Jihan mengangkat kembali kakinya untuk mengambil sesuatu yang baru saja terinjak. Dipungutnya sebuah kertas kecil mirip dengan struk belanja dari atas lantai, mata Jihan memincing. Bola matanya bergerak ke kanan ke kiri, menelisik tulisan-tulisan kecil yang berada di atas kertas. Dan akhirnya, rasa penasaran Jihan terjawab juga.
"Rizal Aditama, assisten manager merk, empat belas juta rupiah." Komat-kamit mulut Jihan membaca tulisan pada kertas yang kini berada dalam genggamanya.Mata wanita itu membola, tangannya terangkat untuk mengucek mata yang sebenarnya tak merasa mengantuk. Hanya untuk memastikan jika pengelihatannya tidak salah. Hati Jihan kian kecewa, benarkah Rizal naik jabatan setinggi itu, yang awalnya hanya buruh kontrak di bagian produksi sekarang berubah menjadi assisten manager merk. Bagaimana bisa, padahal pendidikan terakhir Rizal hanya lulusan sekolah menengah atas.Jihan meremas kertas itu kemudian memasukkannya ke dalam saku daster yang ia kenakan. Melangkahkan kakinya ke teras dan kembali membuka kedai sembari menunggu kepulangan Rizal untuk menanyakan semuanya. Jika benar Rizal sekarang bekerja dengan jabatan itu, pantaslah bisa membelikan Rindi sebuah sepeda motor keluaran terbaru. Tapi, mengapa Rizal sama sekali tak memberi tahu sang istri. Apakah Rizal terlalu takut mengeluarkan uang untuk anak dan istrinya? Memikirkan semua kemungkinan itu membuat kepala Jihan terasa berdenyut."Sepertinya kamu benar-benar ingin main petak umpet denganku, Mas. Namun, aku akan segera menangkapmu," batin Jihan dalam hati.*******Hari telah menjelang malam saat Jihan menutup kedai seblaknya dan merasa lelah menunggu Rizal yang tak kunjung pulang. Wanita itu memutuskan memesan makanan lewat gofood untuk makan malam. Satu ekor ayam panggang lengkap dengan urap dan lalapan menjadi menu pilihannya. Jihan segera menata makanan yang baru saja datang di atas meja makan, kemudian memanggil sang anak untuk makan bersama tanpa menunggu Rizal yang mungkin masih betah berada di rumah Bu Inggar."Fadil, ayo kita makan, Nak. Bunda beli ayam panggang lho," ajak Jihan pada putranya yang langsung tersenyum lebar kala mendengar kata ayam panggang.Bocah itu mengangguk kemudian berlari kecil menuju ke ruang makan. Mata Fadil berbinar mendapati satu ekor ayam panggang utuh yang berada di atas meja."Kok Bunda sekarang makananya beli terus, enak lagi. Nanti kalau ayah marah karena uang Bunda habis bagaimana?" celetuk bocah kecil itu seraya menatap heran ke arah Jihan yang mengulas senyuman."Karena Fadil juga butuh makanan bergizi, ayo kita makan."Jihan mendudukan putranya di salah satu kursi kemudian mengambilkan nasi beserta lauk untuk bocah lelaki itu. Nampak Fadil yang makan dengan begitu lahap. Dari arah luar, terdengar suara sepeda motor yang mulai mendekat. Pertanda jika Rizal pulang ke rumah, seketika mata Fadil tertuju ke arah pintu. Namun, bocah itu langsung memalingkan muka kala sang ayah telah masuk ke dalam rumah. Hati Fadil masih sangat sakit ketika mengingat perlakuan sang ayah tadi siang yang menolaknya hanya demi Putri, keponakannya.Sementara Jihan terus menikmati makannya tanpa menyapa ataupun mengajak sang suami untuk makan bersama. Rizal mendekat ke arah anak dan istrinya, matanya memincing melihat hidangan yang tersaji di atas meja."Bagus ya, Jihan. Boros banget, setiap hari makan enak terus. Habis-habisin uangku saja!" bentak Rizal tiba-tiba.Tanpa diduga, Fadil segera mendorong piringnya menjauh dengan kasar hingga menimbulkan bunyi. Padahal isi piringnya masih tersisa setengah."Ayah, datang-datang selalu merusak kebahagiaanku dan Bunda!" teriak Fadil kemudian masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya dengan keras.Rizal terperanjat melihat sikap sang anak, lelaki itu merasakan sedikit kepedihan kala mendengar makian dari putranya. Namun, lagi-lagi Jihanlah yang menjadi sasaran. Lelaki itu menganggap jika sang istri tak becus mengurus dan mendidik anak hingga Fadil bisa bersikap sebar-bar itu."Lihat itu Jihan hasil didikan kamu, nggak ada sopan santunnya sama orang tua!" Jihan ikut mendorong piringnya menjauh mendengar perkataan suaminya, namun wanita itu sama sekali tak terpancing emosi."Ya jelas hasil didikanku lah, Mas. Memangnya kamu pernah mendidiknya? Kamu terlalu sibuk dengan keponakanmu, sampai kamu membelikannya sepeda motor keluaran terbaru pula," sindir Jihan, wanita itu menatap sang suami dengan pandangan remeh."Apa maksud kamu sepeda motor baru? Mana ada aku belikan sepeda motor baru untuk keponakanku, jangan mengada-ada," kilah Rizal yang berusaha menutupi kebohongannya.Jihan beranjak dari duduknya, melipat tangan di depan dada dan memandang sang suami dengan tatapan jijik. Ternyata Rizal tak lebih dari seorang pembohong dan lelaki egois."Jangan bohong lagi, Mas. Aku lihat kamu di dealer tadi pagi. Selain itu, keponakanmu juga bilang pada Fadil, dan kakakmu yang cantik itu sudah pamer di media sosial miliknya."Rizal mulai kelabakan, bodohnya Rindi. Mengapa tak melarang Putri untuk bercerita pada Fadil. Rindi juga, kenapa kebiasaan pamernya tak melihat keadaan. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya, mencari-cari alasan agar Jihan tak semakin murka."Jadi kamu tidak percaya dan tetap menuduhku membelikan sepeda motor untuk Putri? Terserah kalau begitu, gaji saja aku pas-pasan pake dituduh yang aneh-aneh pula!" Rizal kembali berkelit, tetap tak mau mengakui kebohongannya.Jihan berdecih kemudian mengambil sesuatu dari dalam saku dasternya. Menunjukan kertas slip gaji itu tepat di depan mata Rizal."Ini, slip gaji assisten manager merk dengan gaji empat belas juta rupiah atas namamu, Mas. Dan slip gaji ini untuk bulan maret lalu, sedangkan sekarang bulan juni. Kalau dihitung tentu saja cukup untuk beli sepeda motor baru, lebih malah?" Serangan Jihan kali ini benar-benar telak hingga berhasil membuat Rizal terperangah."Dari mana kamu dapat itu? Kamu geledah dompet aku? Lancang kamu Jihan!""Memangnya kamu sembunyikan slip gaji kamu di dompet selama ini? Aku menemukannya terjatuh di lantai kamar kok. Kenapa kamu bohong selama ini, Mas? Bagaimana bisa kamu tiba-tiba naik jabatan tinggi?" Jihan masih berusaha untuk mengetahui apa yang menjadi ganjalan di hatinya, rasanya aneh jika seorang buruh pabrik dengan ijazah SMA bisa langsung naik jabatan menjadi assisten manager merk."Semua itu bukan urusanmu, Jihan. Kamu itu hanya orang lain yang kebetulan menjadi pasangan hidupku dan tak berjasa apa-apa. Jadi wajar kalau aku berikan gajiku untuk ibu dan kakakku yang sudah merawatku dari kecil." Rizal masih tak mau mengalah, merasa tak bersalah sudah menjadikan sang istri sebagai tulang punggung yang memenuhi kebutuhan anaknya.Sekuat apapun Jihan, ia hanya wanita biasa. Sekuat tenaga menahan, akhirnya satu tetes bulir bening berhasil membasahi sudut matanya."Aku mungkin memang orang lain, Mas. Tapi Fadil, dia darah dagingmu. Apa kamu juga tega sama dia? Kalau aku harus berjuang seorang diri untuk memenuhi kebutuhan anakku, lalu apa arti pernikahan ini? Apa hanya sebatas status di mata hukum dan di atas kertas?" Jihan terduduk di sofa, meratapi nasib yang ternyata salah dalam memilih pendamping hidup."Arrrghh, cerewet banget kamu jadi perempuan. Memang benar kata ibu dan kakakku, kamu adalah istri yang hanya bisa bikin pusing suami," maki Rizal pada istrinya, lelaki itu menyambar kunci sepeda motor yang ada di atas meja dan melangkah lebar hendak keluar dari rumah itu."Tunggu, Mas!"Suara keras Jihan membuat sang suami menghentikan langkahnya di depan pintu. Lelaki itu tersenyum miring, sudah menebak jika Jihan akan menahan kepergiannya. Karena ia tahu jika sang istri sangat mencintainya. Bahkan, dulu Jihan rela menentang restu sang ayah demi bisa menikah dengan Rizal. Lelaki itu segera menghapus senyum dan memutar badan untuk menghadap sang istri yang sudah berdiri sembari melipat tangan di depan dada."Ada apa, Jihan? Mau mencegah kepergianku?" ucap Rizal dengan pandangan remeh, lelaki itu terlalu percaya diri.Tak seperti yang diharapkan oleh Rizal, wanita cantik itu malah menadahkan telapak tangan, "Kembalikan kunci sepeda motorku, bawa sepeda motormu sendiri yang buntut itu!"Rizal terperangah dibuatnya, tak menyangka Jihan akan meminta kembali sepeda motor yang selama ini pakai untuk pergi bekerja."Ayo mana kuncinya, ini kunci sepeda motor buntutmu." Jihan mengulurkan kunci sepeda motor buntut yang selama ini ia pakai kepada Rizal."Nih, makan tuh sepeda m
Mentari pagi telah kembali berkunjung, bersama kehangatan yang menyesap butiran embun di dedaunan. Rizal baru saja selesai menikmati sarapan pagi bersama keluarganya dan tengah bersiap untuk berangkat bekerja setelah pertengkaran yang membuatnya diusir oleh Jihan semalam."Mbak Rindi mau ngantar putri ke sekolah?" tanya Rizal pada sang kakak yang baru saja menyambar kunci sepeda motor barunya."Iya Zal, siapa tahu nanti ketemu si Jihan itu. Lumayan, bisa sekalian pamer biar kebakaran jenggot," ucap Rindi dengan senyum sumringah."Gimana kalau putri berangkat kerja bareng aku aja, Mbak? Sekalian aku pakai sepeda motor Mbak. Malu aku, masa seorang asisten manager di perusahaan rokok paling terkenal berangkat kerja pakai sepeda motor buntut," keluh Rizal dengan wajah memelas.Rindi memutar bola matanya seperti sedang memikirkan sesuatu kemudian menepuk lembut pundak adiknya, "Ngapain malu, justru ini kesempatan. Siapa tahu Indri kasihan lihat kamu terus dikasih motor baru kan lumayan.""
Jihan menarik napasnya dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Berusaha untuk memasang wajah setenang mungkin, menata emosinya baru kemudian membuka pintu yang masih terus digedor oleh ibu mertua dan kakak iparnya itu.Pintu terbuka, Jihan tersenyum dengan manis menatap dua tamunya dengan wajah tegas. Sementara Bu Inggar dan Rindi terpanah untuk beberapa saat melihat perhiasan yang melekat di tubuh Jihan. Otak Bu Inggar dan Rindi seketika bekerja keras, menerka-nerka dari mana Jihan mendapatkan uang untuk membeli satu set perhiasan semewah itu."Ibu, Mbak Rindi, ada apa?" Suara Jihan membuat dua wanita beda generasi itu tersadar dari lamunannya.Bu Inggar menatap tajam sang menantu, bersiap untuk memaki-maki wanita yang sudah hampir sepuluh tahun mendampingi Rizal, dan selama itu pula Jihan menjadi istri yang baik serta penurut untuk Rizal."Heh Jihan, berani sekali kamu mengusir anak saya dari rumah ini! Memangnya kamu bisa apa tanpa Rizal, hah?" Bu Inggar berucap sembari bertola
Jihan mendekat ke arah sang anak sembari menunggu seorang laki-laki dengan seragam batik khas seorang guru yang baru saja mengantar putranya untuk membuka helm."Fadil, maaf ya. Bunda telat jenput kamu hari ini," ucap Jihan dengan wajah bersalah, ini pertama kali Jihan bisa lupa menjemput bocah kecil itu dari sekolahnya.Fadil tersenyum mendengar permintaan maaf dari sang bunda, "Tidak apa-apa Bunda, untung ada Pak Anjas yang sudah baik hati mengantar Fadil pulang."Dahi Jihan mengernyit kala putranya menyebut sebuah nama yang terasa begitu familiar di telinga. Wanita itu mengalihkan fokus pandangan pada laki-laki yang kini sudah berdiri di samping putranya. Tanpa sengaja keduanya saling beradu pandang dengan ekspresi wajah yang sama-sama terkejut."JIHAN, ANJAS!" sorak mereka bersamaan."Lho, Bunda kenal sama Pak Anjas?" heran Fadil melihat tingkah dua orang dewasa yang tengah berdiri di hadapannya. Lelaki bernama Anjas itu tersenyum kemudian kembali menatap ke arah Jihan."Kamu bena
Jihan memandang wajah lelaki di hadapannya lekat-lekat. Lelaki yang dulu cintanya sangat ia perjuangkan, lelaki yang begitu ia cintai hingga mata hatinya mulai dibuka oleh kenyataan."Maaf, Mas. Kata maafmu tak akan bisa merubah apapun." Kalimat itu meluncur dengan mudah dari bibir Jihan. Rasanya tak ada guna mempertahankan pernikahan ini. Kalaupun Rizal benar-benar berubah, pasti mertua dan iparnya yang benalu itu tak akan rela.Rizal masih belum percaya dengan jawaban sang istri barusan, ia yakin Jihan masih mencintai dirinya. Tak mungkin wanita itu benar-benar ingin berpisah dan menyandang status janda. Mengingat apa yang sudah ia korbankan demi menikah dengan Rizal."Jihan, kamu sedang bercanda kan? Apa kamu lupa bagaimana perjuangan kita saat mengejar restu dari orang tuamu agar bisa menikah?" ujar Rizal, lelaki itu berusaha menggenggam jemari sang istri namun segera ditepis oleh si empunya."Aku tidak pernah lupa, Mas. Bahkan aku ingat jika aku harus mangambil uang tabunganku un
Matahari masih malu-malu untuk menampakan sinarnya, hawa dingin juga masih begitu terasa menusuk di kulit. Namun, Jihan sudah sibuk berkutat di dapur. Menyiapkan bekal makanan yang akan ia bawa untuk menemani Fadil rekreasi sekolah dengan naik kereta kelinci. Wanita itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan indah kala memandangi beberapa kotak makanan yang sudah tertata rapi di atas meja makan. Langkah kaki Jihan terayun menuju ke kamar Fadil yang sedang membereskan ranjang kecilnya. Bocah laki-laki itu sengaja bangun lebih pagi karena tak sabar untuk segera menikmati acara sekolahnya hari ini."Wah, anak Bunda sudah bangun nih. Semangat sekali yang mau jalan-jalan naik kereta kelinci," goda Jihan yang bersandar di pintu sembari melipat kedua tangan di depan dada."Iya dong, Fadil mandi dulu ya, Bun." Bocah lelaki itu langsung berlari ke arah kamar mandi, maninggalkan Jihan yang hanya bisa menatap punggung putranya dengan sebuah senyuman. Wanita itu juga memutuskan
Mata Jihan memincing kala melihat Rindi yang semakin mendekat ke arahnya. Ia yakin jika Rindi memiliki niatan tak baik, Jihan hanya diam memperhatikan gerakan janda muda itu. Bersiap-siap jika Rindi hendak melakukan sesuatu yang buruk padanya. Apalagi saat ini Anjas dan Rizal sama-sama tak memperhatikan mereka karena sibuk menemani anak-anak berenang. Rindi langsung menghenyak di kursi seberang Jihan dengan sorot mata tajam."Heh wanita gatal, benar-benar keterlaluan ya kamu. Belum juga ditalak sama adikku sudah berani menempel dengan pria lain seperti benalu," maki Rindi pada wanita yang masih berstatus sebagai adik iparnya itu.Jihan tak ingin terpancing emosi. Wanita itu malah tersenyum menatap ke arah kakak iparnya, "Apa Mbak Rindi nggak salah bicara dengan menyebutku wanita gatal? Setahuku, Mbak sendiri yang dari tadi terus berusaha menggoda Anjas meski tak ditanggapi. Tapi maklum ya, namanya juga janda," ejek Jihan kemudian menatap kakak iparnya dengan sebuah pandangan remeh.Wa
Dengan terburu-buru, Rizal keluar dari mobil merah yang ia kemudikan. Matanya menatap kagum pada sebuah mobil putih berharga mahal itu. Rindi dan Putri yang baru turun juga segera mendekat ke arah mobil Rizal, bahkan tangan Putri tengah mengelus mobil mewah itu."Zal, ini mobil siapa? Bagus banget, pasti mahal ya?" Rindi menepuk pundak adiknya dengan cukup kencang, membuat lelaki itu meringis memegangi pundaknya yang terasa panas."Nggak tahu, Mbak. Mungkin Indri kirim mobil lagi untuk Rizal," jawab Rizal dengan wajah bangga.Lelaki itu melangkah masuk ke dalam rumah, hendak bertanya pada sang ibu tentang mobil yang terparkir di halaman depan. Namun, langkah Rizal terhenti kala melihat Indri yang tengah duduk manis di ruang tamu bersama sang ayah dan Bu Inggar."I-Indri, Pak Brama, kalian ada di sini?" sapa Rizal berbasa-basi."Rizal, Rindi, ayo duduk. Indri dan ayahnya datang ke sini ingin membicarakan hal penting," panggil Bu Inggar pada kedua anaknya. Rindi memberikan kode pada Put
Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu
Jihan mengernyitkan keningnya, ia tak ingat jika hari ini ada janji dengan seseorang. Dengan malas, janda muda itu mengarahkan pandangan menuju ke teras, tempat di mana seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas tengah duduk menopang kaki sembari memainkan ponsel mewah keluaran terbaru."Pak Brama, mau apa lagi sih dia datang ke sini? Pasti mau bikin masalah!" gerutu Jihan setelah mengetahui siapa tamunya.Wanita itu turun dari mobil dan menghampiri sang tamu yang belum menyadari kedatanganya karena terlalu asyik bermain ponsel."Mau apa lagi Bapak datang ke rumah saya?" tanya Jihan tanpa menyapa lelaki itu terlebih dahulu.Brama mendongak, menatap Jihan kemudian menyunggingkan sebuah senyuman."Saya ingin bertemu dengan cucu saya," jawab Brama dengan begitu santai.Kedua alis Jihan saling bertaut setelah mendengar pernyataan lelaki tua itu."Cucu? Memangnya siapa cucu Bapak? Saya rasa, cucu Anda tidak ada di sini," ucap Jihan ketus.Di halaman depan, Anjas baru saja turun dari mo
Mata Anjas dan Rizal membelalak sempurna kala melihat Jihan yang menepis tangan Indri dengan begitu kasar dan mendaratkan tamparan keras di pipi wanita bertubuh gemuk tersebut."Jihan, apa-apaan kamu!" Rizal segera menarik tubuh Indri dan memeluknya, ia tak ingin keadaan semakin kacau.Jihan tersenyum miring seraya menepuk-nepuk tanganya sendiri yang seolah terkena kotoran setelah menampar wajah Indri."Aku sama sekali tak berniat untuk berbuat kasar kepada istrimu, tapi dia yang memulai," balas Jihan kemudian."Tapi nggak seharusnya kamu menamparnya." Rizal masih berusaha membela sang istri."Lalu, aku harus berdiam diri dan membiarkan dia melukaiku? Maaf, aku bukan Jihan yang dulu, sekarang aku tak akan membiarkan seorang pun menggores luka di hidupku. Termasuk kamu!" Jihan menekan kalimatnya, kemudian menoleh ke arah Anjas yang masih terpaku menatapnya."Ayo kita pulang, Njas. Masih ada urusan kita yang lebih penting dibanding berdebat dengan manusia seperti mereka," tambahnya kemu
Mentari mulai bersinar, menebar kehangatan di dunia bersama dengan embun pagi yang mulai menghilang di dedaunan. Hari yang ditunggu oleh Jihan telah tiba, ini adalah hari di mana ia harus pergi ke pengadilan agama untuk mengambil akta cerai sekaligus hari pembukaan caffe baru yang ia bangun dengan Anjas."Bunda, ayo keluar. Pak Anjas sudah menunggu di depan," ajak Fadil yang sudah berdiri di depan pintu. Bocah kecil itu tersenyum, memandangi penampilan sang ibu yang nampak begitu sempurna dengan balutan dress selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi. Wajah ayu terpoles make up natural dan rambut lurus sepinggang yang ditata curly pada bagian ujungnya membuat penampilan jihan sangat memukau."Ayo, Sayang. Bunda dan Pak Anjas antar kamu ke sekolah dulu, nanti siang Pak Anjas yang jemput kamu untuk datang ke pembukaan caffe." Jihan menggandeng tangan sang putra untuk keluar kamar.Bocah kecil itu terdiam dengan dahi berkerut tajam, ada tanda tanya besar di benaknya karena hari ini A