Kening Jihan mengernyit, wanita itu tengah berusaha untuk mencerna setiap kata yang baru saja diucapkan oleh Bu RT. Suaminya membeli sepeda motor baru, tapi uang dari mana? Sedangkan yang dipakai Rizal saat ini saja adalah sepeda motor Jihan yang dibeli jauh sebelum menikah dengan Rizal dahulu, wanita itu hanya bisa menerima kala sang suami memintanya memakai motor matic buntut milik Rizal dengan alasan Jihan hanya memakainya untuk pergi ke pasar sedangkan Rizal harus bekerja setiap hari.
"Mbak, Mbak Jihan kok melamun. Terlalu senang ya mau dapat kado motor baru dari suami?" goda Bu RT sembari menaik-turunkan kedua alisnya. Dua wanita beda generasi itu memang cukup akrab lantaran sikap Jihan yang sopan dan ramah.Jihan tersenyum canggung karena ketauhan Bu RT ketika sedang melamun, "Ah Ibu bisa saja, mana mungkin Mas Rizal beli motor baru. Lha wong dia saja pakai motor saya.""Ya siapa tahu aja diam-diam Mas Rizal nabung, Mbak. Buktinya dia beli motor itu secara cash lho, bukan kredit," ucap Bu Rt yang masih kekeh.Sedang Jihan semakin bingung setelah mendengar sang suami membeli sepeda motor secara cash. Uang dari mana, sedangkan gajinya hanya dua setengah juta. Itupun Jihan hanya mendapat jatah lima ratus ribu, Rizal lima ratus ribu dan sisanya untuk Bu Inggar serta Rindi. Namun, Bu RT juga tak mungkin bohong karena anaknya bekerja di dealer itu. Jihan terus berpikir sembari membungkus seblak pesanan Bu RT yang sudah selesai ia masak."Ini, Bu seblaknya." Jihan mengulurkan sebuah bungkusan kantong kresek pada Bu RT."Nih uangnya mbak. Seblak dua berarti dua puluh lima ribu ya." Jihan mengangguk dan menerima uang pas yang diulurkan oleh Bu RT.Wanita itu kembali terduduk di kursi, tangannya mengambil benda pipih yang sedari tadi berada di atas meja. Memutuskan untuk membuka aplikasi f******k dan mencari informasi, ia tak bisa melihat story w******p milik Rindi karena pengaturan privasi.Seperti yang sudah ia duga sebelumnya, Rindi selalu memosting aktivitasnya di media sosial. Story pertama menunjukan wanita itu sedang berada di sebuah dealer sepeda motor bersama ibu dan adiknya. Jihan kembali menggeser layar telepon pintar miliknya.Mata wanita itu membola sempurna kala melihat foto Rindi yang sedang berpose di atas sebuah sepeda motor honda scoppy tanpa plat nomor. Pertanda jika sepeda motor itu masih baru. Jihan masih menerka-nerka, masih ada satu lagi story foto milik Rindi. Dengan tangan bergetar, Jihan menggeser layar benda pipih itu.Deg!Hati Jihan benar-benar kecewa. Sebuah foto kunci sepeda motor lengkap dengan BPKB dan STNK dengan nama Rindi Amelia. Caption yang ditulis Rindi pun berhasil membuat hati Jihan semakin memanas.Terima kasih adikku sayang, sudah belikan sepeda motor baru untuk keponakanmu. Memang keluarga tetap yang nomor satu. Yang lain nggak penting.Begitulah bunyi caption yang ditulis oleh Rindi. Jihan meremas telepon genggamnya kuat-kuat, terpikir untuk langsung menghubungi Rizal. Namun, wanita itu teringat jika harus menjemput putranya di sekolah.Jihan buru-buru berganti baju dan memacu sepeda motor matic buntut milik Rizal menuju ke sekolah putranya. Nampak di sana Fadil yang tengah duduk termenung di dekat pos satpam, bocah lelaki itu segera beranjak saat melihat sang bunda yang berhenti tepat di depan gerbang sekolah, mencium tangan Jihan dan segera naik ke atas boncengan sebelum diminta oleh bundanya.Jihan mengerutkan keningnya kala melihat sikap sang anak yang tak seperti biasa. Biasanya Fadil akan selalu berceloteh sepanjang perjalanan, menceritakan kegiatannya selama di sekolah. Tapi, berbeda dengan hari ini, ia hanya diam sembari memeluk erat tubuh sang bunda yang sedang membonceng dirinya. Sesekali bahunya berguncang seperti menahan tangis. Jihan yang memang sengaja tak memasak, memutuskan untuk membelokkan sepeda motornya itu menuju sebuah rumah makan padang."Sayang, kita makan siang dulu ya. Bunda hari ini nggak masak," ucap Jihan yang hanya dibalas dengan sebuah anggukkan oleh putranya.Ibu dan anak itu bergandeng tangan untuk memasuki rumah makan padang."Kamu mau makan apa, Nak?" tawar Jihan pada putranya."Biasa, Bun. Lauk ayam goreng aja," jawab Fadil kemudian mengambil tempat duduk sembari menunggu makanan yang dipesankan oleh Jihan.Keduanya menyantap makan siang itu dalam suasana hening, sama sekali tak ada ocehan yang keluar dari bibir milik Fadil. Bocah itu hanya fokus pada isi piring di depannya, membuat semakin banyak tanda tanya yang muncul di benak Jihan.Setelah selesai dengan ritual makan siang, Jihan tak langsung mengajak putranya untuk pulang. Mereka masih duduk di sana, wanita itu ingin mencari tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada putranya hari ini."Kamu kenapa, Nak? Kok dari tadi cuma diam saja, kamu sakit?" tanya Jihan dengan wajah khawatir.Tak Ada Jawaban yang terlontar dari mulut bocah kecil itu. Fadil hanya menggelengkan kepalanya pelan kemudian kembali menundukkan kepala."Ayo cerita sama Bunda, apa yang bikin kamu jadi sedih seperti ini?" Jihan mengelus Puncak kepala bocah lelaki itu dengan penuh kasih sayang.Fadil menatap sang bunda dengan tatapan sendu. Bocah itu benar-benar merasakan kekecewaan yang luar biasa pada Rizal hari ini."Fadil kecewa sama ayah, Bun. Ayah nggak sayang sama Fadil," lirih bocah lelaki itu dengan bibir bergetar. Memperjelas jika ia sedang berusaha menahan tangis.Tentu saja Jihan semakin tak mengerti, mengapa sang anak bisa merasa kecewa pada sang ayah. Memangnya apa yang telah dilakukan Rizal pada putranya? Bukankah hari ini mereka belum bertemu sama sekali."Kecewa kenapa, Nak? Memangnya kamu sudah ketemu sama ayah hari ini?" Fadil mengangguk mengiyakan."Ketemu di mana memangnya?" tanya Jihan lagi."Tadi di sekolah Putri bilang sama Fadil, kalau Ayah beliin dia sepeda motor keluaran terbaru. Fadil kira Putri cuman mau bikin Fadil kesel, tapi ternyata pas pulang sekolah ayah beneran jemput Putri naik sepeda motor baru, Bun. Honda Scoopy warna merah." Fadil sengaja menjeda kalimatnya untuk menyeka sudut mata yang mulai basah."Ayah jemput Putri pakai sepeda motor baru? Terus ayah lihat kamu nggak?" Jihan mulai tertarik untuk mengorek informasi dari putranya itu."Iya Bun, ayah lihat. Fadil mau ikut tapi ayah bilang nggak usah, suruh nunggu bunda datang aja. Putri juga bilang katanya Fadil nggak pantas dibonceng pakai sepeda motor baru, pantasnya pakai sepeda motor buntut," oceh Fadil menceritakan apa yang ia alami di sekolah tadi.Jihan mengelus dada, Rizal sudah benar-benar keterlaluan. Tapi yang masih menjadi pertanyaan, dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli sepeda motor baru."Nanti Bunda bicara sama ayah, sekarang kita pulang dulu," ajak Jihan pada putranya.Sesampainya di rumah, Fadil langsung masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Sementara Jihan juga masuk ke kamarnya untuk berganti baju sebelum kembali membuka kedai yang sempat ia tutup karena harus menjemput Fadil. Namun, fokus mata Jihan langsung beralih kala kakinya menginjak sesuatu.Jihan mengangkat kembali kakinya untuk mengambil sesuatu yang baru saja terinjak. Dipungutnya sebuah kertas kecil mirip dengan struk belanja dari atas lantai, mata Jihan memincing. Bola matanya bergerak ke kanan ke kiri, menelisik tulisan-tulisan kecil yang berada di atas kertas. Dan akhirnya, rasa penasaran Jihan terjawab juga."Rizal Aditama, assisten manager merk, empat belas juta rupiah." Komat-kamit mulut Jihan membaca tulisan pada kertas yang kini berada dalam genggamanya.Mata wanita itu membola, tangannya terangkat untuk mengucek mata yang sebenarnya tak merasa mengantuk. Hanya untuk memastikan jika pengelihatannya tidak salah. Hati Jihan kian kecewa, benarkah Rizal naik jabatan setinggi itu, yang awalnya hanya buruh kontrak di bagian produksi sekarang berubah menjadi assisten manager merk. Bagaimana bisa, padahal pendidikan terakhir Rizal hanya lulusan sekolah menengah atas.Jihan meremas kertas itu kemudian memasukkannya ke dalam saku daster yang ia kenakan. Melangkahkan kak
Suara keras Jihan membuat sang suami menghentikan langkahnya di depan pintu. Lelaki itu tersenyum miring, sudah menebak jika Jihan akan menahan kepergiannya. Karena ia tahu jika sang istri sangat mencintainya. Bahkan, dulu Jihan rela menentang restu sang ayah demi bisa menikah dengan Rizal. Lelaki itu segera menghapus senyum dan memutar badan untuk menghadap sang istri yang sudah berdiri sembari melipat tangan di depan dada."Ada apa, Jihan? Mau mencegah kepergianku?" ucap Rizal dengan pandangan remeh, lelaki itu terlalu percaya diri.Tak seperti yang diharapkan oleh Rizal, wanita cantik itu malah menadahkan telapak tangan, "Kembalikan kunci sepeda motorku, bawa sepeda motormu sendiri yang buntut itu!"Rizal terperangah dibuatnya, tak menyangka Jihan akan meminta kembali sepeda motor yang selama ini pakai untuk pergi bekerja."Ayo mana kuncinya, ini kunci sepeda motor buntutmu." Jihan mengulurkan kunci sepeda motor buntut yang selama ini ia pakai kepada Rizal."Nih, makan tuh sepeda m
Mentari pagi telah kembali berkunjung, bersama kehangatan yang menyesap butiran embun di dedaunan. Rizal baru saja selesai menikmati sarapan pagi bersama keluarganya dan tengah bersiap untuk berangkat bekerja setelah pertengkaran yang membuatnya diusir oleh Jihan semalam."Mbak Rindi mau ngantar putri ke sekolah?" tanya Rizal pada sang kakak yang baru saja menyambar kunci sepeda motor barunya."Iya Zal, siapa tahu nanti ketemu si Jihan itu. Lumayan, bisa sekalian pamer biar kebakaran jenggot," ucap Rindi dengan senyum sumringah."Gimana kalau putri berangkat kerja bareng aku aja, Mbak? Sekalian aku pakai sepeda motor Mbak. Malu aku, masa seorang asisten manager di perusahaan rokok paling terkenal berangkat kerja pakai sepeda motor buntut," keluh Rizal dengan wajah memelas.Rindi memutar bola matanya seperti sedang memikirkan sesuatu kemudian menepuk lembut pundak adiknya, "Ngapain malu, justru ini kesempatan. Siapa tahu Indri kasihan lihat kamu terus dikasih motor baru kan lumayan.""
Jihan menarik napasnya dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Berusaha untuk memasang wajah setenang mungkin, menata emosinya baru kemudian membuka pintu yang masih terus digedor oleh ibu mertua dan kakak iparnya itu.Pintu terbuka, Jihan tersenyum dengan manis menatap dua tamunya dengan wajah tegas. Sementara Bu Inggar dan Rindi terpanah untuk beberapa saat melihat perhiasan yang melekat di tubuh Jihan. Otak Bu Inggar dan Rindi seketika bekerja keras, menerka-nerka dari mana Jihan mendapatkan uang untuk membeli satu set perhiasan semewah itu."Ibu, Mbak Rindi, ada apa?" Suara Jihan membuat dua wanita beda generasi itu tersadar dari lamunannya.Bu Inggar menatap tajam sang menantu, bersiap untuk memaki-maki wanita yang sudah hampir sepuluh tahun mendampingi Rizal, dan selama itu pula Jihan menjadi istri yang baik serta penurut untuk Rizal."Heh Jihan, berani sekali kamu mengusir anak saya dari rumah ini! Memangnya kamu bisa apa tanpa Rizal, hah?" Bu Inggar berucap sembari bertola
Jihan mendekat ke arah sang anak sembari menunggu seorang laki-laki dengan seragam batik khas seorang guru yang baru saja mengantar putranya untuk membuka helm."Fadil, maaf ya. Bunda telat jenput kamu hari ini," ucap Jihan dengan wajah bersalah, ini pertama kali Jihan bisa lupa menjemput bocah kecil itu dari sekolahnya.Fadil tersenyum mendengar permintaan maaf dari sang bunda, "Tidak apa-apa Bunda, untung ada Pak Anjas yang sudah baik hati mengantar Fadil pulang."Dahi Jihan mengernyit kala putranya menyebut sebuah nama yang terasa begitu familiar di telinga. Wanita itu mengalihkan fokus pandangan pada laki-laki yang kini sudah berdiri di samping putranya. Tanpa sengaja keduanya saling beradu pandang dengan ekspresi wajah yang sama-sama terkejut."JIHAN, ANJAS!" sorak mereka bersamaan."Lho, Bunda kenal sama Pak Anjas?" heran Fadil melihat tingkah dua orang dewasa yang tengah berdiri di hadapannya. Lelaki bernama Anjas itu tersenyum kemudian kembali menatap ke arah Jihan."Kamu bena
Jihan memandang wajah lelaki di hadapannya lekat-lekat. Lelaki yang dulu cintanya sangat ia perjuangkan, lelaki yang begitu ia cintai hingga mata hatinya mulai dibuka oleh kenyataan."Maaf, Mas. Kata maafmu tak akan bisa merubah apapun." Kalimat itu meluncur dengan mudah dari bibir Jihan. Rasanya tak ada guna mempertahankan pernikahan ini. Kalaupun Rizal benar-benar berubah, pasti mertua dan iparnya yang benalu itu tak akan rela.Rizal masih belum percaya dengan jawaban sang istri barusan, ia yakin Jihan masih mencintai dirinya. Tak mungkin wanita itu benar-benar ingin berpisah dan menyandang status janda. Mengingat apa yang sudah ia korbankan demi menikah dengan Rizal."Jihan, kamu sedang bercanda kan? Apa kamu lupa bagaimana perjuangan kita saat mengejar restu dari orang tuamu agar bisa menikah?" ujar Rizal, lelaki itu berusaha menggenggam jemari sang istri namun segera ditepis oleh si empunya."Aku tidak pernah lupa, Mas. Bahkan aku ingat jika aku harus mangambil uang tabunganku un
Matahari masih malu-malu untuk menampakan sinarnya, hawa dingin juga masih begitu terasa menusuk di kulit. Namun, Jihan sudah sibuk berkutat di dapur. Menyiapkan bekal makanan yang akan ia bawa untuk menemani Fadil rekreasi sekolah dengan naik kereta kelinci. Wanita itu menarik kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan indah kala memandangi beberapa kotak makanan yang sudah tertata rapi di atas meja makan. Langkah kaki Jihan terayun menuju ke kamar Fadil yang sedang membereskan ranjang kecilnya. Bocah laki-laki itu sengaja bangun lebih pagi karena tak sabar untuk segera menikmati acara sekolahnya hari ini."Wah, anak Bunda sudah bangun nih. Semangat sekali yang mau jalan-jalan naik kereta kelinci," goda Jihan yang bersandar di pintu sembari melipat kedua tangan di depan dada."Iya dong, Fadil mandi dulu ya, Bun." Bocah lelaki itu langsung berlari ke arah kamar mandi, maninggalkan Jihan yang hanya bisa menatap punggung putranya dengan sebuah senyuman. Wanita itu juga memutuskan
Mata Jihan memincing kala melihat Rindi yang semakin mendekat ke arahnya. Ia yakin jika Rindi memiliki niatan tak baik, Jihan hanya diam memperhatikan gerakan janda muda itu. Bersiap-siap jika Rindi hendak melakukan sesuatu yang buruk padanya. Apalagi saat ini Anjas dan Rizal sama-sama tak memperhatikan mereka karena sibuk menemani anak-anak berenang. Rindi langsung menghenyak di kursi seberang Jihan dengan sorot mata tajam."Heh wanita gatal, benar-benar keterlaluan ya kamu. Belum juga ditalak sama adikku sudah berani menempel dengan pria lain seperti benalu," maki Rindi pada wanita yang masih berstatus sebagai adik iparnya itu.Jihan tak ingin terpancing emosi. Wanita itu malah tersenyum menatap ke arah kakak iparnya, "Apa Mbak Rindi nggak salah bicara dengan menyebutku wanita gatal? Setahuku, Mbak sendiri yang dari tadi terus berusaha menggoda Anjas meski tak ditanggapi. Tapi maklum ya, namanya juga janda," ejek Jihan kemudian menatap kakak iparnya dengan sebuah pandangan remeh.Wa
Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu
Jihan mengernyitkan keningnya, ia tak ingat jika hari ini ada janji dengan seseorang. Dengan malas, janda muda itu mengarahkan pandangan menuju ke teras, tempat di mana seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas tengah duduk menopang kaki sembari memainkan ponsel mewah keluaran terbaru."Pak Brama, mau apa lagi sih dia datang ke sini? Pasti mau bikin masalah!" gerutu Jihan setelah mengetahui siapa tamunya.Wanita itu turun dari mobil dan menghampiri sang tamu yang belum menyadari kedatanganya karena terlalu asyik bermain ponsel."Mau apa lagi Bapak datang ke rumah saya?" tanya Jihan tanpa menyapa lelaki itu terlebih dahulu.Brama mendongak, menatap Jihan kemudian menyunggingkan sebuah senyuman."Saya ingin bertemu dengan cucu saya," jawab Brama dengan begitu santai.Kedua alis Jihan saling bertaut setelah mendengar pernyataan lelaki tua itu."Cucu? Memangnya siapa cucu Bapak? Saya rasa, cucu Anda tidak ada di sini," ucap Jihan ketus.Di halaman depan, Anjas baru saja turun dari mo
Mata Anjas dan Rizal membelalak sempurna kala melihat Jihan yang menepis tangan Indri dengan begitu kasar dan mendaratkan tamparan keras di pipi wanita bertubuh gemuk tersebut."Jihan, apa-apaan kamu!" Rizal segera menarik tubuh Indri dan memeluknya, ia tak ingin keadaan semakin kacau.Jihan tersenyum miring seraya menepuk-nepuk tanganya sendiri yang seolah terkena kotoran setelah menampar wajah Indri."Aku sama sekali tak berniat untuk berbuat kasar kepada istrimu, tapi dia yang memulai," balas Jihan kemudian."Tapi nggak seharusnya kamu menamparnya." Rizal masih berusaha membela sang istri."Lalu, aku harus berdiam diri dan membiarkan dia melukaiku? Maaf, aku bukan Jihan yang dulu, sekarang aku tak akan membiarkan seorang pun menggores luka di hidupku. Termasuk kamu!" Jihan menekan kalimatnya, kemudian menoleh ke arah Anjas yang masih terpaku menatapnya."Ayo kita pulang, Njas. Masih ada urusan kita yang lebih penting dibanding berdebat dengan manusia seperti mereka," tambahnya kemu
Mentari mulai bersinar, menebar kehangatan di dunia bersama dengan embun pagi yang mulai menghilang di dedaunan. Hari yang ditunggu oleh Jihan telah tiba, ini adalah hari di mana ia harus pergi ke pengadilan agama untuk mengambil akta cerai sekaligus hari pembukaan caffe baru yang ia bangun dengan Anjas."Bunda, ayo keluar. Pak Anjas sudah menunggu di depan," ajak Fadil yang sudah berdiri di depan pintu. Bocah kecil itu tersenyum, memandangi penampilan sang ibu yang nampak begitu sempurna dengan balutan dress selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi. Wajah ayu terpoles make up natural dan rambut lurus sepinggang yang ditata curly pada bagian ujungnya membuat penampilan jihan sangat memukau."Ayo, Sayang. Bunda dan Pak Anjas antar kamu ke sekolah dulu, nanti siang Pak Anjas yang jemput kamu untuk datang ke pembukaan caffe." Jihan menggandeng tangan sang putra untuk keluar kamar.Bocah kecil itu terdiam dengan dahi berkerut tajam, ada tanda tanya besar di benaknya karena hari ini A