Home / Romansa / Sembilan Tahun Lagi / 74, Detik-Detik Terakhir

Share

74, Detik-Detik Terakhir

last update Last Updated: 2022-04-13 10:47:21

MINGGU ini Gerombolan Siberat sibuk mengambil barang. Di akhir pekan, ruang kelas yang dijadikan gudang sudah penuh. Pengumpulan sumbangan dari murid dipercepat agar paket segera bisa dibuat. Jenis dan jumlah sumbangan termasuk uang ditempel di pintu. Setiap ada barang masuk, datanya ditulis di kertas yang ditempel di pintu. List-nya yang terus memanjang membuat semua bersemangat.

Di awal pekan, sumbangan bibit tanaman datang. Vlad membuat jadwal menyiram bibit-bibit itu pagi dan sore. Penjaga sekolah merangkap petugas kebersihan dan tukang kebun hanya menjadi pengawas saja. Vlad menyerahkan jadwal yang dia buat pada Pak Bon dengan perintah, laporkan padanya kalau ada yang absen tugas menyiram.

Di akhir minggu kedua setelah ujian, semua sumbangan telah lengkap sesuai data. Vlad tersenyum menstempel kartu terakhir. Dia memasukkan kartu itu ke dalam kotak sepatu, tapi dia menyelipkan stempel lucu ke dalam kantung celananya. Ponsel operasional akan dia kembalik

Sandra Setiawan

Ababil galau. Belum pisah sudah sakit rindu.

| Like
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Sembilan Tahun Lagi   75, Perut Melayu

    VLAD tidak merasa perlu menyembuyikan diri ketika mengikutiku dari belakang. Mengikuti jadwal kerja guru artinya terlalu pagi bagi dia untuk ke kantor. Entah ke mana dia setelah menjadi penguntit. Ketika aku sampai di sekolah, dia langsung pergi tanpa berpamit meski hanya membunyikan klakson. Di mobil, aku memastikan riasanku cukup apik menyembunyikan kekacauan sisa kemarin. Kupulas lagi bedak dan dengan eye shadows sedikit lebih terang dari biasanya. Kelopak yang masih bengkak kututup dengan warna silver. Eye liner sedikit lebih tebal membentuk garis mata. Blush on pink untuk menyegarkan wajah. Sudah. Hari ini akan menjadi hari yang berat yang harus aku lalui sebelum aku bisa menyepi di rumah. Tapi mengingat rumah, tentu bayangan Bhaga melintas cepat. Bayangan yang makin merusak suasana hatiku. Aku ingin menangis. Dan bayangan Vlad memperburuk semuanya. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan empatiku pada apa yang dia rasa selama sembilan tahu

    Last Updated : 2022-04-14
  • Sembilan Tahun Lagi   76, Pengumuman

    MENJELANG sore ketika Anna pulang dia singgah ke toko peralatan menjahit. Dia membeli flanel warna abu-abu gelap, abu-abu terang, merah menyala, kuning cerah, dacron, dan benang wol dengan warna-warna senada. Ada yang harus dia kerjakan dengan bahan-bahan itu. Tadi Vlad mengingatkan janjinya. Anna yakin, Vlad yakin dia akan memperoleh nilai cukup bagus untuk menagih janji pada Anna. Anna ingin hadiahnya sudah siap saat pengumuman. Malam itu, saat Vlad merindukan Anna, membayangkan jauh dari Anna, Anna sendiri sedang menyiapkan hadiah istimewa untuk Vlad. Buatan tangan seperti yang Vlad mau. Memang hanya buatan tangan yang bisa menjadi hadiah istimewa untuk anak seperti Vlad. Vlad bisa membeli barang bagus tanpa berkedip sementara Anna harus bekerja jungkir balik. Seperti Vlad yang rindunya tidak selesai dalam satu malam, prakarya Anna pun tidak selesai satu malam. Rindu Vlad bertahan bertahun, prakarya Anna selesai di malam kedua. Dia cukup puas dengan hasil karyanya

    Last Updated : 2022-04-15
  • Sembilan Tahun Lagi   77, Lost Contact

    WAKTU kembali berputar pada porosnya dalam putaran konstan sepanjang masa. Menggilas tanpa peduli manusia-manusia yang entah merasa dikejar waktu atau merasa memiliki terlalu banyak waktu. Seperti aku. Aku membiarkan Vlad mengurusiku. Chat atau teleponnya seperti jadwal minum obat. Sehari tiga kali. Itu minimal. Aku juga membiarkan dia mengirimi makan. Tapi aku meminta untuk makan siang jangan terlalu sering. Aku tak mau rekan-rekanku curiga. Akhirnya dia hanya mengirimkan makan siang saat aku piket saja. Aku juga sering mengirimkan hasil masakanku. Entah lauk atau kue. Kadang hanya pisang goreng atau bakwan. Tak terasa sudah sebulan yang lalu peristiwa memalukan itu terjadi. Sejak kami berpisah, begitulah yang terjadi pada kami. Kami memang tidak pernah bertemu. Aku memang tidak mau dan Vlad tidak pernah menyinggung urusan itu. Bhaga? Dia hanya sesekali mengirimkan pesan. Otw Sulawesi. Otw pulang. Pulang

    Last Updated : 2022-04-16
  • Sembilan Tahun Lagi   78, Hadiah

    TIDAK ada aksi mencoret-coret baju. Sekolah menyuruh mereka melepaskan seragam lalu mengumpulkan seragam itu untuk disumbangkan di perpisahan nanti. Tanpa seragam, sekarang mereka memang resmi bukan anak SMP lagi tapi belum SMA. Vlad dan kawan-kawan menghabiskan sisa hari di tempat biasa mereka berkumpul. Dia tidak bisa mengelak dari todongan mentraktir teman-temannya. Bukan masalah. “Gila lu, Nyong, kok bisa nyalip di tikungan gitu.” Erlan yang duduk di depannya entah sudah berapa banyak gorengan berpindah ke perutnya. Tapi Vlad menyuruh pemilik warung menghitung isi piring. Jangan berharap anak-anak ini menghitung yang mereka makan. Makan tiga lapor satu. “Gue kasihan juga lihat mukanya si Juna. Sudah ngarep banget juara satu tuh pas dua dan tiga namanya nggak keluar,” sambar Candra di samping Vlad. Tapi yang dibicarakan hanya mendengus tertawa kecil saja. Dia asyik menghisap rokok sambil menyeruput kopi dengan sebelah kaki di atas kursi kayu panjan

    Last Updated : 2022-04-17
  • Sembilan Tahun Lagi   79, Hangout

    AKU mengirim foto paket makan malam yang siap kukirim pada Vlad dengan caption; ‘Dikirim ke rumah. Kalau nggak ada orang ya buat sekuriti aja’, lengkap dengan tangkap layar order kurir online yang menjelasan pesanku itu. Panggilan video darinya langsung masuk. “Anna, ke kantor aja kek. Aku masih di kantor nih.” Dia menggerutu sambil terus bekerja. “Aku sudah order untuk ke rumah. Nih lagi tunggu driver datang. Sudah dulu ya.” “ANNA! Astaga ni cewek. Tega amat sih.” Aku tertawa lepas. “Kalau mau makan, pulang cepetan sana.” “Anna, astaga… kerjaan aku masih banyak nih.” Dia menatapku putus asa. “Aku orderin naspad, oke?” “Anna! Pen tak hiihh ni cewek beneran.” Tapi kulihat dia bergegas merapikan isi meja. Tak lama layar laptop terlihat menghitam. “Aku pulang. Bilang sama driver tunggu di bawah aja.” Sambungan terputus tapi aku yakin dia bisa mendengar tawa lepasku. Aku m

    Last Updated : 2022-04-18
  • Sembilan Tahun Lagi   80, Perpisahan

    VLAD tetap diam tak lapor prestasinya pada orangtuanya. Membuat Bagas dan Vienna makin bingung. Tapi Bagas mulai melunak. Vienna benar. Vlad sudah menunjukkan dirinya. Meski dia pembangkang, tidak pernah terlihat belajar, selalu keluyuran, sering berulah, menjengkelkan, dan lain sebagainya, tapi nilai ujiannya tidak main-main. Dengan nilai seperti itu, Vlad bisa menjadi raja kecil di rumah ini. Raja feodal yang otoriter. Karena sebelumnya sudah seperti itu, maka tingkat otoriternya bisa naik berkali lipat. Tapi Vlad yang diam tidak melaporkan prestasinya berlaku seperti biasa. Bagas tidak berkutik menegur ini itu ketika yang anaknya kerjakan hanya keluyuran sampai malam. Di rumah hanya untuk makan, tidur, dan olahraga. Vienna memastikan Vlad tidak pernah mengkonsumsi barang haram. Didiamkan seperti itu, tidak pernah ada lagi teriakan-teriakan di antara mereka. Vlad hanya sibuk membuat paket sembako dan mengurus tanaman. Itu saja. &nb

    Last Updated : 2022-04-19
  • Sembilan Tahun Lagi   81, Love in Bahasa

    “ANNA…” Aku langsung menoleh. “Ya ampun, ternyata benaran kamu, Na.” Bu Ros. Kami berpelukan erat. “Dari jauh saya bilang, kayak ngenalin deh. Kamu nggak berubah loh, Na.” Dia memegang bahu sambil memandang wajahku. “Ibu juga.” Aku bersalaman dengan suaminya. “Kamu sama siapa? Sendiri?” “Eh,” tergagap, “iy… iya, Bu.” “Suami kamu masih kerja di Kalimantan?” “Iya, Bu.” “Ohh… pantas sendirian aja nge-malnya.” Aku makin menyeringai. “Eh, Na. Mau ada reuni akbar, angkatan yang pas kamu magang masuk. Kamu datang ya.” “Eh,” aku makin tergagap, “nggak enak ah, Bu. Saya kan cuma magang di sana. Sebentar banget.” “Nggak apa-apa. Kamu ingat Vlad kan? Angkatan dia yang paling heboh. Kamu loh yang dampingin angkatan itu. Memang nggak mau ketemu sama anak-anak itu?” “Eh, mau sih, Bu….” Aduuuhhh… satu anak angkatan itu ada di dalam di belakang Ibu. “Ya su

    Last Updated : 2022-04-20
  • Sembilan Tahun Lagi   82, Menyelinap

    PERPISAHAN hari kedua. Di pagi hari dimulai dengan acara penanaman pohon dipandu LSM lingkungan. Acara dimulai dengan sedikit materi lingkungan di aula. Materi disampaikan sangat santai mengingat mental peserta adalah liburan dan perpisahan. Tapi tetap saja peserta tegang ketika foto dan video menampilkan kerusakan bumi akibat ulah manusia. Setelah video kerusakan, tim pemandu memperlihatkan foto dan video usaha perbaikan yang diadakan individu dan lembaga. Pada sesi ini, peserta diminta aktif menyebutkan hal apa yang sudah mereka lakukan untuk bumi meski hanya sesuatu yang terkesan sepele seperti mematikan kran air wastafel ketika menggosok gigi. Sedikit dari kita berarti banyak bagi bumi. Setelah menyadari bahwa bumi sudah sangat rusak tapi ada yang mereka bisa lakukan, saatnya menanam pohon. Tentu peserta lebih bersemangat akibat materi yang masuk ke otak. Pohon ditanam di sekitar air terjun. Lepas menanam tentu mereka menyerbu air terjun. Mereka kembali ke penginapan men

    Last Updated : 2022-04-21

Latest chapter

  • Sembilan Tahun Lagi   122, [END] Malam Pertama

    AKU tentu hanya sebentar di pos jaga. Aku berlari kembali ke Vlad. Keringat sebesar biji jagung mengucur di wajahnya. Wajahnya kembali pucat menahan sakit. Kubantu dia melepas jas, dasi, kemeja, dan kaus dalam. Tubuhnya kuyup. Kupakaikan pakaian khusus pasien. Perawat sudah datang dan langsung memeriksanya. Tentu mereka melaporkan pada dokter. “Matilah aku, Anna. Pasti dokter marahin aku.” Dia berkata sambil meringis. “Kamu dari kapan tahan sakit begini sih.” Dia sudah terbaring pasrah ketika perawat memasang selang.” “Sesak ya, Pak?” tanya perawat. Dia mengangguk. “Tapi nggak terlalu.” Namun dia pasrah dipasangi selang lain. “Malam pertama, keringetan, kamu buka baju aku buru-buru, sesak napas.” “Vlad!” Sungguh, kali ini aku ingin menyentil bibirnya. “Pas amat ya deskripsinya sama kondisi aku.” Aku tahu dia masih menahan sakit. Dia meringis, tapi matanya bercahaya. Membuatku bisa sedikit bernapas lega dan tertawa kecil. Perawat sudah berpamit sambil mengulum senyum. “Anna, c

  • Sembilan Tahun Lagi   121, Get Married

    OTW ke sana. Aku tak tahu di mana meeting room rumah sakit ini. Yang pasti masih di gedung ini, dan itu berarti mereka tidak perlu waktu lama untuk sampai di sini. Mama dan Mbak Rethi merapikan penampilanku yang sudah rapi. Apa yang harus dirapikan? Make up dan gaunku begitu sederhana. Tak lama terdengar suara pintu diketuk yang tidak menunggu jawaban dari dalam pintu itu langsung terbuka. Aku berdiri menunggu. Dan di sanalah dia, Vladimir Darmawangsa, berjalan perlahan diiringi dua ayah di samping kiri dan kanannya. Aku menggigit bibir bawah, ketika kulihat dia seperti orang tertatih menahan sakit. Namun dia tetap berjalan ke arahku dengan tatapan tak lekang mengunci mataku. Lima langkah lagi, kuangkat tanganku, menyuruhnya berhenti. “Kamu masih kuat, Vlad?” tanyaku. Dia mengangguk. “Ada yang aku mau omongin dulu.” Dia mendesah. “Savannah, jangan bikin aku semaput.” “Nggak, Vlad, aku harus ngomong sekarang mumpung masih bisa batal.” Suara tarikan napas terdengar dan ruangan sem

  • Sembilan Tahun Lagi   120, In A Hurry

    “I’LL take the risk. I’ll marry you, Vlad. Now.” Dua wajah langsung menoleh ke arahku. Vlad meski lemah, dia tersenyum. Ibunya, meski tegar, dia menangis. Dia merangkum wajah anaknya lalu mengecup dahi Vlad setelahnya dia menatap mata Vlad, begitu lama sambil tersenyum dan menangis. “Bunda, tolong urus semuanya ya,” ujarnya pelan. Ibunya mengangguk lalu menggenggam tanganku. “Terima kasih, Anna.” Lalu dia keluar meninggalkan kami berdua saja. Kami berdua lagi. Kulihat wajahnya, memang makin pias, tapi matanya… ibunya benar, matanya menyala meski tatapannya lemah. “Terima kasih, Anna,” lirih di sela desis meringis. Aku baru ingin bersuara tapi ketukan di pintu kembali terdengar. Kali ini ibunya dan seorang perawat yang langsung menyiapkan jarum suntik. “Sudah lebih lama jeda sakitnya ya, Pak.” “Ini belum terlalu mengganggu kok. Nanti aja. Saya butuh sadar sekarang.” “Vlad, Bunda senang kamu nggak minta obat itu lagi.” Ibunya mengelus rambut Vlad. “Kemarin Dokter mau kurangin do

  • Sembilan Tahun Lagi   119, I’ll Take The Risk.

    MESKI lemah, tapi dia terkekeh. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya masih lemah. Aku masih membungkuk, membiarkan tangannya membelai wajahku sementara tanganku juga bermain di wajahnya. “Aku dijemput mereka semua.” “Kamu tuh aku harus sekarat dulu ya baru kamu ke sini? Telat dikit kamu beneran datang ke kuburan aku.” “VLAD!” Mendesis tapi berteriak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanyanya mengabaikan teriakan histerisku. Aku berkeryit kening mendengar pertanyaan itu. “Sama siapa? Sendirilah. Aku habis bagi rapot.” Dia terkekeh lemah lagi. “Bagi rapot lagi ya.” Dia tersenyum, aku mengangguk. Ada kenangan di momen itu. “Mana Papa?” “Ya?” Ayahnya mendekat. “Ck. Bukan Papa. Papanya Anna.” “Eh, kenapa nyariin Papa?” Aku bertanya berkeryit dahi. “Marry me. Now.” “Hah?” “Perjanjiannya kamu yang datang. Lalu kita nikah.” “Astaga, kambing bandot, b*ngs*t!” Erlan mendadak bersuara. “Lu napas aja pakai selang, mau nikah sekarang. Memang kuat, Sat?” “Nikah dulu baru kawin, Nyong. Gue

  • Sembilan Tahun Lagi   118, Wake Up, Vlad. It’s Me.

    DI sanalah Vlad terbaring. Aku terpaku di kaki ranjang. Wajahnya pucat dan tirus, bibirnya kering dan tubuhnya kurus dengan selang infus dan oksigen. Kakiku makin lemah, aku ingin berlari memeluknya, tapi aku hanya bisa terpaku berdiri di kaki ranjang. “Bangunkan dia, Anna,” bisik Ibu Vienna yang membuatku langsung menoleh dengan pandangan heran. Kenapa harus mengganggu tidurnya? “Vlad kenapa, Bu?” Ibu Vienna mendesah dan menyusut lendir di hidungnya. “Kurang lebih dua atau tiga minggu lalu Bunda lihat dia gelisah sekali. Tapi dia nggak mau ngomong apa-apa. Cuma dia makin gila kerja. Kadang Bunda sampai di flatnya jam sepuluh dia belum pulang, Bunda susul ke kantornya dia masih sibuk banget.” Tangannya bergerak menyelusup ke balik selimut memijat kaki Vlad. “Mas, kakinya dingin lagi…” Dia nyaris merengek. Aku hanya bisa mencengkeram tepi ranjang sampai berbuku putih. Ayahnya langsung memberikan minyak kayu putih, menuangkan ke tangan istrinya yang gesit membalurkan sambil memijat

  • Sembilan Tahun Lagi   117, Do You Love Him?

    JAM berapa ini? tanyaku dalam hati sambil melirik pergelangan tangan. Fyuhh… hampir tengah hari. Tapi masih ada satu kolom belum terisi di daftar hadir. Kubuka ponsel dan chat paling atas menampilkan nama orang yang kutunggu. Bunda Rania VIII-1, 2025 : Maaf, Bu Anna, sebentar lagi ya. Bunda Rania VIII-2, 2025 : Saya baru keluar kantor. Savannah Gayatri : Baik, Bunda. Santai aja. Savannah Gayatri : Saya masih di kelas kok. Savannah Gayatri : Hati-hati di jalan. Fyuh… Masih di kantor. Itu bisa berarti tiga puluh menit sampai satu jam lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Tanpa sadar aku menoleh ke arah lapangan. Sekarang, setiap momen pembagian rapot, selalu saja ada saat aku melirik ke lapangan itu. Mengingat saat empat tahun lalu saat dia berdiri di sana lalu datang mengacak-acak semuanya. Hatiku, dan hidupku. Seharusnya aku tidak perlu mengingat momen itu. Atau… aku boleh mengingat, tapi jangan berharap dia tiba-tiba datang. Bukankah dia su

  • Sembilan Tahun Lagi   116, Di Tahun Ke Sembilan

    SEKOLAH hiruk pikuk hari ini. Tenpat parkir penuh sampai ke lapangan upacara bahkan memakan badan jalan. Petugas keamanan dan tukang parkir dadakan sibuk mengatur kendaraan yang keluar masuk dan mencari celah parkir. Wajah-wajah cemas bercampur dengan wajah lega dan bahagia berbaur jadi satu. Anak-anak berkerumun dengan kelompoknya, beberapa berdiri di depan pintu kelas siap merebut rapor dari tangan orangtua. Tak peduli matahari yang semakin terik, kerumunan itu tak berkurang. Vlad dengan outfit formal keluar dari pintu belakang mobil sambil merapikan jas. Mobil itu harus diparkir di badan jalan. Aviator sunglasses melindungi matanya dari matahari sekaligus menyembunyikan arah tatapannya. Dengan langkah santai tapi mantap dia berjalan melewati gerbang. Di tengah lapangan, dia berhenti. Berdiri tegak seperti tongkat penunjuk jam matahari di praktikum IPA anak sekolah dasar. Matanya tertuju ke satu kelas yang masih ramai. Meski lapangan itu ramai dan riuh rendah berbagai suara, tapi s

  • Sembilan Tahun Lagi   115, (Closure?) Rendezvous

    “TERIMA kasih,” aku berpamit sambil memasukkan uang ke sling bag. Tapi pekerjaan hari ini belum selesai. Lepas berpamit, aku berjalan perlahan menikmati matahari sore yang sangat redup terhalang rinai hujan. Hanya rinai kecil yang tidak akan membuat kulitku basah. Aku malah mendongak menatap langit. Melihat langsung titik-titik air yang jatuh. Terasa lembut di wajah. Aku tersenyum. Ada kenangan akan hujan. Ah, menurutku nyaris semua orang memiliki kenangan atas hujan. Entah kenangan indah atau buruk, kenangan manis atau pahit. Aku? Aku tak tahu hujan berarti apa. Tapi hujan sering mengingatkan aku pada satu sosok— “Bu Anna, ngapain ngelihatin langit?” Sebuah suara menginterupsi lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara. Tetanggaku. “Eh, Bu Tedjo. Nggak kok, Bu. Suka aja.” “Mari, Bu Anna,” ujarnya berpamit. “Mari.” Aku melanjutkan langkah kaki. Sepanjang jalan tak putus senyum, sapa, dan salam. Beginilah kehidupan di gang kecil ini. Rumah berdekatan membuat penghuninya dekat. Saling

  • Sembilan Tahun Lagi   114, Strategi

    VLAD sudah mengantongi cukup data Bhaga untuk mulai mencari tahu. Sebenarnya dia ingin mencari tahu semuanya sendiri, tapi Bagas benar, jika dia terlalu sering ada di sekitar Bhaga, orang akan lebih mudah curiga. Sebenarnya Bagas mau Vlad terima jadi saja, tapi Vlad tidak mau. Menurut Vlad, ada banyak hal yang tidak bisa orang lain dapatkan. Harus dia yang ke sana melihat keseharian Bhaga. Dari sana dia bahkan bisa membaca ekspresi dan intonasi Bhaga. Akhirnya Bagas menyerah. Dia menyerahkan data sampai di titik di mana Bhaga biasa berkumpul dengan teman-temannya. Anak nongkrong. Vlad sudah terbiasa menjadi anak nongkrong. Seharusnya ini bukan hal yang sulit. Sejauh ini, yang dia rasa sulit adalah mencari alasan kenapa sampai dia ada begitu jauh dari pusat kegiatan masyarakat. *** Dan di sanalah dia sekarang. Di sebuah warung makan sangat sederhana sehingga bisa dibilang hanya berupa bedeng. Dari info yang dia terima, Bhaga paling sering nongkrong di sini. Masih jam sepuluh ketika

DMCA.com Protection Status