Share

BAB 4. MAKAN SIANG YANG TIDAK DIRENCANAKAN

Di sebuah kafe yang tenang di sudut kota, Laksmi dan Jaka duduk di meja yang terpisah, tetapi terlalu dekat untuk kenyamanan mereka sendiri. Mereka terjebak dalam situasi makan siang bersama, sebuah peristiwa yang diatur oleh rekan kerja mereka, Sarah, yang sepertinya memiliki rencana tersendiri untuk mendamaikan hubungan yang tegang di antara mereka.

Laksmi duduk dengan anggun di satu sisi meja, mengaduk-aduk salad di piringnya dengan gerakan yang cermat, mencoba untuk fokus pada makanannya daripada pada kehadiran Jaka di seberangnya. Dia merasa tegang dan canggung, tidak yakin apa yang harus dia katakan atau bagaimana dia harus bertindak di sekitar mantan suaminya.

Di sisi lain meja, Jaka merasa sebaliknya—ia tidak dapat menghindari pandangan matanya yang terus memandang Laksmi. Dia mencoba menemukan cara untuk memecah keheningan yang tidak nyaman di antara mereka, tetapi setiap kali dia berpikir untuk membuka mulut, kata-kata itu terasa berat dan tidak pantas.

Sarah, yang duduk di samping Laksmi, mencoba menciptakan percakapan ringan. "Jadi, bagaimana perasaan kalian setelah sidang kemarin?" tanya Sarah dengan senyum ramah.

Laksmi menjawab dengan hati-hati, "Ini adalah pengalaman yang menguras energi, tapi saya senang dengan hasilnya." Dia mencoba tersenyum, meskipun perasaan tegangnya masih terasa jelas.

Jaka menanggapi dengan sopan, "Ya, sidang itu benar-benar menguji kemampuan kami. Tapi, seperti yang dikatakan Laksmi, hasilnya memang patut diapresiasi."

Sarah mengangguk mengerti, mencoba untuk menciptakan iklim yang nyaman di sekitar mereka. Namun, kecanggungan di antara Laksmi dan Jaka seolah menjadi semakin terasa dengan setiap saat yang berlalu.

Saat pelayan datang untuk mengambil pesanan minuman, keheningan yang tidak nyaman kembali meliputi mereka. Sarah, yang tidak bisa menahan keheningan lebih lama, mencoba mengalihkan perhatian mereka. "Bagaimana dengan cuaca akhir-akhir ini?" tanya Sarah dengan nada coba-coba.

Laksmi dan Jaka saling bertatapan sejenak sebelum Laksmi menjawab dengan ragu, "Hmm, cuaca cukup baik belakangan ini."

Jaka menambahkan, "Ya, musim semi biasanya membawa cuaca yang menyenangkan."

Sarah tersenyum, mencoba untuk tetap optimis meskipun suasana yang tidak nyaman. "Bagaimana dengan rencana kalian untuk liburan musim panas ini? Sudah ada rencana?" tanyanya lagi, mencoba memecahkan keheningan.

Laksmi tersenyum tipis, "Belum ada rencana konkret, tapi mungkin akan ada waktu untuk beristirahat sebentar setelah sidang ini selesai."

Jaka mengangguk setuju, "Saya juga belum merencanakan apa pun. Mungkin akan ada waktu untuk berlibur sebentar setelah menyelesaikan beberapa kasus."

Sarah mencoba menciptakan percakapan yang tidak terlalu formal, tetapi kecanggungan di antara mereka seolah menjadi semakin dalam. Makan siang yang dimaksudkan untuk mendamaikan dan menciptakan atmosfer yang lebih hangat justru menjadi cerminan dari ketegangan yang terpendam di antara Laksmi dan Jaka.

Saat makan siang berlanjut, percakapan terus berjalan dengan canggung. Mereka berusaha untuk menunjukkan keprofesionalan mereka di hadapan Sarah dan rekan kerja lainnya, tetapi kehadiran satu sama lain di ruang yang begitu pribadi dan intim tidak bisa diabaikan.

Setelah makan siang berakhir, mereka berdua berdiri dengan cepat. Laksmi dan Jaka mengucapkan terima kasih kepada Sarah atas undangannya sambil mencoba menutup perasaan ketidaknyamanan yang masih menggelayut di antara mereka. Mereka meninggalkan kafe dengan langkah yang terburu-buru, masing-masing merasa lega karena bisa meninggalkan kecanggungan di belakang mereka.

Ketika mereka berpisah di halaman parkir, Jaka menoleh sejenak ke arah Laksmi. Dia melihat kilatan rasa bersalah di mata Laksmi, yang menggambarkan semua kerumitan dan ketidakpastian yang mereka alami sejak bercerai. Meskipun dia tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya, dia berharap bahwa suatu hari nanti, mereka berdua bisa menemukan cara untuk meredakan kecanggungan yang terus mengikuti mereka setiap kali mereka bersama-sama.

Laksmi, di sisi lain, merasa campur aduk. Dia merindukan kebersamaan yang mereka dulu miliki, tetapi juga menyadari bahwa mereka berdua telah berubah. Setiap kali dia melihat Jaka, dia melihat kenangan yang indah dan juga luka yang masih perih di hatinya. Dia berharap bahwa waktu akan membantu menyembuhkan luka-luka itu dan membawa kedamaian di antara mereka, meskipun saat ini perjalanan itu masih terasa jauh dan sulit.

Dengan langkah yang terburu-buru, mereka masing-masing masuk ke mobil mereka dan meninggalkan tempat itu. Keheningan yang tercipta di antara mereka masih berbicara lebih keras daripada kata-kata yang tidak terucapkan, menunjukkan betapa rumitnya dinamika di antara mereka.

_____________________________________________________________________________________________

Setelah makan siang yang canggung itu, hari-hari berikutnya di kantor terasa seperti berjalan di atas telur. Laksmi dan Jaka berusaha untuk kembali ke rutinitas profesional mereka, tetapi kehadiran satu sama lain di ruang kerja yang sama membuat suasana tetap tegang di antara mereka. Mereka berusaha untuk berinteraksi sebagaimana mestinya, tetapi setiap pertemuan mata atau percakapan singkat selalu memunculkan perasaan yang rumit di dalam hati masing-masing.

Di ruangannya, Laksmi sering kali menemukan dirinya terpaku di depan layar komputernya, mencoba untuk fokus pada pekerjaannya meskipun pikirannya sering terlupakan pada momen-momen canggung yang mereka alami bersama Jaka. Dia merenung tentang bagaimana hidup mereka bisa berubah begitu drastis, dari pasangan yang saling mencintai menjadi mantan yang berusaha untuk menjaga profesionalisme di tempat kerja.

Sementara itu, Jaka menemukan dirinya sering meluangkan waktu untuk merenung di kantorannya sendiri. Dia membalikkan foto-foto masa lalu mereka yang terselip di antara buku-bukunya, mengenang saat-saat bahagia yang mereka bagikan bersama. Namun, setiap kenangan itu juga membawa rasa kehilangan yang mendalam, menyadarkannya akan jarak yang sekarang terbentang di antara mereka.

Suatu sore, ketegangan di antara mereka mencapai puncaknya saat mereka dipanggil ke ruang rapat untuk rapat tim mendadak. Sarah, yang memimpin rapat, tampak berusaha untuk menciptakan suasana yang nyaman di antara semua orang, tetapi tatapan antara Laksmi dan Jaka mengungkapkan lebih banyak daripada yang bisa diungkapkan oleh kata-kata.

Di tengah rapat, ketika diskusi mengenai kasus terbaru sedang berlangsung, Laksmi dan Jaka menemukan diri mereka terlibat dalam argumen kecil tentang pendekatan yang harus diambil. Pertukaran pandangan tajam di antara mereka mencerminkan tidak hanya perbedaan pendapat profesional, tetapi juga ketegangan pribadi yang masih mereka bawa sejak perpisahan mereka.

"Saya pikir pendekatan ini lebih masuk akal," ujar Laksmi dengan suara yang tenang namun tegas, mencoba untuk mempertahankan posisinya.

Jaka menanggapi dengan nada yang sedikit lebih tajam, "Tapi saya rasa kita harus mempertimbangkan sisi lain dari situasi ini juga."

Sarah, yang merasa ketegangan di ruang rapat tersebut, mencoba untuk memediasi diskusi mereka dengan lembut. "Baiklah, mari kita semua berusaha untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan," ucapnya dengan penuh perhatian.

Namun, upaya untuk menenangkan suasana hanya berlangsung sebentar. Laksmi dan Jaka tetap bertentangan dalam pandangan mereka, tidak hanya karena perbedaan profesional mereka tetapi juga karena ketegangan emosional yang tidak mereka sebutkan.

Setelah rapat selesai, Laksmi dan Jaka meninggalkan ruang rapat dalam keheningan yang kaku. Mereka berdua merasa lelah dengan perasaan yang mereka hadapi, menyadari bahwa meskipun mereka berusaha untuk menjaga profesionalisme di tempat kerja, emosi mereka tidak pernah sepenuhnya bisa mereka kendalikan.

Di akhir hari, saat mereka berdua mengambil tas mereka untuk pulang, Laksmi mendekati Jaka dengan ragu. "Jaka, mungkin kita perlu berbicara sebentar," ujarnya dengan suara yang lembut.

Jaka menatap Laksmi sejenak sebelum mengangguk setuju. "Tentu, saya pikir itu baik," jawabnya dengan nada yang setenang mungkin.

Mereka berdua memutuskan untuk pergi ke ruang istirahat kecil di ujung lorong, tempat yang relatif tenang di tengah kebisingan kantor yang mulai sepi. Saat mereka duduk di meja kecil yang terletak di sudut ruangan, ketegangan di antara mereka masih terasa kuat.

Laksmi menatap Jaka dengan penuh keraguan, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat untuk memulai percakapan yang begitu sulit ini. "Saya... saya hanya ingin mengatakan bahwa saya berharap kita bisa menemukan cara untuk bekerja sama tanpa harus merasa seperti ini setiap saat," ucapnya dengan suara yang penuh dengan kejujuran.

Jaka mengangguk, ekspresinya sedikit lembut. "Saya juga merasakannya, Laksmi. Kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi kita bisa mencoba untuk menemukan cara untuk maju dari sini."

Laksmi menghela napas dalam-dalam, merasa lega bahwa dia bisa mengungkapkan perasaannya kepada Jaka. Meskipun masih ada banyak yang harus diatasi di antara mereka, percakapan ini merupakan langkah pertama untuk memahami dan menerima dinamika baru dalam hubungan mereka yang rumit.

Mereka berdua berbicara lebih lama, membahas harapan dan harapan mereka untuk masa depan di firma hukum tempat mereka bekerja. Meskipun tidak ada keputusan besar yang diambil dalam percakapan itu, mereka berdua merasa lebih lega karena bisa membuka garis komunikasi yang lama terputus di antara mereka.

Ketika mereka meninggalkan ruang istirahat, meskipun kecanggungan di antara mereka masih ada, mereka merasa sedikit lebih ringan. Percakapan itu memberi mereka kedamaian yang mereka cari, setidaknya untuk saat ini. Dengan harapan bahwa waktu akan membawa pemulihan dan kedamaian di antara mereka, Laksmi dan Jaka melangkah menuju hari berikutnya dengan langkah yang sedikit lebih mantap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status