dia tidak bisa mengabaikan getaran emosional yang menghantamnya saat dia berbagi meja dengan Jaka lagi setelah begitu lama.Sementara itu, Jaka duduk di sampingnya, mencoba untuk memfokuskan perhatiannya pada strategi hukum yang harus mereka susun bersama. Namun, dalam keheningan yang tidak nyaman, dia tidak bisa menghindari pandangannya yang terus menerus terarah pada Laksmi.Saat mereka mulai meninjau kasus, mereka berdua secara tidak sadar terlibat dalam percakapan yang semakin
Laksmi menatap Jaka dengan tatapan penuh keraguan, mencoba memproses kata-kata yang baru saja dia dengar. "Jaka, apakah kamu yakin tentang ini? Kita sudah begitu lama tidak berada dalam hubungan seperti itu."Jaka mengangguk perlahan, matanya tidak meninggalkan pandangan Laksmi. "Aku yakin. Aku merasa bahwa ada sesuatu di antara kita yang belum terselesaikan. Kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu kita, tapi mungkin kita bisa mencoba membangun sesuatu yang baru."Laksmi merasa sesak, takut akan konsekuensi dari keputusan ini. "Aku takut, Jaka. Takut bahwa kita mungkin mengulangi kesalahan yang sama. Takut akan kemungkinan bahwa kita tidak bisa menyelesaikannya kali ini."Jaka menanggapi dengan suara yang lembut, mencoba untuk meyakinkan Laksmi. "Kita tidak harus terburu-buru. Kita bisa mengambil waktu yang kita butuhkan, melangkah pelan-pelan. Aku tidak ingin menambahkan tekanan padamu, tetapi aku juga tidak ingin kita kehilangan kesempatan untuk mencoba."Laksmi menangis, air mat
Laksmi dan Jaka terlibat dalam sebuah pertengkaran sengit di koridor firma hukum tempat mereka bekerja. Suasana dingin di sekitar mereka mencerminkan ketegangan yang memenuhi udara setelah percakapan yang sudah lama tertunda.Laksmi, wajahnya merah padam, menatap tajam ke arah Jaka. "Kamu selalu berpikir bahwa kamu tahu segalanya, Jaka! Tapi kamu tidak pernah mengerti apa yang aku butuhkan."Jaka menahan amarahnya, tetapi suaranya tetap tajam saat dia menjawab, "Kamu tidak bisa terus-menerus mengingat masa lalu kita setiap kali kita memiliki argumen, Laksmi. Kita harus bisa melewati hal itu."Laksmi menghela nafas, mencoba menahan emosinya. "Bagaimana kamu bisa begitu mudah melupakan segalanya? Apakah kamu lupa betapa sulitnya waktu itu bagi kita?"Jaka melangkah mendekat, wajahnya yang tegang mencerminkan frustrasinya. "Aku tidak melupakan, Laksmi. Tapi kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu kita. Kita harus belajar untuk maju."Laksmi merasa hatinya semakin panas.