Dengan terburu-buru, Rizal keluar dari mobil merah yang ia kemudikan. Matanya menatap kagum pada sebuah mobil putih berharga mahal itu. Rindi dan Putri yang baru turun juga segera mendekat ke arah mobil Rizal, bahkan tangan Putri tengah mengelus mobil mewah itu."Zal, ini mobil siapa? Bagus banget, pasti mahal ya?" Rindi menepuk pundak adiknya dengan cukup kencang, membuat lelaki itu meringis memegangi pundaknya yang terasa panas."Nggak tahu, Mbak. Mungkin Indri kirim mobil lagi untuk Rizal," jawab Rizal dengan wajah bangga.Lelaki itu melangkah masuk ke dalam rumah, hendak bertanya pada sang ibu tentang mobil yang terparkir di halaman depan. Namun, langkah Rizal terhenti kala melihat Indri yang tengah duduk manis di ruang tamu bersama sang ayah dan Bu Inggar."I-Indri, Pak Brama, kalian ada di sini?" sapa Rizal berbasa-basi."Rizal, Rindi, ayo duduk. Indri dan ayahnya datang ke sini ingin membicarakan hal penting," panggil Bu Inggar pada kedua anaknya. Rindi memberikan kode pada Put
Baru saja Jihan sampai di depan gerbang sekolah putranya, tiba-tiba Rindi datang menghampiri dengan sebuah undangan pernikahan yang berada di tangannya. Janda muda itu berniat untuk memanas-manasi Jihan, agar adik iparnya itu merasa terpuruk setelah mengetahui Rizal akan menikah lagi."Hai Jihan, apa kabar kamu?" Suara Rindi terdengar begitu ramah di telinga, berbeda dengan yang biasanya selalu ketus ketika bertemu denganya. Namun, tetap saja Jihan bisa membaca jika janda muda itu memiliki memiliki niat terselubung.Jihan mengulas senyum menatap kakak iparnya, "Hai, Mbak Rindi. Kabarku baik, ada apa?""Apa kamu yakin kalau setelah ini masih akan baik-baik saja?" Rindi menaikkan sebelah alis seolah tengah mengejek."Budhe Rindi mau apa lagi deketin bundaku?" sorak Fadil yang baru saja keluar dari gerbang sekolah bersama Putri.Rindi tersenyum sinis melihat kehadiran Fadil, wanita itu merasa kali ini merasa begitu beruntung. Selain bisa menghancurkan hati Jihan, ia juga bisa menghancurk
Malam telah kembali berkunjung, membawa cahaya rembulan dan ribuan gemintang. Menemani Jihan yang tengah melamun seorang diri di dalam kamarnya. Bukan meratapi nasib karena akan ditinggal menikah oleh sang suami, melainkan memikirkan untuk memulai usaha dan masa depan baru tanpa adanya sosok seorang suami."Bunda!" Suara bocah kecil yang melongokan kepala di pintu kamar membuat wanita itu terperanjat dari lamunan."Hai, Sayang. Ayo ke sini." Fadil melangkah masuk dan menghenyak di sisi ranjang milik sang bunda."Bunda, lagi ngelamun? Apa Bunda sedih ayah akan menikah?" tanya bocah kecil itu, sedari tadi Jihan memang asik melamun hingga tak menyadari jika sang anak sudah cukup lama berdiri di depan pintu dan memperhatikan dirinya.Wanita itu tersenyum kemudian mengacak puncak kepala putra kesayangannya itu. Merasa bersyukur, meski sang suami telah meninggalkannya. Namun, ia masih memiliki seorang anak yang begitu perhatian walau usianya baru delapan tahun."Kenapa harus sedih? Ayah sud
Rizal menarik tangan Jihan dengan keras hingga tubuh wanita itu sedikit oleng."Mas, apa-apaan sih kamu? Datang-datang main narik orang seenaknya," protes Jihan seraya memegangi lengannya yang terasa nyeri akibat ulang sang suami."Kamu yang apa-apaan! Kamu itu masih istriku, kenapa kamu sudah kegenitan menggoda lelaki lain," bentak Rizal dengan kedua mata yang melotot.Sebelah alis Jihan naik, tak mengerti dengan maksud ucapan sang suami."Enak saja, mengataiku kegenitan. Padahal dia yang matre dan ingin kawin lagi sama anak orang kaya." Jihan hanya bisa membatin dalam hati."Apa maksudmu kegenitan? Lalu, siapa memangnya lelaki yang aku goda?" Suara Jihan ikut meninggi, seolah sedang menantang sang suami.Rizal tak langsung menjawab, lelaki itu merogoh saku untuk mengambil sebuah benda pipih. Jemari Rizal menari-nari di atas layar seolah sedang mencari sesuatu."Lihat ini!" Lelaki itu menunjukan potret kebersamaan Anjas dan Jihan saat mengantar Fadil ke sekolah tadi.Jihan berdecak,
Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar ucapan dari Anjas, wanita itu menghenyak di samping Anjas dengan Fadil yang berada di tengah-tengah mereka."Mau bicara apa, Njas? Kelihatannya penting sekali?" tanya Jihan pada pemuda beralis tebal itu."Maaf, bukan aku ingin ikut campur masalah rumah tanggamu. Tapi, kenapa kamu tidak membahas pernikahan Rizal sama sekali?" Anjas berucap dengan sangat hati-hati, ia tak ingin jika sampai Jihan merasa tersinggung.Jihan mengulas senyum, "Dia saja tak tahu kalau aku sudah mengetahui rencana pernikahan itu. Aku sengaja tak membahas agar ia bisa merasa menang, aku akan berikan dia kejutan di hari pernikahannya nanti."Anjas cukup menegerti maksud dari ucapan Jihan, lelaki itu memutuskan tak lagi membahas masalah rumah tangga temannya dan lebih memilih untuk kembali pada tujuan awalnya."Baiklah, aku mengerti. Sekarang aku ingin mengatakan niatku yang sebenarnya, aku ingin mengajakmu untuk kerja sama." Anjas menaikan sebelah alis, menunggu bagaimana
Mendung menghiasi langit di pagi hari, seolah sengaja datang untuk mengiringi acara pernikahan Rizal dan Indri. Jihan bersama Fadil sudah bersiap dan tengah menunggu kedatangan taksi online yang akan mengantar mereka menuju kediaman Brama. Lima menit menunggu, akhirnya taksi online yang dipesan oleh Jihan telah tiba. Wanita itu segera masuk ke dalam mobil bersama sang putra, ia tahu jika dalam diamnya, Fadil menyimpan luka dan kekecewaan."Nak, kamu yakin mau datang ke pernikahan ayah?" Suara Jihan membuat Fadil mendongak, menatap sang bunda dengan pandangan sendu."Yakin, Bun. Fadil akan berikan ucapan selamat untuknya, setelah itu Fadil tak akan lagi menemuinya," ucap Fadil penuh penekanan.Sopir yang duduk di balik kemudi mengernyit mendengar obrolan sepasang ibu dan anak itu."Memangnya siapa yang akan menikah, Bu?" Sang sopir berbasa-basi untuk memecah keheningan, matanya sesekali melihat ke belekang melalui kaca spion yang berada di tengah."Suami saya, Pak," jawab Jihan dengan
Semua mata tertuju pada Brama yang tengah menatap sosok bocah kecil di hadapannya dengan pandangan nyalang, seolah anak lelaki itu adalah musuh besar baginya. Tak ada raut ketakutan di wajah Fadil, anak lelaki itu membalas tatapan pria seusia kakeknya dengan pandangan datar dan sebuah senyum miring. Sedangkan Rizal masih bergeming, rasa bimbang merajai hati. Sejujurnya, lelaki itu tak tega melihat sang anak yang tengah dibentak oleh ayah mertuanya. Namun, jika Rizal membela pasti Brama akan murka dan membuatnya menjadi gelandangan. Pada akhirnya, lelaki itu memilih untuk diam dan hanya menonton semua adegan yang terjadi di depan mata.Jihan menghela napas, berusaha menahan emosi karena ia sudah berniat jika harus membalas Rizal dengan cara elegan. Wanita cantik itu memajukan langkah, berdiri di samping sang anak dengan seuntai senyum tipis."Apa Bapak ingin tahu siapa anak ini? Jika iya, maka saya akan menjelaskan," ujar Jihan, sesekali ekor matanya melirik ke arah sang suami yang nam
Suara Brama menggelegar memenuhi lokasi acara, lelaki itu dengan lantang meminta Jihan untuk berhenti melangkah. Mau tak mau, Jihan harus menghentikan langkah kakinya. Wanita itu mendesah kasar kemudian menoleh ke arah lelaki yang kini telah resmi menjadi mertua dari Rizal."Ada apa, Pak Brama?" Suara Jihan begitu lembut, senyuman manis tak pernah terlepas dari bibirnya. Berusaha menunjukan pada semua orang jika ia sedang baik-baik saja.Brama mulai mengayun langkah kaki. Mendekati sepasang ibu dan anak yang berdiri di dekat pintu. Ada satu hal yang harus ia ucapkan pada Jihan. Atau mungkin ini termasuk salah satu penawaran."Siapa namamu?" tanya Brama pada wanita yang baru saja mendapat talak dari sang suami."Apakah menantu Bapak tak pernah menyebut nama saya?" Jihan tersenyum miring sembari menaikkan sebelah alis."Jika tidak, maka saya akan memperkenalkan diri. Nama saya Jihan, Pak," lanjutnya kemudian.Brama mengulas senyum kagum, ia tak menyangka jika orang kampung seperti Jihan
Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu
Jihan mengernyitkan keningnya, ia tak ingat jika hari ini ada janji dengan seseorang. Dengan malas, janda muda itu mengarahkan pandangan menuju ke teras, tempat di mana seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas tengah duduk menopang kaki sembari memainkan ponsel mewah keluaran terbaru."Pak Brama, mau apa lagi sih dia datang ke sini? Pasti mau bikin masalah!" gerutu Jihan setelah mengetahui siapa tamunya.Wanita itu turun dari mobil dan menghampiri sang tamu yang belum menyadari kedatanganya karena terlalu asyik bermain ponsel."Mau apa lagi Bapak datang ke rumah saya?" tanya Jihan tanpa menyapa lelaki itu terlebih dahulu.Brama mendongak, menatap Jihan kemudian menyunggingkan sebuah senyuman."Saya ingin bertemu dengan cucu saya," jawab Brama dengan begitu santai.Kedua alis Jihan saling bertaut setelah mendengar pernyataan lelaki tua itu."Cucu? Memangnya siapa cucu Bapak? Saya rasa, cucu Anda tidak ada di sini," ucap Jihan ketus.Di halaman depan, Anjas baru saja turun dari mo
Mata Anjas dan Rizal membelalak sempurna kala melihat Jihan yang menepis tangan Indri dengan begitu kasar dan mendaratkan tamparan keras di pipi wanita bertubuh gemuk tersebut."Jihan, apa-apaan kamu!" Rizal segera menarik tubuh Indri dan memeluknya, ia tak ingin keadaan semakin kacau.Jihan tersenyum miring seraya menepuk-nepuk tanganya sendiri yang seolah terkena kotoran setelah menampar wajah Indri."Aku sama sekali tak berniat untuk berbuat kasar kepada istrimu, tapi dia yang memulai," balas Jihan kemudian."Tapi nggak seharusnya kamu menamparnya." Rizal masih berusaha membela sang istri."Lalu, aku harus berdiam diri dan membiarkan dia melukaiku? Maaf, aku bukan Jihan yang dulu, sekarang aku tak akan membiarkan seorang pun menggores luka di hidupku. Termasuk kamu!" Jihan menekan kalimatnya, kemudian menoleh ke arah Anjas yang masih terpaku menatapnya."Ayo kita pulang, Njas. Masih ada urusan kita yang lebih penting dibanding berdebat dengan manusia seperti mereka," tambahnya kemu
Mentari mulai bersinar, menebar kehangatan di dunia bersama dengan embun pagi yang mulai menghilang di dedaunan. Hari yang ditunggu oleh Jihan telah tiba, ini adalah hari di mana ia harus pergi ke pengadilan agama untuk mengambil akta cerai sekaligus hari pembukaan caffe baru yang ia bangun dengan Anjas."Bunda, ayo keluar. Pak Anjas sudah menunggu di depan," ajak Fadil yang sudah berdiri di depan pintu. Bocah kecil itu tersenyum, memandangi penampilan sang ibu yang nampak begitu sempurna dengan balutan dress selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi. Wajah ayu terpoles make up natural dan rambut lurus sepinggang yang ditata curly pada bagian ujungnya membuat penampilan jihan sangat memukau."Ayo, Sayang. Bunda dan Pak Anjas antar kamu ke sekolah dulu, nanti siang Pak Anjas yang jemput kamu untuk datang ke pembukaan caffe." Jihan menggandeng tangan sang putra untuk keluar kamar.Bocah kecil itu terdiam dengan dahi berkerut tajam, ada tanda tanya besar di benaknya karena hari ini A