Laksmi menatap layar laptopnya dengan serius, mencoba memusatkan perhatian pada laporan kasus yang harus dia selesaikan untuk pertemuan besar sore ini. Ruangan rapat tempatnya duduk terletak di ujung lorong panjang di lantai tujuh gedung kantor hukum yang megah. Sebagai salah satu pengacara terkemuka di firma ini, Laksmi terbiasa dengan kegiatan sehari-hari yang sibuk dan tekanan yang tak terelakkan dari pekerjaannya.
Saat dia mengetik dengan cepat, fokusnya terganggu oleh kehadiran seseorang yang duduk di sudut ruangan. Jaka. Mantan suaminya. Dia tidak sengaja melihat ke arahnya ketika rekan kerja Jaka datang berbicara dengannya dengan antusias, sementara Jaka sendiri duduk dengan tatapan hampa, berusaha menenangkan diri di tengah keriuhan kantor yang ramai.
Laksmi menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba menyergapnya. Ini adalah pertemuan pertama mereka sejak mereka bercerai tiga bulan yang lalu. Setelah perceraian yang sulit dan penuh pertengkaran, mereka berdua memutuskan untuk menjaga jarak satu sama lain di tempat kerja, menjaga profesionalitas mereka di depan rekan-rekan kerja mereka.
Namun, kehampaan dalam pandangan Jaka membuat Laksmi tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Dia masih merasa hampa, terluka oleh akhir dari hubungan mereka yang pernah penuh cinta dan harapan. Di sudut hatinya yang paling dalam, dia merindukan apa yang mereka miliki bersama, sebelum segala sesuatunya runtuh.
Sementara itu, Jaka memperhatikan Laksmi dari kejauhan. Dia bisa merasakan kerinduan di balik tatapan dinginnya, meskipun dia tidak yakin apakah dia berani menghadapinya. Mereka telah melewati begitu banyak, dan rasa sakit yang dia rasakan masih begitu segar. Tetapi di antara semua kesulitan itu, dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia merindukan Laksmi dengan segala hatinya, meskipun dia tahu itu semua sudah terlambat.
Setelah beberapa saat yang tegang, Jaka akhirnya mengambil langkah berani mendekati meja Laksmi. Hatinya berdebar kencang ketika dia berdiri di depannya. "Hai, Laksmi," kata Jaka dengan suara yang terdengar kikuk dan lembut.
Laksmi menoleh perlahan, tidak yakin bagaimana cara merespons. Dia melihat tangan Jaka yang terulur ke arahnya, menawarkan salam. Setelah sesaat ragu, Laksmi merentangkan tangannya dan menggenggam tangan Jaka. Sentuhan hangat dari tangan yang pernah dikenalnya begitu baik, tapi sekarang terasa begitu asing, membangkitkan kenangan-kenangan yang sekarang terasa pahit.
Mereka berdua terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk mengakhiri keheningan yang tidak nyaman ini. Keduanya tahu bahwa perceraian mereka telah meninggalkan luka yang dalam di hati mereka masing-masing, luka yang sulit untuk sembuh.
"Apa kabar?" tanya Jaka dengan cemas, mencoba memecah keheningan.
Laksmi menatap Jaka dengan pandangan tajam, mencoba menemukan keberanian untuk berbicara. "Baik. Bagaimana denganmu?" balasnya dengan suara yang terdengar kaku.
Jaka mengangguk singkat. "Baik-baik saja. Hanya mencoba untuk menyesuaikan diri dengan segalanya," jawabnya dengan jujur.
Laksmi mengangguk juga, mencoba menahan gelombang emosi yang mendesak. Mereka berdua sadar bahwa mereka tidak bisa menghindari satu sama lain di tempat kerja, terlepas dari seberapa sulitnya situasi ini bagi keduanya.
"Kita mungkin perlu berbicara," kata Jaka akhirnya dengan suara rendah, matanya menatap tajam ke arah Laksmi.
Laksmi mengangguk pelan. Dia tahu bahwa pertemuan ini tidak bisa dihindari, meskipun dia tidak yakin apakah dia siap untuk menghadapinya. Mereka berdua telah memutuskan untuk menjaga jarak setelah perceraian mereka, tetapi bagaimanapun juga, masih ada banyak yang harus dibicarakan, banyak luka yang belum sembuh.
Jaka menarik kursi di sebelah Laksmi dan duduk dengan hati-hati. "Mungkin kita bisa bicara setelah rapat sore ini. Ada beberapa hal yang perlu kita klarifikasi," usulnya dengan penuh pertimbangan.
Laksmi menatap Jaka dengan ekspresi ragu. Dia tidak yakin apakah dia sanggup menghadapi konfrontasi emosional seperti itu, terlebih setelah segala yang terjadi di antara mereka. Namun, ada bagian dari dirinya yang ingin menyelesaikan segala sesuatu dengan baik-baik, meskipun hanya untuk menutupi luka yang terbuka.
"Baiklah," kata Laksmi akhirnya dengan suara lemah. "Setelah rapat, kita bisa bicara."
Jaka mengangguk. "Terima kasih, Laksmi."
Mereka berdua terdiam lagi, duduk di ruangan rapat yang sunyi. Diantara mereka terbentang jurang yang dalam, dipenuhi dengan kenangan-kenangan manis dan pahit dari masa lalu mereka. Meskipun mereka berusaha untuk menjaga jarak, mereka tidak bisa menghilangkan perasaan yang masih saling mengikat satu sama lain.
Rapat sore itu berlangsung dengan lancar, meskipun pikiran mereka berdua terus melayang pada pertemuan mendatang. Ketika akhirnya rapat selesai, mereka berdua keluar dari ruang rapat dengan hati-hati. Beberapa rekan kerja yang sadar akan situasi mereka memilih untuk menghindari tatap muka langsung, meninggalkan mereka sendirian di lorong kosong.
Laksmi dan Jaka berjalan berdampingan menuju ruang konferensi kecil di ujung koridor. Setelah masuk dan menutup pintu, mereka duduk di sisi yang berlawanan dari meja kecil. Atmosfer di ruangan itu tegang, seperti yang bisa mereka duga.
Laksmi memulai dengan ragu. "Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Jaka?"
Jaka menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Aku tahu kita berdua telah berusaha untuk menjaga jarak di tempat kerja ini. Tapi, aku merasa bahwa ada beberapa hal yang belum kita selesaikan dengan baik. Percakapan ini penting bagi kita berdua."
Laksmi mengangguk, wajahnya memperlihatkan ekspresi campuran antara ketegangan dan kerinduan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindar dari pembicaraan ini, meskipun hatinya berdegup kencang dalam ketakutan akan apa yang mungkin diungkapkan.
Jaka melanjutkan dengan hati-hati. "Aku ingin tahu bagaimana perasaanmu setelah semuanya ini. Setelah perceraian kita."
Laksmi menatap Jaka dengan tajam, mencoba menahan air mata yang menetes di sudut matanya. "Aku... Aku merasa hampa, Jaka. Kami telah melalui begitu banyak bersama, dan sekarang semuanya terasa seperti hanya kenangan yang terlalu cepat berlalu."
Jaka menelan ludah. Dia juga merasa hal yang sama, meskipun dia tidak yakin apa yang bisa dia katakan untuk menghibur Laksmi. "Aku merindukanmu, Laksmi. Dan aku menyesal atas segalanya yang terjadi di antara kita."
Laksmi menundukkan kepala, menutup matanya untuk beberapa detik. "Aku juga merindukanmu, Jaka. Tapi... tapi bagaimana kita bisa kembali pada seperti semula setelah segala yang terjadi?"
Jaka merasa dadanya terasa sesak. Dia tidak memiliki jawaban yang pasti untuk pertanyaan itu. Mereka berdua telah melangkah terlalu jauh untuk kembali ke masa lalu yang mereka kenal. "Aku tidak tahu, Laksmi. Tapi aku tahu bahwa aku tidak ingin kehilanganmu dari hidupku sepenuhnya."
Laksmi mengangguk perlahan, memahami kata-kata Jaka. "Aku juga tidak ingin itu, Jaka. Tapi kita harus menghadapi kenyataan bahwa kita mungkin tidak bisa kembali seperti dulu."
Mereka berdua terdiam, terjebak dalam lingkaran kehampaan dan harapan yang sulit untuk diungkapkan. Meskipun mereka mencoba untuk menemukan jalan keluar dari situasi ini, mereka tahu bahwa masa depan mereka bersama tidak lagi seindah dan semudah yang mereka bayangkan.
Setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, Jaka mengulurkan tangannya ke arah Laksmi. "Maafkan aku, Laksmi," ujarnya dengan lembut. "Aku tahu aku telah menyakitimu, lebih dari yang bisa aku ungkapkan dengan kata-kata."
Laksmi menatap tangan Jaka dengan penuh perasaan. Setelah beberapa detik ragu, dia akhirnya meraih tangan Jaka dalam genggamannya. "Aku juga minta maaf, Jaka. Kita berdua melakukan yang terbaik yang kita bisa."
Jaka menanggapi genggaman tangannya dengan hangat. Dia merasa sedikit lega bahwa mereka bisa menemukan titik temu, meskipun mereka tidak bisa memperbaiki masa lalu mereka.
Mereka duduk bersama di ruangan konferensi yang sunyi, merenungkan masa lalu yang mereka bagi bersama dan masa depan yang mungkin ada di depan mereka. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi mereka merasa lega bahwa mereka setidaknya mencoba untuk menyelesaikan segalanya dengan baik.
Laksmi dan Jaka berdiri di ruang sidang yang megah, wajah mereka tegang dan penuh dengan emosi yang terselubung. Mereka telah menghabiskan bulan-bulan terakhir ini mempersiapkan diri untuk momen ini—saat mereka akan bersaing satu sama lain di depan juri untuk kasus yang sangat penting bagi firma hukum tempat mereka bekerja.Di belakang mereka, duduklah juri yang terdiri dari tujuh orang yang serius, siap untuk mendengarkan argumen-argumen dari kedua belah pihak. Ruangan itu dipenuhi dengan aura tegang, tetapi bagi Laksmi dan Jaka, ada juga lapisan yang lebih dalam dari emosi yang mereka coba sembunyikan di balik masker profesionalisme mereka.Jaka, dengan sikap yang tenang dan percaya diri, mengambil posisi di depan meja pengacaraannya. Dia mengenakan setelan jas hitam yang rapi, penampilannya selalu menunjukkan ketegasan dan profesionalisme. Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang sulit untuk disembunyikan. Dia melirik sekilas ke arah Laksmi yang berdiri di meja pengacaraan law
Di sebuah kafe yang tenang di sudut kota, Laksmi dan Jaka duduk di meja yang terpisah, tetapi terlalu dekat untuk kenyamanan mereka sendiri. Mereka terjebak dalam situasi makan siang bersama, sebuah peristiwa yang diatur oleh rekan kerja mereka, Sarah, yang sepertinya memiliki rencana tersendiri untuk mendamaikan hubungan yang tegang di antara mereka.Laksmi duduk dengan anggun di satu sisi meja, mengaduk-aduk salad di piringnya dengan gerakan yang cermat, mencoba untuk fokus pada makanannya daripada pada kehadiran Jaka di seberangnya. Dia merasa tegang dan canggung, tidak yakin apa yang harus dia katakan atau bagaimana dia harus bertindak di sekitar mantan suaminya.Di sisi lain meja, Jaka merasa sebaliknya—ia tidak dapat menghindari pandangan matanya yang terus memandang Laksmi. Dia mencoba menemukan cara untuk memecah keheningan yang tidak nyaman di antara mereka, tetapi setiap kali dia berpikir untuk membuka mulut, kata-kata itu terasa berat dan tidak pantas.Sarah, yang duduk di
Laksmi dan Jaka duduk di ruang konferensi yang besar, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan berkas kasus yang baru mereka terima. Mereka sedang bersiap untuk bekerja sama dalam kasus besar pertama mereka sejak bercerai. Meskipun perasaan mereka masih penuh dengan ketegangan dan kenangan masa lalu yang menyakitkan, keduanya merasa bertekad untuk menunjukkan profesionalisme yang tinggi dalam hal ini.Laksmi, yang duduk di ujung meja, merenung sejenak saat dia memandang berkas-berkas yang tersebar di depannya. Dia tidak bisa mengabaikan getaran emosional yang menghantamnya saat dia berbagi meja dengan Jaka lagi setelah begitu lama.Sementara itu, Jaka duduk di sampingnya, mencoba untuk memfokuskan perhatiannya pada strategi hukum yang harus mereka susun bersama. Namun, dalam keheningan yang tidak nyaman, dia tidak bisa menghindari pandangannya yang terus menerus terarah pada Laksmi.Saat mereka mulai meninjau kasus, mereka berdua secara tidak sadar terlibat dalam percakapan yang semakin
Laksmi menatap Jaka dengan tatapan penuh keraguan, mencoba memproses kata-kata yang baru saja dia dengar. "Jaka, apakah kamu yakin tentang ini? Kita sudah begitu lama tidak berada dalam hubungan seperti itu."Jaka mengangguk perlahan, matanya tidak meninggalkan pandangan Laksmi. "Aku yakin. Aku merasa bahwa ada sesuatu di antara kita yang belum terselesaikan. Kita mungkin tidak bisa mengubah masa lalu kita, tapi mungkin kita bisa mencoba membangun sesuatu yang baru."Laksmi merasa sesak, takut akan konsekuensi dari keputusan ini. "Aku takut, Jaka. Takut bahwa kita mungkin mengulangi kesalahan yang sama. Takut akan kemungkinan bahwa kita tidak bisa menyelesaikannya kali ini."Jaka menanggapi dengan suara yang lembut, mencoba untuk meyakinkan Laksmi. "Kita tidak harus terburu-buru. Kita bisa mengambil waktu yang kita butuhkan, melangkah pelan-pelan. Aku tidak ingin menambahkan tekanan padamu, tetapi aku juga tidak ingin kita kehilangan kesempatan untuk mencoba."Laksmi menangis, air mat
Laksmi dan Jaka terlibat dalam sebuah pertengkaran sengit di koridor firma hukum tempat mereka bekerja. Suasana dingin di sekitar mereka mencerminkan ketegangan yang memenuhi udara setelah percakapan yang sudah lama tertunda.Laksmi, wajahnya merah padam, menatap tajam ke arah Jaka. "Kamu selalu berpikir bahwa kamu tahu segalanya, Jaka! Tapi kamu tidak pernah mengerti apa yang aku butuhkan."Jaka menahan amarahnya, tetapi suaranya tetap tajam saat dia menjawab, "Kamu tidak bisa terus-menerus mengingat masa lalu kita setiap kali kita memiliki argumen, Laksmi. Kita harus bisa melewati hal itu."Laksmi menghela nafas, mencoba menahan emosinya. "Bagaimana kamu bisa begitu mudah melupakan segalanya? Apakah kamu lupa betapa sulitnya waktu itu bagi kita?"Jaka melangkah mendekat, wajahnya yang tegang mencerminkan frustrasinya. "Aku tidak melupakan, Laksmi. Tapi kita tidak bisa terus hidup dalam bayang-bayang masa lalu kita. Kita harus belajar untuk maju."Laksmi merasa hatinya semakin panas.
Di suatu pagi yang cerah, Laksmi dan Jaka mendapati diri mereka diberi tugas lapangan yang tak terduga oleh firma hukum tempat mereka bekerja. Mereka harus bekerja sama menangani kasus sengketa lahan di sebuah desa terpencil, yang membutuhkan penelitian langsung dan interaksi dengan penduduk setempat. Meskipun awalnya canggung, tugas ini membuka pintu bagi mereka untuk menemukan sisi-sisi baru dari satu sama lain di luar lingkungan kantor yang biasa.Perjalanan mereka ke desa itu memicu banyak kenangan masa lalu. Di perjalanan yang panjang, mereka teringat kembali pada masa-masa indah mereka bersama, ketika cinta mereka masih baru dan segala sesuatunya terasa begitu sederhana. Laksmi dan Jaka tidak bisa menghindari untuk berbagi cerita dan tertawa bersama, mencairkan ketegangan yang telah terbawa sejak pertengkaran mereka.Sesampainya di desa, mereka disambut dengan hangat oleh penduduk setempat yang ramah dan suka membantu. Laksmi menunjukkan keahliannya dalam berbicara dan bernegosi
Laksmi dan Jaka tiba di acara gala yang diadakan di sebuah hotel mewah di tengah kota. Mereka berdua terlihat menawan dalam gaun dan setelan yang elegan, meskipun dalam hati mereka masih terasa sedikit canggung dengan kehadiran satu sama lain di acara semacam ini setelah perjalanan emosional mereka di desa.Mereka memasuki ruangan yang penuh dengan cahaya lampu gemerlap dan ornamen-ornamen mewah, diiringi oleh musik klasik yang mengalun lembut di latar belakang. Beberapa tamu yang hadir tampak mengenali mereka, memberi salam dan senyuman ramah, sementara yang lain memandang mereka dengan rasa ingin tahu atas kehadiran pasangan mantan suami istri ini di acara tersebut.Laksmi memegang lengan Jaka dengan lembut, mencoba untuk mencairkan ketegangan di antara mereka. "Ini pertama kalinya kita berdua hadir di acara seperti ini dalam waktu yang lama, Jaka."Jaka tersenyum, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa gugupnya. "Ya, rasanya agak aneh, tapi aku senang bisa datang bersamamu."Laksmi t
Di sebuah pesta kantor yang ramai, Laksmi dan Jaka dikelilingi oleh rekan-rekan kerja mereka yang bersemangat. Suasana penuh canda tawa dan musik yang mengalun keras membuat malam itu semakin meriah. Di tengah-tengah keramaian, terjadilah kesalahpahaman lucu yang hampir memicu kebingungan di antara Laksmi dan Jaka.Saat mereka berdua berdiri di dekat meja makanan, seorang rekan kerja mendekati mereka dengan penuh semangat. "Hei, Laksmi! Saya sangat senang melihat Anda berdua datang bersama," kata rekan kerja itu sambil tersenyum lebar.Laksmi menanggapi dengan ramah, "Terima kasih! Kami juga senang bisa datang."Rekan kerja itu menatap Jaka dengan tatapan takjub. "Dan kamu, Jaka! Saya tidak sabar untuk mendengar tentang kasus terbaru yang sedang Anda tangani."Jaka, yang sebenarnya sedang asyik menyantap hidangan kecil di tangannya, tersenyum ramah. "Terima kasih. Kami memiliki beberapa kasus menarik akhir-akhir ini."Namun, seolah-olah terjadi kesalahpahaman, rekan kerja itu membalas