Pandangan mata tajam Rizal langsung mengarah pada sang istri yang tengah susah payah berusaha menahan tawa agar tidak pecah. Wanita itu sibuk mengunyah nasi dengan sambal bawang sembari pura-pura tak melihat wajah merah padam sang suami yang sudah tersulut emosi.
"Jihan, kamu kan tadi beli ayam crispy buat Fadil. Lalu, ayam untuk aku mana?" tanya lelaki itu pada sang istri.Seketika Jihan menghentikan aktivitasnya mengunyah dan berganti memandang ke arah sang suami dengan tatapan tajam."Bukannya Mas sendiri yang bilang, kalau aku itu istri yang boros. Makanya sekarang aku coba untuk berhemat, beli ayamnya satu aja buat Fadil. Kita cukup makan dengan sambal bawang biar hemat dan uang bulanan dari kamu cukup buat makan sebulan sekalian bayar tunggakan SPP Fadil," oceh Jihan kemudian melanjutkan kembali makannya."Ck, kalau gitu buatin aku telur dadar saja. Masih ada kan telur di kulkas."Permintaan Rizal membuat sang istri memutar bola matanya malas, enak saja dia mau makan pakai telur modal dagangan telur gulung dan seblak milik sang istri. Bantu modalin saja tak mau, kebutuhan dapur juga sang istri yang harus menutup dengan hasil jualanya."Ya nggak bisa dong, Mas. Telur itu kan modal dagangan aku, bisa bangkrut aku nanti kalau kamu jadikan lauk," ketus Jihan yang masih terlihat santai melanjutkan makanya."Ayah kasih Bunda uang yang banyak dong, biar Bunda juga bisa masak enak seperti nenek," sahut Fadil, bocah itu telah selesai melahap semua isi piringnya."Sudahlah, Mas. Makan aja pakai sambal, kalau kamu mau, itu masih ada kerupuk," ucap Jihan kemudian membawa piring kotornya ke wastafel untuk dicuci.Dengan terpaksa, Rizal menyantap nasi dengan sambal bawang beserta kerupuk yang sudah alot karena terlalu lama tersimpan di bawah tudung saji. Sembari mengunyah, lelaki itu mengirim pesan pada kakak perempuan yang satu rumah dengan sang ibu.Mbak, besok suruh ibu masak rendang daging. Pulang kerja aku mau makan di sana.Usai mengisi perut, Rizal langsung masuk kamar dan merebahkan diri sembari memunggungi sang istri. Tentu saja Jihan tahu jika sang suami sedang marah, tapi wanita itu memilih cuek karena malas jika harus berdebat lagi. Tubuhnya sudah terlalu lelah setelah seharian berjualan.*******Keesokan harinya, Rizal berangkat bekerja tanpa sarapan terlebih dahulu. Bahkan, tanpa pamit pada anak dan istrinya. Sepertinya, lelaki itu masih merasa kesal dengan sikap Jihan kemarin."Kok ayah nggak pamit sama kita, Bun?" tanya Fadil yang menyadari sikap aneh sang ayah."Mungkin ayah lupa, kamu terusin makannya ya. Bunda ganti baju dulu, terus antar kamu ke sekolah." Ucapan Jihan langsung diangguki oleh sang anak.Wanita itu beranjak, menuju ke kamar untuk berganti baju kemudian membuka laci yang selalu ia kunci selama ini. Jihan menghembuskan napasnya kasar, menatap laci berisi berbagai perhiasan emas yang semakin hari isinya semakin berkurang. Perhiasan itu adalah peninggalan almarhum sang ibu yang sama sekali tak diketahui oleh Rizal karena Jihan memang sengaja menyembunyikannya. Kalau tidak, mungkin Rizal sudah meminta Jihan untuk menjual semuanya."Bulan lalu jual kalung, sekarang jual gelang. Kalau bulan depan masih begini lebih baik cincin kawin darimu ini yang aku jual," geram Jihan kemudian memasukan gelang itu ke dalam tasnya dan kembali ke meja makan untuk menghampiri sang putra."Ayo, Nak. Kita berangkat sekarang, nanti kamu terlambat. Ini uang buat bayar SPP kamu ya," ujar Jihan sembari mengulurkan tiga lembar uang pecahan lima puluh ribu untuk membayar uang bayaran sekolah Fadil yang sudah menunggak selama tiga bulan.Bocah kelas dua sekolah dasar itu mengangguk dan menyimpan uang pemberian sang bunda ke dalam tas sekolahnya.Jihan mulai melajukan sepeda motornya menuju sekolah Fadil, hari ini ia sengaja libur berjualan karena setelah ini akan pergi ke pasar untuk menjual gelang yang sempat ia ambil sebelum berangkat. Wanita muda itu larut dalam pikiranya sendiri sampai hampir lupa jika harus berhenti di depan sekolah putranya."Stop, Bun! Stop!" pekik bocah kecil itu kala sekolahnya hampir terlewat, membuat sang bunda mengerem mendadak."Ya ampun, Sayang. Maaf ya, Bunda hampir aja lupa berhenti di sini," ucap Jihan saat sang putra mengecup punggung tangannya sebagai tanda pamit."Iya, Bunda, nggak apa-apa. Fadil sekolah dulu ya, Bunda hati-hati.""Iya, nanti jangan pulang sebelum Bunda jemput kamu ya," pesan Jihan yang langsung diangguki oleh sang putra.Jihan kembali memutar gas sepeda motornya menuju ke pasar, tujuan utamanya adalah sebuah toko perhiasan yang cukup besar. Saat hendak masuk ke dalam toko, tanpa sengaja wanita itu melihat ibu mertua dan kakak iparnya juga sedang berada di sana. Sayup-sayup terdengar obrolan kedua wanita beda usia tersebut, membuat Jihan memutuskan untuk menguping terlebih dahulu. Nampak sang ibu mertua yang tengah mencoba sebuah gelang emas."Rindi, lihat. Gelangnya bagus sekali kan?" Bu Inggar, mertua Jihan terdengar meminta pendapat pada anak sulungnya.Ya, Rindi adalah anak sulung Bu Inggar sekaligus kakak Rizal. Rindi memang anak kesayangan ibunya. Wanita muda itu adalah janda anak satu yang sudah bercerai dari suaminya. Dan Rizal sangat menyayangi keponakanya itu, mungkin karena sejak dulu lelaki itu sangat mendambakan anak perempuan. Namun, apa daya. Tuhan memberikan Fadil sebagai pelengkap kebahagiaan dalam rumah tangga mereka."Bagus sekali, Bu. Sebenarnya Rindi juga ingin belikan Putri gelang. Tapi mau gimana, uang dari Rizal sudah dipakai untuk bayar rekreasi sekolahnya minggu depan," balas Rindi dengan wajah sendu yang sengaja dibuat-buat.Jihan menautkan alis kala mendengar kata rekreasi. Pasalnya Putri, anak Rindi satu kelas dengan Fadil. Tapi kenapa Fadil sama sekali tak bicara soal rekreasi."Tenang saja, bulan depan Ibu akan minta sama Rizal buat belikan gelang untuk putri. Sekarang kita pulang yuk," ajak Bu Inggar setelah membayar gelang yang dipilihnya."Iya, Bu. Tapi beli daging dulu ya, Rizal kan minta dimasakin rendang," ucap Rindi mengingatkan sang ibu.Lagi-lagi Jihan harus menahan rasa sesak di dalam hatinya kala mengetahui sang suami lebih memilih memberikan uang gajinya untuk sang ibu dan makan enak di sana tanpa mempedulikan anak dan istrinya di rumah."Kenapa kamu bisa lakukan semua ini, Mas. Baiklah, aku akan ikuti permainan kamu. Biar saja kamu setiap hari makan di rumah ibumu," geram Jihan dengan kedua tinju yang mengepal.Jihan segera menghampiri Bu Inggar dan Rindi yang hendak keluar dari toko perhiasan itu."Ibu, Mbak Rindi." Panggilan Jihan membuat kedua wanita itu menghentikan langkah, Bu Inggar yang sedikit terkejut melihat kehadiran sang menantu berusaha untuk menetralkan ekspresinya."Eh, Jihan. Kamu di sini juga, mau ngapain?" tanya Bu Inggar berbasa-basi sembari menunjukan gelang yang telah melingkar cantik di pergelangan tangannya."Paling dia mau jual perhiasan, Bu. Eh, tapi dia kan nggak punya perhiasan. Atau jangan-jangan mau jual cincin nikahnya buat makan kali ya, Bu. Kasihan banget," ejek Rindi yang sengaja memanas-manasi Jihan."Iya, Mbak. Aku mau jual cincin nikah untuk makan karena nafkah untukku sudah direbut oleh ibu mertua dan kakak iparku!"Jihan dengan sengaja mengeraskan suaranya hingga mengundang perhatian beberapa pengunjung toko emas tersebut. Beberapa ibu-ibu berbisik sembari memandang negatif ke arah Bu Inggar dan putri sulungnya."Kurang ajar ya kamu, Jihan. Sengaja kamu mau mempermalukan kami?" bisik Bu Inggar dengan mata melotot.Jihan tersenyum kecut, bukan maksudnya untuk bersikap kurang ajar pada ipar dan ibu mertuanya. Namun, rasa hatinya sudah benar-benar lelah. Untuk apa menghormati mertua dan ipar yang selalu menindas, bahkan tega mengambil hak nafkahnya."Ibu malu? Kenapa? Apa Ibu memang merasa sudah merebut hakku dan anakku," balas Jihan kian sengit, membuat kedua wanita itu memilih untuk segera pergi sebelum bertambah malu.Jihan menatap punggung dua wanita yang kian menjauh dari pandangan mata, kemudian memutar badan untuk kembali pada tujuan utamanya. Namun, satu pemikiran terlintas di benaknya."Ibu dan Mbak Rindi pasti akan bilang ke Mas Rizal kalau aku jual cincin nikah, jadi sebaiknya memang aku
Fadil sedikit tersentak kaget kala mendengar suara keras sang ayah yang langsung menggema di seluruh sudut ruangan. Beruntung, bocah itu telah menghabiskan semua isi piringnya. Sepercik kekecewaan muncul di hati bocah kecil itu kala mengingat sikap sang ayah yang seolah tak mempedulikan dirinya dan sang bunda. Tanpa diminta, bocah itu pamit pada Jihan untuk masuk ke dalam kamarnya."Bunda, Fadil sudah kenyang. Sekarang Fadil mau ke kamar dulu ya, capek," pamit Fadil pada sang bunda, Jihan mengangguk. Mengerti jika sang anak tak ingin melihat pertengkaran kedua orang tuanya.Jihan mengangguk, kemudian tersenyum menatap ke arah punggung sang anak yang sudah menghilang di balik pintu kamar. Kini, sorot mata wanita itu berubah tajam, menatap sang suami yang masih berdiri di hadapannya dengan wajah bengis."Maksud kamu apa-apaan gimana tadi, Mas?" tanya Jihan pada sang suami.Rizal mendengus kesal, wajahnya merah padam menahan emosi. Lelaki itu menghenyakkan bobot tubuhnya di kursi seberan
Mentari pagi mulai menampakkan sinarnya meski masih sedikit malu-malu karena tertutup tebalnya awan mendung. Burung-burung mulai bernyanyi membawa harum aroma embun pagi yang membasahi dedaunan. Jihan mulai menggeliat dari nyenyak tidurnya, tangannya terulur untuk meraba sisi ranjang yang terasa dingin. Pertanda jika semalam sang suami benar-benar tak pulang ke rumah.Wanita itu menyandarkan dirinya di kepala ranjang dan segera mengambil benda pipih yang berada di atas nakas, melihat siapa tahu ada panggilan tak terjawab dari sang suami karena semalam Jihan telah mengunci pintu rumahnya. Namun nihil, tak ada satupun telepon atau pesan yang masuk dari Rizal. Jihan terdiam, pandangannya nanar ke arah jendela yang masih tertutup oleh kain gorden bermotif bunga. Sedang tangannya meremas benda pipih yang masih berada dalam genggamannya karena merasa dongkol."Sepertinya kamu memang sudah tak menganggap aku dan Fadil sebagai bagian dari hidupmu, Mas," gumam Jihan kemudian melangkahkan kakin
Kening Jihan mengernyit, wanita itu tengah berusaha untuk mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Bu RT. Suaminya membeli sepeda motor baru, tapi uang dari mana? Sedangkan yang dipakai Rizal saat ini saja adalah sepeda motor Jihan yang dibeli jauh sebelum menikah dengan Rizal dahulu, wanita itu hanya bisa menerima kala sang suami memintanya memakai motor matic buntut milik Rizal dengan alasan Jihan hanya memakainya untuk pergi ke pasar sedangkan Rizal harus bekerja setiap hari."Mbak, Mbak Jihan kok melamun. Terlalu senang ya mau dapat kado motor baru dari suami?" goda Bu RT sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Dua wanita beda generasi itu memang cukup akrab lantaran sikap Jihan yang sopan dan ramah.Jihan tersenyum canggung karena ketauhan Bu RT ketika sedang melamun, "Ah Ibu bisa saja, mana mungkin Mas Rizal beli motor baru. Lha wong dia saja pakai motor saya.""Ya siapa tahu aja diam-diam Mas Rizal nabung, Mbak. Buktinya dia beli motor itu secara cash lho, bukan kredit,
Jihan mengangkat kembali kakinya untuk mengambil sesuatu yang baru saja terinjak. Dipungutnya sebuah kertas kecil mirip dengan struk belanja dari atas lantai, mata Jihan memincing. Bola matanya bergerak ke kanan ke kiri, menelisik tulisan-tulisan kecil yang berada di atas kertas. Dan akhirnya, rasa penasaran Jihan terjawab juga."Rizal Aditama, assisten manager merk, empat belas juta rupiah." Komat-kamit mulut Jihan membaca tulisan pada kertas yang kini berada dalam genggamanya.Mata wanita itu membola, tangannya terangkat untuk mengucek mata yang sebenarnya tak merasa mengantuk. Hanya untuk memastikan jika pengelihatannya tidak salah. Hati Jihan kian kecewa, benarkah Rizal naik jabatan setinggi itu, yang awalnya hanya buruh kontrak di bagian produksi sekarang berubah menjadi assisten manager merk. Bagaimana bisa, padahal pendidikan terakhir Rizal hanya lulusan sekolah menengah atas.Jihan meremas kertas itu kemudian memasukkannya ke dalam saku daster yang ia kenakan. Melangkahkan kak
Suara keras Jihan membuat sang suami menghentikan langkahnya di depan pintu. Lelaki itu tersenyum miring, sudah menebak jika Jihan akan menahan kepergiannya. Karena ia tahu jika sang istri sangat mencintainya. Bahkan, dulu Jihan rela menentang restu sang ayah demi bisa menikah dengan Rizal. Lelaki itu segera menghapus senyum dan memutar badan untuk menghadap sang istri yang sudah berdiri sembari melipat tangan di depan dada."Ada apa, Jihan? Mau mencegah kepergianku?" ucap Rizal dengan pandangan remeh, lelaki itu terlalu percaya diri.Tak seperti yang diharapkan oleh Rizal, wanita cantik itu malah menadahkan telapak tangan, "Kembalikan kunci sepeda motorku, bawa sepeda motormu sendiri yang buntut itu!"Rizal terperangah dibuatnya, tak menyangka Jihan akan meminta kembali sepeda motor yang selama ini pakai untuk pergi bekerja."Ayo mana kuncinya, ini kunci sepeda motor buntutmu." Jihan mengulurkan kunci sepeda motor buntut yang selama ini ia pakai kepada Rizal."Nih, makan tuh sepeda m
Mentari pagi telah kembali berkunjung, bersama kehangatan yang menyesap butiran embun di dedaunan. Rizal baru saja selesai menikmati sarapan pagi bersama keluarganya dan tengah bersiap untuk berangkat bekerja setelah pertengkaran yang membuatnya diusir oleh Jihan semalam."Mbak Rindi mau ngantar putri ke sekolah?" tanya Rizal pada sang kakak yang baru saja menyambar kunci sepeda motor barunya."Iya Zal, siapa tahu nanti ketemu si Jihan itu. Lumayan, bisa sekalian pamer biar kebakaran jenggot," ucap Rindi dengan senyum sumringah."Gimana kalau putri berangkat kerja bareng aku aja, Mbak? Sekalian aku pakai sepeda motor Mbak. Malu aku, masa seorang asisten manager di perusahaan rokok paling terkenal berangkat kerja pakai sepeda motor buntut," keluh Rizal dengan wajah memelas.Rindi memutar bola matanya seperti sedang memikirkan sesuatu kemudian menepuk lembut pundak adiknya, "Ngapain malu, justru ini kesempatan. Siapa tahu Indri kasihan lihat kamu terus dikasih motor baru kan lumayan.""
Jihan menarik napasnya dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Berusaha untuk memasang wajah setenang mungkin, menata emosinya baru kemudian membuka pintu yang masih terus digedor oleh ibu mertua dan kakak iparnya itu.Pintu terbuka, Jihan tersenyum dengan manis menatap dua tamunya dengan wajah tegas. Sementara Bu Inggar dan Rindi terpanah untuk beberapa saat melihat perhiasan yang melekat di tubuh Jihan. Otak Bu Inggar dan Rindi seketika bekerja keras, menerka-nerka dari mana Jihan mendapatkan uang untuk membeli satu set perhiasan semewah itu."Ibu, Mbak Rindi, ada apa?" Suara Jihan membuat dua wanita beda generasi itu tersadar dari lamunannya.Bu Inggar menatap tajam sang menantu, bersiap untuk memaki-maki wanita yang sudah hampir sepuluh tahun mendampingi Rizal, dan selama itu pula Jihan menjadi istri yang baik serta penurut untuk Rizal."Heh Jihan, berani sekali kamu mengusir anak saya dari rumah ini! Memangnya kamu bisa apa tanpa Rizal, hah?" Bu Inggar berucap sembari bertola
Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu
Jihan mengernyitkan keningnya, ia tak ingat jika hari ini ada janji dengan seseorang. Dengan malas, janda muda itu mengarahkan pandangan menuju ke teras, tempat di mana seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas tengah duduk menopang kaki sembari memainkan ponsel mewah keluaran terbaru."Pak Brama, mau apa lagi sih dia datang ke sini? Pasti mau bikin masalah!" gerutu Jihan setelah mengetahui siapa tamunya.Wanita itu turun dari mobil dan menghampiri sang tamu yang belum menyadari kedatanganya karena terlalu asyik bermain ponsel."Mau apa lagi Bapak datang ke rumah saya?" tanya Jihan tanpa menyapa lelaki itu terlebih dahulu.Brama mendongak, menatap Jihan kemudian menyunggingkan sebuah senyuman."Saya ingin bertemu dengan cucu saya," jawab Brama dengan begitu santai.Kedua alis Jihan saling bertaut setelah mendengar pernyataan lelaki tua itu."Cucu? Memangnya siapa cucu Bapak? Saya rasa, cucu Anda tidak ada di sini," ucap Jihan ketus.Di halaman depan, Anjas baru saja turun dari mo
Mata Anjas dan Rizal membelalak sempurna kala melihat Jihan yang menepis tangan Indri dengan begitu kasar dan mendaratkan tamparan keras di pipi wanita bertubuh gemuk tersebut."Jihan, apa-apaan kamu!" Rizal segera menarik tubuh Indri dan memeluknya, ia tak ingin keadaan semakin kacau.Jihan tersenyum miring seraya menepuk-nepuk tanganya sendiri yang seolah terkena kotoran setelah menampar wajah Indri."Aku sama sekali tak berniat untuk berbuat kasar kepada istrimu, tapi dia yang memulai," balas Jihan kemudian."Tapi nggak seharusnya kamu menamparnya." Rizal masih berusaha membela sang istri."Lalu, aku harus berdiam diri dan membiarkan dia melukaiku? Maaf, aku bukan Jihan yang dulu, sekarang aku tak akan membiarkan seorang pun menggores luka di hidupku. Termasuk kamu!" Jihan menekan kalimatnya, kemudian menoleh ke arah Anjas yang masih terpaku menatapnya."Ayo kita pulang, Njas. Masih ada urusan kita yang lebih penting dibanding berdebat dengan manusia seperti mereka," tambahnya kemu
Mentari mulai bersinar, menebar kehangatan di dunia bersama dengan embun pagi yang mulai menghilang di dedaunan. Hari yang ditunggu oleh Jihan telah tiba, ini adalah hari di mana ia harus pergi ke pengadilan agama untuk mengambil akta cerai sekaligus hari pembukaan caffe baru yang ia bangun dengan Anjas."Bunda, ayo keluar. Pak Anjas sudah menunggu di depan," ajak Fadil yang sudah berdiri di depan pintu. Bocah kecil itu tersenyum, memandangi penampilan sang ibu yang nampak begitu sempurna dengan balutan dress selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi. Wajah ayu terpoles make up natural dan rambut lurus sepinggang yang ditata curly pada bagian ujungnya membuat penampilan jihan sangat memukau."Ayo, Sayang. Bunda dan Pak Anjas antar kamu ke sekolah dulu, nanti siang Pak Anjas yang jemput kamu untuk datang ke pembukaan caffe." Jihan menggandeng tangan sang putra untuk keluar kamar.Bocah kecil itu terdiam dengan dahi berkerut tajam, ada tanda tanya besar di benaknya karena hari ini A